PERJALANAN menuju Desa Sinaka, Kecamatan Pagai Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai bukan hal mudah. Lokasinya yang berada di ujung selatan Kepulauan Mentawai, butuh dua kali ganti kapal untuk ke sana.
Dari Pelabuhan Teluk Bayur Kota Padang menggunakan kapal tol laut ke Sikakap membutuhkan waktu 14 jam. Kapal biasanya berangkat pukul 9 malam, dan akan tiba di Sikakap sekitar pukul 11 siang. Begitu berlabuh di Sikakap, masih harus menempuh perjalanan dengan boat atau kapal kecil bermesin untuk ke Sinaka. Perjalanan membutuhkan waktu 2,5 hingga 3 jam. Jika badai, perjalanan bisa lebih lama.
Seperti tahun lalu ketika saya pergi ke sana, butuh waktu 3,5 jam karena ombak sedang tinggi. Kapal dengan dua motor 40 PK terasa begitu lambat. Saat itu saya duduk di baris paling depan, maka perjalanan serupa naik mobil rosok melewati jalan yang penuh lubang. Pinggang terasa rontok.
Sesampainya di Sinaka saya terpaksa beristirahat mengakses dunia maya, sebab tak ada sinyal seluler atau internet di sana. Listrik pun hanya didapat dari genset dan beberapa rumah menggunakan solar panel kecil yang hanya sanggup untuk lampu dan mengisi-ulang baterai telepon genggam.
Di sana saya berkunjung ke salah satu sekolah dasar di Korit Buah. Beberapa peserta didik harus menggunakan sampan untuk ke sana dan membutuhkan waktu sekitar 45 menit perjalanan.
Sesampainya di sana saya melihat beberapa murid tengah bermain bola yang sudah kempes dan tidak ada kulit luarnya di lapangan tengah Sekolah Dasar 06 Sinaka Dusun Koritbuah Desa Sinaka Kecamatan Pagai Selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Saat itu mereka masih mengenakan seragam merah putih. Tiara, Reihan, dan Rino bersama beberapa temannya asik menendang bola, saling memberikan umpan satu dengan yang lain.
“Sudah sejak kelas 5 bolanya kempes,” kata Rehan, seorang murid kelas 6, ketika saya tanya soal kondisi bola yang mereka mainkan. Rino salah seorang murid penyandang tunarungu yang ikut bermain tiba-tiba berlari menjauh ketika saya dekati. Kata Rehan, Rino memang tuli tapi dia bisa mengikuti pelajaran.
Saya menemui lima guru di salah satu ruang kelas yang juga jadi ruang serbaguna. Di dalam kelas itu ada kompor, lemari, dan beberapa peralatan mengajar. Maklum, para guru di sini tidak punya ruang sendiri. Bahkan salah satu ruang kelas dijadikan ruangan untuk menginap para guru.
Guru-guru yang statusnya pegawai negeri sipil jarang datang ke sekolah. Hanya guru honorer dan yang memang ditugaskan oleh kementerian pendidikan yang rajin datang.
Salah satu guru yang saya temui adalah Arsydi Barsah (38). Ia sudah enam tahun menjadi Guru Garis Depan (GGD), program pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). Sebelum ikut program itu, ia merupakan guru di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Namun atas saran ibunya, mendaftar GGD untuk penempatan di Mentawai.
Pada tahun 2017, ia menapakkan kaki di Desa Sinaka. Saat itu ia ditempatkan di dusun Buriai yang lokasinya tak terjangkau sinyal. “Kalau mau cari sinyal harus ke Bungo Rayo yang harus ditempuh berjalan kaki. Sampai harus manjat pohon cengkeh, waktu awal dinas,” katanya.
Karena tidak ada sinyal, pria yang disapa Didi ini kerap terlambat mendapatkan kabar penting. Misalnya informasi istrinya yang melahirkan dan wafatnya dua orang anggota keluarga besarnya yang baru dia dapat dua minggu setelahnya.
“Kalau pun dapat kabar yang mengharuskan ke Padang, kita harus ke Sikakap dulu. Kapal untuk ke Padang juga hanya ada dua kali seminggu kalau (musim) badai,” katanya.
Lokasi Korit Buah yang terpencil membuat akses keluar masuk ke sana menjadi sulit. Misalnya untuk ke Sikakap, pelabuhan utama Kecamatan Pagai Selatan, menggunakan perahu mesin dalam kondisi cuaca cerah bisa memakan waktu dua sampai 3 jam. Itu pun hanya ada seminggu sekali boat yang beroperasi. Jika hasil laut melimpah maka boat bisa dua kali seminggu. Penumpang harus membayar Rp50 ribu rupiah sekali jalan.
Kondisi ini berdampak pada karier mereka sebagai aparatur sipil negara ketika akan mengurus kenaikan pangkat. “Terkadang cuma diberi waktu 3 hari, sedangkan itu harus ke Tuapeijat, pusat pemerintahan untuk minta tanda tangan kepala dinas (pendidikan),” katanya.
Sulit Sinyal, Sulit Naik Jabatan
Saat kembali ke Sikakap, saya mendatangi rumah Rita di Pagai Selatan, perempuan yang sudah puluhan tahun menjadi guru dan kini menjadi kepala sekolah. Di daerah ini guru juga terkendala untuk berkomunikasi keluar karena tidak ada sinyal internet. Baru sekitar satu bulan belakangan, Kecamatan Sikakap memiliki sinyal internet 4G.
“Sebelum satu atau dua bulan ini memang agak sulit,” kata Rita.
Buat Rita, masuknya sinyal 4G ini cukup membantu jika membutuhkan internet untuk mengakses aplikasi pembelajaran. Dulu Rita dan sejawatnya harus ke Padang jika ada keperluan administrasi, misalnya untuk mengisi dapodik (data pokok pendidikan). Itu pun harus menunggu kapal yang hanya datang tiga kali seminggu, kalau tidak sedang badai.
Meski akses internet kini sudah bisa teratasi, tapi masalah lain juga timbul. Rita yang sudah lanjut usia misalnya, tidak tahan berlama-lama menghadap layar komputer saat mengurus administrasi.
“Mungkin saya sudah terlalu banyak terkena radiasi kadang-kadang kita nggak tahan lagi di depan komputer dan terpaksa istirahat. Kadang jadi trauma juga. Tapi sekarang semua harus melalui internet,” katanya.
Semenjak kurikulum merdeka, para guru diwajibkan mengajar anak-anak lewat komputer dan internet. Namun terkadang itu juga mengganggu konsentrasi anak-anak. “Kadang karena diizinkan bawa hp, kadang saat mengajar dia main game. Jadi kalau kita tanya seolah-olah dia belajar dari HP, padahal dia lihat juga nggak,” katanya sembari tersenyum.
Kesulitan akses internet seperti yang terjadi pada Didi dan Rita juga dialami oleh para guru di Pulau Siberut. Mereka bahkan harus mengeluarkan biaya yang besar untuk memenuhi kewajibannya dan meninggalkan kerja wajibnya mengajar. Semua itu terjadi salah satunya karena tuntutan penggunaan aplikasi dalam program Platform Merdeka Mengajar (PMM) yang dicanangkan pemerintah pusat.
“Aplikasi yang wajib diisi adalah e-kinerja, PMM dan SIMPKB (Sistem Informasi Manajemen Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan). Kendala kita adalah alat yang digunakan, jaringan internet dan listrik,” kata Aloy, salah satu guru di Kecamatan Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai.
Kewajiban itu bikin Aloy dan para guru lainnya sulit fokus dalam kegiatan pembelajaran yang menjadi kewajiban utamanya. “Karena yang terpikir oleh guru adalah pengisian tugas pada aplikasi. Belum lagi kalau hp, dan laptop rusak atau tidak bisa mengoperasikan, semakin tidak bisa bekerja,” katanya.
Dia mengatakan karena semua sistem ini sudah terintegrasi, maka menurutnya pasti akan berpengaruh pada soal kenaikan pangkat dan kinerja guru. “Jika e-kinerja atau SKP (Sasaran Kinerja Pegawai) tidak terselesaikan semua deadlinenya, data kita tidak akan tertera. Sekiranya kami mau naik pangkat SKP di kinerjanya tidak ada, tentu kenaikan pangkat kami terlewatkan,” katanya.
Ada dilema yang dirasakan Aloy. Jika ia memprioritaskan urusan administrasi, ia harus meninggalkan murid-muridnya. “Tentu kerjaan tidak selesai kalau begitu. Caranya kalau mau tuntas pekerjaan pergi ke tempat yang memadai sarana dan tentu harus meninggalkan tugas beberapa hari,” katanya.
Sementara itu memprioritaskan urusan administrasi juga bukan hal sepele. Ia harus mengeluarkan banyak uang untuk ke pusat kecamatan di Madobag. Minimal butuh dua Rp2 juta untuk transportasi pulang pergi. “Biaya transportasi sampai Siberut Rp1 juta, waktu tempuh 3 sampai 4 jam. Itu belum biaya menginap di sana,” keluhnya.
Banyak Target Jam Belajar yang Hilang
Fahri, guru di Desa Simalegi Betaet Kecamatan Siberut Barat Kabupaten Kepulauan Mentawai, mengatakan urusan administrasi yang begitu banyaknya dan keharusan menggunakan internet membuat mereka tidak bisa memenuhi target sekaligus kewajiban mendidik peserta didik.
“Jadi karena itu kadang kewajibannya 4 bab satu semester kadang cuma tercapai satu bab,” katanya. “Saya pernah harus bolak-balik ke Padang selama dua minggu hanya untuk mengurus berkas kenaikan pangkat,” tambahnya.
Itu semua terjadi karena ia juga harus mengurusi administrasi yang kadang mengharuskan mereka menyeberang ke Padang. Paling tidak butuh waktu seminggu atau dua minggu pulang pergi, menyesuaikan jadwal kapal. Itu juga harus mengeluarkan biaya lagi.
Tidak ada akses internet membuatnya terlambat mendapat informasi dan sering menyebabkan pengurusan kenaikan pangkat tertunda. “Sering terlambat, sering ada kegiatan terlambat nggak bisa diikuti, harusnya kalau ada kegiatan yang melibatkan sekolah dan guru dipanggil, setidaknya seminggu sebelum acara harus dikasih tau, karena transportasinya nggak ada, pakai boat,” katanya.
Itu pun tidak bisa satu orang saja yang berangkat sebab untuk menyewa boat biayanya mahal, bisa mencapai Rp7 juta hingga Rp10 juta, tergantung jumlah mesinnya. Risiko transportasi murah dengan boat satu mesin, jika rusak di perjalanan maka akan terombang-ambing di laut.
“Pernah waktu pertama-tama itu kami nangis semuanya, ternyata kita nggak tau daerahnya di mana, terombang ambing dalam boat kecil. Dari dermaga ke Betaet. Itu dengan tiga mesin bisa 3,5 jam sampai Dermaga Sikabaluan dan mintanya Rp10 juta sekarang, untuk biaya solarnya,” kata Fahri.
Sekarang akses internet di Betaet sudah cukup lumayan karena ada salah satu pemilik penginapan di sana yang memasang Starlink. Jadi para guru bisa membeli voucher untuk menggunakan internet di sana.
“Satu handphone bisa mendapatkan kecepatan 5 Mbps. Sementara itu, pemerintah memiliki layanan internet 10 Mbps, tetapi kualitasnya sering buruk. Koneksi hanya lancar pada malam hari, sekitar jam 7 malam hingga jam 1 dini hari, saat mengirim file,” katanya.
Dalam program PMM, para guru mengikuti kegiatan untuk mendapatkan sertifikat yang merupakan salah satu syarat kenaikan pangkat. Minimal harus mengumpulkan 32 poin per semester, yang didapat dari kegiatan webinar melalui PMM dan e-learning. Sebelum ada Starlink, jika ada kegiatan, siapa yang keluar kelas akan dijadikan joki untuk mengerjakan tugas online.
Saiful salah satu guru SMP di Siberut Tengah mengatakan di beberapa daerah seperti di desanya hanya ada satu SMP dan satu SD. Kelasnya juga masing-masing tingkatan satu dan satu per jurusan. Kondisi itu membuat guru yang kekurangan target jam belajar sebagaimana ditargetkan untuk sertifikasi.
“Dalam seminggu untuk guru yang belum dapat sertifikasi harus memenuhi target mengajar 24 jam. Namun karena rombongan belajarnya sedikit maka kadang guru lain berkorban jam belajarnya diambil guru lainnya yang satu mata pelajaran dahulu,” katanya.
Guru-guru yang berada di lokasi yang memiliki banyak sekolah, kata Saiful, bisa mengakali dengan mengajar di sekolah lain. Namun di Mentawai, banyak kecamatan yang memiliki sedikit sekolah dan terkadang akses menuju sekolah itu sulit, membuat guru lambat mendapatkan kenaikan pangkat atau sertifikasi.
“Jalan, listrik dan jaringan tidak memadai di sini. Apalagi di daerah-daerah yang jauh seperti Simatalu misalnya. Saat kami mendapat mendapatkan informasi terlambat seminggu, masih mending di tempat kami karena masih ada sinyal, di tempat lain yang sangat pelosok, mereka baru dapat informasi baru sebulan kemudian,” katanya.
Karena itu menurutnya kurang cocok jika kewajiban di sekolah perkotaan disamakan dengan kondisi sekolah pedesaan.
Mempertanyakan Urgensi Digitalisasi
Hendro Sangkoyo dari School of Democratic Economics mengatakan masalah yang dialami para guru di Mentawai adalah masalah struktural yang tak kunjung selesai. Sejak 10 tahun yang lalu, masalah akses masih sama saja. Jika ada perkembangan pun tidak signifikan.
“Walaupun sangat terbantu dengan adanya pelayanan kapal perintis dan sebagainya, tapi dalam konteks supply bahan bakar, pertukaran orang, itu sama susahnya dengan masuk Kepulauan Keu 10 tahun yang lalu,” katanya.
Ia pun mengkritik program serba digital yang di luar kemampuan guru. Misalnya soal jaringan internet dan teknologi yang hanya ada di kota besar, guru harus menanggung beban itu, padahal itu adalah beban dan tanggung jawab pemerintah pusat untuk memberikan fasilitas yang memadai.
“Harusnya kita bertanya balik, apa yang dibutuhkan oleh guru-guru yang dimintai data yang sebegitu canggihnya, kebutuhan mereka terpenuhi nggak sebagai petugas yang harus membuat murid tahu? Itu banyak banget tidak terpenuhi. Apa yang kemudian mau diperiksa dari statistik itu, misalnya kualitas belajar mengajar, itu untuk apa diperiksa? Para guru itu buku aja belum punya, belum sempat dapat buku tapi (stoknya) sudah habis untuk provinsi-provinsi besar,” terangnya.
Menurutnya kewajiban-kewajiban digital ini tidak mengubah apa pun. Kebutuhan para guru di Mentawai untuk mendidik tidak terfasilitasi oleh pemerintah, begitu pula guru sebagai warga negara dan manusia.
“Apa yang kalian butuhkan, bisa kita tanya pada seorang mama-mama, atau nelayan atau beberapa guru, itu bukan kita tanya sebagai guru tapi sebagai manusia, kamu sebagai orang Mentawai apa yang kamu ingin ada tapi belum tersedia?” katanya.