Perempuan Adat Kampung Menteng Tualang Pusu yang Bertahan Hidup dan Melawan dengan Menanam

Ronna Nirmala
12 menit
Ilustrasi perlawanan perempuan di garda depan mempertahankan wilayah adat Kampung Menteng Tualang Pusu. (Project M/Sekarjoget)

Bagi perempuan adat ‘rakyat penunggu’ Kampung Menteng Tualang Pusu menanam adalah soal bertahan. Bertahan dari ketergantungan pangan pihak luar dan juga ancaman perampasan lahan.


POLA bertanam para perempuan adat Kampung Menteng Tualang Pusu di Deli Serdang pada tiga bulan terakhir berubah. Hujan yang turun lebih sering memaksa mereka berhenti beraktivitas.

Ulianti (48), misalnya. Perempuan adat yang mengelola tanah milik suaminya itu mengatakan pada tahun-tahun sebelumnya, lahannya tidak pernah kosong dengan tanaman ubi kayu.

“Begitu diambil (panen) ubi, langsung ditanam lagi. Ubinya tak pernah habis,” kata Ulianti.

Ulianti sudah punya pelanggan. Setiap minggunya, ia biasa menerima pesanan ubi 20-30 kilogram (kg). Setiap satu kg ubi dijual dengan harga Rp2.500.

Namun, pada bulan-bulan penghujung dan awal tahun, hujan membuat lahan tergenang air. Akses ke ladangnya juga tidak bisa dilalui karena dipenuhi dengan lumpur. Ia pun urung mengambil ubi kayu pesanan pelanggannya itu.

“Itulah masalah yang mulai kami alami sekarang di kampung ini, tahun ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, sudah tiga bulan ini hujannya sering turun,” kata Ulianti.

Dari pengakuan sejumlah perempuan adat di kampung, curah hujan lebih tinggi pada tahun ini sehingga membuat mereka kesulitan mengelola tanahnya. “Memang sudah sering kami bicarakan, tapi belum ada solusi, karena ini kan menyangkut iklim,” kata Juraidah (50), perempuan adat lain, menimpali.

Di Kampung Menteng Tualang Pusu, para perempuan adat ikut terlibat mengelola lahan-lahan di wilayah adat. Mereka menanam aneka tanaman pangan untuk dikonsumsi maupun dijual sebagai mata pencaharian tambahan.

Paling tidak lahan yang mereka kelola saat ini berhasil membangun ketahanan pangan bagi warga kampung, meski mereka berada di tengah ancaman perubahan iklim dan pengambilalihan lahan oleh penguasa.

“Setidaknya tanah yang kami kelola sekarang bisa membuat kami bertahan hidup sampai saat ini,” katanya.

* * *

Juraidah dan suaminya, Sutrisno (59), mulai menduduki dan mengelola lahan seluas 20×40 meter persegi pada 2011.

Masyarakat adat, atau dikenal juga dengan rakyat penunggu, Kampung Menteng Tualang Pusu ketika itu berjuang merebut lahan eks-Hak Guna Usaha (HGU) dari PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II yang selama puluhan tahun merebut lahan adat dan mengubahnya menjadi perkebunan tembakau dan tebu.

Sejak berhasil merebut lahan yang menjadi haknya, Sutrisno melepaskan profesinya sebagai penarik becak. Ia dan Juraidah sempat menanam beberapa jenis tanaman dan membangun gubuk kecil, tetapi dibakar oleh orang-orang yang diduga hendak mengusir mereka dari lahan tersebut.

Mereka kemudian membuat kolam ikan lele. Berawal dari satu kolam, sekarang ia mengelola lima kolam ikan lele. Masing-masing berukuran kira-kira 3×3 meter. Ada kolam untuk pembibitan dan pembesaran.

Sekitar 5.000 bibit ikan lele ia kembangbiakkan dan setiap 1,5 bulan, menambah bibit baru. Hasil panen ikan lele bakal dijual ke sejumlah pengusaha kolam pancing yang sudah menjadi pelanggan tetap.

Sutrisno memperkirakan, setiap bulan ia bisa mendapatkan keuntungan Rp6-Rp7 juta dari setiap hasil panen ikan lele setelah dipotong biaya untuk pakan berkisar Rp4,5 juta per bulan.

Selain dari lele, mereka juga menjual hasil panen dari tiga pohon jambu air di lahannya. Setiap panen, Juraidah akan menjual jambu seharga Rp20.000 per kgnya. Menurutnya, dari tiga pohon saja, mereka bisa mendapatkan sekitar Rp675 ribu. Dulu, pelanggannya adalah pedagang buah di pasar. Belakangan, ia lebih sering menjualnya ke perorangan.

“Lumayanlah untuk menambah kebutuhan dapur sehari-hari, selain penghasilan dari ternak lele,” kata Juraidah, yang juga anggota Perempuan Adat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Ulianti (kiri) dan Juraidah (kanan) menunjukkan hasil budidaya ikan lele di kolam yang dikelola Sutrisno. Tanpa perhatian pemerintah di masa pandemi, masyarakat adat bertahan dengan ketahanan pangan sendiri. (Project M/Tonggo Simangunsong)

Kampung Menteng Tualang Pusu adalah satu dari 76 kampung masyarakat adat ‘Rakyat Penunggu’ yang tersebar di wilayah Kabupaten Langkat dan Deli Serdang, Sumatera Utara. Meski sudah mendudukinya, namun masyarakat adatnya sampai kini masih berjuang untuk mendapatkan pengakuan atas tanah dan keberadaan mereka dari pemerintah.

Sejak 12 tahun silam, wilayah adat seluas 352 hektare ini didiami sekitar 500 kepala keluarga (KK). Mereka berusaha mempertahankannya dengan membangun kemandirian ekonomi.

Perempuan adat lain di kampung itu, Masita (65), salah satunya. Meski tak memiliki lahan secara resmi di atas kertas, ia bisa ikut mengelola lahan dan meraup untung darinya.

Masita menanam coklat, pisang, dan lima pokok buah kueni. Ia juga beternak ayam. Bila sedang musim buah, satu pokok kueni bisa diborong penjual buah seharga Rp600 ribu. Jika sedang tidak musim buah kueni, ia mengambil hasil panen dari pisang, coklat, dan hasil ternak ayam. Ia tidak bergantung dari satu tanaman saja. Walaupun tidak banyak, tapi penghasilannya bisa menutupi kebutuhannya sehari-hari.

“Kalau untuk kebutuhan hidup pasti cukup, meskipun kami kan bukan petani sungguhan, kami hanya memanfaatkan tanah kosong yang ada, di sekitar rumah,” katanya.

Dari Nienhuys hingga HGU

ASAL-USUL perebutan lahan di Deli Serdang dan sekitarnya bermula pada 1864. Kala itu, Jacobus Nienhuys, seorang pengusaha dari Belanda datang ke Sumatera Timur untuk membuka perkebunan tembakau.

Di bawah kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda, peminjaman tanah untuk konsesi perkebunan tembakau itu pun disepakati dalam akta konsesi (Akte Van Concensi) bersama dengan Kesultanan Deli.

Dari luas 1,1 juta hektare tanah kesultanan Langkat, Deli dan Deli Serdang, lahan seluas 255 ribu hektare di antaranya dijadikan konsesi perkebunan tembakau, sementara 265 ribu hektare lainnya untuk konsesi perkebunan karet, kelapa sawit dan teh.

Salah satu kajian Universitas Sumatera Utara yang disusun Edy Ikhsan tentang tanah konsesi di sana, disebutkan bahwa dalam amandemen akta pada 1884, mencakup izin yang diberikan oleh Belanda selaku pemilik konsesi kepada penduduk setempat untuk bertani di tanah jaluran tembakau yang telah selesai dipanen.

Riset Komnas HAM dan Sawit Watch pada 2010 juga menemukan kronologi yang sama. Dalam riset itu dijelaskan bahwa sebelum kedatangan pengusaha swasta asing kolonial, masyarakat adat membuka hutan dan menanam padi dengan sistem ladang berpindah (berladang reba).

“Akan tetapi, sesudah industri perkebunan tembakau mulai beroperasi, cara bercocok tanam ladang berpindah masyarakat adat ikut berubah. Masyarakat adat tidak lagi membuka hutan, tetapi menggunakan lahan jaluran bekas tanaman tembakau sebagai perladangannya,” tulis riset berjudul “HGU dan HAM” itu.

Menurut Fauzi Rangkuti, Ketua Adat Rakyat Penunggu Kampung Menteng Tualang Pusu, dari peristiwa itulah kemudian muncul sebutan “Rakyat Penunggu” kepada masyarakat yang diberi izin bertani di tanah jaluran setelah musim panen tembakau selesai.

“Semasa menunggu penanaman tembakau dilakukan kembali, selama kurang lebih tiga tahun, pada saat itulah masyarakat bertani di tanah jaluran tembakau yang telah siap dipanen,” kata Rangkuti.

Lahan perkebunan yang luas juga memungkinkan mereka tidak hanya bertani di satu tanah jaluran, tetapi juga di lahan lain yang sudah selesai dipanen asalkan tidak menanaminya dengan tanaman keras. Sembari menunggu musim tanam tembakau tiba, rakyat penunggu menanam palawija di tanah jaluran itu.

Masalah muncul ketika Jepang menginvasi dan memaksa rakyat penunggu menjadi buruh perkebunan. Mereka dipaksa menanam seluruh lahan dengan tanaman padi dan palawija dan menyerahkan sebagian besar hasil panennya kepada tentara Jepang.

Namun, lepas dari masa kolonialisme Belanda dan Jepang, kehidupan rakyat penunggu tak semakin membaik. Pengakuan atas tanah yang mereka kelola itu semakin tidak jelas setelah pemerintah menasionalisasi semua aset usaha perkebunan yang sebelumnya dijalankan Belanda. Nasionalisasi itu sekaligus penguasaan pemerintah atas tanah-tanah perkebunan dan pembekuan kesepakatan antara Hindia Belanda dengan Kesultanan Deli.

Pada 1957, sejumlah perusahaan perkebunan, termasuk perkebunan tembakau Deli, yang diserahkan ke PT Perkebunan (PTP) IX – yang kemudian digabungkan menjadi PTPN – berdasarkan SK Menteri Pertanian No SK 8/Ka/1963 jis SK No 37/Ka/1964 dan SK Menteri Agraria No SK/61/Depag 1963 juga SK No 37/ka/1964.

Surat keputusan itu menjadi dasar pemerintah memberlakukan HGU atas lahan-lahan perkebunan selama 20 tahun, yang secara tak langsung menjadi alat negara menghilangkan hak rakyat penunggu mengelola tanah jaluran yang mereka kelola sebelumnya.

“Bahkan kadangkala kami dicap ‘petani penggarap.’ itu yang paling sakit,” kata Rangkuti.

Pada 19 April 1953, rakyat penunggu mendirikan Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) untuk mengklaim kembali seluas 9.085 hektare tanah jaluran di eks lahan perkebunan tembakau itu.

Berdasarkan catatan BRWA, tidak lebih dari 2.000 hektare lahan yang kini diduduki rakyat penunggu. Tujuh di antaranya sudah mendapatkan pengakuan berdasarkan SK Desa, salah satunya Kampung Menteng Tualang Pusu.

Ketua Adat Rakyat Penunggu Kampung Tualang Pusu, Fauzi Rangkuti (kanan) dan salah satu penatua adat, Sutrisno (kiri) berdiri di dekat plang penanda Kampung Menteng Tualang Pusu, wilayah adat yang telah lama mereka perjuangkan. (Project M/Tonggo Simangunsong)

Perempuan di Garda Terdepan

HARI-HARI menegangkan dan penuh intimidasi selama empat bulan pada 2011, mungkin tidak akan pernah hilang dari ingatan Meiliana Yumi (42).

Hari-hari itu bersejarah baginya.

Perempuan adat Rakyat Penunggu Kampung Menteng Tualang Pusu itu ikut berada di garda depan bersama puluhan perempuan lainnya mengadang puluhan orang diduga dari PTPN II yang mengintimidasi dan melarang mereka menduduki tanah adat mereka.

“Kalau kalian pegang parang, saya juga pegang cangkul dan parang!” katanya lantang.

Waktu itu, ribuan masyarakat adat Rakyat Penunggu merapatkan barisan dan melakukan aksi strategi untuk menduduki tanah ulayat mereka yang masih ditanami dengan kelapa sawit. Setiap hari, aparat kepolisian dan tentara diturunkan untuk melarang masyarakat bercocok tanam di lahan itu.

Tidak mau menyerah dengan intimidasi dan pengusiran, masyarakat adat Rakyat Penunggu mulai menduduki tanah-tanah eks HGU itu setelah adanya pengakuan tidak resmi yang mengatakan bahwa mereka dapat menanam di tanah itu.

Pendudukan lahan mereka lakukan dengan menanami palawija, tapi kemudian dirusak oleh pihak-pihak yang diduga dari PTPN II. Konflik berkepanjangan terjadi. Namun, masyarakat kembali berusaha menguasai lahan itu dengan menanaminya kembali dengan palawija. Kelapa sawit yang masih berdiri di lahan itu sedikit demi sedikit mereka tumbangkan.

Sejumlah aparat militer dan polisi turun menduduki lahan dengan memasang plang ‘Pasal 551 Dilarang Masuk.’ Mereka mengklaim telah diberi kuasa untuk mengelola lahan.

Muncul pula aturan sewa lahan sebesar Rp4 juta/hektare/tahun.

Masyarakat menolak membayar. Setelah enam bulan, aparat perlahan meninggalkan lahan dan sejak itu, masyarakat mulai menduduki kembali dan mengelolanya sebagai lahan pertanian dan pemukiman.

“Masa-masa itu tentu saja tidak terlupakan, karena itu bagian dari sejarah sehingga kami bisa tinggal dan bertani di tanah yang kami duduki sekarang,” kata Yumi.

Setelah mendudukinya, masyarakat berupaya untuk mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Pada 2014, Yumi dan para perempuan adat lainnya bergabung dalam organisasi Perempuan AMAN untuk memperkuat perjuangan mereka. Yumi yang dikenal vokal dan kritis dipilih menjadi ketuanya.

Selain berdiri di garda depan dalam aksi-aksi demonstrasi menghadang orang-orang suruhan PTPN II yang mencoba mengusir mereka, perempuan adat ikut berperan mendapatkan pengakuan sebagai masyarakat adat dan wilayah adatnya.

Pada Juli 2020, masyarakat adat Rakyat Penunggu Kampung Menteng Tualang Pusu akhirnya mendapatkan pengakuan berdasarkan SK Kepala Desa Amplas, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang.

Tak putus sampai di situ, mereka ingin pengakuan lebih tinggi dari gubernur dan terus berupaya untuk mendapatkannya agar tanah adat mereka kelak tidak menjadi komoditas mafia tanah yang ingin memperjualbelikannya untuk kepentingan investor.

“Jika kami mendapatkan pengakuan itu, dasar kami [untuk menduduki tanah adat] semakin kuat,” kata Yumi.

Diintip Ciputra untuk Proyek Mega-properti

TIDAK mudah untuk bertahan. Lepas dari intimidasi negara, kali ini lahan itu diincar swasta.

Rangkuti bercerita, suatu kali pada 2015, ada sejumlah oknum yang berupaya membentuk RT/RW di wilayah adat mereka.

“Oknum itu mempengaruhi masyarakat agar lembaga adat dihilangkan, pernyataan sebagai masyarakat adat mau dihilangkan, [mereka mengimingi] akan membantu mengeluarkan sertifikat pribadi,” kata Rangkuti.

Dengan berbagai iming-iming, oknum itu mengharapkan masyarakat tidak mampu untuk membayar biaya pengurusan sertifikat. Dari situ, mereka mengatakan bahwa ada penyandang dana yang siap membeli tanah mereka dengan harga rendah.

Untungnya, kata Rangkuti, langkah oknum itu gagal setelah para tetua adat menegaskan kepada kepala desa bahwa rencana itu tidak mengatasnamakan masyarakat adat rakyat penunggu.

Kondisi jalan menuju Kampung Menteng Tualang Pusu yang sering berlumpur pada musim hujan tiba. Alih-alih diperhatikan pemerintah, wilayah ini malah memperoleh perhatian dari spekulan tanah dan pengembang properti.(Project M/Tonggo Simangunsong)

Ancaman baru datang lagi pada 2020. Kala itu, beredar kabar bahwa pengembang properti Ciputra melirik sebagian dari wilayah tanah adat mereka untuk proyek pemukiman elite, Kota Deli Megapolitan.

Di situs resminya, pengembang properti milik konglomerat Ciputra itu mengumumkan proyek CitraLand Kota Deli Megapolitan merupakan proyek kerja sama Ciputra Group dan PTPN II dengan lahan pengembangan seluas 7 hektare. Bagian dari mega proyek yang sudah dalam tahap pembangunan adalah CitraLand Helvetia.

Rencana pengembangan proyek itu membuat beberapa kampung rakyat penunggu was-was. Sejumlah pertemuan antar-tujuh kampung rakyat penunggu di Deli Serdang digelar untuk membahas persoalan tersebut.

Situasi ini membuat Yumi untuk semakin mendorong pengakuan wilayah adat dari gubernur.

Sejak 2019, sejumlah upaya telah dilakukan oleh berbagai pihak mulai dari lembaga non-pemerintah, akademisi, dan legislator untuk mendesak Gubernur Sumatera Utara mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat.

Draft Perda yang telah disusun sejak 2016 itu sudah sempat masuk dalam prolegda. Namun, hingga kini aparat daerah setempat belum menindaklanjutinya.

“Kenapa kalau perusahaan sangat mudah [mendapatkan izin investasi], tapi kalau masyarakat begitu sulit?” kata Yumi.

***

Buah Segar Kemandirian Pangan

SUDAH hampir satu dekade, Yumi tinggal dan bertani di wilayah adat bersama suaminya, Fauzi Rangkuti, 52, yang juga Ketua Adat Rakyat Penunggu Kampung Tualang Pusu. Mereka mengelola lahan seluas 4 rantai dengan bertani. Satu rantai berkisar 400 meter persegi.

Mereka bisa memanen kangkung sekali dalam sebulan. Pada panen bulan lalu, ia menjual 400 ikat dari satu rantai lahan yang dikelola.

“Jika kami mandiri secara ekonomi, kami akan mampu berdaulat di tanah ini,” kata Yumi.

Kiri ke kanan: Masita, Juraidah dan Ulianti menunjukkan jambu air merah yang ditanam di wilayah adat Kampung Menteng Tualang Pusu. Juraidah mengaku sudah menikmati hasil dari tanah adat mereka yang cukup untuk menghidupi mereka secara mandiri. (Project M/Tonggo Simangunsong)

Mereka juga menanam kacang tanah sebagai tanaman sisipan, yang dipanen sekali dalam tiga bulan. Jika harga kacang tanah sedang bagus, ia bisa menjual Rp12.000/kg (basah) dan Rp26.000/kg (kering). Pada bulan Ramadan tahun lalu, keluarga ini berhasil menjual lebih dari 200 kg kacang tanah.

“Kalau dihitung penghasilan dari pertanian cukup, bisa dikatakan penghasilan utama kami saat ini dari hasil bertani,” kata Yumi.

Bagi Yumi dan masyarakat adat Kampung Menteng Tualang Pusu, mengelola lahan adalah untuk menjadi mandiri, sekaligus mempertahankan tanah adat yang telah lama mereka perjuangkan. Harapannya, dengan menjadi mandiri secara ekonomi, maka masyarakat tidak termakan bujuk rayu untuk menjual tanah, salah salah larangan dalam hukum adat mereka.

“Kami tidak ingin setelah tanah adat diduduki, tidak bisa dipertahankan. Karena itu kami mendorong warga untuk mengolahnya menjadi lahan pertanian,” katanya.

Buah dari kemandirian ekonomi itu telah mereka petik. Selama masa pandemi COVID-19, warga kampung yang tidak pernah mendapatkan bantuan sosial, berhasil mandiri dari hasil pertanian dan peternakan yang mereka kelola sendiri.

Tanpa bantuan dari pemerintah mereka mencukupi kebutuhan pangan mereka dari pertanian sayuran seperti kangkung, jagung, kacang tanah, serai, kacang panjang, ubi, dan coklat. Juga peternakan bebek, ayam, kambing, ikan, lele, dan nila.

Selain itu, sekitar 30-40 persen warga kampung yang semua bekerja sebagai buruh pabrik, kini mulai melepaskan pekerjaannya dan beralih menjadi petani.

“Jika lahan ini saja dikelola dengan serius, pelan-pelan masyarakat tidak lagi berniat melepaskan tanah ini karena ‘lapar’ karena desakan ekonomi,” kata Yumi.


Tulisan ini merupakan bagian dari serial #MasyarakatAdat

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Ronna Nirmala
12 menit