Pengaduan warga Dago Elos ke polisi atas dugaan penipuan kepemilikan lahan ditolak polisi. Warga protes. Polisi menangani protes dengan cara-cara di luar nalar.
BARIKADE warga masih terlihat di beberapa titik masuk area permukiman warga di Dago Elos, satu hari setelah insiden bentrok dengan aparat kepolisian pada Senin malam.
Portal-portal masih tertutup, membatasi ‘orang asing’ memasuki kawasan perkampungan. Para perempuan, ibu, dan anak-anak masih dihantui ketakutan.
Bentrok bermula dari aparat yang membubarkan dengan paksa blokade warga di jalan Dago, Bandung, Jawa Barat. Blokade yang menutup akses lalu lintas di area itu dilakukan sebagai bentuk protes laporan warga terkait penipuan kepemilikan lahan yang ditolak polisi.
Pembubaran paksa memicu perlawanan. Polisi merespons dengan menambah pasukan, dan menembakkan gas air mata ke arah kerumunan. Warga berhamburan ke berbagai penjuru permukiman.
Polisi mengejar, dengan dalih aksi warga telah berubah menjadi anarkis. Gas air mata ditembakkan ke arah permukiman. Aksi itu membuat banyak warga terluka akibat panik berusaha menyelamatkan diri dari kepulan gas air mata.
Pada malam yang mencekam itu, aparat berseragam juga dengan brutal menggedor-gedor pintu rumah, bahkan memaksa masuk mencari warga yang dituding sebagai penyebab kericuhan.
“Banyak warga yang shock khususnya ibu-ibu dan juga balita karena aksi penyisiran yang dilakukan polisi. Kondisi sekarang khususnya ibu-ibu dan anak-anak sangat ketakutan,” ujar Angga selaku Ketua Forum Dago Melawan, Selasa (16/8).
Leoni (23), salah seorang warga mengungkapkan rasa kecewanya. Baginya, malam itu menjadi bukti bahwa polisi tak pernah benar-benar mengayomi.
“Kita gak diperlakukan selayaknya manusia…speechless, sih,” kata Leoni.
“Sudah enggak percaya lagi saya dengan polisi, terlihat jelas keberpihakan mereka dengan kejadian semalam.”
Kendati peristiwa Senin malam itu meninggalkan trauma, warga Dago Elos mengatakan mereka akan tetap ‘sabubukna’ atau bertahan sampai habis, sampai hak-hak ruang hidup mereka diakui.
“Ini pembelajaran bagi kami selaku warga, memperjuangkan keadilan itu penuh dengan perjuangan seperti ini. Mau bagaimanapun ini hal itu akan hadapi hadapi sampai hak-hak kami terpenuhi,” kata Angga, menambahkan.
Konflik lahan di Dago Elos bermula dari tuntutan keluarga Muller, pengusaha yang mengklaim dekat dengan Ratu Wilhelmina dari Belanda, atas lahan mereka seluas 6 hektare di Dago Elos.
Mereka mengklaim kepemilikan lahan itu melalui Eigendom Verponding, yang menurut Putusan Mahkamah Agung Nomor 34 K/TUN/2007 adalah bentuk hak milik terhadap suatu tanah. Eigendom awalnya diatur dalam Pasal 570 KUHPerdata, namun bentuk kepemilikan itu telah dicabut oleh UU Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960.
UUPA memang menuliskan bahwa pihak yang mengklaim mewarisi tanah peninggalan keluarga keturunan bisa dikonversi lalu menjadi hak milik. Namun, konversi tanah itu sejatinya hanya berlaku sampai 1980.
Namun, keluarga Muller pada 2014, mengurus Surat Pernyataan Ahli Waris (PAW) ke Pengadilan Agama Cimahi, Jawa Barat. Oleh pengadilan, mereka mendapatkan surat penetapan ahli waris bernomor 687/pdt.p/2013.
Dokumen tersebut yang membawa keluarga Muller menggugat 335 warga yang tinggal di Kampung Cirapuhan dan Dago Elos ke Pengadilan Negeri Kota Bandung pada 2016. Keluarga Muller memberi kuasa kepada kuasa hukum dari PT Dago Inti Graha, sebuah perusahaan properti, sebagai penggugat IV.
Muller bersama PT Dago Inti Graha juga maju sampai tingkat kasasi tetapi kalah karena Mahkamah Agung menyatakan tenggat waktu konversi Eigendom Verponding telah berakhir. Mereka kemudian melakukan Peninjauan Kembali (PK). Pada tingkat itu, mereka memenangkan gugatan.
Warga Dago Elos terancam diusir. Di tengah ancaman itu, warga tetap berjuang dengan melaporkan bahwa keluarga Muller telah melakukan penipuan atas klaim lahan warga. Namun, laporan ditolak kepolisian.
Protes kemarin bukan yang pertama. Ruang hidup yang terusik membuat warga semakin merapatkan barisan, menguatkan solidaritas. Dago Elos dalam beberapa tahun terakhir, menjadi episentrum bagi gerakan kolektif di Bandung.
Sekitar sebulan lalu, sejumlah anak muda di Dago Elos menggelar Festival Kampung Kota (FKK) untuk ketiga kalinya. FKK menjadi ajang kolektif warga di Bandung dan sekitarnya untuk memperkuat jaringan.
Pada festival ini, berbagai kegiatan digelar, mulai dari diskusi, pameran, nonton film bareng, panggung seni, pasar mingguan hingga pengajian. Mereka juga membentuk Aliansi Solidaritas.
Ayang (44), warga Dago Elos mengatakan kehadiran Aliansi Solidaritas memberikan dampak psikologis bagi dirinya berupa rasa tenang dan tidak merasa sendirian terutama dalam menghadapi konflik yang saat ini sedang berlangsung.
“Saya sangat respek sama mereka, mereka tergerak karena hati nurani. Sebagai warga kadang saya merasa malu, mereka itu orang lain orang luar yang dan tidak ada kepentingan, mau digusur atau apa mereka nothing to lose dan selalu mendukung. Tapi kadang kami dari warga yang malah males-malesan,” ujar Ayang.
Sama seperti Ayang, bagi Leoni, Aliansi Solidaritas sudah seperti keluarga yang selalu mendukung dalam setiap keadaan. Makanya, ia merasa kehilangan saban festival berakhir.
Di kolong jembatan Pasupati, masih di dekat Dago, para anak muda juga menggelar gerakan Pasar Gratis. Bara, salah satu motor aksi Pasar Gratis mengatakan gerakan ini berangkat dari keresahan karena pandemi.
Awalnya, mereka hanya membuat dapur umum yang menyediakan makanan untuk mereka yang hidup di jalanan atau mereka yang kehilangan pekerjaan. Kemudian berkembang jadi menjajakan barang kebutuhan sehari hari dengan gratis dan siapa saja dari seluruh kalangan masyarakat bisa bergabung. Meski dibagikan gratis, Bara dan rekannya yang lain menolak menyebut aksi mereka sebagai ajang amal.
Menurutnya, ini bentuk protes terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah terkait penanganan pandemi, lingkungan, korupsi, ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada masyarakat. “Hanya memperbesar jurang ketimpangan ekonomi kaya dan miskin,” kata Bara.
Beberapa tempat di kota Bandung seperti di Braga, Cimahi, Taman Cikapayang, Taman Lansia menjadi titik gerakan, dan tak jarang berakhir dibubarkan aparat dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
“Wah, sudah terlalu sering kalau digusur aparat atau satpol PP, mah, untungnya anak-anak malah semakin terpantik untuk terus ngelapak. Karena kami tidak merasa melanggar aturan, kami hanya bersolidaritas,” katanya.
Pasca-bentrok Senin malam, Bara mengatakan pihak aparat kepolisian kembali datang ke Dago Elos. Aparat berpakaian lengkap, seperti siap berperang, lanjut Bara.
“Padahal yang mereka lawan itu hanyalah nenek-nenek, sopir angkot, pedagang pasar,” katanya.
Bara menyaksikan banyak warga yang kesulitan bekerja setelah bentrok tersebut. Sejumlah angkutan umum rusak, lapak-lapak pedagang di pasar juga masih tercecer berantakan. Ia bersama rekan-rekannya berencana membuka Pasar Gratis pada Sabtu (19/8), untuk membantu warga.
“Besok rencana melapak, untuk mengumpulkan donasi serta kampanye untuk Dago Elos. dengan melapak otomatis banyak orang orang yang berkumpul, nah dengannya berkumpul kami bisa menginformasikan yang sebenarnya terjadi di Dago Elos lebih luas,” katanya.
Setelah melewati malam yang mencekam, warga perlahan berupaya menyembuhkan luka dan ketakutan.
Selasa itu, sebuah pos kesehatan darurat di depan balai RW berdiri. Sejumlah ibu-ibu mengantre untuk memeriksakan kondisi mereka. Tak jauh dari situ, sejumlah anak muda dari Aliansi Solidaritas menemani anak-anak Dago Elos mewarnai dan menggambar untuk mengurangi dampak trauma dan stres.
Beberapa anak muda Aliansi Solidaritas juga mendata warga yang hilang pasca-bentrok dan siapa saja yang ditangkap oleh aparat kepolisian. Sebagian lainnya tertidur pulas kelelahan di balai RW dengan alas seadanya.
Pada Jumat, tim advokasi warga dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Jawa Barat menyatakan kepolisian telah membebaskan ketujuh warga serta meninjau laporan warga atas klaim kepemilikan lahan keluarga Muller.
Artikel ini menggunakan lisensi CC BY-NC-ND 4.0 dan merupakan bagian dari serial #PercumaLaporPolisi.
Untuk alasan keamanan, kami menggunakan nama samaran untuk Ayang dan Leoni.