Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung kini terlihat sepi. Pasar modern dan beberapa ruko di dekat pintu masuk KBN Cakung teronggok begitu saja. Setelah memasuki gerbang KBN, ada tanah lapang ditumbuhi ilalang dan batu-batu besar.
“Ini dulu primadona di KBN. PT Katexindo. Bisa dibilang gajinya paling OK lah,” kata Ari, aktivis buruh di KBN Cakung.
Di belakang lahan bekas Katexindo, terlihat bekas bangunan pabrik yang lusuh, semua kaca jendelanya pecah. Melihat sekilas bangunan bekas pabrik dan tanah lapang tak terawat itu bak kota berhantu di film-film: senyap dan seram. Namun, menuju jalan utama, truk pembawa peti kemas ramai hilir mudik. Di satu pojok selasar pabrik kosong, sebuah forklift menyusun kontainer di dalam depo.
KBN Cakung merupakan kawasan industri pada 1986. Terbentuk dari gabungan dua Badan Usaha Milik Negara, PT Bonded Warehouses Indonesia dan PT Sasana Bhanda, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 1986. Sasana Bhanda merupakan perusahaan pergudangan lini satu yang beroperasi sejak 1983 di Cakung.
Bisnis PT KBN mengelola kawasan industri, baik yang berstatus kawasan berikat (export processing zone) maupun non-berikat. Luas lahannya 176,7 ha di Jalan Raya Cakung-Cilincing, sekitar 5 km dari pelabuhan utama Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Kawasan berikat ini didirikan sebagai penunjang pengembangan ekonomi untuk meningkatkan industri pengolahan berorientasi ekspor yang mendapat insentif khusus, yaitu pembebasan bea masuk dan pungutan negara lain. Kawasan berikat berbasis ekspor ini menjadi penanda peralihan kebijakan ekonomi dari substitusi impor ke orientasi ekspor seiring tren ekonomi dunia kala itu.
Website resmi KBN mencatat ada 104 pelanggan pengolahan (produsen), 78 di antaranya pelanggan asing dan 15 perusahaan pergudangan dan 34 usaha jasa lain. Mayoritas investor di KBN Cakung berasal dari Korea Selatan di sektor garmen, yang memproduksi berbagai jenama terkenal seperti Nike, Adidas, GAP, H&M, ZARA, dan EXPRESS.
Agar arus kapital berjalan lancar, pemerintah memanjakan para investor dengan kemudahan izin usaha, keringanan pajak, hingga jaringan infrastruktur, menghubungkan pelabuhan dan daerah industri lain. Di sisi lain, kelas pekerja di kawasan ini dipromosikan sebagai buruh yang terampil dan berbiaya murah.
Perjuangan Dua Generasi Buruh Perempuan
Suciyati (50) bekerja sebagai operator mesin bordir di PT Kaho Indah Citra Garment sejak 2006. Pabrik garmen itu menggarap jenama terkenal seperti Under Armour, GAP, dan Louis Castel. Ia mengaku pasrah mendengar desas-desus rencana kepindahan tempat kerjanya ke Garut, Jawa Barat.
Sebab, setelah suaminya terserang saraf kejepit pada 1995, Suci tak dapat berhenti kerja. Ia juga harus tetap berada di Jakarta untuk bisa merawat suami dan tiga anaknya. “Dulu belum ada BPJS, sehingga mesti kerja terus buat biaya pengobatan bapak,” kata Putri, anak pertama Suciyati.
Putri juga bekerja di KBN Cakung setelah lulus SMA pada 2015. Berbekal pelatihan tata busana di Jakarta Utara, ia mengikuti jejak sang ibu bekerja di pabrik garmen. Meskipun begitu, ia berharap mendapatkan pekerjaan lebih baik dengan mengambil pelatihan teknik komputer.
Setelah menyelesaikan pelatihan, Putri mendapat pekerjaan sebagai petugas administrasi produksi di PT Medika, pabrik garmen asal Jepang yang memproduksi pakaian untuk tenaga kesehatan. Ia bekerja selama 1 tahun 4 bulan karena Medika pindah dari KBN Cakung ke Semarang. Sang ayah yang terbaring sakit tak mengizinkan putrinya keluar dari Jakarta.
Atas saran ibunya, putri melamar pekerjaan ke PT Kaho. Kini ia bekerja sebagai operator mesin heat transfer untuk menempel kelengkapan pakaian (logo, ukuran, serta ragam teks dan grafis).
Putri menyadari sebagai generasi sandwich dari keluarga kelas ekonomi lemah, sebagian besar upahnya diberikan kepada orangtua dan untuk biaya sekolah kedua adiknya. Ia dan ibunya dan ribuan buruh Kaho sama-sama mendapatkan upah minimum provinsi DKI Jakarta, sekira Rp4,9 juta.
Perlakuan dan kata-kata kasar dari atasan seolah jadi pil pahit yang harus ditelan para buruh pabrik garmen. Suci pernah mengalaminya. Suatu saat ia pernah melakukan kesalahan saat menjahit yang membuat satu jalur produksi berhenti. Saat menjelaskan kendala kepada rekannya, pengawas produksi memakinya “Anjing!” dengan suara sangat keras.
Suci melawan dan melaporkan kejadian itu kepada HRD. Esok harinya, si pengawas minta maaf dan tidak terlihat lagi di jalur produksi. Sejak itu Suci dikenal sebagai buruh yang aktif bersuara dan memicu beberapa rekan buruh untuk turut berani.
Suci bergabung dengan Serikat Buruh Militan (Sebumi), disusul Putri 10 tahun kemudian. Mereka aktif memantau dinamika pabrik dan mengadvokasi rekan buruh di tengah suasana yang makin tidak kondusif karena isu relokasi.
PT Kaho, salah satu industri padat karya di KBN, saat ini mempunyai hubungan kerja dengan 1.200 buruh (tetap dan kontrak) yang dinaungi oleh empat serikat pekerja. Tiga serikat independen dan satu serikat bentukan perusahaan khusus pekerja kontrak.
Putri kerap kali diomeli atasannya saat melapor untuk mengikuti rapat organisasi. “Lu ngapain izin-izin mulu?” katanya menirukan sang atasan yang sesama buruh. Namun, Putri bersikukuh. Dasarnya adalah hak buruh berorganisasi dilindungi undang-undang dan sudah menjadi kesepakatan dalam perjanjian kerja bersama.
“Intinya melawan, biarpun itu sesama buruh. Karena saya berjuang untuk mereka juga. Kesejahteraan buruh itu kita sendiri yang menentukan,” kata Putri.
Ia merasakan dari kejadian itu kebebasan untuk berorganisasi makin terbuka, meski ia dibuat tidak nyaman dengan kerja berpindah-pindah divisi.
Isu PHK dan relokasi PT Kaho kembali bergulir. Serikat menuntut perusahaan terbuka kepada buruh. Pasca-PHK ratusan pekerja tetap tahun lalu, perusahaan kembali merekrut karyawan kontrak beberapa bulan kemudian. Alasannya, perusahaan merugi. Namun, kata Putri, “Kalau memang merugi, buktikan dengan data, dong.”
Di sisi lain, Putri menyesali sikap kawan buruh senior yang menerima di-PHK karena sudah lelah bekerja, yang membuka peluang bagi perusahaan terbebas dari kewajibannya membayar jaminan hari tua.
Pada 27 September 2023, Suci dan Putri kena PHK bersama 400 buruh PT Kaho. Meski begitu, Putri belum mau tanda tangan surat PHK, sebab menurutnya tidak fair kalau perusahaan beralasan rugi, tapi enggan memberikan data. Lagi pula Putri masih mengawal kawan-kawan pengurus serikat Sebumi yang menolak di-PHK.
Ikatan yang Melemah
Sayangnya pelbagai fasilitas yang diberikan pemerintah melalui KBN Cakung tak mampu membendung sifat kapitalis yang ekspansif dan eksploitatif. Dalam kurun 20 tahun terakhir, pamor KBN Cakung kian meredup.
Berdasarkan pantauan serikat pekerja FBLP (sekarang bernama FSBPI; Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia), KBN Cakung bisa menampung sekitar 130 pabrik, lebih dari 90 pabrik beroperasi dengan 70.000 buruh yang 90% di antaranya perempuan.
Kondisi kerja buruh di KBN Cakung terhitung buruk, mulai dari kebijakan upah murah, lembur tidak dibayar (skors), jam kerja panjang, kekerasan verbal, kekerasan seksual, dan lapisan kekerasan lain.
Buruknya kondisi kerja dan upah murah mendorong konsolidasi gerakan buruh yang bermuara menjadi pemogokan kawasan pada 2010, berlanjut pada aksi grebek pabrik (direct action), pendudukan jalan tol pada 2011 di area Jabodetabek, hingga pemogokan nasional 2012, 2013, dan 2015.
Rangkaian perlawanan buruh itu menghasilkan kenaikan upah sebesar 44% pada 2013 dan pengangkatan buruh kontrak atau harian lepas menjadi buruh tetap dalam jumlah massal di pabrik, yang menjadi sasaran aksi grebek pabrik.
Kenaikan upah minimum DKI dan radikalisasi gerakan buruh kemudian menjadi alasan investor melakukan relokasi ke Jawa Tengah, Jawa Barat, dan wilayah lain dengan standar upah murah dan berpenduduk padat, dengan jaminan pembebasan lahan yang lebih murah dan efisien.
Catatan Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) pada 2014, jumlah pabrik di KBN Cakung tersisa 27 perusahaan. Sementara menurut pernyataan APINDO, terdapat 90 pabrik dari kawasan industri di Jabodetabek yang memutuskan relokasi ke Jawa Tengah sejak 2013. Bila awalnya pada 1986 kawasan KBN Cakung menampung sekitar 84.000 pekerja industri garmen, kini hanya tertinggal kurang dari 10%.
Di sisi lain, data dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) pada 2015 menyebutkan, 47 pabrik dari wilayah Jawa Barat dan Banten melakukan relokasi ke daerah Jawa Tengah. Pada 2016, ada 5 perusahaan padat karya pindah dari Gresik ke Lamongan. Total ada 120 perusahaan yang melakukan relokasi dari wilayah Jawa Barat ke wilayah lain sejak 2012 sampai sekarang.
Ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI), Dian Septi Trisnanti dalam makalah “Migrasi Pekerja Garmen Jakarta setelah Penutupan Pabrik akibat Relokasi: Dampak dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi,” menyatakan kondisi perginya investor dari kawasan industri tua semacam KBN Cakung merupakan sebuah keniscayaan, karena kapital membutuhkan ruang baru untuk berakumulasi.
Sehingga, tulisnya, perlawanan buruh akibat kondisi kerja yang buruk dan upah rendah bukan satu-satunya faktor. Dalam konteks relokasi industri tua seperti KBN Cakung, ada beragam faktor yang melingkupinya seperti lingkungan alam yang kian rusak, mulai dari prediksi menurunnya permukaan tanah hingga 6,7 inci/ tahun akibat penyedotan air tanah yang berlebihan, hingga banjir yang kerap menimbulkan kerugian.
Salah satu imbasnya, puluhan ribu kelas pekerja tak tentu nasibnya. Mereka dihadapkan dua jurang; ikut relokasi dengan upah mengikuti UMP lokasi baru yang lebih murah atau didepak dengan kompensasi tak seberapa. Sementara, ribuan kamar kos yang sebelumnya penuh dihuni oleh buruh KBN Cakung, kini kosong dan terlantar.
Kisah Darsih: Bahagia Bisa Menjadi Manfaat Bagi Orang Lain
Tepat di samping KBN Cakung, kami memasuki rumah kontrakan petak 2 lantai yang sepi. Kami bertemu Darsih (43), mantan buruh garmen KBN yang 20 tahun terakhir mendiami sebuah kamar kontrakan di sana. Di lantai 2 rumah kontrakan itu Darsih dan kedua anak laki-lakinya tinggal di kamar seluas 8 m2.
“Dulu kamar saya di ujung sana, udah hampir 10 tahun pindah di kamar yang sekarang,” kata Darsih sembari menunjuk 10 deret kamar yang hanya terisi 3 kamar saja.
Pada 2015, Darsih bersama 20 anggota serikat pekerja PT Hansae memperjuangkan 800 pekerja perusahaan garmen tersebut agar menjadi karyawan tetap melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Pihak perusahaan mengangkat sekitar 500 buruh sebagai pekerja tetap pada 2017. Namun, Darsih dan 16 anggota serikat langsung didepak tanpa pesangon, sebelum akhirnya PT Hansae tutup pada 2018.
Sejak 1997, Darsih telah bekerja di lebih dari 7 perusahaan garmen di KBN Cakung. Menurutnya, hingga awal 2000-an mencari pekerjaan di KBN cukup mudah. “Dulu sekitar seratus lebih PT di situ jadi sebagai tenaga kerja kita bisa milih, yang penting gajinya beres nggak?”
Beres yang dimaksud minimal pemberian upah tepat waktu dan dapat upah lembur, meski besarannya sama saja mengikuti upah minimum provinsi.
Darsih menyadari perusahaan tidak peduli dengan fungsi reproduksinya sebagai perempuan. Keguguran yang dialaminya pada 2003 akibat kelelahan kerja, sungguh menampar Darsih. Pada kehamilan berikutnya, ia memilih berhenti bekerja hingga anaknya berusia setahun. Kedua anak Darsih yang lahir pada 2004 dan 2009 menghabiskan masa balita mereka bersama orangtua Darsih di Sragen, Jawa Tengah.
Pada 2015, Darsih meninggalkan pekerjaan kembali selama 8 bulan. Ia harus mengurus anaknya di kampung sebab orangtuanya sakit keras. Sambil mengurus anak, Darsih tetap mencari nafkah lewat pekerjaan CMT (cut, make & trim) dari tetangganya, bermodalkan mesin jahit yang dibelinya sendiri. Hasilnya lumayan, rata-rata Rp500 ribu/minggu.
Nahas, sepulangnya ke Cakung, ia memergoki suaminya sudah bersama perempuan lain. Mantan suami Darsih mewariskan tumpukan utang di warung, pegadaian, dan kontrakan yang akhirnya ia selesaikan dengan mencicil.
Keterlibatan Darsih dalam serikat buruh di KBN tergolong unik. Selain muak atas tekanan kerja di pabrik garmen, duka setelah perceraian ia lampiaskan dengan menyibukkan diri sebagai anggota Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP). Ia mengorganisir rekan buruh di PT Hansae dan aktif menulis artikel perburuhan di Marsinah FM.
“Ternyata bahagia itu sederhana. Meskipun saya banyak masalah, tapi saya mampu menyelesaikan masalah orang lain,” kata Darsih.
Setelah didepak dari Hansae, Darsih kembali bekerja di PT Kaho Indah Cipta Garment sebagai pekerja kontrak selama 2 tahun, sembari menjajal peruntungan lain, yakni berjualan kopi di kawasan Banjir Kanal Timur (BKT) saban Sabtu dan Minggu.
Sejak 2019, Darsih berhenti bekerja di KBN Cakung. Ia berdagang kopi di kawasan Kelapa Gading, sekira 30 menit dari tempat tinggalnya. Penghasilan hariannya rata-rata serupa dari UMP saat ini, sekitar Rp150 ribu/hari dengan jam kerja 6-11 jam.
Pekerjaan baru itu membuatnya terbebas dari pengisapan tenaga kerja dan jam kerja yang ketat serta makan hati akibat tekanan atasan. Meskipun terlepas dari mata rantai produksi kapitalis, tak serta merta ia menjauh dari aktivisme proletar. Kerap kali kawan serikat maupun rekan buruh mendatangi warung-motornya untuk berdiskusi.
“Saya kadang terpanggil untuk menulis keluh kesah teman-teman yang masih kerja di KBN, cuma udah nggak dapet chemistry-nya,” kenang Darsih
Dalam bisnis minuman ringan yang cukup ramai itu, Darsih merasa sedang mengemban perutusan baru. Di Minggu malam yang dingin itu, Darsih duduk tenang mendengarkan keluh kesah pemuda tanggung. Kata Darsih, “banyak pelanggan saya itu remaja, mereka curhat apa saja tentang hidupnya. Mungkin karena orangtuanya sibuk bekerja sampai nggak sempat ngobrol sama anaknya.”
Sebagai orangtua tunggal, kerja keras Darsih telah berhasil membiayai sekolah anak pertamanya hingga tamat SMK dan anak keduanya yang masih kelas 2 SMP.
Mereka tinggal di petak kontrakan yang sama sejak 20 tahun terakhir, hanya berpindah-pindah kamar saja. Sebab 60 persen penghuni kontrakan telah keluar dan penghuni baru tidak juga datang, seiring berkurangnya lapangan kerja di KBN Cakung.
Harapan yang Terkenang
Pada 1994, masyarakat Betawi di kawasan Cakung-Cilincing bak mendapatkan durian runtuh. Delapan tahun sebelumnya lahan kosong yang mulanya sawah dan rawa-rawa disulap menjadi kawasan pergudangan, sedangkan lahan sisa di sekitarnya perlahan diubah jadi hunian sementara bagi para pekerja.
“Tahun 80-an masih kosong, orang lewat sini aja pada takut. Alhamdulilah pas KBN dateng jadi rame,” kata Yasin (48), warga asli Cakung. Menurutnya, pada awal 2000-an, mencari kontrakan di kawasan ini sangat sulit. Bersama mendiang ayahnya, Yasin mengelola 118 unit kontrakan sejak 1994 di kawasan Bulog.
Tarif kontrakan keluarga Yasin di awal sekira Rp80.000/bulan, layaknya kontrakan semi permanen di kawasan ini. Hingga tahun 2010, kontrakannya nyaris tak pernah kosong, bahkan ketika tarifnya naik menjadi Rp170 ribu.
Lima tahun setelah kenaikan tarif terakhir, keluarga Yasin gigit jari. Lebih dari 90% pelanggannya pamit tak kembali seiring relokasi pabrik-pabrik garmen dari KBN Cakung. Bangunan 2 lantai di lahan seluas 1.000 m2 itu pun runtuh dengan sendirinya di awal tahun ini, lapuk karena usia dan ketiadaan nyawa yang mengisinya.
“Sebenarnya enakan dulu, masih banyak pohon, makan juga asalkan ada nasi, tinggal mancing, gampang. Sekarang udah tambah panas, duitnya kagak,” kata Yasin.
Kini nafkah keluarga Yasin bertumpu pada penghasilan sang istri yang menjadi buruh kontrak di PT Dodo Activewear di KBN Cakung. Mereka mendiami rumah yang dulu juga dikontrakkan di lahan yang sama, sembari menjaga lahan sisa yang ia harap dapat dijual di kemudian hari.
Wa Ampi, Penjaga Api Perjuangan
“Setelah kerusuhan di Kota Ambon pada 1999, rumah paman di Ambon dua-duanya hancur, waktu itu saya baru lulus SMEA di sana, jadilah saya mengungsi ke Jakarta,” kata Wa Ampi, mantan buruh di KBN Cakung yang hingga kini aktif di gerakan buruh.
Perempuan asal Buton ini bekerja di KBN Cakung sejak 2003 sebagai pegawai quality control di pabrik garment PT Makalot. Awalnya semua berjalan baik saja; pulang tepat waktu, lembur dibayar, dan pada bulan keenam ia diangkat sebagai karyawan tetap.
Mulai 2008, muncul sistem skor (lembur tidak dibayar). Awalnya hanya 15 menit, lalu 30 menit, berlanjut semakin sering tanpa ada kompensasi.
Dua tahun kemudian, ada demo besar-besaran di KBN Cakung, Wa Ampi bersama beberapa kawan buruh PT Makalot mencoba ikut. Saat itu ia belum paham organisasi. Sebab Ampi mengira pekerjaannya baik-baik saja selama upah yang diterima telah sesuai aturan pemerintah.
Di tengah riuh protes, Ampi mengaku sadar bahwa apa yang diberikan kaum buruh selama ini tidak sebanding dengan yang diterima dari perusahaan.
Seorang teman merekomendasikan Forum Buruh Lintas Pabrik (FBLP) pada Desember 2010. Dalam waktu singkat, Ampi belajar berserikat, menaiki podium dan membakar semangat massa buruh. Serikat melihat bakatnya dan mendapuknya sebagai ketua basis FBLP di Makalot.
Sejak Februari hingga September 2011, Wa Ampi dan anggota FBLP basis PT Makalot mengadakan mimbar bebas di halaman perusahaan. Semua anggota serikat di Makalot bergantian menyuarakan persoalan mereka, berdiskusi, dan menuntut pencabutan peraturan-peraturan perusahaan yang merugikan pekerja.
Setelah berhasil mendapatkan hak cuti bagi tiga rekan buruh yang tengah hamil tua, dua hari kemudian Ampi diberi surat peringatan ketiga dan tidak diperbolehkan masuk kembali. Alasan perusahaan memecatnya adalah karena ia sering terlambat. Namun, Ampi berpendapat pemutusan itu adalah union busting karena banyak tuntutan yang diminta serikat.
Nining Suheni, rekan Ampi di FBLP PT Makalot, bernasib sama pada hari itu. Nining menjabat sebagai Kepala Bidang Urusan Perempuan yang waktu itu bersama Ampi memperjuangkan hak cuti melahirkan. Alasan PHK karena ia terbukti pernah melakukan pemadaman listrik tepat saat jam pulang kerja. Sabotase itu dilakukannya sebagai penolakan atas sistem skor.
Meskipun selalu dihadang sekuriti, selama dua bulan berturut-turut, Ampi dan Nining tetap datang ke perusahaan seperti biasa. Mereka berusaha menunjukan iktikad baik bahwa masih mau bekerja meski perusahaan tidak memberikan ruang. Sampai akhirnya, personalia memberikan form absen di pos satpam untuk diisi manual oleh Ampi dan Nining.
“Itu memang taktik yang kita buat untuk mengumpulkan alat bukti. Bahwa kami masih mau bekerja tetapi perusahaan tidak mau menerima kami,” kata Wa Ampi.
Makalot membuka diri untuk perundingan, tapi sampai tiga kali perundingan tidak ada titik temu. Ampi mengajukan mediasi ke Dinas Tenaga Kerja Jakarta Utara. Dinas mengirimkan surat anjuran ke PT Makalot untuk kembali mempekerjakan Wa Ampi, tapi perusahaan menolak. Berkas-berkas diumpulkan Ampi dengan bantuan Gabungan Serikat Perjuangan Buruh (GSPB) untuk maju ke PHI.
Setelah di-PHK dari Makalot, Ampi tidak dapat bekerja kembali di KBN. “Saya sudah di-blacklist menurut kabar teman serikat KBN,” ungkap Wa Ampi. Alasannya Ampi sering terlihat vokal di tiap aksi buruh di KBN.
Beberapa perusahaan yang membuka lowongan ia datangi, tapi jawaban sekuriti hampir sama. “Mba Ampi, maaf, nggak ada lowongan.” Ia menduga suara vokalnya pada setiap aksi serikat buruh di KBN menjadi perhatian, juga beberapa kasus PHK kawan serikat di pabrik lain pernah ia bantu menangkan melalui FBLP dan GSPB.
Delapan bulan kemudian, ia mengajukan gugatan ke PT Makalot di Pengadilan Hubungan Industrial. Ia meminta dipekerjakan kembali dan diberikan upah proses. Upah proses adalah penggantian biaya sejak hari pertama PHK hingga proses kasasi, dalam kasus ini Ampi mendapat Rp41 juta untuk proses yang ia jalani selama 2 tahun. Kasus itu diputus dengan memenangkan gugatan Ampi.
Pada 2015, PT Makalot pindah ke Semarang, tapi pesangon Ampi tidak kunjung diberikan. Ia akhirnya mengajukan laporan ke Polda Metro Jaya soal penggelapan uang serta mengunggah foto aktivitasnya itu ke medsos. Belum juga diproses polisi, perusahaan meminta Ampi mengambil pesangon di kantor Makalot di KBN Cakung. Meski jumlah pesangon tidak sesuai harapan, tapi proses selama 4,5 tahun itu setidaknya membuahkan kemenangan.
Di tengah kesibukannya sebagai ibu rumah tangga, Wa Ampi masih aktif mengikuti aksi buruh, menemani kawan buruh berproses di PHI dan Dinas Tenaga Kerja. Ia berharap buruh tetap tegar menempuh jalan terjal untuk mendapatkan hak mereka apalagi ancaman PHK makin masif karena relokasi pabrik garmen dari KBN Cakung.
Liputan ini bagian dari serial #Perburuhan