Belajar Energi Terbarukan dari Komunitas Desa Seloliman

Ronna Nirmala & Mawa Kresna
9 menit
Memanfaatkan aliran sungai yang mengitari desa, warga Desa Seloliman menciptakan sumber listrik mandiri melalui Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH), yang menghadirkan energi murah dan berkelanjutan serta memperkuat kemandirian ekonomi. (Project M/Inez Kriya)

Sebuah desa terpencil di Jawa Timur membuktikan bahwa transisi energi tidak harus bergantung pada proyek-proyek skala besar yang acap kali mengabaikan kesejahteraan warga. Dengan memanfaatkan aliran sungai yang mengitari desa, mereka berhasil menciptakan sumber listrik mandiri melalui Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH), yang tidak hanya menghadirkan energi murah dan berkelanjutan, tetapi juga memperkuat kemandirian ekonomi.


WARGA DESA SELOLIMAN di Kecamatan Trawas, Mojokerto, harus menunggu 21 tahun untuk mendapat akses jaringan listrik di wilayah mereka dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Meski demikian, jaringan listrik yang masuk belum merata di semua dusun. Medan yang sulit membuat sebagian wilayah tidak mendapat akses listrik. Ketimpangan ini membuat warga merasa terabaikan. 

Desa Seloliman berada di antara lereng Gunung Penanggungan dan Gunung Arjuno Welirang. Meski hanya berjarak sekitar 2 km dari jalan raya, desa ini memiliki akses yang sulit karena dikelilingi hutan. Desa ini dialiri dua sungai, Sungai Maron dan Sungai Sempur. Selain itu, desa juga dilewati banyak urat air dari hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas, sehingga menjadi rumah bagi kurang lebih 10 sumber mata air. Desa Seloliman dihuni sekitar 2.600 penduduk, yang tersebar di tiga dusun: Balekambang, Biting, dan Sempur. 

Dukuh Janjing yang berada di Dusun Sempur adalah salah satu wilayah yang paling sulit diakses. Bukan hanya listrik, sulitnya akses ini juga membatasi kesempatan pendidikan bagi warga. Banyak di antara warga yang tidak lulus atau melanjutkan sekolah dari tingkat dasar karena jarak dan biaya. Situasi ini berkontribusi pada tingginya angka pernikahan dan keluarga dini.

Juni dan September tahun 2024, saya mendatangi desa ini dan bertemu Suroso, Direktur Yayasan Lingkungan Hidup (YLH) Seloliman yang mengkoordinasikan Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) – organisasi nirlaba di bidang pendidikan konservasi lingkungan. 

Suroso menceritakan bagaimana ketimpangan akses listrik di Dusun Sempur justru menjadi peluang bagi warga menjadi mandiri. Sebagai upaya mengatasi ketimpangan pembangunan, pada 1993, PPLH berinisiatif mengajukan dukungan pembangunan infrastruktur listrik dengan teknologi mikrohidro dari Kedutaan Besar Jerman. 

Inisiatif bersambut. Pembangunan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) di Sungai Kali Maron selesai pada 1994.

Ketika awal berdiri, PLTMH Kali Maron memiliki daya sekitar 12 kiloWatt (kW) dan mampu menerangi kurang lebih 30 rumah tangga. Warga Dukuh Janjing dan sebagian warga Dusun Sempur menggunakan listrik untuk penerangan, dengan pengguna utama meliputi rumah tangga, musala, masjid, dan kantor PPLH Seloliman. 

Pada tahun 1999, sebuah unit usaha kecil di Dusun Sempur yang fokus pada pengolahan limbah kertas dan kapuk mulai muncul. Seiring meningkatnya kebutuhan listrik, termasuk permintaan dari rumah tangga baru, kapasitas PLTMH Kali Maron diperbesar menjadi 25 kW pada tahun 2000.

Beban puncak saat itu dihitung sebesar 7 kW, terutama untuk penerangan antara pukul 18:00 hingga 23:00 WIB. Untuk menikmati listrik, warga cukup membayar Rp100 per kilowatt-jam atau Rp1.000 per hari. Biaya tersebut digunakan untuk perawatan PLTMH. Jika dibandingkan, biaya itu lebih rendah dari harga jual listrik mengacu Keputusan Presiden No. 48/2000 yang berkisar Rp205-Rp215 per kWh, atau dalam kata lain, jika memakai jasa PLN warga harus mengeluarkan ongkos tarif sebesar Rp60.000 sampai Rp100.000 per bulan.

Partisipasi Jadi Kunci

Hal yang berbeda dari kehadiran PLTMH Kali Maron adalah partisipasi warga dalam pembangunan, pemanfaatan, hingga pengembangan pembangkit listrik. 

Tahun 2000, seiring dengan meningkatnya kapasitas PLTMH, pengelolaan diserahkan PPLH ke Paguyuban PLTMH Kali Maron. Suroso mengatakan meski terjadi perubahan pengelola, tetapi PPLH masih mendampingi warga dan memberikan pelatihan. 

Pelatihan tersebut mencakup penguatan kapasitas dalam tata kelola organisasi yang profesional, termasuk penyusunan anggaran dasar yang jelas, sistem tarif pelanggan, pembentukan lembaga pengawasan, pengelolaan harian, dan penyusunan kerangka kompensasi bagi pengelola harian.

Pada 2005, kebutuhan listrik semakin meningkat karena maraknya pariwisata dan usaha kecil di desa. Kapasitas PLTMH Kali Maron pun ditingkatkan menjadi 30 kW. Karena keberhasilan tersebut, warga Seloliman kemudian merencanakan pembangunan PLTMH baru di desa mereka.

Paguyuban bersama warga, pemerintah desa, dan juga PPLH sepakat membangun PLTMH baru. Mereka menyusun strategi, karena biaya pembangunan satu PLTMH dapat mencapai Rp450 juta. Salah satu strategi yang dijalankan adalah mendorong keterlibatan multipihak, seperti pemerintah daerah, pemerintah pusat, PLN, dan lembaga donor. 

Pada tahun 2007, PLTMH Wot Lemah berkapasitas 20 kW dibangun dan terkoneksi dengan jaringan PLN. Namun sayangnya, PLTMH Wot Lemah tidak bisa beroperasi terus-menerus, kendala teknis menyebabkan anggaran perawatan membengkak, ditambah dampak COVID-19, menyebabkan operasi dari PLTMH tersebut dihentikan. Meski demikian praktik pelibatan warga dalam pengelolaan PLTMH terus berjalan hingga sekarang. 

Tantangan Regulasi dan Teknis

Keberadaan PLTMH Kali Maron tidak lepas dari aturan yang berlaku, seperti UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang mengharuskan setiap usaha yang memproduksi listrik memiliki izin serta terhubung dengan penyedia listrik, yaitu PLN. Regulasi ini ditegaskan kembali dalam UU No. 30 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa penyediaan tenaga listrik dilakukan oleh negara dan diatur oleh Badan Usaha Milik Negara sebagai pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik dengan hak eksklusif.

Sebagai respons terhadap regulasi, PPLH Seloliman dan Paguyuban PLTMH Kali Maron menawarkan interkoneksi dengan PLN. Proses interkoneksi dimulai dengan pembangunan infrastruktur yang diperlukan seperti sinkronisasi sistem dan keamanan. 

PPLH dan Paguyuban PLTMH Kali Maron mencapai kesepakatan dengan PLN terkait distribusi listrik PLTMH Kalimaron, terutama di Dukuh Janjing. Kesepakatan ini mencakup penjualan kelebihan daya ke PLN serta pasokan listrik dari PLN saat PLTMH mengalami kekurangan pasokan, misalnya karena debit air menurun atau masalah teknis. Paguyuban PLTMH Kali Maron awalnya mengajukan tarif penjualan sebesar Rp650/kWh kepada PLN. Setelah negosiasi, disepakati tarif sebesar Rp533/kWh. 

Abdul Manan dari Paguyuban PLTMH Kali Maron mengatakan warga bisa mendapat Rp6-7 juta per bulan dari penjualan listrik ke PLN. Dana tersebut digunakan untuk pembelian pelumas, pemenuhan kebutuhan pengelolaan insidentil, santunan pengurus Paguyuban termasuk operator, serta pembayaran retribusi daerah. 

Hingga pada tahun 2016, tarif ini diturunkan menjadi Rp410/kWh atas permintaan PLN yang mengalami over supply. Sampai pada 2019, kontrak PLTMH Kali Maron diputus karena persoalan kebijakan PLN. 

Kondisi ini menunjukan minimnya dukungan kebijakan pemerintah terhadap usaha kemandirian komunitas. Aturan yang dipersulit, membuat komunitas tidak mungkin memenuhinya. Akibatnya, banyak usaha menuju kemandirian komunitas justru terhambat oleh Negara itu sendiri.

Justru kondisi ini berbalik dengan perlakuan Negara terhadap korporasi, sebagai contoh pemberian izin yang longgar bagi korporasi listrik yang akan investasi di energi kotor PLTU, seperti investor Jepang dan Korea yang akan investasi co-firing dan CCS/CCUS (Carb0n Captive Storage/ Carbon Capture Utilization Storage) sebagai alternatif untuk memperpanjang usia PLTU atau yang sering disebut sebagai solusi palsu.

Di samping regulasi, PLTMH yang dikelola warga juga membutuhkan dukungan serius dalam operasionalnya. Pembangkit listrik ini sangat bergantung pada aliran air yang konsisten. Fluktuasi aliran air akibat perubahan musim atau faktor lingkungan seperti deforestasi dan krisis iklim menjadi tantangan lain. Meskipun desain pembangkit sudah memperhitungkan fluktuasi ini, mempertahankan output energi yang stabil memerlukan pemantauan berkelanjutan dan penyesuaian teknis. 

Selain itu, keberlanjutan finansial juga menjadi kendala signifikan. Meskipun pembangkit ini mampu memenuhi kebutuhan listrik warga, pendanaan untuk pemeliharaan berkelanjutan dan peningkatan kapasitas masih menjadi masalah. 

Awalnya, proyek ini bergantung pada hibah dan donasi eksternal. Namun, untuk menjamin keberlanjutan jangka panjang, diperlukan model keuangan yang mengandalkan iuran warga dan pendapatan dari penjualan kelebihan listrik ke jaringan listrik lokal yang dikelola PLN. 

Tantangan lain yang tak kalah penting adalah mempertahankan keterlibatan dan konsistensi partisipasi warga dari waktu ke waktu. Antusiasme awal memang tinggi, tetapi mempertahankan tingkat keterlibatan ini memerlukan upaya pendidikan dan penjangkauan yang berkelanjutan. Terutama berlaku bagi generasi muda yang keterlibatannya dalam PLTMH sangat minim. Berbagai faktor menjadi penyebabnya, mulai dari kondisi ekonomi hingga kurangnya edukasi. 

Masalah di atas menunjukkan bahwa dukungan Negara masih sangat minim untuk transisi energi yang diusung oleh komunitas. Minimnya dukungan, dapat dilihat dari kebijakan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN) yang targetnya masih sangat rendah. Pada tahun 2025 pemerintah menargetkan transisi energi sebesar 17-19%, lebih rendah dari target sebelumnya sebesar 23%. Penurunan target ini dilakukan karena tidak mampu memenuhi target. 

Tidak adanya dukungan dari Negara terutama masih minimnya ambisi dalam transisi energi menyebabkan inisiatif-inisiatif lokal tidak pernah berkembang. Karena logisnya kebijakan harusnya mendukung inisiatif lokal, bukan malah menghambatnya. Kasus PLTMH Kalimaron adalah contoh dari ketidakpedulian negara terhadap inisiatif lokal dalam transisi energi berkeadilan berbasis komunitas.

Jalan Alternatif yang Berkelanjutan

Pengalaman Desa Seloliman menunjukkan bahwa transisi energi berbasis komunitas bukan hanya memungkinkan, tetapi juga lebih inklusif dan berkelanjutan. Sayangnya, alih-alih mendukung inisiatif seperti ini, negara justru membebani komunitas dengan regulasi yang mempersempit ruang gerak mereka. Jika pemerintah benar-benar serius dalam transisi energi, maka kebijakan harus lebih berpihak kepada komunitas, bukan sekadar memperkuat dominasi korporasi energi. 

Kehadiran PLTMH di Desa Seloliman menunjukkan bahwa energi skala kecil dan alternatif adalah pilihan yang menarik bagi keberlangsungan lingkungan hidup. 

Pertama, PLTMH memanfaatkan aliran air alami, sumber daya terbarukan, untuk menghasilkan listrik. Hal ini memastikan pasokan energi yang konsisten dan berkelanjutan melalui siklus air yang terus berlanjut. Berbeda dengan bahan bakar fosil yang terbatas dan mencemari lingkungan, sistem mikrohidro memanfaatkan sumber daya terbarukan tanpa menghabiskannya. 

Kedua, sistem ini memiliki dampak lingkungan yang rendah dibandingkan dengan proyek pembangkit listrik tenaga air skala besar. Infrastruktur yang dibutuhkan lebih sedikit, sehingga gangguan terhadap ekosistem lokal juga minimal, dan seringkali tidak memerlukan pembangunan bendungan besar, sehingga jejak ekologisnya semakin berkurang.

Pemanfaatan aliran sungai untuk PLTMH juga berkontribusi terhadap kemandirian dengan menyediakan energi yang dapat diandalkan di daerah-daerah yang tidak terhubung dengan jaringan listrik nasional. Ini meningkatkan ketahanan energi dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. 

PLTMH juga hemat biaya, dengan biaya operasional dan pemeliharaan yang rendah, sehingga dapat beroperasi selama beberapa dekade dengan perawatan minimal. Efisiensi biaya jangka panjang ini menjadikannya sangat cocok untuk pembangunan pedesaan yang berkelanjutan. Bukan hanya itu, energi yang dihasilkan juga dapat diintegrasikan dengan sumber energi terbarukan lainnya, seperti tenaga surya atau angin, untuk menciptakan sistem hibrida yang lebih andal dan berkelanjutan.

Dalam konteks upaya Indonesia dan negara-negara lain mencari solusi berkelanjutan untuk elektrifikasi pedesaan, pelajaran dari PLTMH Kali Maron di Desa Seloliman menjadi semakin relevan. Proyek ini menyoroti potensi tenaga mikrohidro tidak hanya sebagai sumber energi terbarukan, tetapi juga sebagai katalisator untuk pengembangan kapasitas pengetahuan warga desa dan pelestarian lingkungan. 

Keberhasilan ini memberikan inspirasi untuk memulai proyek serupa di Indonesia, terutama di wilayah pedesaan, menekankan bahwa pembangunan berkelanjutan paling efektif jika bersifat inklusif, digerakkan oleh warga lokal, dan memiliki komitmen terhadap pelestarian ekosistem sekitarnya.


Wahyu Eka Styawan merupakan Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Ronna Nirmala & Mawa Kresna
9 menit