Youthwashing dan Kontradiksi Kebijakan yang Mengerdilkan Ambisi Iklim Anak Muda

Ronna Nirmala
7 menit
Batubara
Seorang pemudi memegang kertas potongan berita saat berunjuk rasa di depan Grha BNI, Sudirman, Jakarta, Maret lalu. Sejumlah kaum muda menuntut BNI dan bank-bank lainnya berhenti mendanai energi kotor Industri batubara dan memperparah krisis iklim. (Project M/Rangga Firmansyah)

OKTOBER tahun lalu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves) dalam pidatonya di agenda Climate Leaders’ Message meminta anak muda, “Betul-betul berkarya dalam bidang lingkungan hidup karena ini masalah yang serius.

Menteri Luhut boleh jadi tidak sadar. Peran dan aksi nyata anak muda dalam merespons ancaman krisis iklim telah muncul di mana-mana. Mulai dari pembentukan organisasi edukasi, komunitas advokasi, penyelamatan bencana, penghijauan, pemanfaatan energi bersih, inisiasi petisi, hingga implementasi model bisnis berkelanjutan.

Pemerintah sudah terlalu banyak meminta dari para pemuda tanpa mau menengok lebih jauh aksi dan mendengar solusi apa yang mereka siapkan untuk menjawab persoalan krisis iklim.

Bukan sekali dua pula anak-anak muda melontarkan kritik atas berbagai kebijakan keliru tersebut. Namun, pada akhirnya, suara-suara tersebut diasingkan oleh elite politik dan pengusaha yang menyesaki ruang pengambilan kebijakan. Dus, jangan heran pula jika istilah eco-anxiety atau perasaan stres dan kecemasan akut terhadap berbagai malapetaka lingkungan kian populer di kalangan milenial dan Gen Z.

Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) pada akhir Februari tahun ini, kembali memberikan peringatan keras kepada umat manusia akan dampak pemanasan global yang semakin nyata dan waktu untuk mencegahnya, kian menyempit.

Laporan setebal 3.600 halaman yang disusun badan ilmuwan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu mengatakan pada rentang tahun 2030-2045, peningkatan suhu Bumi berpotensi melampaui 1,5 °Celsius atau batas yang tidak lagi aman bagi manusia.

Bila dalam delapan tahun ke depan tidak ada langkah yang lebih radikal untuk menghentikan laju pemanasan global, maka prediksi kenaikan suhu Bumi akan semakin cepat: di atas 2 °C pada 2050 dan 3 °C pada 2100. Dalam koridor waktu tersebut, dunia bakal mengalami krisis pangan, banjir besar, kekeringan, kebakaran hutan, kematian massal, hingga kepunahan spesies besar.

Dampak-dampak itu sebetulnya sudah banyak terjadi di Indonesia. Cuaca yang kian ekstrem telah meningkatkan intensitas bencana nasional dan menyebabkan kerugian negara lebih dari Rp20 triliun per tahun. Sepanjang 2021, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada sekitar tiga ribu bencana alam dengan total pengungsi hingga 7,6 juta jiwa.

Kontradiksi Kebijakan

Presiden Joko “Jokowi” Widodo sebenarnya menginsafi ancaman perubahan iklim. Dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) BNPB di Istana Bogor pada 23 Februari 2022, dia mengatakan bahaya iklim telah membawa petaka. Sayangnya, kesadaran itu tak tercermin dalam berbagai kebijakan yang masih berpihak pada industri ekstraktif perusak lingkungan.

Di sektor energi misalnya, sokongan regulasi dan insentif fiskal diobral kepada pengusaha batu bara—komoditas yang tiap tahun menyumbang 40 persen emisi CO2 di seluruh dunia. Melalui pengesahan revisi Undang-Undang Minerba (UU Minerba) dan UU Cipta Kerja, pemerintah mempermudah izin pertambangan dan memberikan tawaran pembebasan royalti serta harga khusus bagi pengusaha yang terlibat proyek hilirisasi.

Salah satunya terwujud melalui peresmian pabrik hilirisasi batubara menjadi gas sintetik pengganti LPG rumah tangga di Tanjung Enim, Sumatra Selatan, awal Januari tahun ini. Padahal, sejumlah studi menyebutkan proses gasifikasi batubara lebih banyak menghasilkan emisi dan memakan biaya yang tinggi.

Sikap pemerintah yang terus menganakemaskan batubara mencederai komitmen transisi energi bersih, termasuk komitmen meningkatkan bauran energi baru terbarukan (EBT).

Pemerintah sudah meneken komitmen untuk meningkatkan bauran energi baru terbarukan (EBT) menjadi 23 persen pada 2025, yang kemudian dinaikkan menjadi 24,79 persen pada 2030. Tetapi, di saat bersamaan, batubara masih dipertahankan sebagai bahan bakar utama dalam sistem kelistrikan nasional dengan porsi hingga 59,4 persen.

Tahun ini, bauran EBT bahkan diperkirakan turun akibat beroperasinya sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) baru dengan total kapasitas 5.000 MegaWatt (MW). Itu jelas bertentangan dengan Pakta Iklim Glasgow yang disepakati seluruh negara dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim PBB (COP-26) akhir 2021, ihwal penghentian bertahap (phase down) penggunaan batu bara.

Hal lain yang menunjukkan kontradiksi transisi energi tersebut adalah masuknya pembangkit listrik biomassa dalam bauran EBT. Entah disadari atau tidak, biomassa akan menghasilkan emisi yang lebih besar karena proses perolehan bahan bakunya melalui serangkaian proses dari penanaman, penebangan, dan pengangkutan dari hutan ke pembangkit.

Greenwashing yang Sistematis

Berbagai kebijakan yang menghancurkan alam secara sistematis di negara ini sebenarnya berhulu pada masalah sama yang telah menjangkiti pemerintahan selama bertahun-tahun: conflict of interest. Frasa itu menggambarkan bagaimana para eksekutif maupun legislatif, bukan hanya yang dekat atau yang berjejaring dengan para pengusaha pelaku perusak lingkungan, juga menjadi bagian dari perusak.

Berdasarkan penelusuran Greenpeace, hampir setengah atau 262 dari 575 anggota parlemen di Indonesia berlatar belakang pengusaha. Sementara di kabinet, 16 dari 30 menteri bertaut pada bisnis pertambangan yang tak cuma mengeruk sumber daya alam, tapi juga menggilas kaum miskin, masyarakat adat, serta kelompok rentan lain dalam operasinya.

Kondisi ini diperburuk dengan dalih pertumbuhan ekonomi, mantra yang selalu digaungkan dan dipercaya pemerintah sebagai jalan mencapai kesejahteraan masyarakat. Padahal, Produk Domestik Bruto (PDB), motor penggerak perekonomian, bertumpu pada peningkatan konsumsi dan investasi yang menghasilkan model pembangunan salah arah. Ia berkorelasi dengan kerusakan lingkungan, peningkatan emisi gas rumah kaca, serta pelanggaran hak asasi manusia menyusul pengerukan sumber daya lebih banyak dan alih fungsi lahan lebih luas.

Proyek Strategis Nasional seperti food estate yang berujung pada alih fungsi lahan hutan dan gambut di Kalimantan Tengah, serta Bendungan Bener yang bahan baku tambangnya diambil dari Desa Wadas, adalah dua dari sekian banyak contoh model pembangunan salah arah tersebut.

Pemerintah memang mulai mengembangkan wacana transisi menuju ekonomi hijau. Tapi, di tataran konsep, gagasan tersebut jauh dari paradigma sejatinya yang meminimalisasi dan meregenerasi penggunaan sumber daya, selain pula melepaskan diri dari konsep pertumbuhan PDB sebagai sandaran.

Akibatnya, apa yang dilakukan pemerintah berpotensi keliru dan berujung pada praktik greenwashing. Ini mengulur waktu yang kita tidak punya dan menggunakan sumber daya yang seharusnya bisa digunakan untuk solusi sesungguhnya. Misalnya, dengan mengandalkan teknologi semu seperti BECCS (Bioenergi dengan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon dalam skala besar) yang bersifat sentralistik dan hanya dikuasai oleh negara-negara maju.

Aksi Langsung, Tanpa Kekerasan

Sejumlah kaum muda dari BEM UI menuntut BNI dan bank-bank lainnya berhenti mendanai energi kotor industri batubara yang memperparah krisis iklim. (Project M/Rangga Firmansyah)

Wajar, bila selama ini anak muda dan masyarakat menolak sebagian besar kebijakan pemerintah di sektor energi, bahkan yang bertujuan untuk menambah bauran energi bersih. Sebab, perumusannya dilakukan secara terpusat, berorientasi bisnis, dan menihilkan perspektif kelompok rentan yang terdampak atas pembangunan–kelompok miskin, petani, hingga masyarakat adat.

Pemerintah juga sering lupa bahwa masyarakat di daerah, di tempat-tempat terpencil sekalipun, telah berinisiatif untuk membangun kedaulatan energi dan adaptasi perubahan iklim.

Lantas, apakah kita masih bisa menaruh harapan pada pemerintah untuk memperbaiki keadaan? Jawaban atas pertanyaan ini bisa saja bernada pesimistis. Tetapi, jika kita menengok kembali laporan IPCC, kesempatan untuk mencegah kondisi terburuk dari krisis iklim tetap terbuka meskipun kita telah sampai pada waktu paling kritis.

Aksi langsung tanpa kekerasan, dengan skala yang masif, adalah pilihan akhir yang tak terhindarkan untuk mendorong perubahan sistem besar-besaran. Hal tersebut bukan kehendak utopis karena sejarah telah membuktikan gerakan perlawanan sipil dapat mengalahkan elite politik untuk mencapai tujuan radikal.

Erica Chenoweth, ilmuwan politik Harvard University, menemukan bahwa kampanye non-kekerasan dua kali lebih mungkin untuk mencapai tujuannya dibandingkan kampanye kekerasan. Syaratnya dibutuhkan partisipasi sekitar 3,5 persen dari populasi untuk memastikan perubahan politik yang serius.

Dalam kasus Indonesia, yang berpenduduk sekitar 274 juta jiwa, dibutuhkan setidaknya 9,5 juta orang untuk protes ke jalan.

Angka tersebut kecil jika dibandingkan dengan 34 persen orang Indonesia yang akan hidup dengan kelangkaan air—naik dari 16 persen dari kondisi saat ini—akibat krisis iklim. Begitu pula jika dibandingkan dengan keseluruhan total anak muda, baik Gen Z maupun milenial, yang menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai sekitar 89 juta jiwa.

Di sisi lain, angka tersebut juga terlihat sangat mungkin dicapai melalui keterlibatan mahasiswa yang jumlahnya, berdasarkan data BPS pada 2021, mencapai 8,9 juta jiwa.

Namun, sebelum menuju ke sana, kita sangat membutuhkan upaya pemerintah untuk mendeklarasikan Darurat Iklim serta mengambil pelbagai kebijakan yang diperlukan dan berdampak dalam waktu dekat.

Sebab, selama ini pemerintah telah memberikan informasi sesat yang menyatakan bahwa kita memiliki banyak waktu untuk bertindak sebelum suhu bumi naik ke level 2 °C. Padahal, batas aman kenaikan suhu 1 °C telah terlampaui dan kemungkinan terburuk akan segera datang.


*Valerie Melissa Kowara adalah aktivis Extinction Rebellion Indonesia yang juga menjabat sebagai Presidium Partai Hijau wilayah DKI Jakarta.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Ronna Nirmala
7 menit