Nelayan Kecil di Kendawangan: Terusir Limbah Sawit dari Pulau Bawal, Terancam Tambang Pasir di Pulau Gelam

Victor Fidelis
Adrian Mulya & Mawa Kresna
12 menit

Nelayan di Kendawangan, Kalimantan Barat terancam makin kehilangan hasil tangkapan. Setelah wilayah tangkapan ikan di mereka tercemar limbah sawit, kini mereka terancam dengan rencana penambangan pasir di pulau Gelam.


Pagi-pagi benar Salmin (41), seorang nelayan warga pulau Cempedak sudah sibuk menyiapkan lepeh (perahu) untuk melaut ke pulau Gelam. Ia mengisi jeriken 20 liter dengan solar sebagai bekal cadangan bahan bakar perahu. Untuk melaut ke pulau Gelam, paling tidak butuh 40 liter solar.

Selama ini, bahan bakar melaut ini yang selalu jadi keluhan nelayan seperti Salmin. Harga solar yang fluktuatif karena sulit didapat, bikin pusing nelayan. Per liter harganya bisa mencapai Rp20 ribu-Rp30 ribu. Perjalanan dari pulau Cempedak menuju pulau Gelam berjarak kurang lebih 27 km, sekitar dua jam.

Sementara itu bekal untuknya sudah disiapkan oleh istrinya, Neka (40), nasi dengan lauk sederhana dan kopi. “Cari ikan di pulau Gelam sampai sore, jadi harus bawa bekal dan juga kopi untuk suami,” kata Neka.

Selain Salmin dan Neka, Hartono (35) Ketua RT Dusun Pedalaman di pulau Cempedak, juga ikut melaut hari itu. Di tengah perjalanan Hartono atau biasa dipanggil Tono, menunjuk sebuah pulau. “Itu pulau Bawal, hampir seluruh pulau sudah ditanami sawit oleh perusahaan,” katanya.

Dulu, nelayan seperti Salmin mencari ikan di sekitar pulau Bawal. Namun sejak perusahaan sawit masuk di sana, limbah perusahaan bikin ikan menjauh. Imbasnya, hasil tangkapan nelayan pun menurun. 

Menurut Tono kehadiran perusahaan sawit di pulau tetangga menguntungkan masyarakat setempat, namun menghancurkan ekosistem terumbu karang dan padang lamun sebagai habitat bagi berbagai jenis ikan dan renjong.

Sejak itu, Salmin memilih untuk mencari ikan di sekitar pulau Gelam, meski jauh, hasil tangkapan lebih menjanjikan. Meski demikian, kini ia resah karena ada eksplorasi tambang pasir di sana. Ia takut, jika peristiwa yang terjadi di Pulau Bawal, terulang di Pulau Gelam.

Foto atas : Dusun pulau Cempedak merupakan salah satu pulau yang dihuni oleh mayoritas penduduk berprofesi sebagai nelayan tangkap ikan di kawasan pesisir Kendawangan. Sebelumnya masyarakat pulau Cempedak berasal dari pulau Gelam, karena jarak ke pusat Kecamatan Kendawang jauh akhirnya warga pulau Gelam memutuskan untuk pindah ke pulau Cempedak. (Project M/Victor Fidelis)
Foto bawah : Pemandangan pesisir pulau Gelam dengan pasir putih yang mengkilap dan air laut yang biru menjadi rumah bagi berbagai jenis biota laut terutama jenis ikan yang menjadi tangkapan nelayan kecil pesisir Kendawangan. (Project M/Victor Fidelis)

Pulau Gelam merupakan sebuah pulau kecil, dengan luasan 28 km persegi. Saat mendaratkan perahu di sana, sejauh mata memandang pasir putih yang mengilat dan dan hamparan mangrove.

“Kita coba lempar jaring di sini,” kata Salmin. Dibantu Neka, Salmin mulai melemparkan pelampung yang terikat pada jaring. Perahu digerakkan memutar dengan pelan. Setelah dua atau tiga kali lemparan, satu atau dua ekor ikan berhasil terjaring.

“Sekarang penghasilan udah jauh sekali berubah, kalau dulu tiga set pukat bisa dapat belasan kilo, sekarang 30 set cuma main ekor, kadang malah dapat 2 atau 3 kilo saja,” keluhnya. Makin sedikitnya hasil tangkapan ini ia sebut dampak perubahan cuaca yang ekstrim.

Saat matahari makin terik, Salmin menepi ke pulau Gelam untuk menyantap bekal makan siang. Di sana masih terdapat beberapa pondok sementara milik nelayan. Pondok itu biasanya digunakan untuk nelayan menginap sekitar seminggu, sebelum kembali ke pulau Cempedak. Hasil tangkap dijual ke Kendawangan.

Salmin (41) dibantu istrinya dan Hartono (35) sedang melempar jaring di pesisir pulau Gelam. Pulau Gelam merupakan rumah bagi berbagai jenis ikan yang menjadi wilayah tangkap nelayan pesisir Kendawangan. (Project M/Victor Fidelis)
Neka (40) istri Salmin sedang memasukan kantong plastik yang berisikan renjong yang telah diolah ke dalam box pendingin sambil menaburkan pecahan es, selain dari hasil melaut Neka dan suami kadang menjadi agen ikan dan renjong untuk dijual ke Kendawangan. (Project M/Victor Fidelis)

Tak hanya nelayan pulau Cempedak, beberapa nelayan yang tinggal di sekitar pesisir Kendawangan juga mencari ikan di kawasan ini. Potensi ikan di perairan pulau ini cukup banyak. Selain itu, ada pula jenis rajungan dan lobster yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi. Pada musim lobster di bulan Juni dan Juli, pulau Gelam menjadi ramai dengan nelayan. Pulau Gelam juga jadi habitat penyu, hampir tiap lima menit sekali, ada penyu yang muncul ke permukaan. 

Seekor penyu hijau muda (Chelonia mydas) sedang bersembunyi di balik terumbu karang pulau Gelam. Dari enam jenis penyu di Indonesia, Gelam merupakan habitat bagi jenis penyu hijau, aktivitas pertambangan akan mengancam nasib satwa purba. (Project M/Victor Fidelis)

Saat menikmati makan siang, terdengar suara mesin dari kejauhan. Terlihat pula beberapa orang dengan menggunakan helm dan berseragam sedang mengawal sebuah mesin yang berjalan sangat lambat.

“Itu orang perusahaan, mereka sedang mengeluarkan mesin-mesin bor dari pulau, butuh waktu seharian mereka untuk mengeluarkan mesin-mesin pengebor tersebut,” jelas Tono.

Sejak kegiatan eksplorasi tambang pasir silika dimulai pada tahun 2022, ada dua lokasi kamp karyawan yang dibangun di pulau Gelam, kamp sementara itu dibangun menggunakan dinding dan atap terpal. Ada sekitar seratusan karyawan perusahaan yang bekerja di sana.

Menurut Tono, karena izin eksplorasinya mulai habis, sekarang tinggal satu lokasi kamp yang masih beraktivitas dan tersisa lima mesin pengebor dengan jumlah karyawan yang terlihat kurang lebih 20 orang. 

Kamp terakhir ini tampak merupakan kamp utama bagi karyawan karena selain pondok terpal, ada juga pondok utama yang terbuat dari kayu dan atap seng, khusus bagi pimpinan karyawan. Kamp ini dilengkapi beberapa fasilitas seperti pondok pengolahan sampel, dapur, kamar mandi, toilet, dan mushola.

Sisa kamp yang dibangun menggunakan dinding dan atap terpal. Saat ini tinggal satu lokasi kamp yang masih beraktivitas. (Project M/Victor Fidelis)

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) nomor 93.K/MB.01/MEM.B/2022, dengan luas konsesi 839 ha, dengan target 1.808.625 ton/tahun, PT Sigma Selica Jaya Raya (SSJ) dan PT Inti Tama Mineral (PT ITM) memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) tahap eksplorasi dan Wilayah Izin Usaha Pertambang (WIUP) tambang pasir kuarsa di kawasan pesisir pulau Gelam. 

Menurut informasi masyarakat, sudah ada 150 galian dengan kedalaman hingga 6 meter untuk mengambil sampel pasir dari proses eksplorasi yang dilakukan oleh perusahaan. 

Sengkarut Tanah dan Izin Tambang

Pada Juli 2023 lalu, warga pernah melakukan aksi protes di depan kamp PT Sigma Selica Jaya Raya (SSJ) di pulau Gelam. Penyebabnya adalah penerbitan Surat Kepemilikan Tanah (SKT) yang oleh Kepala Desa Kendawangan Kiri, Pusar Rajali. SKT itu diduga fiktif karena warga tidak pernah menjual tanahnya kepada perusahaan.

Suparyanto, seorang warga Kendawangan mengatakan bahwa ia tidak terima atas penjualan tanah oleh oknum yang menerbitkan SKT di pulau Gelam.

“Lahan milik saya sekitar 50 ha kalau dikumpulkan, karena tinggal di sana sudah lebih belasan tahun dari masa saya kecil, dari nenek moyang  dan tanahnya tidak pernah saya jual, tapi itu ada orang yang mengambil lahan di situ orang yang enggak ada hak di situ. Saya enggak pernah buat SKT. Dulu saya mau buat SKT ke kepala desa pak Rajali, tapi tidak dibikinkan,” ucapnya.

Ia menegaskan bahwa namanya tercatut dalam penerbitan itu tanpa sepengetahuannya dengan menggunakan tanda tangan fiktif karena memang tidak pernah menandatangani SKT.

“Saya tidak pernah menandatangani, kalau memang ada asli pasti ada tanda tangan saya,” ucapnya.

Hajrad (75) bersama Salmin dan Hartono mengunjungi Komplek pemakaman tua warga Pulau Gelam dengan latar belakang vegetasi pohon Gelam (Melaleuca Leuadendron), dengan batang berwarna putih. Pulau Gelam pada zaman dahulu merupakan pemukiman masyarakat, karena jarak dari Gelam ke pusat Kecamatan Kendawang jauh akhirnya warga pulau Gelam memutuskan untuk pindah ke pulau Cempedak. (Project M/Victor Fidelis)

Menurut Haji Lakok, salah seorang warga pulau Gelam, orang tua dan kakeknya sudah tinggal di sana dan memiliki tanah di pulau Gelam. Namun karena tidak adanya akses pendidikan dan kesehatan di sana, warga terpaksa harus pindah ke pulau terdekat seperti pulau Cempedak, Kendawangan dan pusat Kota untuk mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan yang layak.

“SKT ini masih baru diterbitkan, begitu ada perusahaan tambang masuk, baru dibuat. Sehingga yang dipertanyakan dasar penerbitan SKT ini apa?” ucapnya. 

Selain soal SKT di pulau Gelam, penerbitan izin pertambangan oleh Kementerian ESDM juga di dinilai bermasalah. Sebab sebagian wilayah Kecamatan Kendawangan sebagai kawasan lindung yang terdiri dari Cagar Alam dan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. 

Penetapan Cagar alam tertuang dalam SK. Menhut No. 174/kpts-II/1993 yang dikeluarkan pada 4 November 1993 dan pemberlakuan perairan dan pulau sekitarnya sebagai Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil berdasarkan keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 91/KEPMEN-KP/2020.

Kepala Dinas ESDM provinsi Kalimantan Barat, Syarif Khamaruzaman membantah mengeluarkan izin penambangan di sana. “Kami, selama itu berproses pulau gelam di Provinsi, tidak pernah mengeluarkan satu surat pun. Kalau pun mereka mau melakukan peningkatan dari eksplorasi ke operasi produksi, syaratnya harus dipenuhi dengan AMDAL dan dokumen lainnya,” ujarnya. 

Ia bahkan menilai bahwa sampai kapan pun tidak mungkin akan ada izin pertambang di pulau Gelam karena wilayah tersebut adalah wilayah konservasi. “Sebenarnya kalau saya lihat di pulau Gelam, karena sudah ada tegak lurus aturan sampai kapan pun tidak mungkin bisa terbit, karena konservasi pulau.”

Syarif melempar kesalahan kepada ditjen Minerba yang mengeluarkan IUP eksplorasi tanpa dokumen lingkungan. “Ini kan sudah menyalahi aturan. Yang di kami ini adalah dokumen lingkungan untuk mendapatkan IUP OP. Harusnya pada saat Minerba itu mengeluarkan izin dan diterima ESDM Provinsi, harus dievaluasi oleh ESDM Provinsi.”

Ia mengklaim sudah mengembalikan izin IUP eksplorasi ini ke ditjen Minerba.

Mesin bor milik PT Sigma Selica Jaya Raya (SSJ) terparkir di halaman belakang kamp pulau Gelam. Menurut informasi masyarakat, sudah ada 150 galian dengan kedalaman hingga 6 meter untuk mengambil sampel pasir dari proses eksplorasi yang dilakukan oleh perusahaan. (Project M/Victor Fidelis)
Selang untuk mengalirkan air ke mesin bor. (Project M/Victor Fidelis)

Sementara itu Denny Muslimin, selaku Komisaris Utama di PT. Sigma Silica Jayaraya maupun PT. Sigma Group Indonesia menolak memberikan komentar terkait masalah ini. 

“Ke direktur saja,” kata Denny Muslimin, melalui pesan WhatsApp. Denny lalu mengirim nomor kontak Sudirman. Denny tengah sibuk kampanye karena mendaftar sebagai Caleg DPR RI dari Partai Nasdem. 

Saat dihubungi Sudirman melempar kembali ke Denny. “Ke Denny saja. Sudah benar itu. Lagian sudah tidak ada aktivitas apa-apa di pulau itu. Sudah kosong. Kenapa baru sekarang mau wawancara,” kata Sudirman lewat sambungan telepon.

Nasib Perempuan Cempedak Menghadapi Ancaman Gelam

Buat Salmin, rencana penambangan dan pencaplokan lahan itu adalah ancaman bagi nelayan sepertinya. Selain itu, ia juga terancam kehilangan tanah warisan orang tuanya. Dulu orang tua merupakan warga asli pulau Gelam, namun kemudian pindah ke pulau Cempedak supaya akses pendidikan dan kesehatan lebih mudah. Setelah bertahun-tahun pindah, tanah yang mereka miliki di pulau Gelam justru dicaplok orang tak dikenal.

Sekarang pun kondisi para nelayan sudah sulit. Keluarga nelayan seperti Salmin dan Neka harus bahu-membahu bekerja untuk kebutuhan hidup. 

Neka misalnya, selain turut membantu ketika mencari ikan, ia juga mengupayakan untuk menambah penghasilan dengan menjadi agen ikan dan renjong. Pada saat yang bersamaan, ia juga masuk harus mengasuh anaknya, bahkan terkadang anaknya juga ikut melaut.

“Lumayan, untuk menambah penghasilan keluarga,” jelasnya. 

Neka menggiring bebek ternak ke dalam kandang jelang sore. Dari hasil ternak bebek, Neka bisa membantu perekonomian keluarga. Dua ekor bebek bisa ditukar dengan solar 1 jerigen 20 liter. (Project M/Victor Fidelis)
Neka sedang membuat jaring tangkap ikan yang akan digunakan oleh suaminya Salmin (41) untuk melaut. Hampir sebagian besar perempuan di pulau Cempedak berprofesi sebagai ibu rumah tangga, ketika suami pergi melaut, para perempuan bertugas membuat dan membersihkan jaring serta mengolah hasil tangkapan dari melaut untuk dijual ke pengepul di Kendawangan. (Project M/Victor Fidelis)

Selain jadi agen ikan dan renjong, Neka juga memelihara bebek di kolong rumah. Ternak bebek ini adalah strategi menjaga penghasilan ketika cuaca sedang buruk. Perubahan iklim ekstrem yang kini terjadi bikin aktivitas melaut sering tak tentu. 

“Bebek ini nanti dijual ke kapal cumi yang berlabuh ke Cempedak, dua ekor bebek ditukar dengan 1 jeriken bahan bakar 20 liter,” ungkapnya.

Selain beternak bebek, Neka juga membuka warung kelontong kecil yang menjual kebutuhan rumah tangga dan minuman di depan rumahnya.

Hampir sebagian perempuan di pulau Cempedak merupakan ibu rumah tangga, ketika suami pergi melaut, tugas perempuan biasanya membantu membuat dan membersihkan jaring serta mengolah hasil tangkapan dari melaut seperti membuat ikan asin dan mengeluarkan isi ranjungan untuk dijual lagi.

Namun ada beberapa perempuan juga yang masih menjadi nelayan karena membantu suami melaut seperti Lima (45). “Kalau ke pulau Gelam, harus bawa membawa beras dan kompor, lauknya cari sendiri kan banyak ikan, kerang, dan kupah,” jelasnya.

Menurutnya kalau ke Gelam harus menginap, karena tidak punya pondok biasanya Lima dan suami menginap di dalam lepeh, jika pulang mereka akan merugi. Terkadang ia harus membawa anaknya yang bungsu, ketika berumur 2 bulan ke Gelam karena tidak ada yang mengasuh di rumah.

Sariah (65) sedang menjemur daun pandan dihalaman rumah miliknya. Ketika musim ombak tiba, perempuan di pulau Cempedak mengisi waktu kosong dengan menganyam tikar terbuat dari pandan yang dapat ditemukan disekitar pulau Cempedak. (Project M/Victor Fidelis)

Ketika musim ombak besar, biasanya Lima dan perempuan di pulau Cempedak mengisi waktu dengan menganyam, sebelum musim ombak besar bahan anyaman dikumpulkan terlebih dahulu dari sekitar pulau Cempedak. 

Bagi Lima, kehadiran perusahaan di pulau Gelam dapat membuat nelayan dan perempuan semakin tidak berdaya. “Kami harus mencari ikan lebih jauh dan membutuhkan BBM yang semakin banyak dengan biaya yang tinggi dan tidak sebanding dari hasil tangkapan” timpalnya.

Seorang perempuan sedang sibuk membersihkan jaring yang akan digunakan untuk melaut. Hampir sebagian besar perempuan di pulau Cempedak berprofesi sebagai ibu rumah tangga, ketika suami pergi melaut, para perempuan bertugas membuat dan membersihkan jaring serta mengolah hasil tangkapan dari melaut untuk dijual ke pengepul di Kendawangan. (Project M/Victor Fidelis)

Laporan ini merupakan hasil kolaborasi Pontianak Post, Inibroneo.com, Suara.com, Mongabay Indonesia dan Project Multatuli yang didukung oleh Jurnalis Perempuan Khatulistiwa, Yayasan Webe, Hijau Lestari Negeriku, dan Garda Animalia melalui Bela Satwa Project.



Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Victor Fidelis
Adrian Mulya & Mawa Kresna
12 menit