Eny Rochayati, Koordinator JRMK dan kader Partai Buruh, bukan mendadak jadi politis. Eny, sepanjang hidupnya, adalah bagian dari perjuangan warga miskin kota mendapat hak hidup.
DI SATU sudut permukiman padat di utara Jakarta, seorang perempuan beserta enam kawannya berjalan menemui seorang warga yang tengah duduk di depan pintu rumah.
Ia mengucapkan rentetan kata-kata layaknya penyanyi rap. Diawali perkenalan diri, bertanya persoalan hidup lawan bicaranya, hingga mengajak untuk mendukung visi misinya dan program yang diusungnya.
“Saya dari Partai Buruh, saya bagian Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK),” ujarnya.
Ia, Eny Rochayati, adalah salah satu caleg DPRD dari Dapil Jakarta Utara, meliputi daerah Penjaringan, Pademangan dan Tanjung Priok.
Ia menggunakan kemampuan advokasinya sebagai strategi kampanye. Ia masuk ke perkampungan, berbicara langsung dengan warga, lalu mengkalkulasikan solusi yang bisa ditawarkan. Semuanya diukur berdasarkan pengalaman.
Ada empat masalah yang menjadi tuntutan warga, yaitu legalitas tanah, hak untuk mendapatkan hunian layak, bantuan sosial yang tidak sampai ke warga, dan Kartu Jakarta Pintar (KJP).
Kemampuan advokasi Eny diasah sejak 2010, saat ia menjadi bagian dari Divisi Advokasi JRMK. Tahun 2015, ia terpilih sebagai salah satu Koordinator JRMK selama dua periode hingga 2021.
Eny juga sempat mengikuti Sekolah Rakyat JRMK. Di sekolah itu, warga miskin kota, terutamanya para korban penggusuran, belajar perihal hak hidup mereka. Tema-tema tentang tanah, Undang-Undang Agraria, tata ruang atau zonasi, koperasi, sampai pada manajemen organisasi juga jadi pembahasan.
“JRMK punya caleg sendiri. Kita tidak memilih caleg dari luar. Kalau dari luar datang bawa minyak, bawa beras. Itu semua selesai setelah mereka terpilih. Kami tidak. Kami akan perjuangkan rumah ibu. Mohon doanya dan dukungannya dari Ibu, saya catet namanya, ya, Bu,” ujar Eny kepada warga.
Mendampingi Korban KDRT
Sebelum terlibat di JRMK, Eny memulai perjalanan advokasinya dengan mendampingi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pada 2004. Kala itu, ia bahkan merelakan rumahnya untuk menjadi salah satu posko pengaduan korban.
Keputusannya untuk mendampingi korban KDRT diawali dengan mengikuti pelatihan menjadi pendamping korban bersama Urban Poor Consortium dan LBH Apik. Sebelum pelatihan, ia berpendapat bahwa perempuan yang biasa mendapat perlakuan seenaknya oleh suaminya, bahkan sampai terjadi pemukulan, adalah tabu dan tidak wajar diceritakan kepada orang lain. Setelah pelatihan cara berpikirnya berubah.
”Oh ternyata ini nggak tabu, justru kita harus cerita,” kata Eny.
Eny lambat laun semakin luwes berjejaring. Saat ada kasus kekerasan terhadap perempuan, ia tahu harus ke LBH Apik, kalau tindak pidana ke LBH Jakarta. Ia pun fasih mengurus Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) untuk orang sakit, yang pada saat itu belum ada BPJS. Orang sekitar jadi mengenal Eny aktif di organisasi dan yakin ia bisa membantu.
Mendampingi Pedagang Kaki Lima
Jam 9 malam, di seberang monumen di Ancol. Puluhan orang yang tergabung dalam Komunitas Pedagang Kecil Ancol (Kopeka) duduk bersila membentuk lingkaran. Bersama mereka turut hadir Eny, setelah seharian berkeliling memasang spanduk.
Malam itu, Eny bersama pegiat Kopeka mengingatkan anggota untuk memastikan nama mereka terdaftar di daftar pemilih tetap (DPT). Selain itu, mereka juga bersama-sama menentukan relawan untuk acara kontrak politik calon presiden (capres) dan caleg. Yang juga tak terlewat adalah agenda mempromosikan calon-calon legislatif dari Partai Buruh.
“Caleg yang ini, mah, kita nggak dibohongin. Kita bisa dagang resmi ini, memang dari Bu Eny dan Mas Gugun. itu berapa tahun kita nikmatin?” kata Bete, salah satu relawan Kopeka.
Kedekatan Eny dengan Kopeka terbangun ketika ia bersama-sama pedagang Kopeka berjuang mempertahankan usaha mereka dari upaya pembersihan oleh oknum petugas.
Kala itu, September 2018, ia bersama sembilan pedagang asongan digeruduk sekelompok pria berbadan besar ketika sedang rapat di kawasan Ancol. Tas ransel yang berisi dagangan dibuka dan isinya dihambur-hamburkan. Kemudian mereka semua nyaris diangkut dengan mobil, tetapi Eny dan kawan kawan menolak. Akhirnya mereka berjalan kaki dengan diiringi mobil kosong dan kawalan para lelaki berbadan besar yang terus mengintimidasi dengan makian sepanjang jalan.
Putrinya, Frizca Sekar Zahra atau biasa dipanggil Neng, ikut berjalan sambil memeluk Eny. Kala itu, Neng masih berusia 13 tahun. Almarhum suaminya, saat itu mengidap strok ringan, hanya bisa menyaksikan dari kejauhan.
“Mereka nggak berani nyentuh karena ada Neng juga. Cuma kata-katanya udah kotor banget. Sepanjang jalan saya dimaki-maki habis,” cerita Eny.
Neng merekam semua kejadian intimidasi yang dialami Eny dan kawan pedagang yang diusir dan dilarang berjualan di Ancol.
Keesokan harinya Eny melaporkan kejadian tersebut ke jaringan JRMK, juga ke Koordinator Advokasi Urban Poor Consortium (UPC) Guntoro “Gugun” Muhammad. Eny dipertemukan dengan Anies Baswedan yang pada saat itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Hasil pertemuan itu membuahkan hasil. Selang tiga hari, Eny dan sejumlah pedagang mendapatkan izin berjualan dari Direktur Ancol.
Setelah peristiwa itu, Eny sempat ditawari kuota lapak untuk berdagang. Namun, ia menolak karena berprinsip, “Pendamping tidak boleh memanfaatkan.”
***
November 2021, suami Eny meninggal dunia. Dalam duka, Eny lebih banyak bersama keluarga, bermain dengan cucu dan beribadah. Kadang seminggu berada di Depok, lalu berpindah dijemput anaknya ke Bekasi.
Setahun kemudian, datang tawaran dan dorongan untuk menjadi caleg DPRD Provinsi DKI Jakarta dari Guntoro, Koordinator Advokasi UPC yang juga caleg dari JRMK untuk DPR RI.
Eny dan Gugun bertemu di Taman Jokowi, Pluit. Dalam pertemuan itu turut hadir pendiri UPC, Wardah Hafidz. Di sana, Wardah mengucapkan kata-kata yang Eny terus ingat dan memotivasinya untuk bangkit kembali.
“Berjuang itu tidak ada kata akhir, berjuang juga ibadah, Eny. Kapan lagi warga miskin kota punya perwakilan sendiri, karena kita memang butuh,” ucap Wardah yang dituturkan ulang Eny.
Eny akhirnya kembali aktif dan ikut penyaringan bakal calon legislatif di acara Penyampaian Gagasan Bacaleg DPRD DKI Jakarta JRMK untuk Partai Buruh di Kampung Akuarium, Jakarta Utara. Ia berhasil terpilih.
Menjadi transparan adalah prinsip yang ditanamkan JRMK. Walau ada sedikit kekhawatiran di dirinya, Eny mengaku ia akan berjuang semaksimalnya untuk membantu menyelesaikan masalah warga miskin perkotaan.
“Kalau Mama jadi, Neng yang akan pertama mengoreksi Mama, mengawal Mama, apalagi dalam hal keuangan,” ucap Neng, putrinya, mengiringi semangat Eny memasuki kontes politik yang didominasi para elite.
“Ya sudahlah. Bismillah aja.”