Kritik Terbaik adalah yang Menggugah Orang untuk Bergerak

Fahri Salam
6 menit
Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, aktivis, petani dan kelompok masyarakat sipil lainnya berkumpul di bawah jalan layang AP Pettarani - Urip Sumoharjo pada aksi Peringatan Darurat di Makassar, Kamis (22/08/2024). Selain menolak RUU Pilkada, para demonstran juga mengangkat konflik agraria yang dialami petani. (Project M/Aziziah Diah Aprilya)
Opini “Darurat Aktivisme Borjuis” kurang simpatik atas gerakan yang sedang berkembang; juga tidak ada sumbangsih konkret untuk menjawab kritik penulis kecuali hanya narasi kemarahan.

Rafiqa dan Mughis menulis artikel berjudul Darurat Aktivisme Borjuis sebagai refleksi, tapi lebih tepatnya sebagai kritik terhadap gerakan “populer” yang sedang berlangsung saat ini. Gerakan populer bertajuk #PeringatanDarurat dan ‘Darurat Demokrasi’ muncul sebagai respons atas kolusi politik elite yang semakin terang-terangan dan tanpa batas. Ini merupakan ekspresi kemarahan organik dari rakyat yang perlahan mulai bereaksi dan bersuara atas kerusakan demokrasi. Kerusakan ini telah bermasalah sejak lama.

Saya setuju atas pandangan kedua penulis bahwa aktivisme dalam bentuk aksi-aksi populer seperti Reformasi Dikorupsi, Tolak Omnibus Law, dan yang terbaru Darurat Demokrasi, hanya sebatas gerakan spontan, moralis, dan tidak memiliki arah yang jelas. Setelah pengesahan RUU Pilkada dibatalkan, saya cenderung yakin bahwa tidak ada agenda lanjutan. Gerakan Darurat Demokrasi hanya dipahami sebagai partisipasi dalam pemilihan umum, tidak lebih dari itu.

Jika kita berpikir secara logis dan rasional, gerakan mahasiswa cenderung bergerak ketika ada isu yang ramai diperbincangkan. Ini adalah aksi sebagai reaksi, bukan aksi yang didasari oleh refleksi. Hal yang sama juga terjadi pada gerakan masyarakat sipil atau LSM, yang bereaksi dan bersatu ketika isu sedang ramai, tetapi kembali terpecah setelah momentumnya berlalu. Mereka akan kembali memperjuangkan isunya masing-masing. 

Bahkan, gerakan-gerakan yang mereka bangun dalam bentuk aksi-aksi populer tidak berbeda dengan seruan moral khas dari aktivisme liberal, yang melihat masalah selalu dari sudut pandang institusional, seolah setiap masalah bukanlah persoalan struktural dan sistemik, melainkan akibat dari birokrasi yang korup. Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan untuk menyelamatkan demokrasi adalah dengan mengubah dari dalam, seperti mengisi jabatan strategis atau, yang dianggap cukup progresif, dengan mendirikan lembaga negara baru yang independen, seperti KPK.

Saya cukup terkesan atas apa yang disampaikan Rafiqa dan Mughis. Apa yang mereka sampaikan adalah kenyataan. Namun, ada dua hal yang menurut saya kurang sesuai dengan misi yang coba disampaikan dalam tulisan tersebut. 

Pertama, simpati terhadap gerakan yang sedang berkembang. Kedua, tidak ada sumbangsih konkret untuk menjawab kritik penulis, kecuali hanya narasi kemarahan. Sebagai catatan, apakah tulisan itu akan memantik perubahan? 

Kritik Perlu, Tapi Simpati Penting

Bagi saya pribadi, tulisan yang disajikan menjadi penting sebagai bahan diskusi dan refleksi atas aksi-aksi ke depan. Namun, tulisan ini muncul pada waktu dan konteks yang kurang tepat. Alih-alih memberikan kontribusi, justru berpotensi berefek sebaliknya: pembaca bisa merasa tersinggung atas narasi penulis karena terkesan menggurui daripada mengajak refleksi.

Kita semua paham bahwa sejak Reformasi Dikorupsi, gerakan-gerakan memiliki pola yang sama. Tidak ada perubahan signifikan. Ketika ada kejadian yang ramai diperbincangkan, semua orang berbondong-bondong bereaksi. Gerakan hari ini adalah wujud dari reaksi yang menjadi aksi, bukan refleksi yang kemudian berujung pada aksi.

Namun, apakah menyampaikan pandangan yang cenderung mengkritik gerakan saat ini, di tengah banyak rakyat yang ingin terlibat—bahkan yang awam pun berbaur dan ingin bergerak bersama—dapat disebut sebagai simpati? Meskipun aksi tersebut lebih condong ke arah demokrasi liberal yang sarat dengan elektoralisme, dan terjebak dalam harapan kepada sosok daripada partisipasi penuh?

Apa yang disampaikan kedua penulis justru berpotensi kontraproduktif. Alih-alih memberikan pencerahan intelektual, justru bisa menurunkan semangat mereka yang sedang terlibat dalam aksi. Memang argumen ini moralis, tetapi kita tahu bahwa tidak semua orang memiliki tingkat intelektualitas dan pikiran kritis seperti penulis.

Sebuah kritik menjadi penting jika dikeluarkan pada momen yang tepat dan dengan agenda keberlanjutan yang jelas. Saat ini, yang kita butuhkan adalah memberikan semangat. Penting juga untuk mendukung gerakan ini dengan analisis ekonomi politik yang relevan, seperti membedah apa yang dimaksud dengan demokrasi. Apakah benar demokrasi sekadar soal elektoralisme dan legalitas? Lantas, darurat demokrasi seharusnya seperti apa? Mungkin ini akan lebih sesuai daripada memberikan kritik tajam yang saya ragukan akan berdampak, kecuali pada mereka yang sefrekuensi.  

Sebuah nisan untuk demokrasi diletakkan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, aktivis, petani dan kelompok masyarakat sipil lainnya di sisi jalan layang AP Pettarani – Urip Sumoharjo pada aksi Peringatan Darurat di Makassar, Kamis (22/08/2024). (Project M/Aziziah Diah Aprilya)

Spontanitas Memang PR Gerakan

Apa yang disampaikan oleh Rafiqa dan Mughis mengingatkan saya pada karya Vladimir Lenin berjudul “What is To Be Done,” khususnya pada bagian kedua, yakni “The Spontaneity of the Masses and the Consciousness of the Social-Democrats.” Lenin mengakui pentingnya gerakan spontan di antara pekerja, seperti pemogokan dan bentuk-bentuk protes lainnya. 

Lenin melihatnya sebagai respons alami dan positif terhadap kondisi kapitalisme. Namun, dia juga menekankan bahwa gerakan-gerakan ini, jika dibiarkan berkembang secara spontan, efektivitasnya akan terbatas. Mereka cenderung berfokus pada tuntutan ekonomi yang mendesak, seperti upah yang lebih baik atau kondisi kerja, daripada perjuangan politik yang lebih luas yang diperlukan untuk menggulingkan sistem kapitalisme.

Dia menegaskan perlu tingkat kesadaran politik lebih tinggi di antara kelas pekerja, yang menurutnya hanya bisa dikembangkan melalui pengaruh partai revolusioner. Penting untuk diingat bahwa tanpa kepemimpinan yang sadar dan terorganisir, gerakan kelas pekerja pasti akan terkooptasi oleh ideologi borjuis, yang mengarah pada reformasi dalam sistem kapitalis, bukan penggulingannya.

Memang ada sedikit tawaran dari tulisan Rafiqa dan Mughis, tetapi yang luput adalah tawaran yang jelas atas persoalan tersebut. Apakah sekadar seruan:

Jika tidak ada kepemimpinan gerakan, radikalisasi massa yang cair dan sporadis akan berakhir sia-sia; mereka hanya akan menjadi korban kekerasan aparat atau pemandu sorak konflik antar-faksi oligarki.”

Pertanyaannya adalah, untuk mencapai semua itu, apa yang harus dilalui? Merujuk pada Lenin, ada nilai yang dapat diambil, yakni membangun kesadaran, melalui apa? Tentu saja melalui pendidikan dan pengorganisasian. Ini adalah pola yang harus dijalankan.

Mungkin tulisan Rafiqa dan Mughis adalah bagian dari upaya membangun kesadaran, tetapi  tidak semua orang akan terpapar olehnya. Justru yang dibutuhkan saat ini adalah bagaimana memperluas kesadaran politik yang kritis melalui pendidikan politik yang terarah dan berorientasi ke depan. Apalagi zaman sudah berubah, setiap orang memiliki cara pandang yang berbeda. Bahkan, jika boleh dikatakan, ideologi terus berkembang, tidak stagnan pada pemikiran Lenin saja, tetapi berkembang sesuai dengan zamannya.

Hal ini perlu disesuaikan dengan tingkat pengetahuan masing-masing, karena manusia itu unik dan memiliki tingkat pemahaman yang berbeda. Inilah yang kadang dilupakan. Tentu, yang kita butuhkan saat ini bukanlah mendemoralisasi gerakan yang sedang naik atas isu yang disebut “liberal” ini, tetapi tantangan sesudah ini adalah bagaimana kita terus merawat kesadaran spontan ini agar tidak sekadar menjadi momentum, tetapi terus berkembang. Inilah kira-kira pekerjaan rumah bagi gerakan.


Wahyu Eka Styawan adalah aktivis WALHI Jawa Timur.

Catatan: Ini adalah tanggapan kedua untuk opini Rafiqa Qurrata A’yun & Abdil Mughis Mudhoffir. Tanggapan pertama bisa dibaca: Aku Ingin Kita Tetap Marah

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Fahri Salam
6 menit