Ditangkap dan Dinikahkan Paksa: Perjalanan Perempuan Sumba Melawan Tradisi yang Keliru

Ronna Nirmala
14 menit
Demi mempertahankan harga diri laki-laki, perempuan Sumba diculik untuk dikawini. (Project M/Mathilda Host)

Peringatan: Reportase ini memuat pengalaman kekerasan terhadap perempuan yang mungkin mengganggu kenyamanan Anda. 


*Untuk alasan keamanan dan perlindungan penyintas, Lena, Om Todu, Kabeku, Meki, Nenek Kabida, bukanlah nama yang sebenarnya.

PADA SATU MINGGU di tahun 2018, Lena akhirnya pulang ke rumah setelah dua tahun merantau di Malaysia sebagai pekerja migran. Ia sudah tidak sabar pulang. Tabungannya sudah cukup untuk bisa kuliah, sebuah impian yang terpendam sejak lulus SMA pada 2014. 

Ia ingin menjadi guru dan berencana kuliah di jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) di Weetabula, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. Ayahnya mendukung cita-citanya. Lantaran belum ada biaya, ia memutuskan bekerja. 

Sebelum ke Malaysia, ia sempat bekerja di toko pakaian di Weetabula, kemudian di warung makan di Anakalang, Sumba Tengah. Tahun 2015, ia mendapat kontrak kerja di Malaysia selama dua tahun. Ayahnya mendukung keputusannya. Awalnya, ia bekerja di sebuah keluarga. Namun, karena mendapatkan perlakuan yang kurang baik, ia pindah ke tempat kerja lain. 

Baru delapan bulan bekerja, ayahnya meninggal dunia. Lena bersikeras ingin pulang, tetapi kontrak kerja yang sudah ditandatangani tidak memberikan keleluasaan. Ia hanya bisa menangisi kepergian ayahnya dari jauh. Ibunya sudah lebih dahulu berpulang pada 2007.

Setibanya di Sumba, Lena tidak langsung pulang ke rumah. Ia mampir ke rumah kakak perempuannya yang sudah menikah. Ia menghabiskan waktu untuk istirahat dan menelepon kawan-kawannya di Malaysia. Ia juga sempat pergi ke pasar untuk membeli kopi, gula, dan kebutuhan lainnya.

Hari kedua beristirahat di rumah kakaknya, dua kerabat Lena datang berkunjung. Kedua kerabat ini adalah orang yang sama yang ia tidak sengaja temui di pasar kemarin. Lena melayani keduanya dengan sirih pinang, tradisi orang Sumba untuk tamu. Ia juga meminta adik perempuannya menyiapkan makanan dan kopi. 

“Waktu saya mau temui mereka, ternyata mereka sudah pergi tanpa pamit. Lalu saya bilang ke adik, kenapa mereka langsung pergi, kasih tinggal ini sirih pinang. Padahal baru mau goreng kopi,” cerita Lena, saat ditemui awal Februari 2025. 

Rupanya dua tamu itu hanya datang untuk memastikan bahwa Lena sedang di situ. Tidak lama berselang, sekitar sepuluh menit, ada tiga laki-laki datang. Dua orang dari pintu depan, satu dari pintu belakang. 

“Om Todu dan adiknya dari pintu depan, satu orang dari pintu belakang. Om Todu pakai pakaian adat lengkap. Om ini bilang, selamat dulu. Jadi saya sorong tangan sudah. Kami jabat tangan. Ini Om langsung tarik saya punya tangan. Itu pun saya belum sadar, lalu laki-laki yang dari pintu belakang pegang saya punya baju. Saya rasa sudah,” kata Lena. 

Melihat situasi itu, kakak perempuan Lena langsung berteriak. Ia mencari pisau untuk menyerang para lelaki ini. Dua laki-laki menahannya. Lena panik dan berteriak minta tolong, tetapi orang-orang di kampungnya tidak ada yang datang menolong. Adik laki-lakinya sedang pergi menambal ban.

“Saya menangis berteriak. Saya ingat orangtua saya yang sudah meninggal. Saya bilang pada mereka, saya bukan tidak mau kawin, kalau Tuhan berkehendak saya kawin juga. Tapi kenapa kalian tidak lepas dulu saya untuk perbaiki kuburan saya punya orangtua. Kenapa tidak lepas satu dua bulan dulu. Kenapa pakai kekerasan. Lebih baik saya mati saja,” kata Lena sambil menundukkan kepala. 

Mereka menggotong Lena dan melemparnya ke mobil pick up yang sudah lama menunggu tidak jauh dari rumah. Rombongan ini menuju rumah Kabeku dengan teriakan suka cita. Mereka menyerukan yel-yel seperti baru memenangkan perang atau sebuah pertandingan.

Rombongan yang membawa Lena, tiba di rumah Kabeku. Barulah Lena menduga bahwa Kabeku-lah yang akan menjadi calon suaminya. Namun, ia belum bertemu dengan Kabeku. 

“Saya langsung pingsan sekitar 4-5 jam. Saya tidak mau makan. Jadi mereka bilang, bukan orang lain juga yang tangkap. Saya menangis, saya bilang ke mereka kamu lepas dulu sama saya. Habis saya kuliah, habis perbaiki kuburan orangtua, saya akan kawin juga. Saya doa pada Tuhan, daripada saya kawin, lebih baik Tuhan datang cabut saya punya nyawa. Kabeku menghindar, dia tahu saya masih panas,” tutur Lena.

Sejak memutuskan pulang ke Sumba, Lena selalu menyimpan was-was. Ia sadar, menjadi perempuan muda yang belum menikah bisa menjadi korban kawin tangkap. 

Meski telah banyak dikecam, praktik kawin tangkap di Sumba Tengah, Sumba Barat dan Sumba Barat Daya, masih terjadi. Berdasarkan penuturan warga dan penyintas, kawin tangkap sudah berusia lebih dari 60 tahun, bisa jadi ratusan tahun. Hanya saja, ada perubahan-perubahan tindakan dalam proses kawin tangkap.

“Sebenarnya, pulang dari kerja di Malaysia, saya mau ambil ijazah SMA untuk kuliah di Weetabula. Saya punya cita-cita memang sejak dulu untuk kuliah. Saya tiba di Sumba dari Malaysia, Minggu. Hari Selasa, terjadi sudah. Hanya dua hari di rumah,” kata Lena. 

Suara Korban Tidak Didengarkan

Saat ditangkap, Lena sempat dibujuk oleh kerabat Kabeku. Ia dijanjikan akan dikuliahkan. Mereka juga mengatakan Lena tidak perlu takut dan khawatir karena laki-laki yang akan menjadi suaminya adalah sepupunya. 

Adik perempuan Lena sempat melaporkan peristiwa ini ke kantor polisi. Namun, rupanya Kabeku bersama kerabatnya sudah lebih dulu ke sana. 

Umurnya berapa?” tanya polisi ke adik Lena.

“17 tahun,” kata adiknya. 

Umur Lena berapa?” tanya polisi lagi. 

“22 tahun,” jawab adiknya.

Itu sudah umur kawin.

“Mungkin dorang (mereka) sudah kasih uang rokok juga eee. Tapi adik saya tetap bawa polisi ke kampung. Polisi tidak bertemu atau bertanya pada saya,” kata Lena. 

Mereka bicara dengan keluarga Kabeku dan keluarga Lena, yang bukan saudara kandungnya. Perwakilan keluarga ini mengaku ada pesan dari nenek sebelum meninggal, bahwa Lena dan Kabeku harus dinikahkan. Sebagai keluarga, mereka setuju Lena dikawinkan dengan Kabeku. Polisi mengatakan agar diurus damai saja.

Selang beberapa waktu, Kabeku datang. Keluarganya meminta ia berdiri di depan Lena. Lena berteriak, “Sampai kapan pun tidak akan suka sama Kabeku!”

“Sepertinya mereka mencari dukun. Karena sejak tiba, saya tidak mau makan dan minum, ada seorang laki-laki memberikan saya gelas putih berisi air,” katanya.

Lena sempat meminum air itu. Tak lama ia berkeringat dan sadar. Kabeku muncul di dekatnya dan menyentuh Lena. Sebagian perasaannya mengatakan Kabeka adalah suaminya. Sebagiannya lagi ia berharap keluarganya datang menjemputnya dan membatalkan pernikahan ini. 

Namun, yang terjadi adalah dimulainya prosesi adat pernikahan. Keluarga Kabeku mengutus juru bicara adat dan mengantar satu ekor kuda ke keluarga Lena. Hari berikutnya, keluarga utusan Lena datang. Ada kepala desa yang juga kerabat Lena. Harapan Lena bangkit. Ia meyakini bisa tetap kuliah dan memperbaiki kuburan orangtuanya. Dari kamar, Lena mengikuti perbincangan adat kedua keluarga ini.

Harapan Lena pupus begitu mendengar bahwa keluarga besarnya setuju Lena menjadi istri Kabeku. Lena tahu bahwa adik, kakak kandungnya, dan mama saudaranya tidak setuju. Tetapi mereka tak berdaya berhadapan dengan keluarga besar, apalagi Lena. 

“Saya lihat saya punya keluarga, saya merasa sedih, nasib saya di sini sudah saya pikir. Waktu saya lihat kepala desa, dia suruh saya turun dulu (dari bale-bale atas). Dia peluk saya, dia menangis,” kata Lena. 

Kepala desa ini masih kerabat dekat keluarga Lena. Hari itu, kepala adat memberikan sarung untuk Lena dan kain untuk Kabeku. 

Kepada Lena, ia berujar, “Kau di tempat yang bagus sudah. Walaupun suamimu bukan orang kaya, yang penting itu dia bisa urus kau punya hidup dia bilang. Mungkin Tuhan punya kehendak.” 

Lena menangis. 

Lena kecewa. Keluarga membawa kepala desa, tokoh adat untuk menasehatinya tetapi tidak ada yang bertanya apakah Lena setuju atau tidak untuk menjadi istri Kabeku. Lena terpaksa menerima keputusan keluarga besar dengan hati yang terluka.

Mempertahankan Harga Diri Laki-laki

Nenek Kabida (68) adalah penyintas kawin tangkap lainnya. Tahun 1979, ketika usianya baru menginjak 25 tahun, ia ditangkap dan dikawinkan paksa. 

Saat itu, Kabida adalah pekerja di salah satu kantor asuransi di Waikabubak di Sumba Barat. 

Berbeda dengan Lena, modus yang digunakan untuk menangkap Kabida adalah dengan kongkalikong antara gerombolan penangkap dengan sopir angkot. Di hari dirinya ditangkap, kenang Kabida, kawan kantornya mengajak untuk tidak pergi ke kantor. Padahal, Kabida sudah bersiap dengan seragam kantor. 

Mari dulu rambu (panggilan untuk perempuan), ini hari kita tidak ada kegiatan di kantor,kata kawannya. 

Eh, kita pergi saja, biar kita kerja apa saja, too,” kata Kabida. 

Besok saja kita pergi,” jawab kawannya lagi. 

“Jadi saya kembali sudah ke rumah. Saya tidak ganti baju juga. Saya lihat oto (mobil angkot) langganan saya ke arah tempat tinggal. Saya kenal sopirnya kami biasa guyon. Tapi hari itu dia serius sekali, jadi saya bilang, kenapa kau serius sekali,” kata Kabida. 

Si sopir angkot lalu mengajak Kabida ke kampung keluarganya dengan dalih menemani mengobati giginya yang sedang sakit. Seorang ibu yang dikenalnya membujuknya naik angkot bersamanya. Kelak baru Kabida menyadari bahwa skenario ini sudah desain secara rapi dengan melibatkan orang-orang yang dikenalnya.

Kabida tidak menyadari bahwa dirinya sudah menjadi incaran keluarga laki-laki yang akan menangkapnya. Di dalam angkot, Kabida berbincang dengan mereka. Mereka naik ke angkot tidak serentak, tetapi satu per satu layaknya penumpang biasa. Duduk berjejeran dengan Kabida. Seperti ada aba-aba, tiba-tiba tangan Kabida dicengkeram.

Kabida dan laki-laki yang menangkapnya, sebut saja Meki, memiliki hubungan kekerabatan. Ayah Kabida adalah saudara sepupu dari mama Meki. Jadi Kabida adalah anak Om dari Meki. Dalam tata adat perkawinan Sumba relasi ini ideal untuk menjadi suami istri. Hanya saja, Kabida kecewa mengapa ia diambil paksa tanpa pendekatan kekeluargaan. Baginya pilihan menikah itu harus berasal dari dirinya. 

Kabida mengatakan ia telah menjadi “tumbal” dari rencana peminangan seorang perempuan yang semestinya menjadi istri Meki. Hubungan Meki dan kekasihnya sudah mendapatkan persetujuan kedua belah pihak keluarga. Namun, saat proses peminangan dilangsungkan, pihak keluarga perempuan tidak menyetujuinya. Tidak diketahui pasti alasannya. Meki dan keluarga besarnya kecewa dan malu. Ini menyangkut harga diri Meki dan keluarga besarnya.

Untuk menjaga marwah karena merasa dipermalukan dengan penolakan pinangan, maka dengan cepat mereka mencari seorang perempuan dengan jalur mengambil paksa. Prinsip ini dalam tradisi Sumba bertujuan untuk memulihkan nama baik dan mengangkat harga diri Meki dan keluarganya.

***

Demi mempertahankan harga diri laki-laki, perempuan Sumba diculik untuk dikawini. (Project M/Mathilda Host)

Meskipun cara mengambil paksa Lena dan Kabida berbeda, tetapi ada kesamaan prinsip dari perspektif pelaku. Keputusan Kabeku, laki-laki yang menangkap Lena juga terkait harga diri. Jauh hari sebelum, Lena ditangkap, Kabeku sudah gagal dua kali untuk mengambil paksa perempuan. Sebenarnya sasaran Kabeku adalah adik perempuan Lena.

“Dulu, dari nenek memang dulu ada perjanjian, kalau dilanggar, istilah ada ya pamalinya. saya sampai pergi ke Waingapu untuk cari adiknya [Lena]. Saya dan 20 lebih orang pakai pick up ke Waingapu. Kami dengar adiknya Lena kerja di toko. Sampai di Waingapu, kita keluar masuk toko, kita tanya bilang tidak ada,” kata Kabeku.

Lena tidak masuk dalam rencana Kabeku. Tetapi begitu ia tahu Lena telah pulang kampung, maka Lena menjadi targetnya. Kata Kabeku, waktu itu di rumahnya tidak ada ternak seperti kuda atau kerbau untuk seserahan belis atau mahar. Tetapi karena sudah dua kali gagal, maka Kabeku nekad menangkap Lena.

“Pas saya mau bawa lari [Lena], tidak ada kuda, hewan apa pun di rumah. Itu tadi di pikiran saya, kenapa orang lain bisa, kenapa saya tidak bisa,” kata Kabeku, hingga akhirnya ia meminta bantuan kerabatnya untuk menangkap Lena. 

Dua kali kegagalan yang dialami Kabeku membuat dirinya kecewa dan merasa harga diri dan keluarganya jatuh.

Kabeku juga terbebani dengan mitos yang dipercaya oleh masyarakat Sumba Tengah. Ada pandangan dalam masyarakat, jika seorang laki-laki belum punya istri pada usia tertentu, maka kelak jika meninggal, ia akan dikuburkan dengan buah kelapa gading atau istilah setempat, kelapa merah. Ada juga stigma, bahwa laki-laki yang tidak menikah dituding kasalabai (banci) atau dianggap impoten. 

Tokoh Adat dan Aktivis Menentang Kawin Tangkap

Istilah kawin tangkap tidak spesifik muncul dalam terminologi bahasa atau sembilan dialek yang ada di Sumba. Praktik ini lebih dikenal dengan sebutan yappa mawini (tangkap perempuan), yappa marada (tangkap di padang), ghappa maghinne (tangkap perempuan), piti maranggang (ambil paksa), wenda mawinne (tangkap perempuan). 

Kawan tangkap baru diperkenalkan sekitar lima belas tahun oleh Salomi Rambu Iru, aktivis perempuan yang sudah lebih dari 20 tahun mendampingi korban. Salomi Rambu Iru (70) atau Mama Salomi saat ini menjabat sebagai Direktur Forum Perempuan Sumba.

Dalam sebuah wawancara, Salomi menggambarkan bagaimana perempuan dan anak perempuan korban kawin tangkap diperlakukan. Ada yang dipaksa bersetubuh pada malam pertama setelah ditangkap, ada yang masih berusaha membujuk si korban.

“Biasanya kalau perempuan kalau sudah di-yappa, dia akan dikasih masuk ke kamar dipersatukan dengan laki-laki yang mau ambil dia jadi istri. Kalau melawan maka akan diikat kaki tangannya. Ada yang langsung diperkosa oleh pelaku. Dorang (mereka) bilang biar dia ‘jinak’ dulu. Dorang anggap perempuan itu seperti binatang betul,” kata Salomi yang saat ini sedang beristirahat total karena sakit dalam jangka waktu yang lama.

Inisiatif Salomi kini dilanjutkan Solidaritas Perempuan dan Anak (SOPAN) Sumba. Sejak 2017, SOPAN Sumba mulai mengidentifikasi para korban kawin tangkap di Sumba Tengah. Mereka membangun komunikasi persuasif dengan para korban untuk mendapatkan informasi maupun pengalaman pahit.

Secara paralel, SOPAN Sumba merangkul para tokoh adat yang biasanya menjadi juru bicara dalam adat perkawinan. Pandangan para tetua adat tentang kawin tangkap masih terpecah antara yang pro dan kontra. 

“Adat kita orang Sumba ini, sangat menghormati perempuan. Kalau ada laki-laki yang suka sama seorang perempuan, ya, dia dan keluarganya datang ketuk pintu. Ini istilah adat kita, kalau mau melamar perempuan. Saya tidak setuju ini yappa. Saya senang kalau kita bisa bicarakan bersama ini,” kata Umbu Sangaji, salah satu tokoh adat dari Sumba Tengah. 

Bagi Umbu Sangaji, perempuan dan laki-laki setara. Jika pada waktu lampau ada anggapan bahwa laki-laki itu lebih berkuasa dan berhak memperlakukan perempuan, maka saat ini perlu ditinjau kembali. Karena, kata Umbu Sangaji, saat ini perempuan dan anak dilindungi oleh kebijakan negara. 

“Kawin tangkap itu ketimpangan adat yang dilakukan oknum laki-laki yang sombong, merasa diri hebat karena kekuasaan maupun finansial,” katanya.

“Pada prinsipnya kawin tangkap adalah pelanggaran adat karena praktik ini memiliki denda adat. Itu pelecehan dan mengabaikan hak-hak perempuan karena praktik ini berlaku secara sepihak tanpa peduli terhadap keinginan perempuan yang akan ditangkap.”

Gerakan Para Penyintas

Sejak 2022, SOPAN Sumba mengajak para korban kawin tangkap untuk membagikan pengalaman mereka, dimulai dari orang-orang terdekat anggota. Dua penyintas juga masuk dalam tim SOPAN. Ada juga ibu, tante dan keluarga dari relawan SOPAN. Dari merekalah, kisah ini secara terbuka dibagikan kepada publik. Tindakan ini menggugah para korban yang masih terluka dan takut membagikan kisah mereka.

Pertemuan perdana mereka terjadi pada 2023. Pertemuan dihadiri para korban dari tahun 1970-an hingga 2018. Suasana ruang penuh dengan tangisan, menggambarkan bagaimana meski puluhan tahun berlalu, luka itu masih dirasakan mereka. 

Pertemuan perdana, betul-betul hanya menceritakan kisah mereka. Di akhir pertemuan, mereka mengatakan ada perasaan lega dan terharu karena ada ruang aman bagi mereka untuk bercerita. Rasa solidaritas mulai tumbuh. 

Setelah beberapa pertemuan, SOPAN Sumba mengundang suami mereka yang pada masa lalu adalah pelaku kawin tangkap. Dalam diskusi mendalam, para suami mengaku menyesal mengingat apa yang mereka lakukan pada istri mereka. Mereka menyadari bahwa ada tuntutan sosial, adat yang memaksa mereka untuk lekas mencari istri dalam usia 20-an. Kesadaran ini yang juga pada akhirnya disebarkan dalam perbincangan bersama keluarga inti, keluarga besar, tetangga dan komunitas masing-masing. 

Secara paralel, SOPAN Sumba juga membangun komunikasi dengan para tokoh adat. Dari rangkaian komunikasi itu terungkap bahwa beberapa tetua adat juga pelaku penangkapan perempuan pada masa mudanya; tetapi ada juga cenderung mendukung praktik ini.

Ruang-ruang publik juga diorganisir bersama untuk memberikan kesempatan para penyintas memberikan testimoninya. 

“Peristiwa yang pernah saya alami beberapa tahun lalu selalu melekat dalam ingatan saya. Saya membagikan kepada adik-adik, ya, ada juga adik-adik laki-laki di sini, agar tahu bahwa luka itu tetap ada di hati kami yang pernah menjadi korban,” kata Olvi R. Hida, relawan SOPAN Sumba.

***

Gerakan sistematis yang dilakukan SOPAN Sumba dengan membuka diskusi-diskusi bagi para penyintas, pelaku, tokoh adat, pemerintah, gereja dan jaringan masyarakat sipil di tingkat lokal membuahkan hasil. 

Pada 11 Mei 2024, para tokoh lintas aktor ini mendeklarasikan kesepakatan adat di Sumba Tengah untuk menghentikan praktik kawin tangkap. Dalam forum ini, hadir juga KOMNAS Perempuan, Kementerian PPPA dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

“Kami melihat bahwa perempuan dan laki-laki adalah korban. Perempuan sudah pasti adalah korban. Bagaimana dengan laki-laki? Mereka adalah korban sistem sosial yang memberikan label dan stigma kepada laki-laki yang belum menikah atau terlambat menikah,” kata Yustina Dama Dia, Direktur SOPAN Sumba. 

Yustin menjelaskan bahwa dirinya sejak kecil hidup dalam lingkungan yang menganggap kawin tangkap itu lumrah. Orangtuanya juga korban dari tradisi ini. 

Pada 2023, KOMNAS Perempuan mempublikasi Laporan Pemantauan Kawin Tangkap di Sumba Praktik Pemaksaan Perkawinan Berbasis Gender Terhadap Perempuan: Akar Masalah, Bentuk dan Konsekuensinya. Laporan ini merupakan bentuk kerja sama KOMNAS Perempuan dengan jaringan masyarakat sipil.

Untuk diketahui, praktik serupa kawin tangkap juga terjadi di negara lain seperti Moldova, Chechnya, Armenia, Ethiopia, Afrika Selatan, Kirgistan, dan Kazakhstan. Sedang di Indonesia juga terjadi di Lombok, Nusa Tenggara Barat, dengan tradisi yang dikenal dengan nama menariq. 

“Jadi kawin tangkap ini bukan urusan orang Sumba saja. Ini isu hak asasi manusia yang harus dikumandangkan. Bagi kami isu kemanusian seperti ini penting untuk disuarakan dari level lokal, nasional hingga internasional sebagai bagian dari upaya membangun solidaritas global,” kata Yustin. 

SOPAN Sumba mencatat sejak 2013 hingga 2023 terjadi 16 kasus kawin tangkap. Jumlah ini tidak belum termasuk dengan kasus yang tidak terjangkau media atau pendamping. 

“Kami berharap pemerintah baik lokal maupun nasional, segera membuat langkah penting untuk gerakan bersama. Selama ini, gereja sudah bergerak bersama. Ini agenda mendesak yang perlu dilakukan oleh pemerintah baru di Pulau Sumba,” tukas Yustin.

Martha Hebi adalah penulis dan peneliti dari Sumba, Nusa Tenggara Timur.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Ronna Nirmala
14 menit