KADIRIN (65) masih cekatan menerabas keramaian jalan menuju lokasi pesanan yang muncul dari aplikasi ojek online (ojol) miliknya. Mengenakan jaket kuning bertuliskan nama perusahaan transportasi, ia melaju dari Namorambe menuju rumahnya di Marelan.
“Sebentar lagi saya sampai di rumah, nanti saya kirim lokasinya ya,” ujar Kadirin melalui sambungan telepon dengan saya.
Kadirin bukan pendatang baru di jalanan. Setelah berhenti sekolah karena keterbatasan ekonomi, ia bekerja sebagai sopir, mulai dari sopir pribadi hingga taksi.
Kadirin sempat memiliki usaha penyewaan mobil pada tahun 2017. Usahanya cukup berkembang hingga pandemi Covid-19 membawa pukulan berat karena banyak tempat wisata tutup dan orang-orang diminta tetap di rumah. Imbasnya Kadirin tidak bisa melanjutkan kredit mobilnya.
“Mobil yang masih kredit terpaksa harus saya over kredit. Padahal tinggal dua tahun lagi lunas. Setelah itu, saya akhirnya jadi ojol sampai sekarang,” kata Kadirin sambil menyeruput teh.
Kadirin tinggal di Medan Marelan, berjarak sekitar 15 km dari ibu kota Sumatra Utara. Ia memulai pekerjaannya setiap pagi sejak jam 7 untuk menghindari kemacetan di sekitar tempat tinggalnya, yang merupakan jalur alternatif menuju pelabuhan dan sering dilalui kendaraan besar. Ia biasanya mangkal di kawasan Taman Beringin, Kota Medan.
Dalam sehari, Kadirin bisa bekerja selama 11 jam dengan total jarak tempuh hingga 120 km.
“Kalau masih ada penumpang, saya lanjut. Tapi kalau tidak, saya matikan aplikasi dan pulang,” katanya.
Upah yang diperoleh Kadirin dari pekerjaan ini seringkali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan harian.
“Setelah dikurangi biaya makan dan bensin, kadang sulit untuk membawa pulang Rp50 ribu buat istri. Seringnya hanya Rp30 ribu,” kata Kadirin. Untuk menambah penghasilan keluarga, istrinya, Jumiati, bekerja di pabrik kertas dengan upah yang sangat minim, hanya Rp90 per kg dari kertas yang dipilah.
Kadirin dan Jumiati memiliki tiga anak, dua sudah menikah dan tinggal di luar kota. Sementara anak bungsunya baru saja menyelesaikan Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri di Kota Medan. Ia berharap pengeluaran untuk pendidikan Ami bisa sedikit berkurang.
“Sebenarnya kami ingin menjual rumah ini dan mencari rumah yang di tepi jalan, supaya istri bisa jualan dan saya tidak perlu ngojol lagi,” kata Kadirin.
Keluarga sebenarnya khawatir dengan pekerjaan Kadirin di usianya yang tak lagi produktif. Kadirin tidak memiliki BPJS Kesehatan. Ia hanya tahu bahwa setiap bulan saldonya dipotong seribu rupiah untuk biaya asuransi dari perusahaan. Namun, ia tidak paham manfaat apa saja yang bisa diklaim jika terjadi kecelakaan.
Ia menceritakan pengalaman rekannya yang pernah mengalami kecelakaan bersama penumpangnya. Saat itu, temannya diminta bertanggung jawab untuk biaya pengobatan sebesar Rp1,3 juta. Lantaran tidak bisa menanggung biaya tersebut, temannya berusaha mencari bantuan dari perusahaan dengan sebelumnya meminta surat keterangan dari kepolisian.
Di kantor polisi, petugas malah meminta motornya untuk ditinggal sebagai barang bukti selama proses pembuatan surat keterangan. Temannya menolak karena ia tidak bisa bekerja bila motornya ditahan.
“Oknum polisi yang ada di pos saat itu bilang, kalau gak mau ditahan, ada biaya untuk buat surat keterangan dan olah TKP. Mendengar begitu, teman saya langsung pergi. Jangankan buat bayar polisi, buat berobat dirinya dan kendaraannya yang rusak saja dia gak punya,” kata Kadirin.
Menjadi pengemudi ojol di usia lanjut adalah tantangan besar bagi Kadirin. Selain harus berhati-hati di jalan, ia juga perlu beradaptasi dengan teknologi. Ponsel dan kuota internet yang ia gunakan sehari-hari adalah pemberian anaknya yang tinggal di luar kota.
“Jadi saya hanya mencari untuk kebutuhan sehari-hari saja, terutama kebutuhan Ami,” katanya.
Ia berharap Ami bisa hidup layak dan kebutuhan hidup keluarganya tercukupi. Hal itu yang mendorong Kadirin untuk tetap bekerja walau sudah lanjut usia. “Doakan saya selalu diberi keselamatan di jalan,” ungkapnya.
Tak Ingin Jadi Beban Keluarga
YUNUS MONTANA tengah duduk di sudut warung tempat berkumpulnya para ojol.
Yunus, yang akrab disapa “Atok,” tak bisa lepas dari rokok. Di usianya ke-69 tahun, rokok katanya membantunya untuk mengingat, terutama jalan pulang setelah mengantar pelanggan.
“Kalau pergi kan ada map, nah, kalau mau balik, kadang bingung. Jadi, biasanya Atok merokok dulu, baru ingat jalan pulang,” katanya.
Yunus masih tampak bugar untuk orang seusianya. Dulu, ia menjalankan usaha warung nasi bersama istrinya. Namun, usaha itu terpaksa berhenti ketika istrinya jatuh sakit.
Kemudian Yunus mencoba peruntungan dengan beternak jangkrik, tapi usaha itu juga tidak bertahan lama. Akhirnya, ia memilih bekerja sebagai ojol demi bisa mencukupi kebutuhan hidupnya dan satu anaknya yang masih sekolah di sebuah pesantren di Gresik, Jawa Timur.
Saat ini Yunus tinggal bersama dua anak yang sudah menikah, dan memiliki dua cucu di pinggiran Kota Medan. Walaupun tinggal satu atap, ia menolak menerima uang dari anak-anaknya karena ia tahu pemasukkan anak-anaknya juga tidak besar.
“Makanya Atok tetap ingin kerja, biar gak jadi beban,” ujarnya.
Anak-anaknya sudah sering memintanya berhenti menjadi ojol, apalagi semenjak istrinya meninggal dunia. Mereka khawatir akan keselamatannya di jalan. Senada dengan kawan-kawan di pangkalan yang juga sering menasehati, “Udah malam, Tok, ngapain masih di jalan, udah istirahat aja.”
Ponsel pintar Yunus berbunyi, dengan semangat ia terima panggilan order yang masuk. Dalam sehari, ia mengaku bisa menempuh jarak hingga 150 km.
Andreas Sibayang, Ketua Komunitas Driver Medan Bersatu yang biasa berkumpul di jalan Laksana Gang H Samsudin Kotamatsum, Medan menyebut Yunus adalah satu-satunya pengemudi lanjut usia di komunitas mereka. Oleh karena itu, mereka berupaya membantu Yunus mengurus asuransi BPJS.
“Ketika perusahaan minta data untuk pengurusan BPJS, segera saya hubungi Atok agar bisa daftar. Ini penting, apalagi mengingat usia Atok,” kata Andreas.
Dengan membayar iuran BPJS sebesar Rp16 ribu per bulan, Yunus kini memiliki akses ke fasilitas kesehatan yang sangat ia butuhkan. “Walau harus bayar iuran, itu lebih baik daripada berobat tanpa asuransi,” katanya.
***
Ahmad Razali, akademisi dan sosiolog dari Universitas Sumatra Utara (USU), mengatakan pemerintah perlu mengambil inisiatif aktif dengan mewajibkan perusahaan layanan aplikasi seperti Gojek, Grab, dan sejenisnya mendaftarkan setiap pengemudinya dalam program asuransi kesehatan pemerintah. Jika ada yang menolak, izin operasional mereka harus segera dicabut.
Pemerintah perlu mengambil langkah yang tegas dan konkret agar para ojol terlindungi, terutama bagi pengemudi lansia yang tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menyebut jumlah lansia mencapai 28 juta orang, atau sekitar 10-12 persen dari total penduduk. Namun, kemiskinan masih menjadi isu utama di kalangan lansia, akibat pendapatan yang rendah, kondisi kesehatan yang rentan, dan kurangnya jaminan sosial yang memadai.
Berbagai program jaminan sosial, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan bantuan sosial lansia, memang sudah diperkenalkan untuk membantu mengurangi kemiskinan di kalangan lansia. Namun, banyak dari mereka yang belum sepenuhnya terlindungi. Bagi sebagian lansia, bekerja sebagai pengemudi ojol adalah pilihan yang terpaksa diambil karena minimnya peluang kerja yang sesuai usia.
Berdasarkan UU No. 13/1998 tentang Kesejahteraan Lansia, negara harus menyediakan program kesehatan khusus yang mencakup pencegahan penyakit, pemeriksaan rutin, dan rehabilitasi. Kemudian sistem transportasi yang dirancang khusus untuk lansia, dan fasilitas permukiman ramah lansia yang mendukung mereka berekspresi dan berkarya karena mereka tidak ingin dianggap sebagai beban negara.
“Di saat ekonomi yang lesu sekarang dengan semakin menurunnya kelas menengah dan banyaknya PHK, menjadi pengemudi ojol telah menjadi cara bertahan hidup,” tukas Ahmad.