Pilkada Lampung 2024: Potret Rancang Bangun Sentralisasi Kekuasaan

Konsentris.id
Mawa Kresna
14 menit
Pasangan Arinal Djunaidi-Sutono (kiri) dan Rahmat Mirzani Djausal-Jihan Nurlela (kanan) mengikuti debat publik kedua, Sabtu, 2/11/2024. Debat Pilgub Lampung itu membahas sejumlah persoalan terkait hukum, pemerintahan, dan sosial budaya. (KONSENTRIS.ID/Derri Nugraha)

Skema KIM dan KIM Plus berupaya mendesain pilkada dengan calon tunggal. Lewat skema itu, para elite mengonsolidasikan kekuasaan hingga ke daerah. Situasi ini akan membawa demokrasi menuju kegelapan.


Beberapa hari sebelum pendaftaran calon kepala daerah 2024, Muhammad Sarmuji mengontak Arinal Djunaidi. Sekretaris Jenderal Partai Golongan Karya (Golkar) itu membawa kabar buruk. Ia menyampaikan bahwa Golkar tidak jadi mengusung Arinal dalam Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur (Pilgub) Lampung.

Pernyataan Sarmuji sekaligus mencabut dukungan Golkar atas pencalonan Arinal sebagai gubernur. Pencabutan tersebut seiring pergantian Ketua Umum Golkar dari Airlangga Hartarto ke Bahlil Lahadalia.

Arinal adalah calon petahana. Saat itu, ia juga Ketua DPD Golkar Lampung. Ketika DPP Partai Golkar di bawah kepemimpinan Airlangga, Arinal mendapat mandat untuk mencari koalisi dan pasangan dalam Pilgub Lampung. Semua berubah tatkala Ketua Umum Golkar beralih kepada Bahlil. Golkar memutuskan mendukung Ketua DPD Gerindra Lampung Rahmat Mirzani Djausal. Pengalihan dukungan Golkar kepada Rahmat tiga hari menjelang pendaftaran pilkada serentak.

“Tanya Bahlil bagaimana ceritanya (pencabutan dukungan). Saya ini orang Lampung, enggak ada urusan. Mereka itu (Sarmuji dan Bahlil) junior saya,” kata Arinal di rumahnya, Jumat, 13 September 2024.

Arinal merasa kesal dengan keputusan DPP Golkar yang seenaknya menggeser dukungan. Selain mendadak, tak ada ruang untuk mendiskusikan pencabutan dukungan. Ia baru tahu belakangan bahwa pencabutan dukungan karena Golkar tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM). Sehingga, Partai Golkar memberi dukungan kepada calon gubernur yang diusung oleh koalisi.

KIM merupakan gabungan sembilan partai politik. Perinciannya, empat partai parlemen (Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat) dan lima partai nonparlemen, yakni PBB, Partai Gelora Indonesia, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Garuda, dan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima). Dalam konteks Pilkada 2024, koalisi itu meluas menjadi KIM Plus dengan bergabungnya PKB, Partai NasDem, PKS, PPP, serta Perindo.

Skema KIM Plus tersebut nyaris mendesain Pilgub Lampung melawan kotak kosong. Pasalnya, calon gubernur hanya dua, yaitu Rahmat dan Arinal. Pencabutan dukungan terhadap Arinal praktis membuatnya tak bisa maju. Sebab, UU Pilkada mengharuskan pengusulan calon oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan suara paling sedikit 25% dari akumulasi perolehan suara sah pada pemilu. Sementara, mendekati pendaftaran pilkada, partai yang belum menentukan sikap hanya PDI-P dengan mengantongi 16,72% suara di Lampung. Sedangkan partai lain yang memiliki kursi di parlemen sudah bersatu mendukung Rahmat.

“Sampai 12-13 partai diambil (berkoalisi) untuk kotak kosong, supaya saya tidak bisa maju,” ujar Arinal.

Peta politik pun berubah mendekati pendaftaran pilkada. Perubahan itu implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/ PUU-XXII/2024. Putusan tersebut menghapus syarat minimal jumlah kursi partai di DPRD untuk mengusung calon kepala daerah. Alhasil, partai yang tak memiliki kursi di parlemen dapat mengusung sendiri calonnya.

Arinal Djunaidi (kiri) dan Sutono (kanan). (KONSENTRIS.ID/Derri Nugraha)

Sehari sebelum penutupan pendaftaran pilkada, Arinal mendapat dukungan PDI-P. Ia berpasangan dengan Sutono, Sekretaris DPD PDI-P Lampung. Pasangan Arinal-Sutono mendaftar ke KPU Lampung, Kamis petang, 29 Agustus lalu.

“Jadi, saya adalah calon dari PDI-P, titik! Tidak usah bawa-bawa Golkar lagi. Risiko apa pun akan saya hadapi,” kata Arinal.

***

Suara tangisan para pendukung pecah tatkala KPU Lampung Timur menolak pendaftaran Dawam Rahardjo-Ketut Erawan sebagai calon bupati-wakil bupati, Rabu malam, 4 September 2024.

Di dalam kantor, hadir ketua KPU dan pihak Bawaslu setempat. Mereka menyampaikan bahwa belum bisa menerima pendaftaran Dawam-Ketut. Pasalnya, dalam sistem informasi pencalonan (Silon) secara online, PDI-P Lampung Timur masih tercatat sebagai anggota partai pengusung pasangan Ela Siti Nuryamah-Azwar Hadi.

PDI-P bersama NasDem, PKS, PAN, PKB, Golkar, Gerindra, PPP, dan Demokrat memang mengusung Ela-Azwar saat mendaftar ke KPU Lampung Timur, 28 Agustus lalu. Tetapi, PDI-P kemudian menarik diri. Penarikan dari koalisi jumbo pengusung Ela-Azwar itu dengan memberikan formulir persetujuan parpol KWK kepada Dawam-Ketut, Rabu siang, 4 September.

Pada persamuhan itu, Dawam-Ketut beserta pengurus PDI-P Lampung Timur membawa surat rekomendasi pencalonan dari Dewan Pimpinan Pusat PDI-P. Dokumen itu pula yang secara resmi mencabut dukungan PDI-P dari Ela-Azwar. Namun, KPU Lampung Timur tetap menolak berkas pendaftaran mereka.

Dalam keterangan tertulis, KPU Lampung Timur menyebut penolakan pendaftaran Dawam-Ketut sesuai ketentuan Pasal 11 ayat (4) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2024. Beleid itu mengatur bahwa partai politik peserta pemilu atau gabungan partai politik peserta pemilu hanya dapat mengusulkan satu pasangan calon.

Alasan lainnya, status Silon kepala daerah juga masih sebagai partai politik yang mendaftarkan pasangan Ela-Azwar. Sedangkan Dawam-Ketut belum mengajukan pendaftaran melalui Silon.

“Atas dasar itu, maka KPU Lampung Timur tidak dapat memproses pendaftaran pasangan Dawam-Ketut,” kata Ketua KPU Lampung Timur Wasiyat Jarwo Asmoro.

Perdebatan alot berlangsung lebih dari lima jam. Pihak Dawam-Ketut merasa alasan penolakan tak substansial. Saat itu, Ketut Erawan menawarkan, apabila belum bisa mengubah data Silon secara online, KPU dapat memakai cara manual. Sebab, Silon hanyalah alat bantu untuk mempermudah pendaftaran calon.

“Jika berkas tidak lengkap, tak apa-apa kami digugurkan saat penetapan. Tapi, tolong jangan tolak pendaftaran,” ujar Dawam menirukan ucapannya sewaktu mendaftar.

Akan tetapi, hingga dini hari, KPU Lampung Timur tetap tidak menerima pendaftaran Dawam-Ketut. Padahal, malam itu hari terakhir pendaftaran calon, setelah sebelumnya diperpanjang selama satu pekan.

Peristiwa tersebut pun menuai sorotan publik. KPU Lampung Timur dinilai melanggar HAM karena membatasi hak warga dalam demokrasi. Ratusan orang berunjuk rasa di depan kantor KPU setempat. Mereka mendesak KPU menerima berkas Dawam-Ketut sebagai calon bupati dan wakil bupati Lampung Timur. Kasus tersebut juga mendapat perhatian Komisi II DPR.

Menerima berbagai desakan, KPU Lampung Timur akhirnya menerima pendaftaran Dawam-Ketut, Kamis, 12 September 2024. Keputusan itu mengikuti Surat Edaran KPU RI Nomor 2038/PL.02.2.-SD/06/2024 ihwal Penerimaan Kembali Pendaftaran Pasangan Calon di Daerah dengan Satu Pasangan Calon. Edaran tersebut setelah rapat dengar pendapat antara KPU, Komisi II DPR, dan Kementerian Dalam Negeri, Rabu, 11 September.

Sebelum penolakan Dawam-Ketut, isu kotak kosong berhembus kencang di Lampung Timur. Mirip dengan Arinal, Dawam yang merupakan Ketua DPC PKB Lampung Timur sekaligus petahana justru tak mendapat rekomendasi dari partainya untuk kembali maju. 

Padahal, Dawam berkontribusi membesarkan PKB di Lampung Timur. Pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2024, PKB menjadi partai pemenang pemilu di Lampung Timur dengan perolehan 12 kursi. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan Pileg 2019 yang hanya meraih delapan kursi DPRD Lampung Timur.

Kendati tidak terjadi kotak kosong, seperti dalam pilgub, Dawam-Ketut bakal melawan dominasi suara dari 10 partai yang tergabung dalam KIM Plus.

Skema Kotak Kosong

Skema KIM dan KIM Plus di beberapa daerah tampak mendesain pilkada dengan calon tunggal. Setidaknya, ada 37 daerah kotak kosong. Perinciannya, satu pemilihan gubernur, lima pemilihan wali kota, dan 31 pemilihan bupati.

Kotak kosong di pilgub terjadi di Papua Barat. Sebanyak 18 partai politik mengusung pasangan Dominggus Mandacan dan Mohamad Lakotani. Sementara, kotak kosong dalam pemilihan bupati dan wali kota menyebar di beberapa daerah, antara lain Aceh, Sumatra, Jawa, dan Kalimantan. 

Di Lampung, sebanyak 35 pasangan calon yang bertarung dalam pilkada 2024. Dari jumlah tersebut, dua daerah terdapat satu pasangan calon, yaitu Lampung Barat dan Tulangbawang Barat. Bila pada Pilgub Lampung PDI-P melawan KIM Plus, di Lampung Barat dan Tulangbawang Barat, partai berlambang banteng moncong putih itu justru bersatu dengan KIM Plus melawan kotak kosong.

Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Metro pun hampir melawan kotak kosong. KPU Metro sempat mendiskualifikasi salah satu satu pasangan calon. Mereka adalah Wahdi Siradjjudin-Qomaru Zaman, pasangan calon petahana.

Dalam siaran pers yang dirilis akun Instagram @kpukotametro, Rabu, 20 November 2024, pembatalan pencalonan Wahdi-Qomaru merujuk Surat Bawaslu Kota Metro Nomor 305/PP.00.02/K.LA-15/11/2024 mengenai Surat Pengantar dan Salinan Putusan Pengadilan Negeri Kota Metro Nomor 191/ Pid.Sus/2024/PN.Met tanggal 1 November 2024. Pengadilan Negeri Kota Metro memvonis Qomaru terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana “pemilihan”. Berdasarkan dakwaan, pelanggaran pidana pemilihan bisa dijatuhi sanksi pembatalan pasangan calon.

Beberapa jam kemudian, siaran pers itu terhapus dari laman Instagram KPU Kota Metro. Tak ada keterangan ihwal penghapusan tersebut. Pembatalan pencalonan Wahdi-Qomaru dilakukan satu hari sebelum pergantian komisioner KPU Kota Metro.

Tiga hari berselang, KPU setempat menggelar konferensi pers. Ketua KPU Kota Metro Erzal Syahreza menyatakan, pihaknya mencabut surat pembatalan Wahdi-Qomaru. Pencabutan itu tertuang dalam Keputusan KPU Kota Metro Nomor 426 Tahun 2024 tentang pencabutan Keputusan KPU Nomor 421 dan 422 Tahun 2024.

KPU Kota Metro juga menerbitkan surat nomor 427 tahun 2024. Isinya, membatalkan pencalonan Qomaru Zaman sebagai calon wakil wali kota.

Jadi, surat suara untuk pasangan calon nomor urut 2 tetap menampilkan foto Wahdi-Qomaru. Namun, sebelum pemungutan suara, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) akan mengumumkan status Qomaru Zaman sebagai terpidana. Pasangan Wahdi-Qomaru mendapat dukungan KIM dan KIM Plus.

Keberadaan KIM dan KIM Plus tampak mendominasi Pilkada 2024. Blok politik yang diprakarsai Presiden Prabowo itu mengusung total 42 pasangan calon kepala daerah yang tersebar di 33 provinsi. Dari jumlah tersebut, sebanyak 17 pasangan calon mengantongi dukungan suara Pileg 2024 lebih dari 50%.

Salah satu dari 17 pasangan calon itu adalah Rahmat Mirzani Djausal-Jihan Nurlela. Mereka mendapat dukungan 12 partai politik dengan persentase suara partai pengusung Pileg DPRD 2024 sebesar 80,50%.

Pada level kabupaten/kota di Lampung, terdapat lima wilayah yang salah satu pasangan calonnya mendapat dukungan penuh KIM dan KIM Plus. Mereka adalah pasangan Eva Dwiana-Deddy Amarullah di Bandar Lampung, Ela Nuryamah-Azwar Hadi (Lampung Timur), dan Novriwan-Nadirsyah (Tulangbawang Barat). Kemudian, pasangan Parosil Mabsus-Mad Hasnurin di Lampung Barat, serta pasangan Musa Ahmad-Ahsan dalam Pilkada Lampung Tengah. Selebihnya, koalisi campuran antara KIM, KIM Plus, maupun PDI-P. 

Rekam Jejak Bermasalah

Dalam Pilgub Lampung, perebutan kekuasaan hanya dua pasangan calon. Keduanya, pasangan Arinal Djunaidi-Sutono dan Rahmat Mirzani Djausal-Jihan Nurlela.

Arinal-Sutono punya latar belakang sebagai birokrat. Keduanya pernah menjabat sebagai Sekretaris Provinsi (Sekprov) Lampung. Sedangkan Rahmat-Jihan adalah politisi. Mereka pernah menjadi senator. Sebelum terjun ke politik, Rahmat berkecimpung dalam bidang jasa konstruksi. Sementara, Jihan seorang dokter sekaligus adik mantan Wakil Gubernur Lampung Chusnunia Chalim alias Nunik.

Sebagai petahana, Arinal memiliki riwayat buruk dengan jurnalis. Pada 2016, ia pernah melecehkan jurnalis Tribun Lampung. Kala itu, Arinal menjabat sebagai Sekretaris Provinsi Lampung.

Pada 2020, Arinal mengancam seorang jurnalis perempuan. Tindakan Arinal sampai mendorong International Federation of Journalists (IFJ) mengeluarkan pernyataan sikap. Tahun yang sama, Arinal pernah membentak wartawan televisi. 

Pada 2023, mantan gubernur Lampung itu mengintervensi jurnalis Kompas TV. Perbuatannya mendapat kecaman dari komunitas pers.

Hal lainnya, kasus penambangan pasir laut di Tulangbawang. Aktivitas ekstraktif yang diprotes masyarakat setempat itu memperoleh restu dari Arinal.

Arinal juga banjir kritik ketika infrastruktur di Lampung menjadi sorotan. Dalam sebuah video, Arinal terlihat bertepuk tangan kala Presiden Jokowi menyampaikan pemerintah pusat akan mengambil alih perbaikan jalan. Momen Arinal bertepuk tangan itu saat Jokowi menyampaikan keterangan pers usai meninjau jalan rusak di Lampung, Jumat, 5 Mei 2023.

Reaksi Arinal menuai beragam komentar warganet. Beberapa di antaranya menyebut Arinal tak punya urat malu. Sebab, pengalihan tugas provinsi ke pusat merupakan bentuk kegagalan pemerintah daerah dalam mengemban tanggung jawab.

Merujuk data Badan Pusat Statistik, selama pemerintahan Arinal 2019-2024, Provinsi Lampung selalu masuk dalam daftar 15 provinsi termiskin di Indonesia. Pada 2019, penduduk miskin di Lampung tercatat 1.040.000 jiwa. Lima tahun berselang, sebanyak 941.230 penduduk Lampung masih hidup dalam garis kemiskinan.

Selain itu, angka putus sekolah di Lampung terbilang tinggi. Kondisi tersebut pada setiap jenjang pendidikan, mulai SD, SMP, hingga SMA/SMK se-Lampung. Jenjang SMA/SMK menjadi penyumbang terbesar angka putus studi.

Pun begitu dengan angka putus kuliah. Lebih dari delapan ribu orang putus kuliah pada 2020. Salah satu penyebabnya, biaya pendidikan kian melambung, khususnya perguruan tinggi.

Tingkat pengangguran di Lampung pun mengkhawatirkan. Pada 2019, berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja RI, angkatan kerja Lampung mencapai empat juta jiwa dengan angka pengangguran diperkirakan 178.936 jiwa atau sebesar 4,45%. Tahun ini, jumlah angkatan kerja sebanyak 4.996.075 ribu orang. Dari jumlah itu, sebanyak 209,16 ribu orang atau 4,19% merupakan tunakarya.

Kemudian, kasus perampasan ruang hidup di beberapa daerah, antara lain Lampung Selatan dan Lampung Timur. Dalam kasus tersebut terjadi kriminalisasi terhadap petani.

Rahmat Mirzani Djausal dan Jihan Nurlela menggelar jumpa pers usai mendaftar sebagai calon gubernur dan wakil gubernur di Kantor KPU Lampung, Jumat, 29/8/2024. Diusung 12 partai politik dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, mereka mengantongi persentase suara 80,50% pada Pileg 2024. (KONSENTRIS.ID/Derri Nugraha)

Sementara, Rahmat Mirzani adalah anak Faishol Djausal, pemilik PT Rindang Tigasatu Pratama (RTSP). Perusahaan kontraktor itu terindikasi monopoli dengan modus “pinjam bendera” pada proyek jalan di Lampung. Melalui beberapa perusahaan yang terafiliasi dengannya, PT RTSP tercatat mengelola dana proyek lebih dari Rp600 miliar sepanjang 2019-2023.

Selama periode itu, setidaknya empat perusahaan yang terkoneksi dengan PT RTSP merupakan perusahaan yang tercatat dalam LHP BPK tahun 2020 dan 2021 terkait kekurangan volume pengerjaan jalan dan spesifikasi tidak sesuai tender. Keempatnya, PT Mayang Sari Prima, PT Djuri Teknik, PT Mulia Putra Pertama, dan PT Cempaka Mas Sejati.

Faishol Djausal kerap diasosiasikan sebagai The Godfather. Ia sering membantu para pengusaha untuk mendapatkan proyek. Kunci keberhasilannya adalah merangkul semua kalangan. Lelaki yang akrab disapa dengan sebutan “Ayah” itu memiliki koneksi di banyak jalur, mulai politisi, akademisi, jurnalis, aktivis, hingga pengusaha. Ia juga terhubung dengan Tommy Winata, taipan yang disebut masuk Kelompok 9 Naga.

Tak hanya dunia konstruksi, Faishol pun memiliki beberapa perusahaan di bidang tambang dan perkebunan. Perusahaan yang menambang pasir di perairan Tulangbawang, komisaris utamanya adalah Faishol.

Sebelum mencalonkan diri sebagai gubernur, Rahmat adalah anggota DPRD Lampung terpilih. Ia memperoleh sebanyak 40.469 suara. Kakaknya, Dewi Mayang Suri Djausal, juga terpilih menjadi anggota DPRD Kota Bandar Lampung. Artinya, jika Rahmat terpilih menjadi gubernur, keluarga pengusaha itu memiliki jejaring di lembaga eksekutif dan legislatif.

Sentralisasi Kekuasaan

Peneliti Pusat Studi Politik Hukum Kepemiluan dan Demokrasi (PoshDem) Feri Amsari menilai, pola yang dijalankan KIM dan KIM Plus dalam Pemilu 2024 seperti rezim Orde Baru, yaitu pemerintahan yang berkiblat pada penguasaan tunggal seluruh cabang kekuasaan. Hal itu terlihat dari bagaimana koalisi gemuk mereka menguasai mayoritas suara hampir di seluruh provinsi di Indonesia.

“Jadi, ini semacam rancang bangun untuk menciptakan pemerintahan yang sentralisasi. Caranya, dengan memastikan kemenangan pilkada di berbagai daerah,” kata Feri.

Melihat tabiat berulang selama pilpres dan pilkada, Feri memproyeksikan pemerintahan mendatang akan otoriter. Pemerintah daerah hanya melaksanakan kehendak pemerintah pusat. Sebab, pemenangan di daerah di bawah kendali pemerintah pusat.

“Ini bukan lagi pilkada natural, yang menghasilkan pemimpin sesuai dengan kepentingan rakyat. Tetapi, pilkada penuh rekayasa untuk menciptakan pemerintahan daerah yang patuh dan tunduk terhadap kepentingan pemerintah pusat,” ujarnya.  

Feri juga bilang, fenomena tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya partai politik punya kecenderungan hanya ingin menikmati kekuasaan, bukan menjadi alat menyalurkan hajat publik.

Kondisi demikian tak lepas dari negosiasi politik antara Prabowo dan Jokowi. Kedua orang itu punya pengaruh besar terbentuknya koalisi tambun tersebut. Peran keduanya semakin nyata menjelang pemungutan suara Pilkada 2024.

Prabowo dan Jokowi beberapa kali terlihat dalam kampanye sejumlah calon kepala daerah. Belum lama ini, video Prabowo ramai di dunia maya karena mengajak masyarakat mendukung pasangan Ahmad Luthfi-Taj Yasin dalam Pilgub Jawa Tengah. Video tersebut di-upload oleh akun Instagram @ahmadluthfi_official, 9 November lalu.

Kendati mengandung materi kampanye pemilihan, Bawaslu RI mempertimbangkan Prabowo punya hak untuk terlibat dalam kampanye. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 70 ayat (2) Undang-undang Pemilihan Umum dan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2018, yang mengatur prosedur pengunduran diri serta cuti selama masa kampanye.

Sementara, Jokowi turut aktif mengampanyekan pasangan calon yang diusung oleh KIM atau KIM Plus di Jawa Tengah dan Jakarta. Mantan kepala negara itu turun gunung mendukung Ahmad Lutfi-Taj Yasin sebagai calon gubernur-wakil gubernur Jawa Tengah dan Ridwan Kamil-Suswono di Pilgub DKI Jakarta. Jokowi juga mendukung calon Wali Kota Solo Respati Ardi yang diusung oleh KIM Plus.

Feri bilang, bila skenario KIM dan KIM Plus berhasil, maka mara bahaya akan menyelimuti kehidupan demokrasi. Ia menyinggung teori Richard Ekins bertajuk “Balance of The Constitution” yang menyebut konstitusi mesti menciptakan perimbangan. Maksudnya, keseimbangan antara penguasa dan oposisi. Namun, hal itu tampaknya muskil kalau semua partai justru berkoalisi “membunuh” oposan dalam pertarungan politik.

“Jika mereka (KIM Plus) membuat kekuasaan hanya milik mereka, maka sudah pasti suatu waktu mereka akan menyimpang. Penyimpangan itu akan menyebabkan kerugian bagi publik. Masyarakat akan kehilangan hak-hak konstitusionalnya karena terlalu dominannya kekuasaan,” kata Feri.

Selain hak konstitusional, rakyat akan kehilangan hak ekonomi, hak berbicara, bahkan sekadar hak untuk menentukan apa yang dikehendaki dalam kebijakan pemerintah. Gelagat itu terlihat dari penyempitan ruang berbicara, penangkapan dan kriminalisasi pejuang HAM dan lingkungan, serta teror dan peretasan di ruang digital.

Peneliti Pusat Studi Politik Hukum Kepemiluan dan Demokrasi Feri Amsari. (dok. Feri Amsari)

Oleh karena itu, rakyat perlu memiliki kesadaran politik untuk menciptakan oposan di dalam penyelenggaraan negara supaya ada perimbangan. Jika tidak, kerugian paling besar akan dirasakan oleh publik itu sendiri.

Di sisi lain, proses demokrasi cenderung tak menjawab persoalan di masyarakat. Para politisi masih menganggap demokrasi sebatas politik elektoral. Padahal, lebih jauh dari itu, demokrasi mesti bisa menjawab persoalan dan harapan orang banyak.

Di tengah gegap-gempita pemilu, berbagai problem struktural kian menebal. Mulai perampasan lahan, perusakan hutan dan lingkungan, eksploitasi ruang hidup melalui industri ekstraktif, serta tingginya angka kemiskinan. Pemilu yang seyogianya melahirkan solusi justru hanya kenduri lima tahunan tanpa perubahan signifikan.

Paradoks itu muncul akibat para elite yang menjalankan demokrasi tidak patuh dengan konstitusi. Apa yang dilakukan berbanding terbalik dengan perintah undang-undang.

“Contohnya, dalam pemilu, publik memilih orang untuk menjadi pemimpin. Namun, partai memberhentikan orang yang dipilih rakyat dengan orang yang sesuai dengan kehendak partai, seperti yang terjadi pada Partai Gerindra, PDI-P, PKB, dan PKS. Itu pasti melanggar konstitusi,” ucap Feri.

Konsekuensinya, rakyat tidak punya kehendak mutlak sebagai pemegang kedaulatan. Relasi antara pemilih dan orang yang dipilih terputus setelah pemilu. Ujungnya, produk-produk kebijakan sangat jauh atau bahkan tidak sama sekali menjawab persoalan di masyarakat.

“Jadi, seolah-olah menjalankan demokrasi, tapi isinya otoritarianisme,” ujarnya.


Liputan ini merupakan hasil kolaborasi dengan Konsentris.id. Artikel ini pertama kali tayang di Konsentris.id pada 25 November 2024.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Konsentris.id
Mawa Kresna
14 menit