OTAK LU PAKE
UTANG LU DAH BERAPA LAMA
“Sudah. Ayo kita pulang ke Yogya.”
Tiwi tak pernah lupa kata-kata ini; kata-kata yang diucapkan ibunya pada ayahnya, yang mengisyaratkan kekalahan dan menandai satu masa yang ingin dilupakan.
Saat itu 2007. Tiwi baru lulus SMP. Kala teman-teman sebayanya menikmati liburan sekolah sebelum masuk SMA, Tiwi pulang kampung bersama keluarganya dari Bekasi, Jawa Barat, ke Yogyakarta. Usaha orangtuanya bangkrut.
Dulu ayah Tiwi bekerja di penerbit buku Yudhistira, sementara ibunya jadi manajer di jaringan ritel Ramayana untuk wilayah Jabodetabek. Saat Tiwi kelas 2 SMP, kedua orangtuanya sepakat mundur dari perusahaan masing-masing. Mereka banting setir jadi pedagang buah.
Bisnis mereka maju pesat. Bahkan mereka sempat jadi pemasok buah-buahan utama untuk jaringan swalayan Carrefour di Jakarta. “Masih ingat banget,” kata Tiwi. “Gue ke Lebak Bulus sendiri naik bus, kasih invoice ke (kantor pusat) Carrefour.”
Ketika Tiwi kelas 3 SMP, usaha tersebut ambruk. Keputusan melibatkan orang-orang dekat keluarga dalam bisnis jadi bumerang. Kirim buah 3 ton, diterima Carrefour cuma 2 ton, sisanya raib. Ternyata, dijual diam-diam oleh saudara sendiri. Akhirnya merugi.
Saat bisnis gemilang, orang tua Tiwi sempat memiliki tujuh mobil pick-up, dua truk, dan satu sedan. Kala terpuruk, preman kerap datang menagih utang dan perlahan aset-aset menghilang, termasuk rumah, AC, dan tabung gas. Hingga yang tersisa hanya satu mobil pick-up dan satu sedan.
Seluruh buku Tiwi, termasuk koleksi komiknya, dijual kiloan. Hasilnya dipakai beli bensin untuk pulang ke Yogyakarta. Paman Tiwi membawa mobil pick-up ke rumah nenek Tiwi di Kabupaten Gunungkidul. Sedangkan Tiwi, beserta ayah, ibu, dan kedua adiknya yang masih SD, berangkat dengan sedan menuju Kotabaru, Kota Yogyakarta.
Sesampainya di Kotabaru, Ayah Tiwi membelokkan mobil masuk ke halaman Masjid Syuhada. Tiwi sekeluarga wudu dan salat, sebelum kembali ke sedan dan tidur di sana. Selama tiga bulan ke depan, itulah rumah mereka.
* * *
YA BIAR SEMUA KENALAN LU NGERASAIN GIMANA RASANYA KENA TEROR
“Mbak, gue dipanggil rektorat,” kata Bagas, adik pertama Tiwi, lewat telepon. “Elo datang ya, Mbak. Jam 1 ada Zoom meeting. Enggak usah bilang mama.”
Tiwi mengiyakan dan menutup telepon. Saat itu minggu ketiga Februari 2021. Sudah saatnya Bagas masuk semester 4 perkuliahan di satu kampus negeri di Semarang, Jawa Tengah. Masalahnya, biaya kuliah semester 3 saja belum dibayar. Uang kuliah Bagas mencapai Rp6,5 juta per semester.
Sejak mulai bekerja sebagai wartawan dan bermukim di Jakarta pada 2014, Tiwi telah jadi tulang punggung keluarga. Ia kini membiayai kebutuhan rumah tangga orang tuanya di Yogyakarta serta ongkos kuliah kedua adiknya. Karena itu Tiwi yang pasang badan saat Bagas bermasalah di kampus.
Jam 1 siang, Tiwi menghadiri rapat daring bersama pihak kampus. Di sana ia baru tahu, masalah adiknya lebih rumit dari perkiraan. Tak hanya biaya semester 3 yang belum dibayar, semester 2 juga. Padahal sebelumnya Tiwi sudah transfer uang kuliah semester 2 ke Bagas. Duitnya entah ke mana.
Bagas sempat meminta uang kuliah semester 3 pada Tiwi pada Juli 2020. Namun, saat itu Tiwi tak ada uang. Ia minta Bagas bicara dengan pihak kampus agar bisa mendapat dispensasi. Bagas bilang bisa. Ia bohong. Bagas justru bikin solusi sendiri: tidak kuliah sama sekali di semester 3. Bukan cuti, tapi menghilang begitu saja.
Imbasnya, kampus meminta Bagas mengundurkan diri, mengingat ia gagal memenuhi ketentuan bagi mahasiswa semester 3 untuk telah lulus minimal 75 satuan kredit semester (SKS) dan memiliki indeks prestasi kumulatif (IPK) minimal 3,5.
Tiwi bernegosiasi. Ia menjamin, adiknya bakal rajin kuliah dan mengejar ketertinggalan SKS dan IPK. Boleh, kata pihak kampus, tapi bayar dulu uang kuliah semester 2 dan 3. Totalnya Rp13 juta. Sedangkan pembayaran ongkos semester 4 bisa ditangguhkan sementara.
“Oke, Bu, kalau begitu. Saya dikasih waktu sampai kapan?” tanya Tiwi.
“Sampai jam 3, Mbak. Rektorat tutup jam 3.”
Tiwi punya waktu kurang lebih 1,5 jam untuk mendapat Rp13 juta.
* * *
EMANG WANITA JALANG LU ITU YA
Masjid Syuhada tampak sepi. Sudah larut. Namun, tak ada tanda-tanda sedan itu akan beranjak dari parkiran. Entah sudah berapa malam sedan itu parkir di sana.
Tiwi kecil duduk di kursi penumpang depan, ayahnya di balik kemudi, sementara ibu dan kedua adiknya di kursi belakang.
Setelah memastikan anak-anak terlelap, ayah dan ibu Tiwi diam-diam keluar dari mobil. Mereka butuh bicara, mendiskusikan nasib mereka. Setiap hari seperti itu. Namun, sering kali yang muncul hanya pertengkaran. Tiwi kecil kerap terbangun karenanya. Tak banyak yang bisa ia lakukan selain mencuri dengar dalam diam.
Kira-kira tiga bulan Tiwi sekeluarga tinggal di sedan itu, di parkiran Masjid Syuhada. Selama itu, Tiwi melihat ayahnya berubah. Ayahnya kena post-power syndrome. Ia banyak diam, tak berdaya. Pada masa-masa itu, Tiwi merasa begitu jauh dengan ayahnya, meski mereka hanya terpisah tuas gigi mobil.
Namun, ibu Tiwi menolak kalah. Harus ada tiang penyangga keluarga yang tetap berdiri tegak, dan sang ibu sadar betul hal itu. Ia lantas getol berkeliling menemui teman-teman dekatnya, menceritakan kesusahan yang tengah dilalui sembari mencari peluang usaha baru agar bisa kembali mandiri. Hasilnya, mereka sempat jualan bakso dan jus untuk menyambung hidup.
“Kalau elo ke pantai-pantai di Gunungkidul, itu kan, kalau elo meliuk-liuk itu ada Bukit Bintang, yang dari sana kita bisa lihat kota Yogya. Di situ jualannya,” kata Tiwi. “Bawa mobil ke sana. Jadi konsepnya adalah jalan-jalan. Di benak gue dan adik-adik gue itu kita sedang jalan-jalan.”
Ibu Tiwi sebisa mungkin berusaha menjaga masa kecil anak-anaknya. Ia tak mau bertengkar dengan suami di depan anak-anak. Ia tak pernah menangis di depan anak-anak. Ia berdagang sambil piknik dengan anak-anak. Anak-anak juga tak boleh sampai putus sekolah.
Tahun ajaran baru dimulai saat Tiwi sekeluarga masih tinggal di sedan. Kedua adik Tiwi lantas masuk ke sebuah SD di daerah Maguwoharjo, Sleman, sementara Tiwi masuk SMA di Wonosari, Gunungkidul, dekat rumah neneknya.
Tiwi ingat betul rutinitasnya kala itu. Sekolah sampai siang, pulang ke rumah neneknya, lalu dijemput orangtua untuk kembali ke Masjid Syuhada. Bila ditanya sang nenek mau ke mana, jawaban orang tuanya: “Ada. Kita sudah dapat kontrakan.”
Sesampainya di Masjid Syuhada, Tiwi wudu dan salat, lalu kembali ke sedan untuk menggarap pekerjaan rumah atau lembar kerja siswa (LKS).
“Ketika punya duit dari temannya atau dari manalah, itu setengahnya dipakai nyokap buat makan, setengahnya lagi buat beli LKS,” kata Tiwi. “Dia merasa bahwa jangan sampai anak-anaknya merasakan lagi yang kayak begini. Mereka harus sukses. Mereka harus bisa sekolah dengan baik.”
* * *
GW ANJING ANJINGIN SEMUA KENALAN LU
Tiwi menarik napas panjang, lalu coba memetakan masalahnya. Adiknya, Bagas, belum bayar uang kuliah semester 2 dan 3. Total tunggakannya Rp13 juta. Semua harus dibayar sebelum jam 3 sore, kira-kira 1,5 jam lagi. Tak ada opsi cuti, karena adiknya menghilang di semester 3 dan gagal memenuhi syarat minimum SKS dan IPK. Pilihannya cuma bayar atau berhenti kuliah.
Namun bagi Tiwi, itu bukan pilihan. Adiknya harus kuliah. Tak ada kompromi. Sekarang, bagaimana caranya mendapat Rp13 juta dalam waktu singkat?
Tiwi tak pernah punya tabungan. Setengah dari gajinya yang tak seberapa sebagai wartawan selalu ia serahkan ke ibunya untuk kebutuhan orang tua di Yogyakarta. Ia menanggung biaya kuliah dua adik kandung dan satu sepupu. Belum lagi kebutuhan rumah tangganya sendiri. Ia tentu harus beli susu dan popok untuk Aulia, anaknya yang saat itu baru berusia 1,5 tahun.
Tiwi harus cari pinjaman. Namun, pada siapa? Ia tak bisa berharap banyak pada keluarga besarnya. Ia lantas menghubungi beberapa kawan dekat yang kira-kira punya kekuatan finansial untuk memberikan pinjaman cepat. Total, ia menelepon empat orang. Sial, semuanya bilang sedang tak punya uang.
Waktu kian sempit. Tak ada pilihan lain, Tiwi coba hubungi suaminya. Tadinya ia enggan melibatkan suaminya dalam urusan ini. Tiwi bilang, ia harus bayar uang kuliah Bagas sekarang. Itu saja. Ia tidak cerita soal total tunggakan dan detail permasalahan adiknya di kampus.
Tak lama, suaminya mentransfer Rp6 juta. Lumayan, tapi masih kurang Rp7 juta.
Tiwi berpikir keras. Otaknya terasa kusut. Semua itu terjadi di tengah impitan tenggat penulisan berita. Ia belum mengetik apa-apa. Ia coba jernihkan kepala dengan menyambangi situs YouTube. Ia klik satu video. Sebelum video diputar, muncul sebuah iklan layanan pinjaman online yang ditawarkan aplikasi Kredit Rupiah.
Tiwi terdiam sesaat. Ia ambil ponsel pintarnya, masuk ke Google Play Store, dan mencari Kredit Rupiah. Ia unduh aplikasi itu.
Saat Tiwi membuka aplikasinya, muncul tulisan panjang mengenai kebijakan privasi pengguna. Ia tak punya waktu membacanya. Ia klik “Saya sudah membaca dan setuju”. Setelahnya, muncul notifikasi beruntun. Kredit Rupiah meminta izin untuk mengakses berbagai data dan informasi di ponsel Tiwi, termasuk kontak, panggilan telepon, lokasi, serta foto-foto di galeri. Tiwi izinkan semuanya.
Tiwi mengisi data-data yang diminta serta mengunggah foto KTP, lalu masuk ke menu utama aplikasi. Yang langsung menarik perhatian mata adalah angka besar di bagian atas layar: 9.000.000. Persis di atas angka itu, ada tulisan kecil: “Pinjaman Tertinggi (Rp)”. Di bawahnya, ada informasi “Durasi Pinjaman: 180 Hari” serta tombol “Pinjam Sekarang”.
Tiwi pikir, 180 hari atau enam bulan adalah waktu yang sangat cukup baginya untuk mengembalikan pinjaman. Ia klik “Pinjam Sekarang”.
Tak sampai 10 menit, Rp7 juta masuk ke rekeningnya. Entah kenapa, kurang Rp2 juta dari yang dijanjikan di aplikasi. Mungkin untuk biaya admin, pikir Tiwi. Ia tak ambil pusing. Ia lega karena berhasil mendapat uang dengan nilai pas sesuai kebutuhan.
Kini Rp13 juta ada di tangan. Tiwi segera lunasi tunggakan uang kuliah Bagas untuk semester 2 dan 3. Adiknya pun bisa lanjut kuliah. Tiwi kembali bekerja menulis berita dan mengerjakan urusan rumah tangga.
Pada malam hari, ketika Tiwi telah senggang, ia kembali membuka aplikasi Kredit Rupiah, berusaha mempelajari lebih mendetail soal ketentuan pinjamannya. Ia klik menu “Pinjaman Saya” dan melihat daftar utangnya. Saat itu ia baru menyadari, ternyata aplikasi tersebut hanyalah agregator yang menjembatani Tiwi dengan berbagai penyedia layanan pinjaman online atau pinjol.
Utangnya terbagi ke beberapa pinjol sekaligus, ada yang Rp1 juta, Rp2 juta, dan lainnya. Tiwi bingung. Saat ia coba menghitung manual, jumlah total utangnya mencapai Rp15 juta. Tenggat pengembalian pinjamannya bukan enam bulan, tapi hanya seminggu.
* * *
WKWKWK NASABAH IDIOT SUMPAH
Malam itu, saat ia menyadari telah kena tipu layanan pinjol ilegal, Tiwi mencoba menenangkan diri dan mencari solusi. Apa saja kira-kira yang bisa dilakukan untuk mendapat Rp15 juta dalam seminggu? Ia ingat, minggu depan ia akan pergi dinas ke luar kota. Lumayan, bakal dapat uang jalan dari kantor. Ia juga bisa mencari pinjaman dari beberapa kenalan. Rasanya semua masih bisa diatasi.
Selang lima hari, Tiwi mulai mendapat teror dari sejumlah penagih utang. Padahal, masih ada dua hari lagi sebelum tenggat pelunasan. Tiwi protes. Penagih utang tak peduli. Pokoknya Tiwi harus bayar sekarang juga, kata mereka.
Tiwi mencoba membiarkan. Namun, tak lama, redakturnya di kantor menghubungi.
“Tiwi, elo lagi ada masalah apa?”
“Masalah apa, Kak?”
“Ini ada pinjol bilang sama gue kalau elo belum bayar, elo ada tunggakan.”
Tiwi lemas. Ternyata, pada hari kelima itu, para penagih utang tak hanya menerornya, tapi juga sejumlah orang di daftar kontak ponselnya.
Tiwi sontak dibanjiri kecemasan. Bagaimana bila penagih utang menghubungi orang tuanya? Ayah Tiwi baru kena serangan jantung pada 2019. Kalau sampai sang ayah kena teror juga, Tiwi takut terjadi sesuatu.
Lalu bagaimana bila para narasumber di daftar kontak Tiwi ikut kena getahnya? Kredibilitasnya sebagai wartawan bisa terdampak. Hubungan baik dengan narasumber yang selama ini telah dibangun susah payah bakal runtuh begitu saja. Bukan tak mungkin, bos-bos Tiwi lainnya di kantor juga terseret masalah ini. Tiwi khawatir dipecat. Kehidupan orang tua dan adik-adiknya bergantung padanya. Anaknya masih kecil. Suaminya bakal mengamuk.
Kepala Tiwi kusut. Setumpuk asumsi bergerak liar di otaknya. Tak ada jalan lain, pikir Tiwi. Bagaimanapun caranya, ia harus segera membayar seluruh utang yang ada.
Tiwi berhasil mendapat dana Rp3 juta. Masih kurang Rp12 juta. Penagih utang terus menerornya dengan berbagai makian dan ancaman. Tiwi kembali membuka aplikasi Kredit Rupiah. Ia menarik pinjaman baru untuk melunasi pinjaman lama. Teror berhenti, hanya untuk datang kembali lima hari berselang.
Tiwi jadi terjebak lingkaran setan. Ia terus gali-tutup lubang untuk mencegah para penagih utang bertindak macam-macam. Pada minggu ketiga Maret 2021, ia bahkan memutuskan mencari dana segar dari agregator pinjol ilegal lainnya, Pinjaman Nasional, karena pengajuan pinjaman di Kredit Rupiah telah mencapai batas.
Hingga akhir Maret 2021, total utangnya telah melebihi Rp120 juta. Tiwi tak kuat lagi menanggung semuanya sendiri. Ia lalu ceritakan masalahnya pada teman-teman dari dua lingkaran terdekatnya: anak-anak band kantornya dan kelompok wartawan yang sama-sama pernah bertugas di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
Teman-teman kaget mendengar cerita Tiwi. Namun, mereka segera menghibur dan menyemangatinya. “Sudah, ayo kita tutup (utangnya) bareng-bareng,” kata mereka.
Mereka bergerak cepat mengumpulkan dana hingga terkumpul Rp50 juta. Tiwi sangat bersyukur. Ia bisa menarik napas sesaat. Namun, itu belum cukup.
Tiwi memutar otak kembali. Pada April, ia gadaikan maskawinnya. Dapat Rp8 juta. Masih belum cukup. Ia gadaikan laptopnya, alat kerja utamanya untuk mencari nafkah. Dapat Rp3,5 juta. Tetap belum cukup.
Hingga satu hari, suaminya bertanya, “Maskawin mana?”
Tiwi tak bisa mengelak lagi. Ia cerita, ia terjerat pinjol ilegal. Mereka bertengkar. Tiwi tak mau banyak berdebat. Ia cuma bilang, iya, ini semua salahnya.
“Berapa total utangnya?” tanya suami.
“(Sisa) Rp60 juta.”
Suami memberikan Tiwi Rp30 juta.
Tetap belum cukup.
* * *
MAKANYA BU PUNYA SUAMI YANG KAYA BIAR GA KELILIT HUTANG
Elisheba Nindrapramesti menjalani semester akhir perkuliahannya sejak awal 2021 dengan kaki naik, kepala turun. Selain mengerjakan skripsi, ia sibuk menjadi ketua program kuliah kerja nyata (KKN) di kampusnya di Semarang. Ia pun menjalankan tiga bisnis berbeda, yang selama ini sukses membuatnya mandiri secara finansial dan bahkan mampu membiayai kuliah adiknya sendiri.
Sheba, panggilan akrabnya, datang dari keluarga cukup berada. Ayahnya pengacara, begitu juga tante dan neneknya. Namun, Sheba terbiasa mencari uang sendiri sejak kuliah semester 3. Mulanya ia menjual makanan. Lama-kelamaan, ia merambah bisnis produk perawatan kulit dan busana wanita. Semua dijalankan daring.
Yang paling banyak membutuhkan modal adalah usaha pakaian. Sistemnya prapesan. Setelah pesanan masuk, Sheba bakal membayar penjahit untuk mengerjakannya sesuai keinginan pembeli.
Pada awal 2021, Sheba berniat mengembangkan usaha busana wanita itu lebih jauh. Namun, modalnya terbatas. Pandemi Covid-19 bikin bisnis dan pendapatannya lesu. Saat yang sama, ia mesti membayar uang kuliah semesteran adiknya.
Total, Sheba butuh kira-kira Rp6 juta untuk perluasan usahanya, tapi ia cuma punya Rp2 juta. Ia coba mencari tahu cara menarik pinjaman dari bank dan pegadaian. Ternyata, persyaratannya sulit ia penuhi, terutama yang terkait bukti pendirian usaha. Tak ada berkas fisik untuk mendukung legalitas usahanya. Bila ditanya soal lokasi bisnisnya, ia cuma bisa menjawab di internet.
Saat Sheba pusing mencari akal, datanglah pinjol ilegal. Tiba-tiba muncul iklan aplikasi Pinjaman Nasional ketika Sheba berselancar di YouTube dan Instagram. Ia tergiur, lantas mengunduh aplikasi agregator tersebut.
Ia mengizinkan Pinjaman Nasional mengakses ponselnya, mengisi data-data yang diminta, mengunggah foto KTP, lalu masuk ke menu utama aplikasi. Ia mengajukan pinjaman sebesar Rp4 juta dengan tenor 120 hari alias empat bulan. Tak lama, masuk Rp3,6 juta ke rekeningnya, yang harus dikembalikan beserta bunga dalam waktu seminggu.
Sheba mumet. Ia baru sadar telah kena tipu.
“Hari kelima, aku sudah ditagih kayak lagi maling uang negara. Kayaknya maling uang negara enggak segitunya, deh, dimakinya,” kata Sheba. “Itu pun di hari kelima dipanggilnya sudah bukan manusia. Dipanggil babi, pelacur.”
Selain memaki, penagih utang mengancam akan meneror seluruh kenalan di daftar kontak Sheba dan menyebarkan data-data pribadinya. Sheba panik. Ia berusaha membayar sebisanya, meski kerap keteteran karena kehabisan dana. Berulangkali ia menarik pinjaman baru untuk melunasi pinjaman lama. Gali lubang, tutup lubang.
Ujung-ujungnya, teror dan penyebaran data pribadi toh tetap terjadi.
Lima hari setelah penarikan pinjaman, penagih utang mulai menyebar KTP dan foto-foto pribadi dari galeri ponsel Sheba ke berbagai kenalannya, sembari menghardik dan menyuruh mereka mengingatkan Sheba untuk bayar utang. Penagih kerap beralasan, mereka yang dihubungi adalah yang dijadikan Sheba sebagai penjamin utang. Itu bohong.
Imbasnya ke mana-mana. Saat awal menjabat sebagai ketua KKN, banyak orang mendekatinya untuk mengurus ini dan itu. Setelah Sheba terjerat pinjol ilegal, banyak yang menjauhinya, gosip yang menyebar di kalangan teman-temannya bahwa Sheba berutang untuk berfoya-foya.
Keuangan Sheba remuk. Ia tak fokus mengerjakan skripsi. Ia kesepian. Ia merasa bodoh sekali karena bisa sampai terjerat masalah semacam ini. Kenapa ia tak mencari tahu lebih dulu sebelum menarik pinjaman? Ia tahu, ia bukan orang paling pintar di kampus, tapi ia juga tidak bodoh. Ia anak dari keluarga pengacara yang mestinya melek hukum. Astaga, apa yang akan dikatakan orang tuanya?
Sheba terus memendam segalanya. Pertengahan Juni 2021, total utangnya telah mencapai Rp20 juta, dan ia tak lagi bisa menarik pinjaman baru.
“Aku sudah enggak kuat.”
* * *
SAYA TUNGGU SAMPAI JAM 3
DAH JAM 3 GAK ADA PEMBAYARAN INI SAYA HANCURKAN REPUTASINYA
“Apakah pinjaman harus dikembalikan? Ya ini namanya kalau enggak dikembalikan ya masuk neraka nanti.”
Begitu kata Tongam Lumban Tobing, ketua Satgas Waspada Investasi, di satu webinar pada Juni 2021. Ini bukan kali pertama dan terakhir Tongam mengatakan hal tersebut.
Kira-kira dua bulan berselang, Tongam menyampaikan hal serupa di webinar lain. Kali ini ia menambahkan, bila Satgas Waspada Investasi menyerukan agar masyarakat tak melunasi utang pada pinjol ilegal, bisa muncul “perilaku tidak baik”. “Bukannya malah memberantas pinjol ilegal, tetapi masyarakat kita akan jorjoran meminjam dari sana,” kata Tongam.
Saat seseorang menggunakan jasa pinjaman online, kata Tongam, terjadi kesepakatan pribadi antara peminjam dan pemberi pinjaman, entah terkait jumlah penarikan, bunga, biaya administrasi, atau tenggat pelunasan. Satgas tak bisa ikut campur dalam hubungan perdata atau perjanjian antarpihak tersebut, kecuali bila terjadi tindak pidana dalam prosesnya seperti pengancaman saat penagihan.
“Jadi perhatikan dulu,” kata Tongam. “Sebelum sepakat, harus memang benar-benar kita pahami semua risiko, manfaat, dan kewajiban kita.”
Menurutnya, ada dua kelompok masyarakat yang selama ini terjerat pinjol ilegal. Yang pertama adalah kelompok dengan tingkat literasi keuangan rendah dan pemahaman terbatas terkait pinjaman daring. Yang kedua adalah mereka yang dengan sadar menggunakan layanan pinjol ilegal, biasanya karena kesulitan keuangan dan tak bisa mengakses pinjaman dari lembaga keuangan formal seperti bank dan pegadaian.
Secara umum, kelompok pertama disebut kerap melakukan tiga kesalahan. Pertama, terburu-buru mencoba layanan pinjol tanpa mengecek legalitasnya terlebih dahulu, misalnya dengan membuka katalog pinjol terdaftar dan berizin di situs Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kedua, mengizinkan pinjol ilegal mengakses data-data di ponsel. Padahal, perusahaan teknologi finansial legal hanya boleh meminta akses kamera, mikrofon, dan lokasi. Ketiga, gali-tutup lubang.
“Masyarakat kita itu meminjam untuk menutup pinjaman lama. Ini yang menjadi masalah,” kata Tongam. “Kita lihat contohnya guru honorer yang di Semarang itu (sampai menggunakan) 114 pinjaman online, loh! Bagaimana mungkin? Harusnya pada pinjaman ketiga, dia setop, dong.”
Tongam merujuk kasus yang sempat ramai pada Juni 2021. Saat itu Afifah Muflihati, guru honorer di Semarang, terlilit pinjol ilegal hingga total pinjamannya melebihi Rp200 juta. Jumlah layanan pinjol yang diakses mencapai ratusan bisa jadi karena Afifah mengunduh beberapa aplikasi agregator, yang masing-masing berisi puluhan penyedia dana gelap. Jadi, sekali ia meminjam, utangnya terpecah ke berbagai entitas nakal itu.
Afifah, seperti kata Tongam, terus gali-tutup lubang untuk membayar utang. Ia panik, apalagi mengingat penagih utang setiap hari menerornya, keluarganya, dan teman-temannya, menyebarkan KTP dan foto-foto pribadi dari galerinya, serta bahkan mengedit fotonya seakan jadi gambar cabul dan menyebarkan kabar bohong bahwa ia menjual diri untuk bisa melunasi utang.
Pengambilan keputusan berhenti pada pinjaman ketiga seperti diucapkan Tongam adalah sesuatu yang sulit. Dalam kondisi psikologis yang tertekan dan stres karena masalah finansial, orang cenderung membuat pengambilan keputusan tidak rasional.
Carolyn McClanahan, dokter dan perencana keuangan asal Amerika Serikat, menjelaskan bahwa kesehatan finansial berkorelasi dengan kesehatan mental dan fisik. Carolyn bilang, saat manusia stres karena urusan keuangan, ia bakal memproduksi hormon-hormon katekolamin seperti adrenalin yang membuat tubuh “membara” dan bisa memengaruhi pengambilan keputusan.
“Kondisi tersebut memengaruhi kesehatan mental, memengaruhi kemampuan untuk berpikir. Itu berdampak pada kesehatan fisik, membuat kita lelah, letih, tak bisa tidur,” kata Carolyn. “Dan sekalinya susah tidur, kita bakal mulai berperilaku buruk.”
Karena itu, saat menghadapi masalah finansial mendesak, banyak orang sulit berpikir jernih. Menyuruh mereka melakukan riset sebelum mengakses pinjaman online bagai menasihati orang kelaparan untuk banyak-banyak baca buku.
Namun, harus diakui pula, pada dasarnya literasi atau kemampuan pengelolaan keuangan warga Indonesia masih relatif rendah. Merujuk survei terakhir OJK, tingkat literasi keuangan nasional pada 2019 baru mencapai 38,03%. Di saat yang sama, porsi masyarakat yang pernah menggunakan layanan keuangan digital mentok pada 31,26%.
Di tengah kondisi tersebut, pandemi datang dan menghajar penghidupan begitu banyak orang.
Setahun sejak kalender pandemi Indonesia dimulai pada Maret 2020, jumlah penduduk miskin telah bertambah 1,12 juta hingga menyentuh 27,54 juta, merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS). Di sisi lain, per Agustus 2021, ada total 21,32 juta penduduk usia kerja yang terdampak pagebluk, termasuk mereka yang terpaksa jadi pengangguran atau mengalami pengurangan jam kerja.
Maka wajar, layanan pinjaman daring tumbuh subur di tengah pandemi. Pada akhir Maret 2020, ada 161 perusahaan teknologi finansial terdaftar dan berizin yang menyediakan layanan pinjam meminjam uang pada masyarakat. Perusahaan macam ini, biasa disebut peer-to-peer lending fintech, mempertemukan mereka yang ingin meminjam (borrowers) dengan mereka yang bersedia memberi pinjaman (lenders).
Saat itu OJK mencatat, ada 640.233 lenders yang telah menyalurkan pinjaman akumulatif sebesar Rp102,53 triliun pada 24,15 juta borrowers. Jumlah pinjaman yang belum terbayar mencapai Rp14,79 triliun.
Pada akhir September 2021, jumlah perusahaan yang terdaftar dan berizin berkurang jadi hanya 107. Banyak yang berguguran, salah satunya karena isu permodalan.
Namun, jumlah rekening lenders dan (khususnya) borrowers meningkat hingga masing-masing menyentuh 772.500 dan 71,06 juta. Hanya dalam satu setengah tahun, akumulasi penyaluran pinjaman melonjak 156,4% hingga Rp262,93 triliun, sementara pinjaman yang belum terbayar meningkat 85,8% jadi Rp27,48 triliun. Bisa dikatakan, kian banyak orang membutuhkan dana cepat di tengah pandemi.
Lalu, bagaimana dengan yang ilegal? Tak ada yang tahu pasti jumlah pinjol ilegal yang beroperasi di Indonesia. Karena mereka ilegal, OJK tidak mengawasi mereka. OJK cuma bantu-bantu memberantas mereka via Satgas Waspada Investasi.
Melalui Satgas Waspada Investasi, 12 kementerian dan lembaga bekerja sama menangani dugaan tindakan melawan hukum terkait pengelolaan investasi dan penghimpunan dana masyarakat, termasuk pinjol ilegal.
Di sana ada OJK, Bank Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Kementerian Perdagangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Kementerian Investasi, Kepolisian Negara RI, Kejaksaan RI, serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.
Mereka bagi-bagi tugas. OJK mengawasi pinjol terdaftar dan berizin. Bank Indonesia mendorong bank dan penyedia jasa pembayaran untuk mengetahui identitas serta memantau kegiatan transaksi nasabah, terutama agar mereka tidak memfasilitasi transaksi pinjol ilegal. Kementerian Koperasi dan UKM membina koperasi simpan pinjam agar tak menyalurkan pinjaman yang tak semestinya. Kementerian Komunikasi dan Informatika melakukan patroli siber dan memblokir konten terkait pinjol ilegal. Dan, Polri bertanggung jawab dalam proses penegakan hukumnya.
“Polri akan membuka akses sebesar-besarnya untuk masyarakat yang menjadi korban,” kata Ma’mun, kepala subdirektorat industri keuangan non-bank di Badan Reserse Kriminal Polri, pada Agustus 2021. “Yang ilegal-ilegal ini yang sangat meresahkan masyarakat. Meskipun, persentasenya bisa dibilang minim, karena memang pengaduan dari masyarakat, komplainnya juga sangat minim.”
Sejak 2020 hingga pertengahan Oktober 2021, Polri bilang telah menerima 371 laporan dari masyarakat terkait kasus pinjol ilegal. Rinciannya, 91 kasus sudah ditindaklanjuti dan 280 lainnya masih dalam proses.
Padahal, OJK mencatat telah menerima 19.711 pengaduan dari masyarakat terkait layanan pinjol legal dan ilegal sejak 2019 hingga pertengahan Oktober 2021. Sementara itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika memblokir 4.906 konten fintech yang melanggar peraturan, termasuk dalam bentuk situs dan aplikasi, sejak 2018 hingga Oktober 2021.
* * *
BAGUS LU READ AJA YA PELACUR
Tiwi memutuskan pulang dari Jakarta ke Yogyakarta bersama anaknya, Aulia, pada akhir Mei 2021. Ia pikir, seburuk-buruknya keadaan, setidaknya ada orang tua dan teman-teman dekatnya dari zaman kuliah di sana. Ia merasa lebih tenang saat berada di kampung halaman.
Sehari-hari, Tiwi masih rutin menghadapi teror dari para penagih utang. Hanya saja, ia sudah mulai terbiasa. Ia tak lagi ngoyo gali-tutup lubang. Bila kebetulan ada uang, ia coba lunasi sejumlah utang. Bila tidak, ya mau bagaimana lagi? Bila ada kenalannya yang melapor baru kena teror, Tiwi coba menjelaskan sebisanya dan meminta maaf. Itu saja yang bisa ia lakukan.
Tiwi jadi lebih relaks setelah berbincang dengan Gading Yonggar Ditya, mantan pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers yang dikenalkan seorang kawan padanya. Tiwi menghubungi pada April dan, dengan terbuka, Gading membantu memetakan permasalahan serta ragam opsi yang bisa jadi solusi.
Dari aspek perdata, Tiwi disarankan mencoba mengajukan restrukturisasi atau pengaturan ulang utang serta penjadwalan ulang pembayaran kepada para pelaku pinjol ilegal yang selama ini menerornya. Mudahnya, Tiwi bernegosiasi agar mendapat keringanan, misalnya dalam bentuk penghapusan atau pengurangan bunga pinjaman yang besarnya gila-gilaan atau perpanjangan tenggat pelunasan.
Ada pinjol ilegal yang terbuka dengan opsi ini, ada pula yang tidak. Bila ternyata bisa, Gading menekankan pentingnya membuat perjanjian tertulis. Harus ada hitam di atas putih soal restrukturisasi dan penjadwalan ulang yang disetujui kedua pihak.
Tiwi sempat mencoba, tapi sia-sia. Memang, ada penagih utang yang bisa diajak bicara dan mengiyakan restrukturisasi. Masalahnya, tak ada kesepakatan tertulis. Hari ini penagih A bisa setuju, tapi besoknya penagih B dari pinjol yang sama ternyata tak mau tahu.
Kondisinya sulit karena belum ada regulasi yang mengatur perlindungan data pribadi secara komprehensif. Saat ini, cuma ada pasal 26 Undang-Undang No.11/2008 tentang informasi dan transaksi elektronik (ITE) yang membahas hal tersebut. Ia menyatakan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan. Bila ini dilanggar, orang terkait bisa mengajukan gugatan perdata.
Indonesia pun tak punya undang-undang tentang teknologi finansial. Memang, ada beberapa peraturan OJK soal layanan peer-to-peer lending. Namun, itu semua belum bisa sepenuhnya menjawab kebutuhan masyarakat. Di sana tak diatur soal bunga pinjaman, batasan biaya http://projectmultatuli.org/wp-content/uploads/2021/06/5668A357-39CA-4B12-902A-DAE1F707FCD7-1.jpeg, atau mekanisme penyelesaian sengketa konsumen.
Celah hukum macam ini jadi salah satu penyebab pinjol ilegal terus marak. Bila korban ingin melaporkan pinjol ilegal ke polisi, ia mesti mengandalkan beberapa payung hukum berbeda. Misal, perihal peretasan dan pencemaran nama baik diatur di UU ITE, sementara yang terkait ancaman ada di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
“Usul gue ke Tiwi waktu itu ya kita maju dengan restrukturisasi dulu,” kata Gading. “Kenapa? Karena secara norma ini memang diatur pidana, tapi kalau secara praktik, mustahil untuk dilaksanakan. Secara praktik, secara penegakan hukumnya, jarang ada kasus yang naik ke pidana.”
Tiwi memang gagal mengajukan restrukturisasi. Ia pun tak yakin melapor ke polisi, apalagi setelah mendengar penjelasan Gading. Namun, setidaknya apa yang Gading sampaikan bikin Tiwi cukup lega. Ia seperti diingatkan kembali, biar bagaimanapun penyedia pinjol yang dihadapinya adalah entitas ilegal.
Meski tak menyarankan, Gading bilang sebenarnya bisa saja bila Tiwi memutuskan berhenti membayar sama sekali. “Bisa saja digugat sama mereka secara perdata. Tapi kalau mereka gugat secara perdata, ya kita bisa kick balik. ‘Elo kan ilegal. Elo enggak punya kapasitas untuk mengoperasikan bisnis elo itu.’”
Jangankan muncul di pengadilan, mendatangi rumah korban saja pasti pinjol ilegal itu tak berani, kata Gading. “Sama saja mereka bunuh diri.”
Setelah mendengar hal ini, semangat Tiwi muncul lagi. Ia mulai bergerilya mencari cara untuk membereskan masalahnya. Ia mencoba mengirim pesan WhatsApp pada Tongam, si ketua Satgas Waspada Investasi. Ia memperkenalkan diri, lalu bilang, “Saya mengaku saya salah. Saya terjebak pinjaman online ilegal. Apa yang harus saya lakukan?” Pesan terkirim, dibaca, tapi tak dibalas.
Ia lantas menghubungi Sekar Putih Djarot, juru bicara OJK. Ia bilang, “Mbak, ini ada kawan kena pinjaman online ilegal. Baiknya bagaimana ya, Mbak?” Sekar jawab, “Lapor saja ke Satgas Waspada Investasi.”
Tiwi coba membuat laporan melalui situs OJK. Ia diminta mengisi formulir dan menceritakan masalahnya. Kemudian, datanglah surel dari Satgas Waspada Investasi pada 11 Mei 2021. Tiwi diminta menyampaikan kembali sejumlah informasi mengenai dirinya sebagai pelapor dan entitas yang dilaporkan.
Namun, saat itu pikiran Tiwi terpecah. Ia tak segera menjawab surel dari satgas hingga akhirnya itu terlupa begitu saja.
Selain teror dan ancaman penyebaran data dari pinjol ilegal, ada sejumlah hal lain yang merongrong pikiran Tiwi, terutama soal anaknya. Sejak Januari 2021, Tiwi berusaha mencari klinik tumbuh kembang anak untuk Aulia. Saat itu Aulia berusia 18 bulan, tapi masih belum mampu berbicara. Ia kerap tidak merespons saat dipanggil, kesulitan mengikuti petunjuk, dan tiba-tiba tantrum. Itu membuat Tiwi khawatir.
Tiwi sempat menyambangi lima klinik di Jakarta, tapi semuanya penuh. Ini pula yang kian meyakinkan Tiwi untuk pulang ke Yogyakarta. Selain bisa menenangkan diri, ia bisa mencari klinik untuk anaknya di sana. Orang tuanya pun bisa membantu menjaga Aulia saat Tiwi sedang kerja.
Tak lama setelah tiba di Yogyakarta pada akhir Mei, Tiwi berhasil mendapat klinik untuk Aulia. Setelah Aulia diperiksa, barulah Tiwi tahu anaknya mengalami gangguan keterlambatan bicara atau speech delay. Kurangnya interaksi dan aktivitas fisik di luar rumah selama pandemi jadi salah satu pemicunya. Mau tak mau, Aulia harus menjalani terapi.
Sepanjang Juni, kehidupan Tiwi cukup damai. Sehari-hari, kerjaannya mengantar Aulia terapi, mencari kedai kopi untuk mengetik berita, bertemu kawan-kawan lama, dan membantu ibunya mengurus toko di Jl. Malioboro. Sesekali ia membayar utang pada pinjol ilegal, walau frekuensinya makin berkurang.
Pada Selasa, 13 Juli, semuanya berubah. Hari itu, para penagih utang menggila. Mereka meneror dua rekan kantor, dua kawan wartawan dari media berbeda, tiga narasumber, serta ayah Tiwi.
Sang ayah ditelepon, dimaki-maki, kena serangan jantung, dan terkapar.
Tiwi hancur.
* * *
ITU LAGI KRITIS KALAU MATI MAU DI BAWA HUTANGNYA?
Sheba memutuskan membuka diri pada pertengahan Juni 2021. Orang pertama yang ia ceritakan adalah dosen pembimbing skripsinya. Ia lewah pikir. Dua bulan lagi ia mesti sidang skripsi. Bagaimana bila penagih utang meneror dosen-dosennya, lalu kasusnya ramai dan ia didiskualifikasi dari kampus?
Untungnya, si dosen pembimbing bisa mengerti. Ia cerita, beberapa tahun silam, ada pula mahasiswanya yang terjerat pinjol ilegal. Ada penagih utang yang bahkan sempat meneleponnya. Mendengar hal ini, Sheba lega.
Sheba juga bercerita kepada keluarga. Orang tuanya kaget dan sempat marah, sebelum memberi wejangan padanya. “Aku dikasih tahu, kalau secara hukum itu pinjol ilegal pasti kalah,” kata Sheba, yang anak keluarga pengacara.
Keluarga segera berembuk mencari jalan keluar untuk Sheba. Keluarga memutuskan menyewa jasa pengacara, lalu mengirimkan surat somasi pada Pinjaman Nasional, aplikasi agregator yang digunakan Sheba untuk menarik pinjaman. Isinya menegaskan bahwa Sheba hanya bersedia melunasi utang pokok sebesar Rp5,9 juta dari total utang beserta bunga dan denda yang mencapai Rp20 juta.
Selain itu, Sheba melapor pada OJK dan Kepolisian Daerah Jawa Tengah. OJK diharapkan bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memblokir pinjol ilegal itu, sementara Polda Jawa Tengah yang mengurus pidana sibernya melalui direktorat reserse kriminal khusus.
“Kata polisinya, yang masuk ke mereka itu sudah lebih dari 40 laporan yang mengalami hal yang sama,” kata Sheba. “Jadi, polisinya bilang, hari ini semua lagi kelilit utang.”
Tak ada respons atas somasi Sheba. Bahkan, tak lama setelah disomasi, Pinjaman Nasional berubah nama menjadi Lautan Dana. Ya sudah, tanpa menunggu lebih lama, Sheba lunasi utang pokoknya sebesar Rp5,9 juta. “Karena itu adalah kewajibanku sebagai seorang nasabah,” katanya.
Sheba lantas menghapus aplikasi dan mengganti nomor ponselnya. Selang kira-kira tiga minggu, masih ada satu temannya yang melaporkan kena teror dari penagih utang. Namun, itu yang terakhir. Setelahnya, tak ada lagi gangguan dari pinjol ilegal. Sheba bisa kembali hidup tenang.
Sheba belajar banyak dari pengalamannya terjerat pinjol ilegal selama dua setengah bulan. Salah satunya soal pentingnya memiliki sistem dukungan sosial yang kuat; orang-orang yang senantiasa bersedia menopangnya di saat-saat tersulit sekalipun.
Ada teman yang langsung menjauhi saat tahu Sheba terlilit utang. Namun, ada pula yang terus menemani, yang memberikan dukungan moral atau bahkan finansial saat hanya tersisa Rp35.000 di rekening Sheba. Ia jadi paham, teman sebenarnya tak akan pergi begitu saja.
“Aku awalnya sempat takut kehilangan teman,” kata Sheba. “Tapi lama-lama aku pikir, buat apa aku punya teman atau lingkungan yang palsu atau toksik? Aku enggak butuh orang-orang kayak gitu. Yang ada sama aku sampai detik ini, itulah yang aku apresiasi.”
Sheba pun punya privilese sebagai anak berpendidikan dari keluarga pengacara. Ia memiliki keluarga yang segera mengangkat, menyangga, dan membantunya kembali berjalan setelah ia dihajar habis-habisan.
Sheba lalu ingat soal Febri, kenalan dekat keluarga yang telah ia anggap seperti tante sendiri. Saat Febri kena teror penagih utang, Sheba merasa sangat malu dan segera meminta maaf. Namun, ternyata Febri santai. Ia tak langsung menghakimi Sheba dan bahkan ikut merangkulnya.
Sheba beruntung punya support system semacam itu, sebab tidak semua orang memilikinya. Dalam beberapa kasus, sejumlah orang memutuskan bunuh diri setelah terperosok ke lubang pinjol ilegal. Tak ada dukungan sosial, apalagi bantuan hukum untuk mereka. Yang ada cuma teror, malu, dan sepi.
* * *
DPO MALING / PENGGELAPAN UANG PERUSAHAAN
DI CARI ATAS NAMA TIWI TELAH MEMBAWA KABUR UANG PERUSAHAAN KAMI. DIA JUGA SEBAGAI PENGANUT AJARAN SESAT, JIKA MELIHAT ORANG INI BAWA SAJA KE KANTOR POLISI KARNA SUDAH MERESAHKAN MASYARAKAT.
“Apa kabar, Tiwi?”
Ternyata Febri yang menelepon. Ia kenalan lama Tiwi. Saat itu Tiwi sedang mengetik berita di sebuah warung kopi di daerah Maguwoharjo.
“Ada apa, nih, Mbak, sampai nelepon? Tumben.”
“Enggak apa-apa. Gue kangen aja. Lama enggak ngobrol. Elo di mana sekarang?”
“Gue lagi di Yogya, Mbak.”
“Ada apa di Yogya? Liburan, ya?”
“Enggak, Mbak. Baru kemarin gue… Bokap lagi sakit, Mbak. Serangan jantung.”
“Oh, ya?! Terus bagaimana? Udah dibawa ke dokter belum?”
“Iya, nih. Kemarin ada masalah. BPJS-nya, biasalah gue skip bayar.”
“Oh, ya Tuhan! Berapa tagihannya?”
“Ah, enggak apa-apa, Mbak. Entar bisa gue lunasin. Insya Allah.”
Tiwi bohong. Sudah 11 bulan ia tidak membayar tagihan BPJS Kesehatan ayahnya. Total tunggakannya Rp8,5 juta.
“Enggak apa-apa, nanti gue bayarin,” kata Febri dengan hangat.
“Jangan, Mbak. Gue enggak bisa bayarnya ke elo.”
“Enggak. Enggak apa-apa. Pokoknya kirim aja tagihan BPJS-nya ya.”
Tiwi tak kuat lagi. Ia menangis. Febri tetap tenang.
“Gue tahu masalah elo, Tiwi.”
Deg. Tiwi terkejut.
“Kayaknya, bokap elo kena serangan jantung ini ada kaitannya sama hal yang pengin gue ceritain ke elo,” kata Febri.
“Ada apa, Mbak? Gue salah apa?”
“Enggak. Pokoknya, ini gue mau cerita, tapi gue tidak marah sama elo karena gue tahu kredibilitas elo. Gue tahu cara kerja elo. Gue kenal elo. Gue senang sama elo dan percaya sama elo.”
“Elo ada kasus pinjol apa?”
Tiwi pecah, sejadi-jadinya.
“Mbak, gue minta maaf banget. Gue minta maaf banget. Mereka neror apa ke elo? Gue enggak ada maksud, Mbak,” kata Tiwi terbata-bata.
“Iya. Tenang dulu. Tarik napas dulu. Gue mau ngomong ini sama elo karena gue punya solusi buat elo.”
Tiwi tak tahu harus berkata apa. Selanjutnya, Febri mengambil alih pembicaraan.
“Keponakan gue juga sama kayak elo. Namanya Sheba. Gue kenalin sama lo ya nanti.”
“Elo gue teleponin ya teman gue. Dia pengacara. Biar elo dapat pendampingan. Biar elo paham bahwa ini harus disetop. Elo enggak salah, Tiwi.”
“Enggak apa-apa orang tahu ini. Enggak apa-apa. Elo tidak perlu malu. Elo tidak salah. Elo adalah korban. Orang banyak skip dalam hidup. Wajar banget.”
“Elo tidak salah. Elo adalah korban. Dan, elo harus setop bayar. Elo dirugikan. Pasti udah habis kan duit elo?”
Tiwi menjawab, “Habis, Mbak. Habis. Habis banget.”
“Udah. Setop.”
Febri seakan bisa membaca dan membantah seluruh ketakutan Tiwi.
“Elo enggak boleh kalah sama keadaan, Tiwi. Tenang. Elo ada gue. Elo ada teman-teman. Dan, gue percaya, gue yakin, elo boleh pegang omongan gue, pun kalau mereka sampai nge-blast data-data elo ke narsum, itu tidak akan pernah melunturkan 1% pun kredibilitas elo di mata mereka.”
Tiwi terus menangis.
Setelah telepon ditutup, Febri mentransfer Rp8,5 juta untuk melunasi tunggakan BPJS Kesehatan ayah Tiwi.
Tak lama, Febri mengirimkan uang lagi sejumlah Rp5 juta.
“Yang ini jangan dibuat bayar pinjol ya, Tiwi. Ini elo pegang. Gue tahu, elo pasti sudah lama tidak menikmati gaji elo. Elo enggak megang duit. Enggak boleh. Elo itu ibu. Elo adalah perempuan yang harus berdiri di atas kaki elo sendiri.”
“Gue tahu pasti suami elo marah sama elo. Gue tahu. Elo enggak perlu cerita sama gue. Gue tahu pasti posisi elo sangat tidak baik hari ini. Ini duit buat pegangan elo, buat beli susunya Aulia.”
Memang saat itu Tiwi tak mampu membeli susu untuk anaknya. Ia bahkan sempat memaksakan diri kembali memompa ASI, walau ia tahu itu tak akan cukup.
“Makan yang banyak ya, Tiwi. Jaga kesehatan ya.”
Tiwi sontak sadar, selama ini ia sudah begitu jahat pada dirinya sendiri. Makannya sembarangan. Ia tak memperhatikan kesehatan. Ia cuma tahu kerja, kerja, dan kerja untuk membayar utang. Rasanya tak ada habisnya. Cobaan demi cobaan pun terus datang, hingga pada satu titik ia sempat terpikir bunuh diri. Namun hari itu, Febri berhasil membuka matanya.
Tiwi pulang ke rumah. Ia masuk ke kamar dan duduk di samping Aulia. Ia menatap anaknya, lalu menangis sesenggukan.
“Maafin ibu. Ibu bego banget.”
* * *
NEGARA INI UU ITE UDAH MATI LU GA ADA UANG BAYAR HUKUM SAMA POLISI GA BERLAKU BAGI RAKYAT MISKIN
Setelah telepon itu, Tiwi memutuskan melaporkan kasusnya ke polisi. Ia menyambangi Polres Sleman dan Polda Yogyakarta sebagai warga biasa, bukan sebagai wartawan, dan mendapatkan perlakuan yang jauh berbeda.
Di Polres Sleman, Tiwi diterima dengan hangat.
“Bapak, aku mau bikin laporan.”
“Laporan apa, Mbak?”
“Iya, ini pinjol…”
“Ilegal ya?!”
Tiwi kaget. Polisi-polisi di area depan tersebut mendadak heboh sendiri.
“Wah, iki! Sudah habis berapa, Mbak? Dikatain apa aja? Wis, enggak usah dibayar!”
Para polisi langsung asyik berbagi cerita, yang satu soal tetangganya, yang lain soal kenalan di kampungnya—semuanya terjebak kasus pinjol ilegal. Mereka bercerita dengan antusias, sambil menyelipkan segudang jokes bapak-bapak dalam prosesnya. Mereka lalu menyemangati dan menenangkan Tiwi, mengatakan bahwa semua bakal baik-baik saja.
“Wis, enggak apa-apa, Mbak. Ngerokok aja dulu. Duduk dulu. Enggak apa-apa.”
Tiwi tertawa saja melihat polah mereka. “Bapak-bapak Polres Sleman, I love you pokoknya,” katanya sambil mengingat kejadian itu.
Di tengah obrolan dengan para polisi, tiba-tiba ponsel Tiwi berbunyi. Penagih utang meneleponnya. Seorang polisi langsung meminta ponsel Tiwi dan membentak, “Anda siapa?!” Telepon mati.
Tiwi lantas beranjak ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT). Di sana, ia diarahkan untuk mendatangi bagian kriminal umum. Alasannya, urusan pidana siber adanya di unit kriminal khusus yang hanya ada di level Polda. Di Polres tak ada.
Di ruangan kriminal umum, Tiwi menjelaskan detail kasusnya sembari menunjukkan hasil cetakan tangkapan layar sebagai bukti teror dari penagih utang. Polisi yang menangani sama ramahnya dengan polisi depan. Namun, si polisi sempat terlihat ragu dengan cerita Tiwi.
“Udah tahu tenornya cuma tujuh hari kok mau narik lagi? Kok minjem lagi di situ?” tanya si polisi.
“Karena saya enggak punya uang, Pak. Untuk menutup pinjaman kan saya harus minjam lagi, Pak. Kalau enggak begitu, saya takut.”
Si polisi kriminal umum lalu bilang, kasus ini sebenarnya lebih tepat ditangani bagian kriminal khusus, persisnya unit pidana siber. Namun, tak apa-apa. Ia tetap mengurus laporan Tiwi dengan menggunakan pasal pencemaran nama baik.
“Ini dibuat laporan biar koe tenang,” kata si polisi. “Bilang sama bapakmu, ini udah dilaporin. Udah, biar bapakmu cepat sembuh.”
Sebelum Tiwi pergi, si polisi pun mengingatkan agar ia tetap melapor ke Polda Yogyakarta sembari membawa bukti-bukti serupa.
Setelah Tiwi pulang dari Polres Sleman, tak ada satu pun penagih utang yang menghubunginya kembali. Tiba-tiba teror berhenti begitu saja. Tiwi heran, tapi juga lega. Dugaannya, bisa jadi itu karena ada polisi yang sempat membentak salah satu penagih utang. Atau, si pinjol ilegal, yang bisa mengakses data-data di ponsel Tiwi, melihat lokasi Tiwi yang berada di kantor polisi serta menemukan foto surat tanda terima laporan polisi di galeri ponselnya.
Setibanya di rumah, Tiwi segera menunjukkan surat laporan polisi itu kepada ayahnya. Percaya tak percaya, setelahnya pemulihan ayah Tiwi berlangsung cepat.
“Bokap itu terkapar bukan karena masalah gue. Tapi dia merasa dia tidak bisa mengurus keluarga,” kata Tiwi. “Dia merasa bersalah sama gue. Karena semua dibebankan ke Tiwi, jadi Tiwi harus terlibat masalah ini.”
Selang dua hari, Tiwi mampir ke Polda Yogyakarta. Di sini, perlakuan yang diterima bagai langit dan bumi bila dibandingkan saat ia ke Polres Sleman.
Sejak di bagian penerimaan tamu, Tiwi dicecar setumpuk pertanyaan; pertanyaan-pertanyaan tertutup yang bernada curiga.
“Kamu tahu enggak itu pinjaman online ilegal?”
“Enggak, Pak.”
“Lah, kok kamu bisa sekarang ngelaporin kalau ini pinjaman online ilegal?”
“Kan saya baca-baca, Pak. Ternyata tenornya tujuh hari.”
“Loh, kalau sudah tahu tenor tujuh hari, kenapa masih dilakukan?”
“Ya kan saya takut, Pak, kalau data saya di-blast. Ini kan penting, apalagi kalau udah sampai ke bapak saya.”
“Mbak tahu enggak mereka di mana?”
“Ya enggak, Pak. Kalau saya tahu ya saya samperin. Makanya saya lapor polisi.”
“Ya Mbak aja enggak tahu, apalagi kita,” kata seorang polisi. “Kalau kayak begini tuh susah diusutnya, Mbak. Ribuan kasus yang kayak begini.”
Ujung-ujungnya, Tiwi diminta meninggalkan bukti-bukti yang dibawanya. Laporannya disebut belum bisa diproses di SKPT.
Tiwi sangat tak puas. Ia pura-pura pamit, lalu mencari sendiri ruangan unit pidana siber. Sesampainya di sana, ternyata para petugas sedang rapat. Ia menunggu hingga rapat usai, lalu masuk ke dalam. Ia bertemu sejumlah orang yang terlihat lebih mirip petugas IT: anak-anak muda kurus, gondrong, dan berkacamata yang sedang asyik berkutat di depan komputer.
Seorang petugas meladeninya.
“Kenapa?” tanya si petugas.
“Iya, Mas. Pinjol ilegal.”
“Udah bayar belum?”
“Iya, saya makanya ngelapor karena saya udah enggak sanggup bayar.”
“Mbak harus tahu ya bahwa Mbak itu tetap berutang. Dan utang itu wajib diselesaikan.”
“Tapi kan saya kena yang ilegal, Mas.”
“Itu adalah kesalahanmu. Karena kamu tidak teliti. Kamu tidak mengecek kredibilitasnya.”
“Ya pada saat itu keadaannya sangat mepet, Mas.”
“Itulah pentingnya literasi keuangan. Itulah pentingnya kamu ngecek. Kamu pasti di-allow aja kan kalau ada yang minta akses?”
“Ya iya, Mas. Karena pada saat itu saya benar-benar butuh uang. Keadaan saya sangat mepet.”
“Ya itu kesalahanmu. Kesalahanmu enggak?”
“Iya. Saya ngaku saya salah. Saya ngaku saya skip di situ.”
“Ya terus sekarang masalahnya apa?”
“Makanya, Mas, saya ke sini mau minta arahan. Saya takut. Saya diancam. Saya diteror. Bapak saya masuk rumah sakit.”
Setelahnya, Tiwi menangis. Bukan karena sedih, tapi karena menahan marah.
“Udahlah, Mbak, enggak usah nangis. Kenapa sih nangis? Enggak menyelesaikan masalah. Kamu nangis tetap punya utang. Utangmu enggak bakal lunas dengan kamu nangis. Udah enggak usah nangis. Ini jujur aja, kita lagi banyak banget kerjaan. Ini lagi banyak hoax soal Covid-19. Kita stres banget soal itu.”
Tiwi ke Polda Yogyakarta pada pertengahan Juli 2021. Di awal bulan tersebut, ramai beredar kabar soal keterlambatan pasokan oksigen yang diduga memicu meninggalnya puluhan pasien di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito di Sleman.
Akhirnya sama saja, Tiwi diminta meninggalkan bukti-bukti dan nomor telepon yang bisa dihubungi. Tiwi pergi. Hingga kini, tak ada polisi yang pernah menghubungi.
Menanggapi hal ini, Yulianto, kepala bidang humas Polda Yogyakarta, bilang bahwa apa yang diadukan masyarakat belum tentu diproses menjadi laporan polisi (LP). Petugas, katanya, mesti melakukan penilaian terlebih dahulu terhadap peristiwa yang dialami pelapor.
“Misal, Anda saya bilang maling lewat WA,” kata Yulianto. “Menurut Anda, namamu tercemar karena Anda bukan maling, tapi ini enggak masuk di unsur pasal (pencemaran nama baik). Karena, salah satu syarat pencemaran nama baik itu perbuatan tersebut dilakukan di muka umum. Ini yang sering jadi miskomunikasi.”
Jeanny Silvia Sari Sirait, pengacara publik LBH Jakarta, mengatakan bahwa polisi sesungguhnya tidak boleh menolak laporan apa pun dari masyarakat. Setiap laporan mesti diterima dan kemudian masuk ke tahap penyelidikan. Perihal itu bakal masuk ke tahap penyidikan atau tidak ya urusan belakangan.
Jeanny pun mempertanyakan tingkah polisi yang kerap tidak berperspektif korban dan bahkan mencecar pelapor dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak relevan. Dalam kasus Tiwi, misalnya, polisi sempat bertanya, “Loh, kalau sudah tahu tenor tujuh hari, kenapa masih dilakukan?”
“Buat saya, respons seperti itu sebenarnya respons polisi yang enggak tepat. Kenapa saya bilang tidak tepat? Karena yang enggak urusannya diurusin, yang urusannya enggak diurusin,” kata Jeanny. “Dia enggak punya urusan masalah perdata, tapi yang diomongin sama korbannya masalah perdata. Yang urusan pidananya justru malah enggak diurusin. Yang jadi tanggung jawabnya malah enggak diurusin.”
Dari sana, wajar bila jumlah kasus pinjol bermasalah yang ditangani polisi terhitung kecil, mengingat kebiasaan polisi mengabaikan aduan masyarakat. Bahkan, saat laporan masuk, tak ada jaminan sebuah kasus bakal diusut hingga tuntas.
Sejak pertengahan 2018 hingga saat ini, LBH Jakarta tercatat telah menerima sekitar 7.200 laporan masyarakat terkait layanan pinjol bermasalah, baik yang legal maupun ilegal. Namun, jumlah kasus yang telah diproses polisi hingga tahap pro justitia tak sampai 20%.
Pada 15 Oktober 2021, Presiden Joko Widodo menginstruksikan seluruh kementerian dan lembaga terkait untuk secara masif memberantas pinjol ilegal. Setelahnya, barulah semua berlomba menunjukkan ketegasan.
OJK memutuskan menerapkan moratorium untuk penerbitan izin bagi penyedia layanan pinjaman online baru. Dan karenanya, Kementerian Komunikasi dan Informatika juga bakal menangguhkan pendaftaran baru untuk penyelenggara sistem elektronik yang menawarkan pinjol.
Majelis Ulama Indonesia lalu menetapkan bahwa layanan pinjaman online dan offline yang mengandung riba adalah haram hukumnya, begitu pula ancaman fisik atau membongkar aib seseorang yang tak mampu membayar utang.
Kepala Polri Listyo Sigit Prabowo memerintahkan seluruh jajarannya untuk bergerak memberantas pinjol ilegal, termasuk melalui strategi pre-emptive, preventif, dan represif.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan bahwa pinjol ilegal tidak sah karena karena tidak memenuhi syarat objektif dan subjektif dalam hukum perdata. Aktivitas pinjol ilegal pun disebut bersinggungan dengan banyak tindak pidana.
“Kepada mereka yang sudah telanjur menjadi korban, jangan membayar,” kata Mahfud. “Kalau mereka tidak membayar, lalu ada yang tidak terima, diteror, lapor ke kantor polisi terdekat. Polisi akan memberikan perlindungan.”
* * *
GW MAKI LU DAPAT GAJI
LU NGOCEHIN GW DAPAT UANG GA?
Tiwi kembali ke Jakarta bersama Aulia pada November 2021 dengan kondisi sehat dan waras. Terdengar sederhana, tapi baginya sungguh berharga.
Ada begitu banyak hal terjadi dalam sembilan bulan terakhir. Tiwi terjerat pinjol ilegal hingga berutang lebih dari Rp120 juta, keuangannya ambruk, ia berkawan dengan teror, ia kabur ke Yogyakarta, ia kecelakaan sepeda motor, adiknya nyaris putus kuliah dan sempat kena Covid-19, anaknya harus terapi karena speech delay, dan ayahnya mengalami serangan jantung.
Seakan jatah petakanya dirapel sekaligus dalam sembilan bulan tersebut.
Mulanya, semua terasa begitu berat. Masalah terus datang. Tak ada jeda untuk bernapas. Tiwi mengeluh pada Tuhan. Ia marah. Ia menangis. Ia putus asa. Ia sempat tergiur berhenti, tapi memutuskan berjalan kembali. Ia terus mencoba semampunya. Satu per satu, setumpuk masalah itu pun berlalu.
Kini ayah Tiwi sudah bisa beraktivitas normal, meski tak boleh sampai terlampau lelah. Terapi Aulia berjalan lancar, dan anaknya itu sudah jauh membaik. Adiknya bisa lanjut kuliah. Teror sudah pergi. Tiwi masih bekerja sebagai wartawan dan mulai bisa menata keuangannya lagi.
“Pertama-tama, gue berpikirnya, ‘Gila, berat banget! Bagaimana caranya lepas dari masalah ini?’ Clueless banget. Benar-benar kayak enggak ada jalan keluar,” kata Tiwi. “Tapi memang kadang-kadang Tuhan kasih jalan itu enggak dikasih tahu bocorannya. Enggak dikasih kisi-kisi.”
Bila kini menengok ke belakang, Tiwi justru merasa seperti telah “disiapkan” untuk menghadapi cobaan bertubi-tubi sejak lulus SMP, sejak tinggal di sedan yang terparkir di Masjid Syuhada itu. Ia seakan diingatkan kembali bahwa Tuhan tak akan memberi cobaan yang melebihi kemampuannya sebagai manusia, bahwa ketakutannya tak seberapa dibanding kuasa-Nya.
Tiwi pun belajar, saat berada di tempat terendah, satu-satunya yang tersisa adalah jalan ke atas. Dan, ia bisa perlahan melalui jalan itu bersama mereka yang selalu ada untuknya.
Tulisan ini adalah bagian dari serial #LindungiDataKami tentang lemahnya perlindungan data pribadi di Indonesia. Jika kamu punya pengalaman buruknya perlindungan data pribadi, ceritakan pada kami melalui surel redaksi@projectmultatuli.org.