Orang bilang, kalau kau melakukan perjalanan di Tanah Papua belum lengkap tanpa kakimu menapak di Wamena. Sebuah kota yang berada di punggung negeri Cendrawasih. Sejuk angin kurima yang bertiup dari lembah Baliem akan membuatmu betah berlama-lama di sana. Dan yang terbaik dari tanah ini adalah manusianya.
Mereka akan selalu merentangkan kedua tangannya di udara dan mendekapmu ke dalam dada menyambut kedatanganmu. Dalam waktu singkat, kau akan kami anggap sebagai anak, sebagai adik, sebagai kakak, juga sebagai nayak yang berarti keluarga.
Semuanya tampak begitu indah dan baik-baik saja. Tapi tunggu, segalanya segera gugur setelah kamu mendengar cerita kami.
*
Hari itu 24 Desember 2021. Satu hari menjelang natal tiba. Kami berpesta dan menghelat upacara bakar batu. Dua ekor babi dewasa dimasak di dalam sebuah lubang galian. Di dalamnya, daun singkong, ubi, ayam, dan wam [daging babi] dimasak bersama. Dua ekor babi itu kami beli dengan uang patungan. Para lelaki meletakkan batu panas sebesar kepala di atasnya. Mama-mama duduk melingkar bersama anak-anak, sembari ngobrol.
Nama saya Raga Kogoya, umur 42 tahun dan hidup bersama suami dan dua anak lelaki yang tampan dan cerdas. Dua anak itu, adalah Berlian dan Junior. Kami berempat kini mengungsi dan tinggal di kampung Sekom, sebab kampung kami di desa Nitkuri, Nduga, telah porak-poranda diterjang perang yang semakin panas. Saya lahir dan besar di desa itu. Tak pernah terbayang sebelumnya, bagaimana nasib kami menjadi sial: terkatung-katung di desa lain. Sejak empat tahun yang lalu, sampai hari ini.
Asap hitam membumbung tinggi di udara. Ada aroma hangit yang menguar. Kami tunggu kepul asap hitam sampai lamat-lamat memutih. Jika asap sudah jadi putih, bertiup dari celah-celah batu, artinya pesta akan segera dimulai.
Dentum dansa Wisisi Sapusa meletup dari speaker milik pendeta. Anak, mama, dan bapa, mulai larut dan menggoyangkan badan. Kemudian kami berdansa mengitari api. Setelahnya, firman Tuhan dibacakan.
Pendeta mengatakan, bahwa dunia akan terus bergerak; tak selamanya hidup akan terperangkap dalam gelap. Begitu juga nasib pengungsi, nasib kami. Kami tidak pernah tahu kapan terang itu akan tiba. Tetapi kami percaya, bahwa cepat atau lambat, hari-hari gelap akan segera tersibak. Kami kembali ke Nduga, dan hidup kembali pulih: kami bisa kembali ke sekolah, bekerja di ladang di bawah langit yang terang, dan bergumul dalam kehangatan sebuah keluarga.
Setelah ditutup dengan doa, batu-batu panas mulai dibongkar. Potongan daging, ubi, daun singkong, dan ayam dibagi rata. Setiap orang, harus dapat bagian yang sama. Kami duduk melingkar, dan bersama-sama menyantap apa-apa yang tersedia di hadapan kami. Ini adalah secuil kebahagiaan yang dititipkan Tuhan, kepada kami, para pengungsi yang telah empat tahun terkatung-katung di tanah sendiri.
**
Saya Benci Bulan Desember
Orang-orang biasanya menyambut Natal dengan mengenakan pakaian terbaiknya. Kemudian, mereka pergi beribadah di gereja, menyanyikan puji-pujian, merayakan hari kelahiran Yesus.
Tetapi saya sama sekali tidak berhasrat untuk turut serta.
Saya berencana melewatkan malam kudus dengan bermalas-malasan di dalam honai. Sepoi sejuk angin kurima yang bertiup dari lembah, serta langit mendung yang tampak seperti kertas buram, membuat saya malas beranjak dari rumah.
Saya begitu benci Desember.
Desember adalah bulan yang berjejal nestapa. Empat tahun lalu, saya dan berpuluh-puluh ribu orang Papua lain terpaksa angkat kaki dari desa untuk mencari keselamatan. Desa kami mulanya adalah tempat yang damai dan indah. Tapi kini wajahnya telah remuk diterpa perang. Kami tidak begitu mengenalnya setelah Nduga berubah menjadi medan perang.
Kenangan pahit pada menjelang pergantian tahun bukan hanya itu saja. Dua tahun lalu, adik dan bapa tua (paman) saya, tewas diterjang pelor yang meluncur dari bedil, diduga tentara pelakunya. Tiap akhir tahun, ingatan saya akan kembali mengenang salah satu peristiwa terpahit itu.
Seandainya saya tidak memberi izin. Seandainya saya tahu siapa yang menembaknya!
Pertanyaan itu terus berkelebat di pikiran. Sampai hari ini, saya tidak pernah tahu persis siapa yang menarik pelatuk dan merenggut paksa nyawa adik dan bapa tua.
Sayang, sayang. Ade sayang e, bapa sayang.
Waktu itu, mereka kembali ke rumah untuk mengambil barang-barang berharga yang tersisa. Surat-surat penting, atau sedikit perkakas lain yang mungkin akan berguna hidup di pengungsian. Mereka tidak punya senjata. Hanya sebilah pedang untuk membabat rumput-rumput liar, serta noken berisi sedikit bekal makanan untuk perjalanan. Tetapi tentara bilang mereka membawa senjata. Mereka dituding sebagai bagian dari kelompok separatis. Tuduhan tanpa bukti yang masih mengambang hingga sekarang.
Saya semakin larut dalam kekecewaan sebab tidak bisa menguburkan mereka dengan layak. Bayang-bayang peluru yang bisa menembus tubuh kapan saja, memerangkap saya di dalam ketakutan. Jenazah adik ditemukan tergeletak di antara rerumputan pekarangan kami selama berhari-hari.
Kami dibiarkan saja mati seperti binatang
Saya ingat dulu saya dan adik bermain bersama, membuat gaduh kampung dengan gelak tawa sampai diperingatkan mama tawa kami bisa saja mengganggu seisi desa. Kami bermain di pekarangan yang sama, di bawah langit yang tampak cerah dan pendar matahari menimpa kulit kami berdua. Hidup begitu berbahagia: kami kerap menertawakan banyak hal, dan berbagi kesedihan tentang hal-hal yang sama. Belakangan, pekarangan itu tak lagi mengingatkan pada peristiwa-peristiwa bahagia milik kami berdua. Tetapi kepada kematian, dan kekecewaan yang terus berkelindan berbuntut penyesalan.
Hari itu pukul 12 siang, tetapi pendar matahari sama sekali tak mampu menerobos mendung tebal yang bergelayut di atas sana. Saya menunjuk ke arah langit dan berkata kepada reporter yang hari itu bertemu kami:
“Seperti itulah, adek, nasib kami, para pengungsi. Mendung setiap hari. Belum ada terang sampai kapan kita akan terus menumpang di sini.”
Pendeta Kones, yang baru tiga hari pulang dari Nduga bercerita bahwa jika saya berkunjung ke sana, barangkali tak akan lagi mengenali kota itu. Empat tahun ditinggalkan oleh penduduknya, kini Nduga tampak kembali sebagai belantara; rerumputan liar tumbuh setinggi orang dewasa dan pohon-pohon tampak semakin besar menutup seisi kota. Kebun-kebun, rumah, dan jalanan berbatu yang biasa kami lintasi sehari-hari tak lagi tampak.
Pendeta Kones mempertaruhkan nasib untuk kembali ke Nduga dengan memikul harapan. Ia berharap bisa bernegosiasi untuk menghentikan perang, dan bisa kembali membawa warga yang kini mengungsi di kampung Sekom, distrik Muliama untuk kembali ke rumah mereka. Tetapi perundingan tersebut nihil.
Mereka bilang pada pendeta Kones “Jika terus datang ke sini, kami tak bisa jamin keselamatan bapa. Ini adalah ladang perang. Jangan dulu bawa masyarakat ke sini. Bawa pulang ketika kita su selesai begitu.”
Saya tak tahu kapan perang akan selesai. Menurut saya, perang tak akan berhenti sebelum bangsa Papua diberi kebebasan untuk menentukan haknya sendiri. Momentum itu bisa saja terjadi besok, lusa, satu tahun ke depan, atau beberapa tahun lagi. Tetapi ongkos dari perang itu adalah nasib kami, masyarakat Papua; kami mesti terkatung-katung di tanah orang, dan hidup berkalang keterbatasan.
**
Krisis Kesehatan dan Hak Hidup Yang Tak Sepadan
Jalan menuju kampung Sekom penuhi dengan berangkal batu dan lumpur. Meski jalannya lebar, namun tidak mungkin mobil bisa melewatinya. Jika hendak ke sana, orang harus turun di pinggir jalan raya distrik Muliama, perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki sekitar 1 jam. Sepanjang jalan banyak sekali kubangan yang tertutup air sisa hujan kemarin malam.
“Kaka hati-hati e, awas terperosok. Kami tra tau apa yang ada di dalam lubang itu. Barangkali ular. Kalau tra berbisa, paling kasih bengkak saja itu kaka pu kaki. Kalau sial [berbisa], aduh mamae! Rumah sakit jauh sekali!”
Reporter yang mengikuti kami langsung pucat, setelah anak saya melempar mop itu. Mop semacam itu biasa kami lontarkan untuk mengusir lelah. Di antara mop, sebetulnya terselip kenyataan tragis. Sebab, akses kesehatan hampir bak angan-angan. Sebagian dari kami, tidak bisa mengakses puskesmas. Sebab ketika keluar rumah, kami tidak membawa kartu identitas.
Saya masih ingat hari pertama kami harus angkat kaki dari rumah. Bulan Desember, tahun 2018. Sebuah asap berwarna biru turun dari udara dan menyelimuti desa. Tampak seperti kabut. Tak lama, sebuah helikopter datang, terbang semakin rendah. Lalu semuanya menjadi merah. Padang rerumputan menyala. Api menjalar dan membakar hampir seisi desa. Membumihanguskan segala yang dilewatinya: kebun, rumah, dan pohon-pohon meniupkan hawa panas sementara orang-orang memekik ketakutan. Seperti kiamat.
Orang-orang berlarian tak tentu arah. Kami tidak tahu mesti ke mana. Anak-anak bayi menangis di dalam noken mamanya. Kepanikan membuat kami melupakan segalanya: ada yang tanpa sadar meninggalkan orang tua yang sedang sakit, sebagian melupakan suami, anak, atau istri. Harta benda jelas berada di perhitungan terakhir. Di dalam kepala hanya ada satu perkara: pertama-tama mesti selamatkan nyawa.
Kami pikir, nasib kami akan jauh dari marabahaya setelah bisa keluar dari Nduga. Tetapi tidak. Di pengungsian, hidup masih saja pelik sebab kami tidak punya akses kesehatan. Saya mencatat, sudah lebih dari 30 orang nayak meninggal karena sakit selama di pengungsian. Aih, yang bikin saya makin sedih, sebagian besar yang menjadi korban adalah perempuan dan anak-anak.
Relawan kesehatan beberapa kali naik menengok kami. Tetapi mereka datang pada saat yang tidak tepat. Mereka baru datang ketika yang sakit sudah mati. Terlambat sudah.
Saya sebetulnya ingin bicara dengan pemerintah provinsi. Empat tahun kami mengungsi, pemerintah provinsi tidak ada memberi perhatian untuk kesehatan warga. Jika terus begini, mesti menunggu berapa lagi pengungsi yang meninggal tanpa obat, tanpa perawatan, dan berapa lagi mesti ada mama dan anak yang meninggal karena penanganan yang lambat?
Kami seperti anak yatim piatu. Di Nduga kami diusir, sementara di Wamena kami terlantar.
Perempuan di pengungsian berada dalam kondisi paling susah. Sebagian dari kami, harus melahirkan tanpa bantuan dokter ataupun bidan. Ongkos melahirkan bagi perempuan Papua sangat mahal, sebab nyawa adalah taruhannya.
Kami sudah biasa melahirkan sendiri. Kami melahirkan di mana saja; di dalam gua, di tengah perjalanan mencari desa tumpangan, di bawah air terjun, di sungai, atau di dalam hutan. Pengungsi yang tak memiliki identitas, tidak punya akses ke rumah sakit. Jika ada, kami mesti jalan kaki dan membutuhkan waktu beberapa jam untuk sampai di puskesmas terdekat yang terletak di distrik Muliama.
Tetapi, bagi yang tidak punya identitas, biasanya melahirkan di honai ataupun rumah penduduk yang ditumpanginya. Tapi jika tuan rumah marah, mau tidak mau, kami mesti ke sungai untuk mencari air mengalir dan melahirkan di sana. Saya sudah sering lihat dengan mata kepala sendiri; tak jarang mama dan bayinya terenggut nyawanya di saat yang sama.
Di kampung Sekom, kami tinggal menumpang di tanah ulayat suatu suku. Kami berduyun-duyun mengungsi dari Nduga bersama 540 orang lainnya. Kami mesti pintar-pintar jaga hati warga asli agar tidak diusir. Tidak jarang, kami kena amuk sebab dianggap merecoki hajat hidup mereka. Segalanya serba terbatas dan kami tak punya kebebasan.
Kami juga tidak bisa mengambil air yang mengalir di sungai sembarangan. Tidak jarang selepas makan, kami mesti menelan air liur banyak-banyak agar tidak tersedak. Kami tidak bisa juga sembarangan menanam di kebun-kebun di sini. Sebab, itu bukan milik kami. Umbi-umbi sebagian menumpang tanam di tanah mereka, dan sebagian lain kami menggantungkan makan sehari-hari dari ternak dan hewan buruan.
Kami hidup bersama-sama di dalam honai, dan sebagian lain tinggal di rumah-rumah warga asli. Satu honai dihuni sekitar 3-5 keluarga. Artinya, di dalam satu rumah, ada sekitar 8-15 orang. Kami tidur berjajar-jajar di dalam sana.
Tetapi, yang paling celaka, adalah mereka yang tinggal bersama tuan rumah. Mereka mesti baik-baik. Anak-anak tidak boleh menangis. Mama-bapa tidak boleh bikin bising. Sebab, jika tuan rumah tak enak hati, mereka bisa diusir.
Itu semua belum termasuk beban utang yang harus kami tanggung. Beberapa bulan lalu, salah seorang warga asli tewas karena tabrak lari. Sebuah mobil menabraknya saat ia sedang mengendarai motor, sialnya mobil itu kabur tak meninggalkan jejak. Si penabrak pun bebas dari ganjaran hukum adat yang mesti mengganti ongkos kematian anggota keluarga dengan uang Rp200 juta, 30 ekor babi, dan satu sepeda motor.
Karena tak bisa menemukan pelaku penabrakan itu, kami, para pengungsi yang terpaksa mesti menanggung denda adat tersebut. Ini adalah hal yang tak masuk akal. Tapi toh itu benar terjadi kepada kami. Ancamannya, jika kami tak segera membayar utang itu, kami mesti angkat kaki dari desa Sekom. Kami sudah tidak tahu lagi di mana mesti menumpang. Akhirnya, mau tidak mau, kami yang menanggung utang itu.
Sejak menjadi pengungsi, kami menggantungkan hidup pada hutan. Tumbuh-tumbuhan dan hewan di hutan adalah obat dari lapar. Itu saja yang alam dan Tuhan sediakan untuk umatnya. Kami tidak punya kesempatan menggarap kebun seperti saat masih bermukim di Nduga. Di sini, kami hanya bekerja sebagai pembantu petani dan karena berstatus sebagai pengungsi, kami harus terima dibayar murah.
Bagi pengungsi seperti kami, kebebasan tampak seperti fatamorgana. Ia akan menjauh saban kali kami dekati. Ibaratnya kami hidup di bawah langit yang terbuka bebas, tetapi dengan kaki dan tangan yang terikat. Kebebasan tak akan pernah kami raih sepanjang hidup masih terkatung-katung di tanah orang. Di tanah pengungsian yang selamanya asing bagi kami.
Anak-Anak Terbuat dari Darah, Daging, dan Dendam
Pembaca, saya akan perkenalkan kalian dengan seorang bocah bernama Ebed Nde. Saat ini, ia masih berusia enam tahun. Ebed adalah anak yang cerdas. Ia cakap berhitung dalam berbahasa Inggris. Jika saja sekolah yang kami bangun tak dibubarkan paksa oleh tentara, barangkali Ebed bakal jadi juara kelas.
Keluarga Ebed adalah kloter terakhir pengungsi yang tiba di kampung Sekom. Bapa Ebed adalah seorang tuli, karena kondisi itu Ebed jadi tumpuan keluarga saat mencari jalan menuju Sekom. Untuk menemukan jalan, Ebed mula-mula mencari jejak kaki manusia di dalam hutan. Bila sudah dapat, ia akan membuat asap sebagai tanda untuk memudahkan orang tuanya menyusul. Begitu terus sampai akhirnya mereka tiba di Sekom.
Ada puluhan anak lain seusia Ebed yang akhirnya putus sekolah. Sebagian dari mereka, bahkan tak lagi ingat pada kelas berapa mereka berhenti sekolah. Anak saya, Junior, bahkan tidak ingat lagi berapa usianya.
Pada awal-awal masa pengungsian, saya sempat membuat sekolah darurat di pengungsian. Anak-anak senang kembali sekolah, saya pun bahagia melihat mereka sekolah. Namun pada saat bersamaan, kami selalu cemas, sebab aparat selalu mengawasi kami, bahkan ketika kami di gereja. Anak-anak begitu takut pada aparat, setiap kali aparat datang, anak-anak langsung lari. Akibatnya, anak-anak tidak tenang saat belajar. Tak lama berselang sekolah itu dibubarkan oleh aparat. Seorang tentara bilang pada saya, bahwa kegiatan itu bikin malu negara.
Kamu bikin malu negara ini. Segera bubarkan sekolah darurat itu!
Bagi aparat negara, sekolah darurat hanya akan semakin membuat wajah bopeng mereka kian kentara. Tetapi bagi saya, pendidikan berarti harapan. Saya percaya, pendidikan adalah salah satu cara untuk mengubah kesunyian nasib kami, para pengungsi.
Saya punya cita-cita, anak-anak hidupnya lebih baik dari orang tua mereka. Dulu, di tahun 90-an, di desa kami pernah ada juga operasi militer, namanya operasi Mapenduma, dipimpin oleh Prabowo Subianto, yang saat itu adalah jendral milik rezim Orde Baru pimpinan Soeharto. Saya dan kawan-kawan saat itu tengah bersekolah di Wamena. Ketika amuk perang kembali memanas, kawan-kawan di sekolah, satu persatu memilih pulang ke rumah mereka. Mereka kembali ke Nduga demi membantu dan menjaga keluarga mereka.
Saya memilih tidak pulang dan menetap di Asrama. Sebab, saya percaya bahwa pendidikan adalah jalan menuju masa depan Papua yang lebih terang. Saya tidak ingin Papua dikenal sebagai daerah yang terbelakang. Toh itu terjadi, sebab pemerintah melakukan pembiaran.
Mimpi itu kini makin kabur, sebab negara memaksa sekolah bubar. Anak-anak kembali terlantar. Anak-anak di sini sudah akrab dengan rasa kecewa. Saya khawatir, tidak adanya akses pendidikan, akan semakin menguatkan keinginan mereka untuk kembali ke Nduga. Mereka akan turut angkat senjata, dan saya khawatir, mereka akan jadi korban pertempuran.
Seorang anak pernah bercerita, bahwa ketika lulus SMP, ia tidak mau melanjutkan sekolah, ia ingin pulang ke Nduga, ikut angkat senjata. Cerita itu membawa kemarahan sekaligus kekecewaan. Saya ngeri membayangkan dendam yang tertanam dalam diri anak-anak ini. Seorang tetua desa bilang, anak-anak lahir sudah memegang pisau. Entah itu nanti akan dihunuskan kepada siapa. Mungkin kepada yang pernah membunuh saudara mereka.
Ongkos dari perang tidak hanya mengorbankan nyawa mereka yang angkat senjata. Tetapi, hajat hidup kami, masyarakat Papua juga turut dipertaruhkan. Jika pemerintah hanya memakai bahasa kekerasan dan pendekatan militer atas upaya menegakkan perdamaian, saya kira selamanya nasib kami tak akan bisa berubah.
Empat tahun limbung di tanah pengasingan adalah sesuatu yang tidak pernah kami bayangkan. Seolah-olah waktu hanya bergerak di luar sana. Di dunia pengungsi, detik seperti tak pernah beranjak.
Kisah ini ditulis berdasarkan cerita yang dilisankan oleh Raga Kogoya, seorang pengungsi yang tinggal di kampung Sekom, distrik Muliama, Wamena, kepada kontributor kami, Reno Surya, pada 24 Desember 2021. Raga telah memberi Reno izin untuk menuliskan kisah ini dari sudut pandang orang pertama, yaitu dari sudut pandang Raga. Tulisan ini bukan merupakan transkrip verbatim cerita lisan Raga, melainkan penceritaan kembali yang diupayakan sedekat mungkin dengan apa yang dikatakan Raga pada Reno.
Liputan ini didukung oleh fellowship dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.