Buruh di Gunungkidul: Berserikat Dipecat, Tak Ada Upah Lembur, Dipotong Gaji dan Jam Kerja karena Ancaman Resesi

Mawa Kresna
10 menit
Ilustrasi pemberangusan serikat pekerja. (Project M/Herra Frimawati)

“SAYA YAKIN pemecatan saya karena telah mendirikan serikat pekerja. Itu masuk kategori union busting.”

Kalimat itu keluar dari mulut Dani, mantan buruh di kawasan industri di Kecamatan Semin, Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia masih dongkol atas perlakuan perusahaan yang disebutnya semena-mena terhadap dirinya.

Dulu Dani bekerja sebagai buruh di PT Woneel Midas Leathers, perusahaan padat karya produsen sarung tangan untuk komoditas ekspor. Ia salah seorang buruh yang menggalang para buruh lain agar kompak membuat serikat pekerja. Namun, gerakan yang dibikin Dani justru berujung tragis. Pada Agustus 2022, ia dipecat PT Woneel tanpa ada pemberitahuan atau peringatan lebih dulu.

Ia meyakini pemecatannya tak lepas dari keterlibatannya dalam pembentukan serikat pekerja.

Pemecatan Dani bersama sembilan pekerja dimulai dari proses pelaporan dugaan pelanggaran hak-hak pekerja ke Dinas Ketenagakerjaan setempat, medio Agustus 2021. Kesepuluh buruh itu para penggerak pendirian serikat pekerja. Dani menyadari itulah konsekuensi yang harus ditanggung bila mendirikan serikat pekerja.

Dani menyebut ada banyak masalah ketenagakerjaan di PT Woneel. Ia bersama pekerja lain bekerja tanpa ada kontrak. Kemudian, para pekerja di perusahaan itu tak diberi fasilitas apapun. BPJS Ketenagakerjaan, upah lembur, cuti melahirkan, apalagi tunjangan keluarga, sama sekali tak ada.

“Kerja kelebihan jam itu tidak dibayar. Katanya loyalitas,” ujarnya. Kata “loyalitas” ini kerap digunakan oleh perusahaan untuk menambah jam kerja buruh tanpa perlu membayar upah lembur.

Pelanggaran di sektor ketenagakerjaan itulah yang jadi pelecut para pekerja memperjuangkan haknya. Ironisnya, upah minimum di Yogyakarta menjadi salah satu upah terendah di Indonesia, dan perusahaan disebut masih memeras lebih tenaga buruh dan mengabaikan hak mereka.

Tahun ini upah pekerja di Kabupaten Gunungkidul sebesar Rp2.049.266. Nominal ini naik Rp149.226 atau 7,85 persen dibanding tahun 2022. Selama para pekerja memeras keringat di perusahaan yang bermigrasi dari Tangerang itu, bertahun-tahun hanya diberikan gaji tanpa disertai tunjangan. Pekerja di PT Woneel hanya menerima gaji kurang dari Rp2 juta.

Padahal, sesuai Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, ada sederet tunjangan yang mesti dipenuhi perusahaan. Misalnya, tunjangan keselamatan kerja atau BPJS Ketenagakerjaan, upah lembur, serta hak memperoleh kesejahteraan.

Para buruh PT Woneel akhirnya memproses pembentukan serikat pekerja. Mereka meluangkan waktu di luar jam kerja dengan bolak-balik dari Kecamatan Semin ke Kecamatan Wonosari, ibukota Kabupaten Gunungkidul, yang butuh satu jam perjalanan, untuk menggalang rapat-rapat menggodok serikat.

Proses pembentukan serikat ini memakan waktu berbulan-bulan. Setelah memasuki tahap registrasi di Dinas Tenaga Kerja setempat, Dani dan teman-temannya mulai senang. Meskipun tantangan berikutnya masih harus menghadapi ancaman yang lebih besar, yakni berhadapan dengan perusahaan.

Benar saja, saat serikat pekerja dengan nama Semesta telah teregistrasi di Dinas Tenaga Kerja dan para buruh sedang menata internal, gelombang pemecatan dimulai.

Dani yang semula bekerja tanpa ada bukti kontrak tiba-tiba disodori kontrak kerja. Saat ditanya, pihak manajemen perusahaan berdalih itu hanya formalitas karena nantinya akan dijadikan karyawan tetap. Tapi, kontrak itu hanya berdurasi dua bulan dan baru diberikan setelah ia tiga tahun bekerja di sana.

“Setelah masa dua bulan habis itu, saya tanda tangan lagi kontrak 3 bulan. Belum selesai 3 bulan, saya dipecat. Sebelum di-PHK itu sudah ada isu 10 orang dipecat karena mendirikan serikat,” ucapnya.

Sejumlah buruh yang dipecat menggugat PT Woneel ke pengadilan. Setidaknya, ada tiga pekerja PT Woneel yang berkas pemecatannya sampai di pengadilan. Sempat dilakukan langkah bipartit dan tripartit, tapi gagal.

“Pekerja yang ikut di serikat itu diintimidasi, dipanggil satu-satu. Ada yang foto mengibarkan bendera (serikat pekerja) di luar jam kerja dipanggil orangnya. Ada petinggi yang menelepon anggota kami, dijanjikan sesuatu asal mau keluar serikat (pekerja), tapi ia menolak,” kata Dani.

Putusan pengadilan memenangkan pekerja. Perusahaan diharuskan memberikan pesangon sesuai ketentuan perundang-undangan.

Usai gugatan itu, mulai ada perubahan dalam sistem ketenagakerjaan di PT Woneel. Perlawanan Serikat Pekerja Semesta dalam menanggapi setiap kebijakan yang cenderung merugikan pekerja mulai direspons perusahaan. PT Woneel kemudian memutuskan “berdamai” dengan serikat pekerja. Selain upah, para pekerja diberikan upah lembur dan BPJS Ketenagakerjaan.

***

Saat masih bekerja di PT Woneel, Dani harus cakap mengatur keuangan. Sumber penghasilannya hanya dari gaji, tanpa ada upah lembur atau yang lain. Sebagai lelaki lajang, ia memang belum memiliki tanggungan keluarga.

“Tapi tetap saja, meski saya hidup masih bersama orangtua, ada satu adik saya. Kalau ditanya cukup atau nggak (biaya hidup dari gaji), ya cukup nggak cukup,” katanya.

Biaya makan Dani masih bisa digabung dengan hasil kerja orangtuanya, yakni petani di Kabupaten Gunungkidul yang mengandalkan tadah hujan. Saat kemarau, para petani di Gunungkidul termasuk orangtuanya tak menanam.

“Orangtua saya nyambi berdagang di pasar. Masalahnya (pekerja) yang (sudah) berkeluarga pasti nggak cukup kalau cuma mengandalkan penghasilan dari pabrik atau perusahaan,” kata lelaki yang kini bekerja sebagai freelancer ini.

Potro, bukan nama sebenarnya, rekan Dani yang masih bekerja di PT Woneel, berkata gaji dirinya seorang sesungguhnya tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Istri Potro bekerja di perusahaan yang sama dengan gaji yang tak jauh berbeda.

Keuntungan pasangan suami-istri bekerja di tempat yang sama yakni bisa menghemat ongkos. Ada saat jadwal kerja keduanya sama, tapi ada saat jadwalnya berbeda. Jika jadwalnya sama, biayanya bisa terpangkas dengan berangkat bekerja berboncengan sepeda motor.

“Jarak dari rumah ke tempat kerja hampir setengah jam. Kalau berangkat bareng enak, ndak nambah ongkos,” katanya.

Potro dan istrinya sudah memiliki anak, dan mereka masih tinggal satu atap dengan orangtunya. Anaknya sudah sekolah. “Kalau masih tinggal sama orangtua, disangkanya uangnya utuh. Tapi ya nggak juga. Cukup nggak cukup uang gaji kami berdua,” ujarnya.

Ia dan keluarganya mencukup kebutuhan makan setiap hari dengan lauk sekadarnya, yakni sayur dan tempe atau tahu atau sesekali telur. Untuk lauk ayam, ia masih harus berhitung dengan kebutuhan lain. Belanja mereka terkadang masih bergantian dengan orangtuanya.

“Saya masih ada anak balita. Ada kebutuhan popok. Tiap bulan lumayan besar pengeluarannya,” katanya.

Potro dan keluarganya bisa makan lauk daging ayam jika ayam yang mereka pelihara tumbuh sehat. Orangtua Potro bekerja sebagai pekebun. Setiap hari harus berjibaku mengolah lahan yang penghasilannya tak bisa dipastikan. Agar bisa membantu kebutuhan keluarga, mereka memelihara ternak kambing atau ayam. Kambing yang dipelihara itu pun milik orang lain.

“Istilahnya memelihara kambing tetangga. Nanti orangtua saya diberikan anak kambing kalau sudah beranak,” ucapnya.

Potro dan keluarga harus berjuang menyambung kehidupannya. Dengan pendapatan rata-rata Rp1,5 juta per orang, total pendapatan Potro dan istri di PT Woneel sekitar Rp3 juta/bulan. Pengeluaran mereka pun sebesar Rp3 juta/bulan.

– Biaya makan: Rp1.100.000/bulan. Rinciannya, makan tiga kali sehari dengan nasi dan lauk  berganti-ganti; tempe, tahu, telur, sayur-mayur, ayam. Beras Rp600 ribu/bulan untuk makan 6 orang. Hasil panen gabah orangtunya hanya mencukupi kebutuhan kurang dari 6 bulan.

– Biaya popok dan susu anak: Rp500 ribu/bulan.

– Bensin: pertalite untuk mobilitas Rp200.000/bulan.

– Publik utilitas: biaya listrik Rp50.000/bulan.

– Utang: angsuran sepeda motor Rp1.000.000/bulan.

– Lain-lain: biaya pulsa dan paket internet dan kebutuhan lain Rp100 ribu/bulan.

– Uang tersisa untuk kebutuhan lain-lain Rp50 ribu/bulan.

“Kalau belanja kadang masih dibantu orangtua. Sebagian buat jajan anak. Keinginan nanti dan kalau ada rezeki, pengin hidup keluarga sendiri, maksudnya misah dengan orangtua,” ujar Potro.

Pengeluarannya kini bertambah setelah bulan lalu salah satu orangtuanya menjalani operasi diabetes di salah satu rumah sakit di Klaten, Jawa Tengah. Meski operasi ditanggung BPJS, biaya perawatan setiap hari harus  ditanggungnya. Setiap hari, biaya pengobatan luka sekitar Rp50 ribu.

“Sebulan sekali saya harus antar kontrol ke rumah sakit,” ujarnya.

Kini Potro harus memutar otak karena upah yang diterimanya berkurang. Selain pemotongan untuk BPJS Ketenagakerjaan, gajinya terpotong akibat PT Woneel memangkas jam kerja bagi semua pekerja.

Ilustrasi pemotongan jam kerja buruh. (Project M/Herra Frimawati)

Setelah Union Busting, Terbit Pemangkasan Waktu Kerja

Saat pandemi COVID-19, para buruh PT Woneel masih bisa bekerja dan mendapatkan upah. Jam kerja mereka masih normal, 5 hari kerja. Jam kerja dimulai pukul 7.30 hingga 16.30.

Memasuki Desember 2022, kabar ancaman resesi berembus. Manajemen PT Woneel mulai memberlakukan pemotongan jam kerja untuk semua buruh, yakni 4 hari kerja.

“Kebijakannya berlaku Januari sampai Maret 2023. Tapi itu katanya bisa diperpanjang lagi walaupun di suratnya itu tak ada keterangan akan diperpanjang,” ujar Potro.

Kabar pemangkasan jam kerja ini sudah berembus sejak tahun lalu. Dalih perusahaan karena ada ancaman resesi global. Selain itu, pihak perusahaan menyatakan kepada para pekerjanya bahwa pesanan sarung tangan sedang menurun sejak November 2022.

“Permasalahan pengurangan hari kerja hampir setiap tahun terjadi. Daripada melakukan PHK besar, jadi pengurangan hari kerja jadi pilihan. Alasannya memang resesi global,” katanya.

Yang menjadi janggal bagi Potro adalah PT Woneel mengurangi pekerja hampir setiap tahun. Biasanya menyasar buruh yang menjalani masa magang 3 bulan dan tak diperpanjang lagi. Kebijakan itu biasanya diambil mendekati bulan Ramadan. Sementara para pekerja juga tak mengetahui grafik penurunan pesanan buyer.

“Ini pengulangan terus setiap mau puasa, hari raya ada pengurangan. Belum lagi menghadapi kebijakan perusahaan yang merugikan pekerja,” ujarnya.

Potro hanya bisa pasrah dalam situasi itu. Gaji yang diterima akibat pemangkasan waktu kerja saat ini hanya sekitar Rp1,4 juta hingga Rp1,6 juta/bulan.

Terbaru, kebijakan pemangkasan hari kerja ini diperpanjang April hingga Mei 2023, bahkan mungkin diperpanjang lebih lama lagi.

HRD PT Woneel, Eva, menolak dikonfirmasi melalui sambungan telepon. Melalui pesan singkat, ia berkata tak memiliki kewenangan untuk menjawab.

“Saya tidak memiliki kapasitas diwawancara dengan tema yang diharapkan,” tulisnya dalam WhatsApp pada 6 Maret 2023.

Kepala Seksi Hubungan Industrial, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Gunungkidul, Mariana Anihastuti, mengatakan bahwa perwakilan manajemen PT Woneel sudah menemui jajarannya sebelum memutuskan mengambil kebijakan itu. Menurutnya, pemangkasan waktu kerja untuk menghindari PHK.

“Pengurangan waktu kerja dibolehkan. Kalau melakukan PHK malah kasihan semua,” ucapnya.

Ia berkata selama ada dasar kebijakannya, perusahaan boleh mengambil kebijakan itu. Selain itu, katanya, perusahaan di sejumlah daerah mengambil langkah serupa. Sampai saat ini, Mariana menyebut hanya PT Woneel yang memotong hari kerja.

“Tapi kebijakannya ini harus ada batas waktu. Kalau sudah normal atau pesanan buyer tidak drop, tidak boleh ada pemangkasan waktu kerja,” ungkapnya.

Kebijakan PT Woneel itu mendahului kebijakan pemerintah. Kementerian Ketenagakerjaan baru mengeluarkan Permenaker No. 5 tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global pada 7 Maret 2023.

Perwakilan Serikat Pekerja Semesta, Fulan, bukan nama sebenarnya, mengungkapkan pengurangan jam kerja sudah menjadi perbincangan sejak medio 2020. Meskipun isu ini belum sampai direspons secara serius oleh serikat. Ketika perusahaan mulai menerapkan pengurangan jam kerja, serikat pekerja berupaya menjaga para pekerja tidak kehilangan pekerjaan.

“Hasil perbincangan dengan perusahaan, yang penting kami yang bekerja tidak kehilangan mata pencaharian,” ujarnya.

Ia mengakui pemotongan jam kerja berimbas langsung dalam kehidupan buruh. Nominal gaji yang diterima semakin kecil dan mengharuskan keluarga buruh harus mengencangkan ikat pinggang.

Fulan dan para pekerja lain harus mengurangi sejumlah pos belanja keluarga agar roda kehidupan mereka tetap berjalan. Di sisi lain, anggota keluarga yang memiliki sampingan memelihara ternak, seperti kambing maupun ayam, digunakan saat situasi mendesak.

“Kadang yang dikurangi belanja lauk-pauk. Biaya jajan anak dikurangi. Kalau anak nangis, gimana caranya kita membujuk biar nggal rewel,” kata Fulan.

Fulan menambahkan dinamika di dunia perburuhan saat ini memang sangat sulit dihadapi. Di tengah adem-panas hubungan perusahaan dengan serikat pekerja, serikat buruh masih menghadapi sedikitnya anggota. Jumlah anggota serikat pekerja Semesta hanya sekitar 30 persen dari total ribuan pekerja di PT Woneel.

“Kalau pekerja yang ikut serikat akan terus mengupayakan berbagai jalan kalau ada kebijakan yang kami anggap merugikan,” ucapnya.


Artikel ini bagian dari serial #Perburuhan lewat pendanaan Kawan M, program keanggotaan pembaca Project Multatuli yang memungkinkan Kawan M bisa terlibat dalam rapat redaksi dan mengusulkan ide liputan.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Mawa Kresna
10 menit