Malam semakin larut. Hawa dingin tidak membuat surut. Denyut nadi warga Kampung Wadas, Purworejo, Jawa Tengah menggeliat perlahan. Ratusan warga, baik dewasa maupun anak-anak, berduyun-duyun berjalan menuju musala yang mereka bangun secara mandiri. Suasana berubah riuh rendah. Malam ini mereka menggelar doa mujahadah, atau doa untuk mengiringi perjuangan.
Untuk kesekian kali mereka memanjatkan doa kepada sang Pencipta, meneguhkan batin dalam berjuang mempertahankan tanah leluhur. Warga Wadas yakin perjuangan mereka selalu diridhoi oleh Allah. Memperjuangkan alam, lingkungan, dan keberlanjutan hidup sama halnya dengan beribadah kepada Sang Khalik.
Bukan tanpa alasan, saat ini mereka was-was atas tindakan pemerintah yang menjadikan tanah kelahiran mereka sebagai lokasi penambangan batu andesit. Quarry di Desa Wadas akan menjadi sumber material batu proyek Bendungan Bener dengan ketinggian 169 meter, tertinggi di Indonesia dan nomor 2 di Asia. Warga khawatir pengerukan tanah akan menyebabkan mereka kehilangan mata pencaharian, sumber pangan, mata air, dan nilai tanah. Selain itu, Desa Wadas menjadi kawasan rawan bencana tanah longsor.
Menurut salah satu tokoh masyarakat Desa Wadas, Insin Sutrisno (75) pada tahun 2013 ketenangan warga mulai terusik dengan adanya kegiatan pengeboran di beberapa titik di desanya. Tidak ada satupun warga yang mengetahui tujuan dari aktivitas pekerja.
“Setiap ditanya, mereka menjawab hanya pekerja lapangan, tidak tahu untuk apa. Kami merasa dibohongi oleh pemangku kebijakan setempat. Sama sekali tidak ada kepedulian dan tanggung jawab mewariskan alam kepada anak cucu selanjutnya,” tutur pensiunan guru Sekolah Dasar Negeri yang saat ini bertani.
Yatimah (50) menyampaikan keprihatinan yang sama. Menurut pimpinan Wadon Wadas ini, bukan pembangunan bendungan yang warga tolak, melainkan penambangan material batu andesit di area lahan pertanian mereka. Tanah Wadas merupakan lahan yang subur ditanami berbagai tumbuhan seperti kemukus, kencur, kacang, karet, kopi, vanili, dan durian.
Suroso (45) dan 14 anggota keluarganya menempati tiga rumah yang saling berdampingan. Ia memperoleh informasi rumah mereka masuk dalam kawasan area penambangan sehingga menjadikan keluarganya sebagai warga yang terdampak langsung oleh proyek tersebut.
“Asli resah, ya mau pindah ke mana lagi. Ini tanah milik nenek moyang kami. Kami tidak rela,” tutur Suroso dengan tegas.
Mbah Marsono (62) mengaku bingung dengan kondisi nantinya. Kebanyakan dari mereka bukan usia produktif sehingga beralih pekerjaan lain pasti menyulitkan. Mereka sudah terbiasa menjadi petani. Para petani berharap tanah mereka tetap bisa jadi tumpuan hidup sehari-hari dan kelak menjadi warisan untuk anak cucu mereka.
Dalam doanya, warga yang bersatu dalam Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempa Dewa) sekali lagi mengetuk pintu langit ketika pintu penguasa negeri ini tidak bisa menjamin keberlangsungan alam mereka. Dengan bersholawat mereka sejenak menimba energi perjuangan. Mereka paham perjuangan menyelamatkan alam desa tidak mudah.
“Saya tidak akan pernah menjual apapun yang saya miliki sampai kapanpun kepada siapapun,” tukas Insin Sutrisno tegas.
Anda dapat berkontribusi dalam jurnalisme publik melalui karya fotografi. Silakan kirim proposal cerita foto ke multimedia@projectmultatuli.org sebagai bahan diskusi bersama redaksi.