Politik bukan cuma pertarungan elite. Politik bisa jadi satu-satunya kesempatan bagi mereka untuk mempertahankan ruang hidup atau kembali merebut rumah yang telah dirampas.
Motor Tuti mogok di tengah perjalanan menuju Kampung Sawah, Cilincing. Duduk di belakangnya seorang calon legislatif DPRD, Sukariawati. Biasa dipanggil Wati, ia adalah salah satu calon utusan Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) di bawah Partai Buruh.
Mereka ada jadwal berkampanye di Kampung Sawah pukul 09.00. Tetapi, jam sudah menunjukkan pukul 09.45. Motor Tuti masih mesti mendekam di bengkel.
Setelah ditelisik, bukan bensin yang habis, tapi ada kandungan air dalam tangki. Tangki bensinnya pun divonis terlalu kotor. Ada padatan mengendap, ada remah-remah yang bikin mampet.
“Bentukannya kayak serbuk nugget. Kok bisa, ya?” cerita Tuti yang ikut bingung melongok isi tangki.
Tuti menceritakannya sesampai mereka di Kampung Sawah. Sudah kena apes di pagi hari, raut wajahnya tampak pasrah dan sedikit lelah.
Ia dan Wati duduk di kursi kayu sebelah warung kelontong, beristirahat sejenak, tapi tidak membeli apa-apa. Di samping mereka duduk beberapa warga yang tergabung dalam JRMK, yang ikut membantu kampanye.
“Lu beli bensin oplosan kali. Oplosan minyak goreng!” timpal seorang warga.
Bengkel mematok harga Rp70 ribu untuk perbaikan motornya. Tuti tak punya uang. Pagi itu adalah kedua kali motornya mesti masuk bengkel. Sebelumnya, engkol motornya bermasalah. Ia sudah menitipkan KTP di bengkel pertama supaya motornya tidak ditahan.
Sudah tidak punya KTP, akhirnya Wati membayar biaya perbaikan motor Tuti di bengkel kedua.
Tidak terbayangkan bagi Tuti terjun ke politik elektoral, menjadi bagian tim kampanye seorang calon legislatif. Begitu pula Wati yang jadi calon legislatif.
Dalam bayangan mereka selama ini: dunia politik tampak mentereng yang penuh orang-orang berkuasa bergelimang harta.
Sedangkan Wati dan Tuti bukan siapa-siapa. Rumah Wati di Pademangan masih belum memiliki sertifikat resmi. Sehari-hari Wati bekerja sebagai pedagang kaki lima di Ancol, tergabung dalam Komunitas Pedagang Kecil (Kopeka). Sementara Tuti adalah korban gusuran Kampung Bayam yang kini direlokasi ke Rusunawa Nagrak. Ekonomi Tuti jadi serba susah. Siang itu Tuti menahan diri makan siang demi menghemat.
Beberapa waktu lalu Tuti menggelar tenda di depan Kampung Susun Bayam karena tak kunjung mendapatkan haknya atas satu unit hunian.
Kini Wati kewalahan dengan aktivitasnya sehari-hari. Dalam satu hari, agendanya padat merayap. Meminta izin Ketua RT dan RW untuk berkampanye, melakukan rapat koordinasi dengan internal JRMK, melakukan konvoi dan kampanye bersama Partai Buruh, menyebarkan undangan kontrak politik, melakukan kerja bakti. Tidak ada anak buah. Semua dilakukan bersama timnya.
Ia berbicara bergantian dari satu orang ke orang lain, menanggapi wartawan yang hendak mewawancarai, meladeni fotografer, berkoordinasi dengan timnya.
“Ini saya baru masuk RT ke—ini RT berapa ya? RT 4. Kemarin sebelah sana RT 5, RT 6. Paling 3 RT lagi, ya. Atau 4? 7, 8. 9, 10,” cerita Wati. “Aku tadi ketemu Pak […] minta biar kita bisa masuk. Nemenin. Dia prinsipnya OK, suruh izin RT. Bilang aja kalau pengurus sudah mengizinkan. Aku mau pindah ke kampung lain setelah ini selesai.”
“Minggu depan—besok, kan, kita libur rapat koordinasi. Kita evaluasi dari proses, jumlah. Setelah itu enggak tahu ini teman-teman mau lanjut di sini atau mau pindah. Kampung di sebelah pemakaman banyak juga. Aku ketemu sama pengurusnya di jalan.”
Tidak ada yang mentereng dari kegiatan kampanye yang selama ini Wati dan Tuti jalankan. Politik, bagi mereka berdua, bukan cuma pertarungan elite. Politik bisa jadi satu-satunya kesempatan bagi mereka untuk mempertahankan ruang hidup atau kembali merebut rumah yang telah dirampas.
“Ini aja sebenarnya gue masih… mimpi enggak gue ini? Mimpi enggak?” sebut Tuti.
Metode RAP
Tuti menghampiri seorang perempuan yang duduk bersila di dalam rumah. Pintu rumahnya terbuka, berjarak selangkah dari jalan setapak. Tuti melongok. Ia membagikan secarik stiker yang terpampang wajah Anies Baswedan sebagai calon presiden, Guntoro (atau biasa dipanggil Gugun) sebagai calon DPR RI di bawah Partai Buruh, dan Sukariawati sebagai calon DPRD DKI Jakarta.
“Assalamualaikum, Ibu, maaf mengganggu. Saya dari JRMK, Jaringan Rakyat Miskin Kota. Dilihat-lihat dulu. Siapa tahu ada yang kenal.”
Kampung Sawah di Cilincing adalah wilayah padat penduduk. Setiap RT kampung bisa mencapai 400 keluarga. Bangunan rumah berdempetan. Ada gang di sela-sela jalan. Rumah-rumah berukuran kecil dan berdempet. Air menggenang di saluran pinggir jalan. Bau menusuk tercium. Kampung ini berada dalam daerah pemilihan Sukariawati mencalonkan diri, tepatnya Dapil 2 Jakarta Utara.
Wati mengajak Tuti membantunya berkampanye, mengetuk satu pintu rumah ke rumah lain, ke seluruh wilayah Dapil 2 yang mencakup Cilincing, Koja, dan Kepulauan Seribu. Selain Tuti, ada empat anggota JRMK lain yang ikut membantu.
“Gini, Ibu. Kami tanggal 28 mau adain kontrak politik.” Tuti menjelaskan maksud dari kontrak politik. “Sekiranya di sini satu keluarga, setuju, kita hadiri kontrak politiknya. Tapi kalau tidak, tidak apa-apa. Kami tidak memaksakan.”
Tuti melanjutkan, “Harapan Ibu di keluarga ini apa ke depan? Di sini ngontrak enggak?”
“Enggak. Ini rumah Ibu. Rumah mertua,” kata si warga masih melihat-lihat stiker dari Tuti.
“Katanya sih di sini mayoritas status rumahnya belum jelas. Legalitas surat tanahnya.”
“Saya belum tahu mau nyoblos siapa.”
“Enggak apa-apa. Kami enggak paksa mau nyoblos siapa pun.”
Ibu-ibu rumah tangga duduk santai dan bercengkrama di depan rumah. Pagi menuju siang itu, tidak banyak orang yang berdiam di rumah. Tersisa para perempuan rumah tangga, lansia, dan yang bekerja di toko kelontong.
Seorang perempuan berdiri di depan mesin cuci di luar rumah. Ia mengawasi mesin cuci yang menggulung pakaian sambil memeras cucian, dikelilingi genangan air bekas cucian. Tidak mengacuhkan Tuti yang sedang meyakinkan para ibu rumah tangga lain di dekatnya.
“Ini Anies, ya?” seorang ibu bertanya, melihat wajah Anies yang terpampang di stiker.
“Kalau saya mah pilih 02,” kata perempuan yang duduk di sebelahnya.
“Saya 03.”
Jaringan Rakyat Miskin Kota, di bawah Partai Buruh, mengutus satu Caleg DPR RI dan 5 Caleg DPRD DKI Jakarta. Di Dapil 02 Jakarta Utara, mereka punya kepentingan untuk memperkenalkan Sukariawati sebagai Caleg DPRD DKI Jakarta, Guntoro sebagai Caleg DPR RI, dan Anies Baswedan sebagai Calon Presiden RI.
Selain itu, di daerah pemilihan lain, JRMK memiliki empat caleg lain: Caleg DPRD Eny Rochayati dari Dapil 3 Jakarta Utara; Muslimin dari Dapil 3 Jakarta Utara; Ifan Fauzi dari Dapil 10 Jakarta Barat; dan Harris Purba dari Dapil 6 Jakarta Timur.
Para tim kampanye berbagi tugas dan menyebar berkeliling kampung. Mereka memperkenalkan diri sebagai Jaringan Rakyat Miskin Kota, menanyakan harapan dan keluh kesah warga selama tinggal di Kampung Sawah, lalu memperkenalkan masing-masing calon pemimpin yang wajah dan namanya tertera di poster. Satu orang bisa mengajak mengobrol dengan satu warga atau sekaligus beberapa warga yang sedang berkumpul.
Mereka mengajak warga ikut serta dalam kontrak politik. Jika para calon pemimpin mereka menang, warga dapat menagih janji-janji atas kebutuhan dasar itu. Kontrak politik tidak hanya kepada calon presiden Anies Baswedan, tapi juga calon pemimpin yang diusung langsung oleh JRMK, termasuk Sukariawati.
Di Pademangan, daerah pemilihan #CalegPinggiran Eny Rochayati dan Muslimin, Herda pengurus JRMK menemani Eny mempromosikan dirinya. Ia mencontohkan kasus dirinya yang telah berhasil didampingi JRMK.
“Bu,” kata Herda kepada seorang warga, “Tanah saya yang tadinya dianggapnya ilegal, yang tadinya zonasinya ungu, Alhamdulillah berkat Ibu Eny (eks-koordinator JRMK) jadi kuning. Punya IMB (izin mendirikan bangunan).”
Ia melanjutkan, “Nanti kami akan berkontrak politik. Ibu boleh hadiri. Menyaksikan langsung. Kenapa kita harus berkontrak politik? Supaya kita enggak asal coblos.”
“Kalau kita asal coblos, nanti lima tahun ke depan kita enggak tahu nasib kita bakal kayak gimana. Dengan kontrak politik, ada hitam di atas putih. Paling tidak kita bisa menegur kalau melenceng.”
Metode pengorganisiran atau canvassing yang JRMK lakukan biasa disebut “RAP”. Sebab, praktik pengorganisirannya mirip dengan musik RAP: bertempo cepat dan dilakukan berulang-ulang.
Metode ini pertama kali dikenalkan aktivis asal Chicago, Saul Alinsky, di komunitas masyarakat miskin kota di Chicago pada 1940-an. Pada 2007, metode ini diadaptasi Urban Poor Consortium (UPC) yang mendapatkan pelatihan dari The Association of Community Organizations for Reform Now (ACORN).
Sejak itu, UPC bersama JRMK mengadopsi metode RAP untuk pengorganisiran berbagai isu. Tidak hanya kampanye pemilihan umum, tapi juga pengorganisiran masyarakat untuk merespons isu penggusuran, kebijakan pemerintah, ataupun mengajak warga bergabung dengan JRMK.
Enam langkah RAP meliputi: (1) perkenalan (2) penggalian masalah, (3) polarisasi (polarize)–atau biasa menyebutnya “ngomporin”, (4) menanyakan visi, (5) mengajak, dan (6) tindak lanjut.
Pada dasarnya, apa yang membedakan RAP sebagai metode kampanye adalah kepentingan penggalian masalah. Nantinya, penggalian masalah menjadi posisi tawar bagi mereka menggalang dukungan untuk mengajak masyarakat mencari solusi bareng-bareng.
Kata kunci yang banyak ditemukan JRMK menyangkut ruang hidup masyarakat setempat: legalitas tanah, sertifikat, zona tanah, Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Ada pula persoalan banjir, kualitas air, bantuan tunai, dan harga bahan pokok.
Tim kampanye JRMK sekaligus melakukan sosialisasi. Merespons Peraturan Presiden No. 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria, JRMK sedang mendata kampung-kampung untuk nantinya didaftarkan legalitasnya.
Pada 11 Januari 2024, JRMK telah mendaftarkan 35 kampung. Mereka mendata jumlah penduduk, batas wilayah, hingga jumlah bangunan di tiap kampung. Mereka juga membantu mengumpulkan dokumen-dokumen administrasi yang dibutuhkan untuk pendaftaran.
Kini JRMK membuka kloter kedua pendataan kampung-kampung untuk nantinya didaftarkan secara kolektif pada pertengahan tahun 2024.
Di lapangan, urutan RAP bisa jadi tidak saklek. Kata Wati, “Mengikuti irama orang yang sedang kita ajak RAP.”
Tuti membutuhkan 2-3 menit setiap kali RAP. JRMK punya kebutuhan untuk mengajak orang dalam jumlah banyak dan waktu cepat. Dari pukul 10-12 siang, misalnya, Tuti bisa mendapatkan 20-30 orang. Ia istirahat sejenak, lalu lanjut melakukan RAP hingga sore hari. Hal yang sama dilakukan tim kampanye lain nyaris setiap hari.
Per pekan keempat Januari 2024, perolehan RAP #CalegPinggiran JRMK sebagai berikut:
Guntoro: 13.468 suara
Eny Rochayati: 7.334 suara
Muslimin: 2.872 suara
Sukariawati: 2.408 suara
Harris Purba: 1.575 suara
Ifan Fauzi: 328 suara
Pahit dan Manis Perjuangan Kampanye
“Saya bersedia,” kata penjaga toko yang disamperin Tuti. “Permasalahannya itu aja. Pemasangan air,” katanya.
Tidak mudah meyakinkan dan mengajak orang mendukung para #CalegPinggiran JRMK. Tidak sedikit pula yang meremehkan dan mencibir Wati saat mengetahui ia mencalonkan diri. “Enggak mungkin lo jadi caleg,” sebut kenalan kepada Wati. “Masak caleg enggak punya duit?”
Kampung Sawah belum termasuk kampung dampingan JRMK, yang totalnya kini adalah 27 kampung dan 2 organisasi pedagang kaki lima. Tantangan untuk mempromosikan #CalegPinggiran menjadi semakin berlapis. Mereka mesti memperkenalkan JRMK dan rekam jejaknya mendampingi kampung miskin kota terlebih dahulu.
Di antara ratusan poster kampanye partai lain yang menempel tembok-tembok rumah di Kampung Sawah, poster Sukariawati yang paling minim Wajah Wati ada di lembar-lembar stiker yang dipegang Tuti dan tim kampanye JRMK lain. Setiap warga yang diajak berdialog, mereka tawarkan selembar stiker, yang meminta izin si tuan rumah menempelkan stikernya di tembok rumah yang masih kosong.
“Bu Caleg, sini Bu Caleg,” teriak Tuti memanggil Wati di kejauhan.
“Ini caleg-nya.” Tuti memperkenalkan Wati ke pedagang es krim keliling.
“Oh, ini gambar Ibu? Wih, mantap,” sebut si pedagang es krim.
Dari seluruh wilayah Dapil 2, anggaran kampanye untuk Wati hanya cukup untuk mencetak 50 baliho. Wati dan tim kampanyenya yang memasang baliho. “Kemarin aku mau pasang baliho, nyasar. Subuh-subuh aku pasang. [Sejauh ini] yang sudah terpasang 32,” sebut Wati.
Ketika didatangi Wati, Tuti, ataupun tim kampanye lain, tidak sedikit warga menolak dengan membentak atau memaki. “Udah bukan hal aneh itu, mah,” kata Wati.
Pengalaman warga sebelumnya pernah diiming-imingi surat tanah dengan syarat memberikan sumbangan melalui Ketua RW, tapi hasilnya nihil.
“Mereka sudah habis duit banyak. Instruksi dari RW, mereka harus bayar. Mereka apatis, lah,” cerita Wati.
Penggusuran pernah terjadi di Kampung Sawah. Di sebuah tanah lapang, tersisa puing-puing bangunan. Di atas puing-puing itu, flyover jalan tol beroperasi.
Sepanjang 2020-2022, lebih dari 300 rumah digusur imbas proyek pembangunan Tol Cibitung-Cilincing. Warga sempat melayangkan protes dengan menutup jalan raya Cakung-Cilincing pada 2020. Mereka menggeruduk Kantor Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 2022 dan mengancam akan menginap hingga memperoleh kepastian hukum.
Tetapi, rumah-rumah mereka tetap diratakan, mengerahkan 250 aparat keamanan gabungan TNI, Polri, dan Satpol PP. Tak punya pilihan, warga berpencar mencari tempat tinggal di kampung lain.
Mayoritas penduduk memiliki keterbatasan ekonomi. Ketika para tim kampanye meminta kontak mereka untuk kebutuhan follow-up, mereka tidak bisa memberikan nomor ponsel. Ada yang tidak punya, ada yang tidak ingat nomor karena jarang dipakai, ada yang ponselnya digadaikan.
“Si ibu tadi bilang begitu. Dua HP-nya lagi disekolahin,” cerita Tuti. “Sekolah melulu, enggak lulus-lulus.”
Ketika Wati dan timnya menghampiri, warga menyangka mereka meminta sumbangan. Ada juga yang langsung menodong sembako. “Minyaknya mana, Bu?” kisah Wati.
Iming-iming kaus partai, minyak, beras, hingga uang tunai membanjiri kampung-kampung selama masa kampanye. “Kemarin saya lihat ada ramai-ramai, ada logo si [paslon Pilpres], kirain apa,” cerita warga. “Ternyata lagi bagi-bagi minyak sama uang Rp100 ribu.”
“Kami lagi nge-RAP, nih,” cerita Batu, salah satu pimpinan Kopeka, Komunitas Pedagang Kecil. “Benturan sama caleg dari […]. Dia udah bawa minyak satu mobil bak!”
Konstituen JRMK lain adalah pedagang kaki lima. Salah satunya adalah Kopeka yang beranggotakan pedagang-pedagang asongan di kawasan wisata Ancol. Wati termasuk anggotanya.
Mereka terlibat RAP di sekitar wilayah Pademangan, yang termasuk Dapil 3 Jakarta Utara: Pademangan, Penjaringan, dan Tanjung Priok. Di sana, ada dua caleg legislatif utusan JRMK, yaitu Eny Rochayati dan Muslimin.
Melihat satu bak penuh isi minyak, mereka memutuskan mundur. Batu menyebut, “Kita kalah mental.”
“Mereka bawa minyak, kita bawa bacot,” seloroh Batu. Ia meluruskan, “Kita bawa janji yang benar.”
JRMK tidak meminta sumbangan, tidak juga mengiming-imingi sembako. Mereka menawarkan gagasan dan janji untuk memperjuangkan ruang hidup. Praktik kampanye yang tidak lazim bagi masyarakat sekitar.
Ada masa-masa mental Wati jatuh menghadapi fakta persaingan berat dengan calon legislatif dari partai-partai lain. “Seperti melakukan sesuatu yang tidak mungkin,” kata Wati.
Wati mendengar cerita dari kenalannya yang terlibat tim kampanye seorang caleg dari sebuah partai besar. Modal yang telah dikeluarkan secara pribadi berjumlah ratusan juta rupiah, di luar imajinasi Wati.
Kenalannya itu melakukan kontrak politik dengan si calon legislatif yang bersifat pribadi. Jika si calon legislatif menang, ia mendapatkan jaminan jabatan. Sementara di JRMK, isi kontrak politik menyangkut kepentingan kolektif masyarakat miskin kota. Tidak ada tukar-menukar jabatan.
“Idih, gila,” sebut Wati. “Aduh, saya bilang ke [teman itu], aku tak mundur saja kalau pakai duit segitu!”
Konstituen JRMK, dari Pedagang Kaki Lima…
Soleha (32), pedagang kaki lima yang tergabung Kopeka, mengajukan diri menjadi petugas kebersihan untuk acara kontrak politik pada 29 Januari 2024.
Kopeka kedapatan tugas mencari dua relawan. Satu orang petugas kebersihan, satu orang lagi petugas keamanan. Setiap koperasi yang tergabung Jaringan Rakyat Miskin Kota mengerahkan anggota-anggotanya terlibat sebagai panitia.
Soleha sebenarnya belum lama bergabung dalam Kopeka, juga sebagai pedagang kaki lima. Usaha itu peninggalan ibunya yang berdagang di Ancol selama lebih dari 30 tahun. Ibunya meninggal pada Agustus 2022, lalu Soleha meneruskan pekerjaan itu.
Bercerita tentang ibunya masih membuat Soleha meneteskan air mata. Nama ibunya Turah, yang meninggal setelah ditabrak lari saat menyebrang jalan raya di luar Ancol dalam perjalanan pulang usai berdagang.
Hari itu Soleha, yang tinggal di Cengkareng bersama suaminya, masih mengobrol bersama ibunya melalui telepon. Telepon setelahnya dari panggilan nomor asing. Mengabarkan ibunya dilarikan ke rumah sakit setelah ditemukan terkapar di jalan raya.
Kabar kecelakaan menimpa ibunya masuk tayangan berita. “Detik-detik Wanita Lansia Menjadi Korban Tabrak Lari di Perempatan Jalan R. E. Martadinata”, begitu judulnya.
Ibunya mengajarkannya berdagang asongan sejak kecil. “Dari saya umur 8 tahun. Dididik almarhum ibu saya buat bawa termos, tawarin dari bus ke bus. Katanya, ‘Kalau dagang nawarin, jangan diem aja. Boleh, Pak. Kopi, kopi.’”
Pesan terakhir ibunya, “Sering-sering ikut Mak dagang. Supaya bisa nerusin usaha Mak. Sayang kalau enggak diterusin. Mak sudah tua. Sudah enggak ada umur. Mak sudah capek.”
Ibunya membesarkan Soleha dan empat saudaranya hingga tingkat SMA melalui berdagang. Kini Soleha berupaya menghidupi kedua anaknya dengan berdagang. Setelah 40 hari kematian ibunya, suami Soleha meninggal dunia. Ia sakit-sakitan. Soleha kini menanggung tugas sebagai kepala keluarga.
Pemasukan kotor Soleha berdagang Pop Mie dan kopi di Ancol sekitar Rp50 ribu-100 ribu sehari. Jika mujur di akhir pekan, saat pengunjung Ancol ramai, pendapatannya bisa Rp300 ribu. Uang itu untuk membayar sewa rumah di Pademangan, kontrakan 1 kamar dan 1 kamar mandi seharga Rp1 juta/bulan. Juga untuk pengeluaran makan keluarga. Anak sulungnya mendapatkan keringanan biaya sekolah dasar.
“Kalau dagangan sepi, saya suka bengong. Gimana caranya biar dapat sampingan? Tapi intinya bersyukur. Namanya rezeki, ya. Sepi jangan ngeluh, ramai jangan terlalu senang,” kata Soleha.
Pada 2018, Kopeka ditangkap polisi militer/TNI ketika berkumpul di kawasan Ancol, satu per satu diangkut ke mobil keamanan. Eny Rochayati, Koordinator JRMK saat itu, ada di sana. Begitu pula Wati yang mengenalkan JRMK kepada para anggota Kopeka. Mereka dianggap mengganggu ketertiban. Para petugas keamanan memaki para pedagang.
“Padahal sedang enggak jualan,” cerita Wati.
Itu bukan pertama kali para pedagang asongan diperlakukan serupa. Mereka dianggap tidak resmi dikejar-kejar petugas keamanan. Para pedagang pun bersiasat menyeberang kali atau meloncati pagar tembok.
Ketika ditangkap, barang-barang disita hingga dibuang, disuruh push-up dan dipukul. “Terkadang security tinggi menunggu di pinggir kali atau di bawah tembok. Kami diuber-uber bahkan mereka pakai preman dan TNI,” tambah Wati.
Kini sejak kontrak politik dengan mantan Gubernur Anies Baswedan pada Pilkada DKI Jakarta 2017, Kopeka telah terdaftar secara resmi sebagai pedagang di dalam kawasan Ancol. Mereka menjadi bagian dari yang disebut oleh Ancol sebagai reseller.
Tetapi, kontrak politik punya masa berlaku. Para pedagang berada dalam ketidakpastian dengan situasinya sekarang saat orang nomor satu Balaikota sudah berganti. Upaya mempertahankan sumber penghasilan mereka adalah melalui kontrak politik baru, kali ini juga dengan calon-calon legislatif dari JRMK.
Pimpinan Kopeka mengajak para anggotanya terlibat RAP mempromosikan Eny Rochayati dan Muslimin, terlibat sebagai panitia pada acara kontrak politik yang berlangsung pada 29 Januari, dan nantinya ikut mengawasi penghitungan suara di TPS pada Pemilu 14 Februari 2024.
“Nanti di tiap TPS, kita akan adakan saksi. Di daerah yang banyak garapan kita, yang banyak caleg kita. Ada yang mau jadi saksi?” kata Batu, salah satu pimpinan Kopeka, kepada para anggota yang menghadiri rapat pada sebuah malam di Ancol.
Batu berkata terus terang bahwa saksi belum tentu mendapatkan upah dari Partai Buruh ataupun koperasi JRMK. Jika pun ada, dengan anggaran terbatas, nilainya seadanya.
“Masalahnya seperti ini. Seandainya anggarannya ada, nanti dikirim. Seandainya tidak ada, kesepakatannya koperasi yang akan membiayai. Dari koperasi kita sendiri,” terang Batu. “Kira-kira–ada enggak yang mau jadi saksi tanpa dibayar?”
Mereka yang bersedia mengangkat tangan, lalu mengisi formulir yang dibagikan Batu. Beberapa tampak ragu. Berjaga di TPS berarti merelakan untuk kehilangan pemasukan dari berdagang selama sehari penuh.
Batu mencoba meyakinkan, “Kita berjuang untuk kemenangan kita sendiri. Capek-capek RAP, patungan beli spanduk. Kalau di TPS ada yang sabotase, yang rugi siapa? Kita.”
… Sampai Korban Gusuran
Seperti Soleha yang menggantungkan hidupnya sebagai pedagang kaki lima, sumber penghidupan Tuti ada di Kampung Bayam. Tetapi, sejak terpaksa pindah ke Rusunawa Nagrak, hidupnya serba susah.
“Pokoknya kalau diceritakan nangis, lah,” katanya.
Selama hampir setahun, Tuti bersama tujuh keluarga melakukan aksi protes kepada Pemprov DKI Jakarta dengan mendirikan tenda di depan Kampung Susun Bayam. Di pinggir rel kereta, ia berupaya menyambung hidup dengan membuka warung makan.
Pemerintah DKI Jakarta mulanya menjanjikan Tuti satu unit Kampung Susun Bayam, sebagai ganti rugi atas penggusuran kampungnya imbas proyek pembangunan Jakarta International Stadium (JIS).
Tetapi, ketika Anies Baswedan turun jabatan dan digantikan PJ Heru Budi Hartono, tarik ulur terjadi.
Tuti, yang mulanya sudah serah terima kunci unit, gagal menempati Kampung Susun Bayam. Pemprov DKI Jakarta melalui Jakpro meminta Tuti dan warga Kampung Susun Bayam lain membayar biaya sewa yang kelewat mahal, yaitu Rp500 ribu-Rp700 ribu/bulan, juga biaya air dan listrik.
“Saya keberatan karena anak saya ada dua. Terlalu berat,” cerita Tuti.
Sebagai perbandingan, iuran tempat tinggal di Kampung Kunir dan Akuarium, yang dikelola melalui koperasi oleh warganya sendiri, sebesar Rp170 ribu/bulan. Bagi Tuti, besaran tarif itulah yang masuk akal bagi ekonomi keluarganya.
“Tapi mereka [Jakpro] kekeuh,” sebut Tuti. “Kata mereka, ini bukan rusunami kayak warga di Akuarium/Kunir, katanya Kampung Susun Bayam itu selevel Apartemen Podomoro!”
Ketika JIS bersiap jadi tempat pembukaan Piala Dunia U-17 2023, yang ang kemudian batal, Tuti kena gusur lagi dari tenda. Ia diminta pindah ke rumah susun terdekat sebab lingkungan sekitar JIS, kata kepala daerah, “harus dibersihkan.”
Totalnya Tuti jadi korban penggusuran tiga kali; dari kampung aslinya di Kampung Bayam, dari Kampung Susun Bayam, dan dari tenda di depan Kampung Susun Bayam.
“Mungkin mereka berpikir yang miskin ini enggak layak hidup di kawasan elite. Kumuh,” sebut Tuti.
Di Rusunawa Nagrak, ia pernah mencoba membuka warung makan di pagi hari, lalu menjual sayur-sayuran segar di siang hari. Tapi, tidak laku. Rusunawa Nagrak sepi penghuni. Sayur-sayurannya sering busuk, usahanya bangkrut.
Anaknya kini mesti pergi-pulang sekolah dengan waktu tempuh lebih dari 2 jam. “Anak saya berangkat sekolah pukul 4 pagi, sampai rumah pukul 6. Sudah kayak orang kerja. Ditanya ada PR atau enggak, katanya, ‘Aku udah capek, Mak.’”
“Makan bingung. Anak sekolah bingung,” kata Tuti, muram.
Sementara, saat mengadu ke Pemprov DKI Jakarta, ia kena ping pong. “Enggak ada kepastian. Di-PHP-in. Kayak bola, ditendang ke sana-sini.”
Tuti hendak melanjutkan perjuangannya bersama JRMK merebut kembali ruang hidupnya. Dulu, JRMK pula yang mendampinginya mendapatkan satu unit Kampung Susun Bayam.
Saat itu JRMK bersama UPC melakukan pendataan warga Kampung Bayam yang kena gusur proyek JIS. Mereka merespons rencana Pemprov DKI Jakarta membangun Kampung Susun sebagai tempat relokasi warga. Dulu proyek Kampung Susun Bayam masih bernama Kampung Deret.
Wati termasuk kedapatan tugas mencari dan mengumpulkan kembali warga eks-gusuran yang masih bertempat tinggal di sekitar JIS, tepatnya di sekitar rel kereta.
Dengan pendampingan bersama JRMK, warga Kampung Bayam yang saat itu tergabung dalam Persaudaraan Warga Kampung Bayam (PWKB), difasilitasi untuk merancang rumah mereka sendiri. Mereka ikut merumuskan jumlah dan bentuk ruangan; kamar tidur, ruang tamu, dapur, balkon.
Kini, JRMK kembali memperjuangkan Kampung Susun Bayam. Kampung ini termasuk dalam kontrak politik dengan #CalegPinggiran JRMK dan Capres Anies Baswedan.
“Tadinya kami enggak tahu [tentang JRMK]. Setelah relokasi, kami bubar, masing-masing,” cerita Tuti.
Harapannya besar untuk kemenangan calon-calon pemimpin yang didukung JRMK. “Semoga menang, Ya Allah. Kalau enggak menang… miris hidup saya.”
Kontrak Politik
Ratusan masyarakat miskin kota berkumpul di Lapangan Tanah Merah, Kampung Muka, Ancol, untuk menyambut kedatangan Calon Presiden Anies Baswedan dan #CalegPinggiran. Mereka menanti penandatangan kontrak politik antara Capres, #CalegPinggiran, dengan Jaringan Rakyat Miskin Kota.
Pukul 1 siang, sehabis hujan deras, lapangan tergenang air dan sinar matahari menyengat wajah. Tetapi situasi itu tidak meredakan antusiasme warga.
Para warga dari Kampung Akuarium, misalnya, datang berbondong-bondong, menyewa odong-odong untuk sampai ke lokasi. Ada pula anggota Jejaring Rakyat Miskin Indonesia (JERAMI) yang berasal dari 7 provinsi di Indonesia.
JRMK punya alasan mengusung caleg mereka sendiri dan melakukan kontrak politik. Ini jadi ajang mereka bereksperimen; upaya merebut hak demokrasi dan kepastian atas ruang hidup. Kesempatan untuk menghapuskan praktik penggusuran ugal-ugalan yang kerap berlangsung di masa-masa pemerintahan sebelumnya.
Wati percaya akan alasan itu. Ia terlalu sering menyaksikan penggusuran dan perlakuan semena-mena aparat menimpa kawan, tetangga, atau saudaranya sendiri. Selama ini, penggusuran bukanlah solusi. Begitu pula dengan uang ganti rugi. Wati menyebutnya sebagai “uang kezaliman”.
“Aku sedih banget ketika penggusuran terjadi. Beberapa aku lihat dan enggak bisa melakukan apa-apa. Ketika mereka digusur, mereka enggak dikasih solusi,” sebut Wati.
Bergabung dengan JRMK sejak awal 2000, ketika organisasi ini masih bermarkas di Kalimalang, Jakarta Timur, Wati merasakan nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong untuk membawa perubahan. “Waktu itu, untuk menyikapi kenaikan BBM, kami saweran, masak bersama. Kami bisa bertahan walaupun harga-harga naik. Menunjukkan ke pemerintah kalau kami punya cara.”
Setelah bergabung dengan JRMK pula, kepercayaan diri Wati tumbuh. Bekal yang kini berguna untuk berdialog dengan konstituen-konstituennya. “Aku dulu mah boro-boro ngobrol sama orang. Ketemu orang aja aku takut. Tapi berubah sejak aku ikut banyak kegiatan JRMK,” tutur Wati.
Pada 29 Januari, Wati berdiri di atas panggung. Bersama caleg-caleg pinggiran JRMK lain, ia memakai kaus bertuliskan “Caleg Pinggiran”. Sementara para pendukungnya dari JRMK bersama-sama mengenakan kaus “Rebut Pemilu dari Tangan Elite”.
Di depannya, warga dari berbagai kampung di Jakarta mengusung poster bertuliskan harapan-harapan. “KAMI WARGA KEMBANG LESTARI INGIN BERTEMPAT TINGGAL DENGAN AMAN DAN TENANG DENGAN LEGALITAS TANAH TEMPAT TINGGAL KAMI DI MUARA BARU,” tulis satu poster.
“KAMPUNG SUSUN BAYAM // HAK WARGA KORBAN PENGGUSURAN // SEGERA BUKA UNTUK KAMI,” tulis satu poster lain.
Para Caleg Pinggiran membubuhkan tanda tangan di sebuah piagam bertajuk “TUJUH AMANAT RAKYAT”. Kesepakatan untuk memperjuangkan reforma agraria dan melindungi masyarakat miskin.
Ya, menjadi caleg itu melelahkan, kata Wati. Tapi Wati masih berpegang pada tujuan awalnya saat mencalonkan diri, “Aku ingin memperjuangkan hak orang banyak.”
KONTRAK POLITIK
CALON LEGISLATIF DPR RI DAN DPRD PARTAI BURUH
DENGAN JARINGAN RAKYAT MISKIN KOTA JAKARTA
DAN FORUM KOMUNIKASI TANAH MERAH BERSATU
“TUJUH AMANAT RAKYAT”
Calon Anggota Legislatif DPR RI dan DPRD RI dari Partai Buruh bersepakat dengan Jaringan Rakyat Miskin Kota Jakarta dan Forum Komunikasi Tanah Merah Bersatu untuk memperjuangkan:
1. Reforma agraria perkotaan
2. Koperasi sebagai basis ekonomi kerakyatan
3. Penguatan dan perlindungan ekonomi informal
4. Jaminan sosial menyeluruh untuk rakyat miskin
5. Penguatan peran sosial, ekonomi, dan politik perempuan miskin
6. Pendidikan berkelanjutan
7. Mitigasi perubahan iklim dan dampak eksploitasi
Jakarta, 29 Januari 2024