Deru suara mesin tambang timah mengusik kesunyian di Pantai Tanah Merah siang itu. Setidaknya ada sekitar sepuluh ponton, rakit terbuat dari drum dan kayu, tengah sibuk menyedot pasir timah di sekitar pesisir pantai membentang di Desa Baskara Bakti, Kecamatan Namang, Pulau Bangka.
Di bawah pohon cemara laut, tampak tiga perempuan bersantap siang; mata mereka tak lepas dari ponton-ponton berjarak sekitar 200 meter dari bibir pantai.
Mereka adalah Sitili (63), Rokiah (55), dan Salama (46).
“Itu! Sudah ada yang mulai mencuci timah,” kata Sitili, sembari membereskan sisa mi instan dan nasi bekal siangnya.
Mereka bergegas menuju barisan ponton tambang timah di tengah pantai sambil menjinjing ember hitam berisikan sejumlah mangkuk dan piring plastik yang akan digunakan sebagai wadah timah.
Rokiah melompat ke salah satu ponton. Ia mendekati Jamat, salah satu penambang yang membersihkan timah di sakan, tempat cuci terbuat dari kayu.
“Hari ini cuman dapat sekitar 5 kilogram timah,” kata Jamat (56), yang langsung memberikan sekitar dua ons sisa timah yang telah dicuci kepada Rokiah.
“Iya, terima kasih banyak semoga murah rezeki,” sahut Rokiah, sembari meninggalkan ponton milik Jamat dan berpindah mengincar ponton lainn.
Hari itu, Minggu, 30 Januari 2022, tidak banyak timah yang berhasil didapat Rokiah, Sitili, dan Salama. Masing-masing dari mereka hanya mengumpulkan 5 ons, 4 ons, dan 3 ons. Padahal, hampir semua ponton tambang timah sudah mereka hampiri.
Rokiah berkata pendapatan dari hasil ngereman selalu tak menentu. Semuanya betul-betul bergantung dari hasil pengerukan penambang. Timah seberat lima ons dari pengumpulannya hari itu, baginya cukup menguntungkan.
“Biasanya langsung dijual, meskipun kualitasnya jelek. Satu kilogram dihargai Rp90 ribu, jadi kalau lima ons (1/2 kg) bisa dapat Rp45 ribu,” kata Rokiah, seraya melanjutkan, “Kalau tidak dikasih (timah), sorenya langsung melimbang. Kalau masih kurang, malam harinya saya jaga warung milik tetangga.”
Sama halnya bagi Salama yang sudah menggantungkan hidupnya dari hasil ngereman selama sekitar sepuluh tahun. Menurutnya, sehari dapat Rp20-30 ribu itu sudah untung. Timah bisa langsung dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Harga jual timah dari Pulau Bangka memang menggiurkan. Maka tak aneh bila sumber mineral sebagai bahan baku untuk kemasan maupun lapisan penghambat api itu jadi incaran para pemburu cuan baik yang legal maupun ilegal.
Seturut meningkatnya pamor penambangan timah tanpa izin (PETI) di Bangka, ngereman pun lahir. Istilah itu diambil dari kata preman, yang bila ditengok dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti sebutan untuk orang jahat, penodong, perampok, pemeras, dan seterusnya.
Tapi di Bangka, ngereman tidak selalu memikul konotasi kekerasan. Istilah itu juga tidak selalu lekat dengan konstruksi maskulinitas, karena subjeknya lebih sering adalah kaum perempuan janda dan lanjut usia, layaknya Rokiah, Sitili, dan Salama.
Peneliti sumber daya alam di Universitas Bangka Belitung, Kurniawan dan Dersi Herka Mayu dalam jurnalnya, mendefinisikan ngereman sebagai perilaku meminta hasil tambang timah atas dasar sukarela maupun dengan sistem barter dengan pemilik tambang inkonvensional dan penambang ilegal tanpa ada unsur kekerasan.
Dalam praktiknya, para pelaku ngereman mendapatkan jatah hasil timah dengan menyodorkan wadah ke para penambang, dengan mengharap rasa kasihan atau sudah memiliki kesepakatan dengan pemilik tambang ilegal.
Bila tidak ada kebutuhan ekonomi yang mendesak, hasil dari ngereman dikumpulkan dan diolah terlebih dulu supaya harga jual bisa lebih tinggi.
“Dikumpulkan di rumah, setelah 1 kg atau 2 kg baru dijual. Selain itu juga harus dicampur dengan timah yang kualitasnya lebih bagus. Maklum, ini timah ujung atau sisa cucian para penambang,” kata Rokiah.
Mereka biasanya menjual timah hasil ngereman kepada salah satu pengepul di Desa Baskara Bakti. Pengepul bisa membayar sekitar Rp120 ribu hingga Rp130 ribu untuk tiap kilogram timah yang sudah dikumpulkan dan diolah. Harga jual akan turun ke kisaran Rp90 ribu per kilogram untuk timah tanpa campuran.
“Tapi, kalau saya langsung dijual hari itu juga karena sudah tidak ada pekerjaan selain ngereman,” kata Rokiah.
Membeludaknya penambang yang dikelola perusahaan maupun rakyat di pulau yang terkenal kaya timah itu, membuat hasil kerukan timah pada hari-hari terakhir tidak lagi melimpah seperti pada 2000-an.
Jamat mengatakan periode itu ia bisa mendapatkan hingga puluhan kilogram timah, yang sekitar 1-2 kg akan diberikan kepada para ibu yang ngereman.
Tanah dan Laut Dikeruk
Rokiah, Sitili, dan Salama adalah keturunan asli Sekak, salah satu suku laut tua di Provinsi Bangka Belitung yang masih tersisa hingga hari ini. Suku Sekak awalnya menetap di Pulau Semujur, di pesisir timur Kabupaten Bangka. Tapi pada 1973, pemerintahan pada era Orde Baru memindahkan mereka ke daratan, tepatnya ke Desa Baskara Bakti.
Komunitas adat itu semula tetap menekuni kebiasaan mereka memenuhi kebutuhan hidup dari melaut, meski ada pula yang mencoba beradaptasi di lingkungan baru dengan berkebun. Akan tetapi, kehadiran tambang timah yang masif pada kisaran 2009 mendorong mereka beralih menjadi penambang.
Sitili dan suaminya ikut tergiur dengan hasil yang menjanjikan dari eksplorasi mineral itu. Pendapatan yang diperoleh dari melaut, mereka kumpulkan sedikit demi sedikit untuk membeli alat-alat penambangan timah.
“(Dulu) dalam sehari bisa dapat puluhan kilogram. Bahkan saat itu kami bisa membeli tiga buah mobil dalam setahun dari hasil timah. Sekarang semua mobil sudah dijual, tanah juga sudah habis. Jadinya cuman bisa ngereman untuk membantu ekonomi keluarga,” kata Sitili.
Terkikisnya lahan akibat kegiatan penambangan yang akhirnya membawa Rokiah, janda beranak satu, juga ikut terjun ngereman.
“Kalau dulu masih ada lahan untuk menanam lada atau singkong. Sekarang lahan sudah ditambang semua, laut juga ditambang, ya terpaksa ngereman,” kata Rokiah.
Data Badan Pusat Statistik 2019 menyebutkan sedikitnya ada 40 ribu nelayan tinggal di sepanjang garis pantai Pulau Bangka Belitung dengan luas daratan sekira 1,6 juta hektare. Mereka termasuk nelayan dari Suku Laut Sekak.
Ditelisik lebih jauh melalui dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (IKPLHD) Kepulauan Bangka Belitung, luas lahan pertambangan menurut bahan galian dan izin usaha pertambangan (IUP) pada 2019, mencapai 1.007.372,66 ha atau setara 61 persen dari total luas daratan Bangka Belitung. Ratusan perusahaan mengelola 25 jenis bahan galian, baik di daratan maupun laut.
Dari dokumen yang sama diketahui kerusakan hutan terbesar terjadi pada 2017. Ketika itu, kawasan hijau seluas 41.769,55 ha berubah menjadi areal penambangan. Akibat eksplorasi, saat ini lahan seluas 392.437 ha berstatus agak kritis, 20.428 ha berstatus kritis, dan 260 ha sangat kritis.
Sementara di laut, dokumen IKPLHD mencatat pada 2019, luas karang yang mati akibat aktivitas penambangan telah mencapai 5.270,31 ha. Pada periode tahun yang sama, luas ekosistem terumbu karang yang dinyatakan masih dalam keadaan sehat mencapai 12.474,54 ha atau setara luas Jakarta Barat.
Perusahaan tambang pelat merah, PT Timah Tbk, tercatat sebagai pemilik IUP terbanyak di pulau itu. Dokumen perusahaan per 8 September 2021, menyebutkan korporasi yang kini berada di bawah holding industri pertambangan (HIP) MIND ID itu, memiliki 120 IUP untuk pertambangan darat dan laut dengan total luasan 428.379 ha.
Sebagai salah satu pulau tertua di Indonesia, Bangka menyimpan kekayaan sumber daya mineral berkat intrusi batuan granit yang telah melalui proses pelapukan selama jutaan tahun. Berbagai penelitian memperkirakan hampir seluruh wilayah di pulau Bangka mengandung timah, karena menjadi bagian dari sabuk granit (granite belt) yang terangkai dari Myanmar, Thailand, Malaysia, Kepulauan Riau, hingga Pulau Karimata.
Kekayaan sumber daya timah yang dimiliki Pulau Bangka, sejak dulu telah menjadi daya tarik dunia, dimulai dari zaman Kedatuan Sriwijaya, kolonial Belanda, hingga pemerintahan hari ini. Namun, eksplorasi timah oleh penambang rakyat baru bermunculan saat krisis ekonomi pada 1998.
Bupati Bangka ketika itu meminta PT Timah Tbk agar mengizinkan masyarakat menambang di sebagian wilayah kuasa pertambangan yang telah ditinggalkan. Tapi, sebagai konsekuensinya, masyarakat harus menjual pasir timahnya hanya kepada PT Timah Tbk, demikian dikutip dari penelitian Mustafa Luthfi dan Bambang Sunarwan pada 2006.
Sejak itu Pulau Bangka berubah bak “gula” yang setiap hari dan setiap jengkal tanah dan lautnya dilahap untuk kegiatan penambangan. Baik oleh pengusaha dan penambang lokal maupun dari luar, seperti dari wilayah Kecamatan Tulungselapan, Banyuasin dan Sungsang di Sumatera Selatan, hingga dari Lampung dan Pulau Jawa.
Tak ada catatan pasti kapan aktivitas tambang timah mulai bergeser dari daratan ke lautan, meski keberadaan kapal smelter timah telah ada sejak pemerintahan Soeharto.
Modal dan Konsekuensi Sosial
Kegiatan ngereman hampir ada di setiap wilayah penambangan rakyat, seperti di wilayah Kabupaten Bangka Selatan, tepatnya di sepanjang Pesisir Timur Toboali; Desa Baskara Bakti, Tanjung Gunung, Batu Belubang dan Sampur di Kabupaten Bangka Tengah; sepanjang Pesisir Timur Sungailiat di Kabupaten Bangka; hingga di Teluk Kelabat, Kabupaten Bangka Barat.
Fitri Ramdhani Harahap, peneliti sosiologi dari Universitas Bangka Belitung, mengatakan lahirnya fenomena ngereman sebagai konsekuensi dari seleksi modal tenaga dan dana untuk menjadi buruh tambang. Mereka yang tidak memiliki dua modal itu, berupaya mencari cara agar tetap bisa mengeruk keuntungan dari untung timah.
Fitri mengatakan, secara sosiologis, fenomena ini menjadi mekanisme penyeimbang struktur sosial antarmasyarakat, “Maka penambang juga dijaga kepentingannya oleh masyarakat sekitar, sehingga tidak ada yang mengganggu ataupun keberatan.”
Khusus bagi perempuan, ngereman merupakan bentuk ketergantungan untuk mendapatkan penghasilan atau uang dari hasil ngereman, sehingga membuat perempuan-perempuan ini melakukan segala cara atau upaya agar roda kehidupan terus berputar.
“Misalnya dengan merayu penambang dengan kata-kata atau penampilan yang menggoda,” kata Fitri.
Belakangan fenomena ini tak hanya menyasar ke penambang timah saja, melainkan mengincar nelayan di pelabuhan.
Demi mendapatkan jatah ikan, para perempuan membawakan makanan atau kue-kue sebagai barter dengan nelayan. Akibatnya, tidak jarang muncul prahara rumah tangga yang berujung pertengkaran hingga perceraian, lanjut Fitri.
Bila sudah demikian, anak-anak ikut terseret dampaknya. Mereka kehilangan proses pendidikan dan sosialisasi nilai dan norma karena orang tuanya terimpit situasi. Bahkan tak jarang, anak-anak mengikuti jejak orang tua mereka untuk ikut mengumpulkan jatah ikan atau timah di lapangan.
“Anak-anak akhirnya terlena untuk mendapatkan penghasilan dengan mengandalkan jatah timah reman. Hal ini dapat menjadi pemicu meningkatnya angka putus sekolah bagi generasi muda di Pulau Bangka, ini tentu perhatian serius bagi pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung,” katanya.
Berdasarkan kalkulasi data tahun 2019-2021 dari Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, terdapat 2.348 pelajar usia 7-12 tahun, dari total keseluruhan 64.344 siswa, yang putus sekolah di provinsi itu. Sedangkan, anak usia 7-12 tahun yang tercatat tidak menempuh dunia pendidikan sebanyak 7.418 orang.
Artikel ini adalah bagian pertama dari topik dampak tambang ilegal bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Seluruh rangkaian reportase adalah kerja sama Project Multatuli dan The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ), dan Ekuatorial. Hibah tidak memengaruhi independensi redaksi Project Multatuli.