Program yang seharusnya menjadi harapan jaminan gizi justru menjadi ancaman kesehatan dan kematian. Anak-anak membayar paling mahal harga kelalaian negara.
Tangis Zahwa (12) pecah di posko penanganan keracunan Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat. Tubuhnya bergetar, napas sesak, perutnya melilit, dan sesekali kejang. Anak kelas 6 Madrasah Ibtidaiyah Syahida Syarif Hidayatullah itu menjerit kesakitan. Di sampingnya, sang ibu, Esih (44), berusaha menahan panik.
“Kemarin sempat dibawa ke RSUD Cililin, tapi sore hari disuruh pulang. Besoknya kambuh lagi. Napasnya susah, perutnya sakit, sampai kejang-kejang,” tutur Esih, suaranya berat menahan cemas.
Gejala itu muncul setelah Zahwa menyantap makanan dari Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang dibagikan di sekolah. “Menunya ada ayam, sayur tomat, stroberi, sama sambal,” kata Esih. Alih-alih memberi manfaat, makanan itu justru membuat anaknya terbaring sakit.
Sejak awal Esih sudah curiga atas kualitas makanan MBG. “Awal-awal itu banyak makanan asem. Anak-anak nggak mau makan, numpuk di sekolah. Guru-guru sampai bawa pulang buat pakan ayam. Ada juga yang memaksa makan meski sudah basi,” ungkapnya.
Beberapa kali Zahwa melaporkan kondisi makanan yang kotor. “Katanya ada belatung, lalat, bahkan ulat di sayur. Kayaknya nggak dicuci bersih,” tambah Esih.
Bukan hanya Zahwa. Adiknya kelas 3 SD mengalami gejala serupa meski lebih ringan: pusing, mual, dan demam.
“Sekarang dititip di rumah neneknya, karena saya harus jagain Zahwa,” kata Esih.
Ia merasa lebih baik bantuan diberikan dalam bentuk uang tunai. “Daripada anak saya sakit, mending saya masak sendiri. Saya lebih tahu apa yang disukai anak saya,” ujarnya.
Banyak ibu lain di sekolah juga sepakat. “Mereka bilang, kasih uang saja. Mau Rp10 ribu atau Rp15 ribu per anak, itu lebih bermanfaat daripada bikin dapur mubazir.”


Abdullah (34), orang tua siswa kelas 1 SD di Kota Bandung, resah. Sejak awal ia terbiasa membawakan bekal untuk anaknya karena tidak yakin kualitas menu MBG. “Kalau dia nggak suka makanan MBG, masih bisa makan bekal dari rumah,” ujarnya.
Namun setelah kabar keracunan massal merebak, Abdullah menegaskan larangan, “Saya suruh anak saya jangan makan makanan dari MBG.
Ia sempat memprotes pihak sekolah. “Keselamatan anak-anak harus diprioritaskan. Kalau makanan tetap dibagikan, seharusnya ada pengecekan dulu dari pihak sekolah. Ini menyangkut nyawa.”



Keraguan para orang tua terbukti. Hingga 25 September 2025, Dinas Kesehatan Bandung Barat mencatat 1.315 orang keracunan akibat MBG, dari tiga peristiwa berbeda.
Gelombang pertama terjadi di Kampung Cipari, Desa Sirnagalih, Kecamatan Cipongkor dari klaster Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Makmur Jaya pada 22 September. Sebanyak 380 orang jatuh sakit usai menyantap makanan MBG.
Belum reda, kasus serupa muncul dari klaster SPPG Desa Mekarmukti di Kecamatan Cihampelas, menimpa 197 orang dari berbagai sekolah.
Gelombang berikutnya kembali terjadi di Kecamatan Cipongkor dari klaster SPPG Maju Jaya di Desa Neglasari sebanyak 738 orang.
Di posko penanganan Kecamatan Cipongkor, suasana mencekam. Anak-anak tampak lemas, menangis menahan sakit perut atau pusing.
Orang tua mereka tak kuasa menahan air mata. Beberapa pasien dirujuk ke RSUD Cililin dan RS Dustira Cimahi. Gejala kambuh meski sebelumnya dinyatakan sembuh membuat posko tak pernah sepi pasien.

Mengutip Bandung Bergerak, Bupati Bandung Barat Jeje Ritchie Ismail akhirnya menutup tiga dapur SPPG yang diduga menjadi sumber masalah. Namun, ia menegaskan program MBG akan tetap berjalan.
“Jangan sampai hanya karena satu dua kasus berdampak pada dapur lain yang bekerja dengan baik,” ujarnya.
Fakta di Bandung Barat hanyalah puncak gunung es. Catatan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menunjukkan sejak Januari-September 2025 ada 5.626 kasus keracunan akibat MBG di 16 provinsi.
Angka lebih besar dicatat Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) dengan kenaikan signifikan dari 1.376 kasus pada akhir Juni menjadi 6.452 kasus per 21 September. Jawa Barat menjadi salah satu provinsi dengan jumlah korban terbanyak.


Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung menilai peristiwa ini bukti nyata kegagalan negara dalam menjamin hak dasar masyarakat atas pangan yang sehat dan aman. Dalam keterangan resminya, LBH Bandung menegaskan keracunan massal ini mengancam hak hidup dan kesehatan anak-anak.
LBH menilai kegagalan pengawasan pemerintah bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini sejalan dengan Pasal 25 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Pasal 11 Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang mengakui hak setiap orang atas pangan aman dan bergizi.
Di tingkat nasional, kewajiban negara juga diatur dalam Pasal 64 ayat (3) UU Kesehatan 2023 dan Pasal 86 ayat (2) UU Pangan 2012 yang mewajibkan standar mutu gizi dan keamanan pangan, termasuk dalam program bantuan pemerintah.
LBH mendesak pemerintah segera menghentikan distribusi MBG, memberikan penanganan medis menyeluruh kepada korban, serta membuka ruang bagi lembaga independen seperti Komnas HAM, KPAI, dan Ombudsman RI untuk menyelidiki kasus ini.

Esih kembali menatap putrinya yang lemah. Ia masih ingat perkataan pejabat MBG di televisi yang menyebut, “satu anak itu berharga.” Tapi kenyataan di hadapannya berbeda.
“Katanya satu anak itu berharga, tapi sekarang banyak anak yang terkapar lemas nggak bisa apa-apa,” ujarnya.