Makanan Bersisa, Dosa Bertumpuk dari Gaya Konsumsi yang Mengancam Bumi

Virliya Putricantika
Ronna Nirmala
13 menit
Penguraian sampah organik oleh magot yang dibudidayakan di pengolahan sampah Trans Studio Mall, Bandung. (Project M/Virliya Putricantika)

Bandung, kota wisata kuliner, menghadapi masalah sampah makanan yang mencapai 44,52 persen dari total sampah kota. Mayoritas berasal dari rumah tangga dan sektor horeka. Meski aturan sudah ada, kepatuhan rendah—dari 900 anggota PHRI, hanya 30 persen yang memilah dan mengolah sampah. Sampah makanan bukan sekadar persoalan konsumsi berlebih, tetapi juga kegagalan regulasi dan pengawasan.


LIANI mengambil beberapa wadah berisi aneka jenis daging sapi yang diiris tipis dan dimarinasi aneka saus. Kedua matanya juga melirik ke deretan ikan yang menggugah selera. Ia lantas mengambil satu piring.

Perempuan 49 tahun itu sedang berada di restoran dengan konsep all you can eat (AYCE). Restoran menyajikan puluhan jenis makanan, mulai dari makanan pembuka hingga penutup. Dengan membayar Rp100 ribu lebih, Liani bebas memilih makanan dalam waktu dua jam. 

Bagi Liani, ini adalah kesempatan makan besar.

“Suka lapar mata. Semua pengin dicicipi. Pokoknya jadi terpancing makan banyak,” aku Liani.

Meja makan tiap-tiap pelanggan sudah dilengkapi dengan kompor, wajan panggang, dan panci. Para pelanggan bisa memasak bahan makanan yang mereka pilih untuk disantap. Liani memanggang daging sukiyaki dan merebus sayur, jamur, tofu, dan makanan laut dalam kuah tom yam. 

Sayangnya, selera makan Liani yang mendadak besar tidak sebanding dengan kapasitas perut. Pekerja paruh waktu di Kota Bandung ini tidak mampu menghabiskan semua makanan yang diambilnya. Akhirnya, sisa makanan terbuang.

“Ini mulut masih mau ngunyah, tapi perut sudah gak sanggup,” ujarnya kekenyangan.

Kebiasaan menyisakan makanan ini bukan sekali. Misalnya ketika ia arisan atau kumpul ngopi cantik bersama teman-temannya. 

“Apalagi kalau tersisa tinggal satu lagi. Kami menyebutnya makanan malu-malu karena memang merasa malu kalau menjadi orang terakhir yang menghabiskan. Untuk di-take away juga segan karena tinggal sedikit lagi,” sebut Liani sambil tertawa tipis.

Konsumen lainnya, Kiki Lestari mengaku terdorong berlebihan ketika makan di restoran yang menyajikan prasmanan atau AYCE. Ia beralasan, makanan yang masuk ke perutnya harus sebanding dengan uang yang telah dikeluarkan. 

“Kalau konsep AYCE memang harus maruk (ketawa). Jadi memang terdorong untuk lebih banyak mengkonsumsi makanan karena tidak mau rugi,” ungkap Kiki saat ditemui di sebuah restoran berkonsep AYCE di Kota Bandung, pertengahan Februari. 

Sikap berbeda ditunjukkan Kiki apabila makan di restoran atau kafe yang menyajikan makanan a la carte

“Kalau restoran atau kafe konsep lain, gak harus maruk kayak gitu. Nyantai saja makannya, sesuai bujet, yang penting kenyang. Spesial buat AYCE, ya sudah harus semaruk-maruknya, semampu-mampunya perut,” kata Kiki.

Kiki berusaha tidak menyisakan makanan, meski ada kesempatan makan lebih banyak. Selain menolak rugi, ibu satu putri ini tidak mau menimbulkan sampah makanan, mengingat kondisi Kota Bandung yang kesulitan membuang sampah.

“Lihat saja Bandung sekarang sudah susah buang sampah. Dulu tiap hari diambil. Sekarang mah susah, gak tiap hari. Iya kalau seminggu dua kali, ini ada yang seminggu sekali, bahkan pernah gak diambil sama sekali,” ujar perempuan 43 tahun ini.

Penyajian makanan dengan konsep prasmanan, baik di hotel, restoran, maupun acara pesta, mendorong orang membeli atau mengambil porsi makanan terlalu banyak melebihi yang dibutuhkan. 

Ruang pemilahan dan pengolahan sampah di Trans Studio Mall, Bandung. (Project M/Virliya Putricantika)

***

Menyandang citra sebagai sebagai kota tujuan wisata kuliner, Kota Bandung semakin semarak dengan hotel, restoran, dan kafe. 

Di Jalan LLRE Martadinata misalnya, sepanjang jalan tumbuh restoran dan kafe baru dengan aneka konsep, mulai dari makanan tradisional hingga kafe kekinian. Kebiasaan nongkrong di kafe juga semakin meluas dengan tren bekerja dari kafe yang muncul pascapandemi Covid-19. 

Imbasnya, Kota Bandung menghadapi persoalan sampah makanan yang tinggi. Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) 2024 menunjukkan produksi sampah makanan mendominasi jenis sampah lainnya, dengan persentase 44,52 persen dari total timbulan sampah yang mencapai 546.151 ton per tahun. 

Kajian Timbulan Sampah Kota Bandung Kementerian PUPR Tahun 2023 menyebutkan, penyumbang sampah makanan terbanyak adalah kegiatan rumah tangga dengan persentase 70 persen. Saat ini, jumlah rumah tangga di Kota Bandung mencapai hampir 800 ribu kepala keluarga.

Selain rumah tangga, kegiatan hotel, restoran, dan kafe (horeka) turut berkontribusi pada meningkatnya volume sampah. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bandung mengaku belum memiliki data menyeluruh untuk produksi sampah horeka. Pihaknya baru mencatat data timbulan sampah makanan dari hotel yang berkisar 2 atau 3 ton per hari.

“Ini berkaitan dengan terbatasnya data kegiatan horeka yang terdata oleh instansi pengampu. Kemudian, masih bercampurnya layanan pengumpulan sampah dari kegiatan ini dengan sistem pengumpulan sampah di RW,” kata Dudi Prayudi, Kepala DLH Kota Bandung.

Sebagai gambaran, Badan Ketahanan Pangan (BKP) melakukan survei sampah makanan di 34 restoran/rumah makan di Jakarta pada 2019. Hasilnya, ratusan kilogram bahkan ton makanan diperkirakan terbuang per tahunnya. 

Kajian Bappenas tahun 2021 tentang Kehilangan dan Pemborosan Pangan menunjukkan bahwa sampah makanan yang terbuang di Indonesia mencapai 23-48 juta ton per tahun atau setara 115-184 kg per orang per tahun selama periode 2000 hingga 2019. 

Sekitar 60 persen sampah makanan dihasilkan dari gaya konsumsi individu dan retail makanan. 

Pada tahap produksi, volume sampah makanan tersebut berdampak pada kehilangan kandungan energi yang setara dengan porsi makan 125 juta penduduk atau 47 persen dari populasi Indonesia. 

Membuang satu piring makanan berarti juga membuang air yang dipakai untuk menanamnya, bahan bakar untuk mengangkutnya, serta tenaga yang digunakan untuk memasaknya. Kajian Bappenas tentang Kehilangan dan Pemborosan Pangan menyebut kerugian ekonomi yang ditimbulkan dari beban produksi makanan bisa mencapai Rp551 triliun/tahun, lebih besar dari anggaran Makan Bergizi Gratis (MBG) 2025 senilai Rp300 triliun.

Jumlah sampah makanan di Indonesia bahkan melebihi sampah plastik yang berkontribusi sekitar 19,56 persen per tahunnya. 

Indonesia menduduki peringkat pertama negara penghasil sampah makanan di Asia Tenggara dengan volume 14,73 juta ton/tahun, mengacu pada laporan Food Waste Index Report 2024 United Nations berjudul Think Eat Save. Sedangkan laporan Food Sustainability Index (FSI) tahun 2016 yang disusun Economist Intelligence Unit (EIU) menempatkan Indonesia sebagai negara terbesar ke-2 penghasil limbah makanan di dunia. 

Saat sampah makanan berakhir ke tempat pembuangan akhir (TPA), makanan itu membusuk dan menghasilkan gas metana, yang jauh lebih kuat dari karbon dioksida dalam memerangkap panas di atmosfer. Ini berkontribusi pada perubahan iklim. 

Data Climate Data Explorer via Climate Watch menyebut sebagian besar emisi metana berasal dari tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. 

Pada 2023, emisi gas rumah kaca di Indonesia mencapai 1.200 juta ton karbon dioksida ekuivalen (Mt CO2eq) atau 2,3 persen dari total emisi gas rumah kaca dunia, sebut laporan European Commission. 

Badan Usaha dan Tanggung Jawab Pengelolaan Sampah Makanan 

Suasana Rumah Makan (RM) Khas Sunda Cibiuk cukup ramai dikunjungi pembeli pada Senin siang di pertengahan Februari. Hampir semua tempat makan terisi, baik kursi maupun lesehan. 

Pegawai restoran tampak sibuk menyajikan makanan ke tamu, sebagian lagi membersihkan sampah makanan yang ditinggalkan konsumen. Sampah makanan terlihat berupa sisa sayur dari lalapan, daun pisang, tulang ayam dan ikan, juga sisa makanan lainnya. Sampah makanan itu dibuang terpisah dengan sampah plastik.

Asep Adang, Manajer Operasional RM Khas Sunda Cibiuk mengatakan sisa makanan yang dibuang biasanya memang yang sudah tidak bisa dikonsumsi. Ada pula, sisa makanan yang masih utuh akibat kelebihan porsi saat memesan. 

“Jadi kalau dikatakan selalu sisa itu, paling 2 persen lah. Itu mah orang yang malas bungkus, kayak wisatawan. Sisa sedikit lagi, ya, sudahlah biarin,” kata Asep. 

Asep belum pernah menghitung berapa volume sampah makanan yang dihasilkan rumah makan yang berlokasi di Jalan Soekarno Hatta, Kota Bandung itu. Namun, ia memperkirakan, sekitar empat hingga lima kantong sampah ukuran 30 liter saat hari kerja dan dua kali lipatnya pada akhir pekan.

“Dari sampah makanan yang tersisa, ada yang suka ngambil kayak peternak ayam. Tapi peternak yang kecil-kecil. Jadi kami pisahkan antara sampah yang gak bisa dipakai pakan sama yang bisa,” kata Asep. 

Asep mengaku belum melakukan proses daur ulang sampah makanan. Pihaknya baru sebatas memilah antara sampah organik dan anorganik. Sampah organik berupa makanan, kembali dipilah antara yang bisa dan yang tidak bisa dimanfaatkan sebagai pakan. Sedangkan sisanya, dibuang melalui petugas kebersihan dari DLH Kota Bandung ke TPA Sarimukti.

“Jadi si peternak langsung ke depan mengambil sisa makanan ke tempat sampah. Kami kan pakai kantong sampahnya yang transparan, jadi bisa kelihatan ‘oh ini ada nasinya’ diambil sama dia. Sisa sampahnya diambil sama petugas sampah,” ujar Asep.

Dalam hal pengelolaan sampah, Asep mengaku sudah mendapat surat edaran dari Pemerintah Kota Bandung. Namun sejauh ini, pihaknya baru bisa melakukan pemilahan, belum pengolahan.

Berbeda halnya dengan Trans Studio Mal (TSM) yang menjadi tempat tujuan kuliner masyarakat dalam dan luar Kota Bandung. Mal yang memiliki kurang lebih 80 tenant makanan itu sudah mampu mengolah sampah organik menjadi kompos atau pupuk, bahkan telah memiliki alat pengolahan sampah sendiri. 

Setiap hari, TSM mampu mengolah sampah makanan 400 hingga 600 kilogram. Sampah makanan yang sebelumnya wajib dipilah oleh tenant ini, akan diolah dengan berbagai metode.

“Setelah dipilah, kami pakai metode anaerob, sampah diendapkan dulu satu atau dua hari dalam ember tertutup. Setelah dua hari, si baunya sudah agak hilang karena di-anaerob,” kata Jajat Eka Octavia, Manajer Operasional TSM, saat ditemui pada akhir Februari.

Proses pengolahan dengan lima metode, yakni kompos, maggot, eco enzyme, mikroorganisme lokal, dan pupuk organik cair. Hasil pengolahan sampah makanan itu berakhir menjadi pupuk.

“Untuk kompos, EM4 (effective microorganism 4), kasgot, itu langsung digunakan di sini saja. Kan kami ada area lanskap dan garden yang cukup luas. Dua minggu kemarin, kami baru panen kompos. Dapat kurang lebih 700 sampai 800 kilogram, hampir satu ton,” kata Jajat. 

Kompos hasil pengolahan sampah organik di Trans Studio Mall, Bandung. (Project M/Virliya Putricantika)

Akan tetapi, tidak semua sampah makanan diolah menjadi pupuk. Makanan yang masih bisa dikonsumsi, imbuhnya, disalurkan ke peternak untuk pakan. Peternak memanfaatkan sampah makanan untuk pakan lele atau bebek. Mereka mengambil sisa makanan berupa roti, serpihan daging, atau nasi.

“Kalau untuk pakan, setiap seminggu sekali atau tiga kali selalu ada yang ambil. Dalam artian, sudah kita sediakan, tidak ada pungutan apapun, selama dia mengambil dan memilah sendiri. Cuma itu harus ada izin. Kami wawancara dulu, benar gak nih dia peternak atau dia jual lagi. Kalau sempat kita datangi tempatnya,” kata Jajat. 

Setelah mengolah sendiri sampah organik, TSM berhasil mengurangi sampah yang dibuang ke TPA Sarimukti secara efektif. Sebelumnya, petugas kebersihan mengangkut sampah dari TSM setiap hari. Kini, maksimal hanya sepuluh kali pengangkutan per bulannya.

“Itu pun tinggal residu yang sudah gak ada nilai jualnya,” ucap Jajat. 

***

Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 9/2018 mengatur badan usaha untuk bertanggung jawab mengelola sampah yang diproduksinya. Selain itu, juga terbit Surat Edaran Wali Kota Bandung Nomor 146-DLH/2023 tentang Kewajiban Pengelolaan Sampah Secara Mandiri dan Berkelanjutan.

“Yang pada intinya mewajibkan kawasan non-rumah tangga untuk melakukan langkah-langkah penyelesaian sampah yang dihasilkannya,” kata Dudi, Kepala DLH Kota Bandung, 

Langkah -langkah yang harus dilakukan di antaranya memilah sampah, pengolahan sampah organik (termasuk sisa makanan), pengelolaan sampah anorganik, dan hanya membuang sampah residu ke TPA bekerja sama dengan vendor pengangkut sampah berizin. 

Namun dalam penerapannya, jelas Dudi, belum semua badan usaha melaksanakan kewajiban pengelolaan sampah. Mengutip data Persatuan Hotel dan Restoran (PHRI) Kota Bandung, Dudi menuturkan, baru sekitar 30 persen dari 900 anggota PHRI yang taat terhadap aturan pemilahan dan pengolahan sampah saat ini. 

Walaupun begitu, Dudi mengatakan Pemkot Bandung belum menerapkan sanksi, tapi baru sebatas pendampingan dan pengawasan. 

“Mengingat arahan pengelolaan sampah mandiri dan berkelanjutan ini berfokus pada upaya pengurangan sampah sejak dari sumber, yang berarti ini berkaitan dengan kebijakan manajemen SDM dan operasional, maka saat ini pendampingan, pembinaan, dan pengawasan intensif,” katanya. 

Adapun pengawasan dilakukan oleh PPLH (Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) DLH, PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) Pemkot Bandung terhadap ketaatan atas regulasi pengelolaan sampah terpilah dan terolah.

Gaya Konsumsi yang Minim Sampah

Mengingat sampah makanan yang berdampak pada berbagai sektor kehidupan, maka masyarakat harus mulai menerapkan gaya konsumsi minim sampah. Lalu, apa yang bisa dilakukan?

Muchammad Gumilang Pramuwidyatama, pendiri Food Bank Bandung (FBB), menekankan pentingnya edukasi sejak dini di rumah. Pasalnya, kebiasaan makan dibentuk dari sejak dini dan orangtua berperan dalam menentukan bagaimana keluarganya menghargai makanan.

“Banyak orang tidak tahu proses yang dibutuhkan untuk memproduksi makanan sangatlah panjang, membutuhkan sumber daya yang banyak, dan sebagainya,” kata Gumilang.

Di hotel misalnya, yayasannya yang aktif melakukan penyelamatan pangan dari berbagai titik rantai pasok pangan ini, rata-rata mengumpulkan 3,6 hingga 4,8 ton surplus makanan yang didapat dari empat hotel setiap bulannya.

Bukan hanya pola makan tetapi konsumsi belanja juga berkontribusi terhadap meningkatnya sampah makanan. Perilaku berbelanja melebihi kebutuhan kerap menyisakan makanan membusuk atau kedaluwarsa di lemari penyimpanan. 

Kebiasaan tersebut juga meningkat selama Ramadan. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2023 mengungkapkan, sampah makanan di bulan puasa bertambah 20-30 persen.

“Hal yang serupa juga terjadi di Malaysia dan negara-negara Timur Tengah Semenanjung Arab yang merayakan Ramadan karena biasanya orang ketika puasa berbelanja dalam rasa lapar, masak ketika lapar, tetapi ketika buka puasa atau sahur tidak sanggup menghabiskan makanannya,” katanya.

Dua pekerja katering mempersiapkan makanan pesanan. Pola makan, konsumsi belanja, dan produksi makanan yang melebihi kebutuhan berkontribusi terhadap meningkatnya sampah makanan. (Project M/Virliya Putricantika)

Selain itu, surplus sampah makanan juga bisa disebabkan karena produksi. Gumilang mengatakan, perencanaan produksi yang tidak berbasis data statistik akan mengakibatkan terjadinya sampah makanan. Adanya sampah makanan berarti inefisiensi yang mengarah pada pemborosan biaya.

Ia menyoroti juga pentingnya keterlibatan pemerintah dalam upaya pengurangan sampah makanan melalui kampanye dan edukasi. Kegiatan itu bisa dilakukan dengan melibatkan komunitas, pemengaruh, media, juga pihak swasta. 

“Kampanye mengurangi limbah makanan, menghabiskan makanan harus dibuat secara masif. Negara-negara lain, seperti Australia, Singapore, Belanda, Inggris sudah membuat inisiatif seperti ini dengan anggaran yang besar karena dampaknya pada sistem pangan yang berkelanjutan,” katanya.

Food Law and Policy Clinic Harvard Law School dalam studinya merekomendasikan negara untuk memberikan insentif pajak dalam upaya pengurangan sampah makanan. Semisalnya insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada badan usaha yang memberikan donasi makanan sisa dan mengelola sampah dan limbah makanan dengan baik.

***

Menurut psikolog Marina Sulastiana, kebanyakan orang kurang mampu menakar kemampuan makannya, jika mengambil makanan sendiri. Ditambah lagi, jika orang tersebut dalam kondisi sangat lapar. Tampilan makanan yang sangat menarik dan menggiurkan pun mendorong orang mengambil makanan lebih banyak. 

“Mereka terdorong membeli atau mengambil berlebihan, bukanlah karena kebutuhan primer atau physical need saja. Namun juga cenderung tergugah oleh kebutuhan sekunder atau keinginan memakan semua makanan yang enak yang mungkin jarang ia konsumsi atau aji mumpung,” kata dosen di Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran yang akrab dipanggil Lasti ini. 

Perilaku konsumen yang seperti ini dapat disebabkan karena persepsi tentang porsi dan harga. Dalam ungkapan anak muda dikenal dengan sebutan ogi atau ogah rugi

“Nilai yang dianut adalah mendapat keuntungan sebesar-besarnya dari suatu transaksi pembelian dan penggunaan produk atau jasa. Perbandingan harga rendah untuk mendapat produk atau jasa sebesar-besarnya,” kata psikolog dengan kepakaran psikologi konsumen ini.

Faktor lainnya, imbuh Lasti, terbentuknya norma sosial dan kebiasaan. “Tidak adanya punishment atau tekanan sosial terhadap perilaku konsumen yang membuang makanan atau tidak menghabiskan makanan.”

Lasti juga menyoroti tren bekerja dari kafe alias work from cafe (WFC) yang dapat memicu meningkatnya sampah makanan. 

“Orang cenderung membeli makanan dan minuman lebih dari yang dibutuhkan untuk menikmati waktu nongkrong atau bekerja di kafe. Makin lama nongkrong atau makin banyak pekerjaan yang dilakukan di kafe, makin banyak sampah makanan,” kata Lasti.

Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung mengeklaim telah melakukan edukasi perilaku minim sampah melalui media KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) yang sasarannya seluruh warga Kota Bandung. Dalam salah satu unggahannya di Instagram pada 11 Februari 2025, DLH Kota Bandung menampilkan infografik berjudul Fenomena Food Waste di Indonesia. 

“Kami juga berkomunikasi dan melakukan pembinaan intensif pada kegiatan horeka untuk menjaga konsistensi komitmen pengurangan sampahnya,” tukasnya.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Virliya Putricantika
Ronna Nirmala
13 menit