BELUM ada upaya konkret dari pemerintah terhadap tuntutan 17+8 yang batas jangka pendeknya berakhir pada 5 September 2025. Pernyataan normatif DPR seperti pemangkasan tunjangan dan pemutusan hak keuangan anggota dewan non-aktif sebenarnya hanya memberikan ketenangan semu bagi kemarahan rakyat yang menuntut reformasi nyata.
Ketidakmampuan pemerintah merespons tuntutan rakyat dengan serius dan bertanggung jawab menggambarkan pola otonomi politik yang insensitif dan kesengajaan pengabaian kepentingan publik. Pola itu menambah daftar kezaliman negara dari mulai polisi yang makin tak terkendali, menguatnya militer, kecurangan pemilu dan partai-partai yang dikuasai pengusaha, hingga ketidakadilan ekonomi.
Sejak zaman Orde Baru, ketika kepolisian masih menjadi bagian dari institusi militer, praktik kekerasan, penangkapan sewenang-wenang, rekayasa kasus, hingga pembunuhan di luar hukum sudah jadi bagian dari budaya aparat penegak hukum. Budaya kekerasan dan impunitas itu terus dipertontonkan meski Polri telah dipisahkan dari TNI pascareformasi 1998 hingga hari ini.
Dari tindakan represif terhadap demonstran, penyiraman air keras ke penyidik KPK Novel Baswedan, pembunuhan enam anggota FPI, drama Ferdy Sambo yang membunuh ajudannya sendiri, tragedi Kanjuruhan yang menewaskan ratusan orang, hingga pembunuhan pelajar di Semarang, membuktikan bahwa desakan untuk mereformasi Polri tidak pernah dimulai.
Hari-hari terakhir ini, terjadi lagi pembunuhan terhadap Affan Kurniawan, penangkapan aktivis Delpedro Marhaen dan pelajar yang menegaskan bahwa ruang sipil terus dipersempit dengan cara-cara represif.
Ancaman menyempitnya ruang sipil diperburuk dengan meningkatnya kehadiran militer setelah pengesahan UU TNI oleh pemerintahan Prabowo. UU tersebut memberi keleluasaan lebih bagi militer menduduki jabatan sipil yang seharusnya steril dari campur tangan aparat bersenjata seperti misalnya pada program makan bergizi gratis (MBG) dan sekolah rakyat.
Selain itu, penguatan militer juga tak tanggung-tanggung, diproyeksikan akan ada 1 juta personil militer di era Prabowo. Mandatnya bukan hanya di sektor pertahanan tetapi juga menyusup ke proyek-proyek strategis nasional yang sudah dimulai sejak zaman Jokowi. Bahkan dalam penanganan aksi unjuk rasa kali ini, Prabowo tanpa ragu menginstruksikan militer terlibat di dalamnya.
Penguatan militer sebagai eksekutor kebijakan pemerintahan Prabowo adalah strategi sistematis atau playbook untuk membunuh demokrasi dan mengarahkan Indonesia menuju otoritarianisme.
Sinyal yang semakin jelas ketika Prabowo menghadiri parade militer di China dan menyempil berfoto bersama Xi Jinping, Vladimir Putin, dan Kim Jong Un. Ini bukan sekadar foto yang menunjukkan keeratan hubungan Indonesia dengan China, Rusia, dan Korea Utara. Bukan pula soal kebijakan luar negeri, tapi ini lebih jauh menunjukkan mau dibawa ke mana arah dan masa depan demokrasi Indonesia.
Tanda-tanda kemunduran demokrasi tentu tidak hanya datang dari militerisasi. Kooptasi partai politik oleh pengusaha dan keluarga juga sebagai tanda yang nyata. Ketua umum digilir antara pengusaha atau diketuai orang lama atau keluarganya menjadi realitas yang gamblang, jauh dari kritik, seolah-olah partai politik adalah perusahaan keluarga.
Kondisi ini membuat kaderisasi dibajak para pesohor dengan popularitas tapi tanpa empati dan kualitas atau yang lebih buruk, orang tanpa melewati kaderisasi bisa dengan mudah menduduki jabatan ketua.
Itu belum termasuk sistem kepemiluan yang mempersulit munculnya partai-partai baru demi menjaga status quo, juga lubang-lubang aturan yang berpotensi diakali sedemikian rupa demi ambisi berkuasa. Masyarakat sudah menyaksikan konstitusi diubah demi satu orang bisa menjadi calon wakil presiden.
Kongsi antara penguasa, aparat, dan partai politik menghasilkan ketidakadilan. Ketimpangan kian dalam. Si kaya menguasai 90 persen kekayaan dan kerap dapat keringanan pajak. Sementara si miskin harus menanggung kenaikan pajak hingga ratusan persen dan pemutusan hubungan kerja (PHK) di saat tunjangan DPR dan fasilitas pejabat melonjak tanpa malu.
Dampaknya luar biasa, korupsi di mana-mana, penggusuran, eksploitasi pekerja, pencaplokan lahan, penguasaan sumber daya alam, peminggiran kelompok marginal, kaum miskin kota, ojol, buruh, masyarakat adat, perempuan, minoritas gender, serta kelompok minoritas lainnya.
Atas kondisi itu, rakyat harus menuntut yang lebih jauh dari sekadar mengesahkan sebuah undang-undang, sebab ancaman otoritarianisme sudah di depan mata. Karena itu kita perlu memulai tuntutan dari sini:
- Mereformasi Polri sekarang juga
Polri harus menjadi institusi profesional, bukan lagi sebagai alat kekuasaan dan politik. Reformasi polisi harus mencakup penghapusan impunitas aparat, penguatan akuntabilitas, pendidikan aparat yang berperikemanusiaan, dan transparansi struktural. Institusi kepolisian tidak lagi digunakan untuk kepentingan elite dan merepresi masyarakat sipil. Pengawasan penggunaan anggaran negara, peralatan, dan prosedur operasi kepolisian juga harus dievaluasi.
- Mengembalikan TNI ke barak
Pemerintah perlu mengembalikan militer ke fungsi konstitusionalnya sebagai alat pertahanan negara seperti yang dimandatkan dalam UUD 1945 Pasal 30. TNI tidak lagi terlibat dalam urusan sipil, politik, maupun penegakan hukum domestik yang melemahkan supremasi sipil dan mengganggu kedaulatan rakyat.
- Mereformasi sistem pemilu dan kepartaian
Wacana pemerintah untuk merevisi UU Pemilu dan UU Kepartaian harus dilakukan secara transparan dan melibatkan partisipasi masyarakat sipil. Reformasi politik harus memastikan bahwa tidak ada lagi sosok yang tidak kompeten lolos ke Senayan maupun pemerintahan pusat dan kabinetnya. Reformasi ini harus menjamin partai politik menjadi lebih akuntabel dan responsif terhadap kebutuhan rakyat, termasuk juga transparan terhadap pendanaan dan pembatasan praktik oligarki dalam partai.
- Menuntut keadilan ekonomi untuk semua
DPR telah mengumumkan ‘rencana’ pembatalan kenaikan tunjangan dan pemangkasan beberapa komponen fasilitas anggota dewan. Namun, besaran yang diterima anggota dewan setiap bulannya masih fantastis. Lembaga riset independen CELIOS mengusulkan penetapan gaji anggota dewan yang tidak melebihi tiga kali upah minimum Jakarta dengan sistem remunerasi yang transparan.
Selain itu, negara harus segera menerapkan pajak kekayaan serta merevisi total regulasi perpajakan dengan membatalkan kenaikan tarif yang membebani rakyat. Tax the rich. Anggaran untuk proyek-proyek mubazir seperti Ibu Kota Negara (IKN), Danantara, dan food estate harus dievaluasi dan dialihkan untuk keuntungan rakyat.
- Menolak otoritarianisme dalam bentuk apa pun juga
Setiap upaya untuk memusatkan kekuasaan, menindas kebebasan sipil, membungkam suara oposisi, serta manipulasi hukum, harus dihentikan. Pemerintah harus menjamin kedaulatan rakyat, supremasi hukum, dan hak asasi manusia.
Perjuangan ini butuh napas sungguh panjang dan merupakan bagian dari perjuangan rakyat seluruh dunia yang merasakan hal yang sama dengan kita. Maka jangan berhenti, siapa pun kita, jangan berhenti hingga kita mencapai kiblat perjuangan kita: keadilan sosial (termasuk keadilan gender, keadilan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia, keadilan bagi mereka yang masih dijajah), keadilan ekologis (dunia di mana kita sejahtera tanpa merusak bumi), dan keadilan ekonomi (dunia di mana kekayaan tak lagi hanya dikuasai si kaum satu persen).