Merekat Pembelahan Aktivis

Fahri Salam
4 menit
Gabungan masyarakat sipil yang terdiri dari aktivis, mahasiswa, dosen, buruh, dan pedagang kaki lima berkumpul di lapangan parkir Abu Bakar Ali, Yogyakarta, untuk melakukan aksi penolakan pengesahan RUU Pilkada dan kawal putusan Mahkamah Konstitusi dalam aksi Peringatan Darurat pada 22 Agustus 2024. (Project M/Arnold Simanjuntak)

Tulisan Rafiqa Qurrata A’yun dan Abdil Mughis Mudhoffir, “Darurat Aktivisme Borjuis“, memberi tepukan keras kepada pendukung aksi #PeringatanDarurat. Ditengarai bahwa kekuatan ekstra-parlementer secara sporadis demikian tidak cukup signifikan dalam mengubah perimbangan politik yang mendikte hukum. 

Sebaliknya, gerakan massa yang teradikalisasi berpotensi untuk dimanfaatkan oleh faksi-faksi oligarkis lainnya (baca: PDIP, Anies Baswedan, dan Prabowo Subianto). Karenanya, disarankan untuk membangun kekuatan politik sendiri guna merebut kendali formal negara daripada memperbaiki keadaan melalui institusi hukum yang ada.  

Tulisan ini, alih-alih mementahkan substansi kritik, bermaksud meletakkannya dalam konteks Peringatan Darurat. Lebih lanjut, tulisan ini melihat ada kesenjangan yang harus dijembatani bila kedua penulis membayangkan sebuah agenda perjuangan yang lebih radikal. 

Kontraproduktif

Pandangan Rafiqa dan Mughis menyarankan agar aksi Peringatan Darurat tidak mengulang kegagalan Reformasi Dikorupsi 2019 dan protes UU Ciptakerja 2020 yang tidak ditopang oleh organisasi politik progresif yang solid. Namun demikian, kritik itu terasa kontraproduktif sebab tidak berpijak pada situasi darurat yang jadi raison d’etre aksi. 

Pertama-tama, kritik yang mereka ajukan, betapapun mendasarnya, mengandung kegamangan dalam menyikapi kemendesakan yang mengharuskan respons kilat dan ketegasan dalam pilihan-pilihan sulit. Mereka menawarkan untuk berpikir strategis, padahal orang berupaya mengatasi kedaruratan. 

Narasinya juga seolah membenturkan kekuatan sipil secara horizontal, justru pada saat mereka melakukan resistensi ke atas demi melawan penguasa yang culas. Kritik di dalamnya juga berpotensi menjadi pembenaran bagi orang-orang untuk tidak peduli, menolak bersuara, bahkan menjadi penghalang. 

Dapat dibayangkan bagaimana rasanya terlibat dalam aksi yang begitu intensif, tapi setelah itu menerima diksi-diksi yang mendemoralisasi. Peringatan Darurat yang dianggap sebagai aksi “merengek” yang “menyedihkan” dapat mengendurkan semangat kelas menengah yang sudah paling banyak mengalami gangguan mental.  

Saat ini kita sedang membangun gelombang perlawanan. Mengumpulkan massa sebanyak itu dalam semalam bukan perkara gampang. Kelompok kelas menengah dari berbagai generasi, kantor, dan pusat bisnis mulai tertarik dan sebagian ikut serta. Aksi di jalan bukan lagi monopoli mahasiswa dan buruh; kritik tajam bukan pula privilese ahli hukum dan aktivis semata.  

Keberadaan artis, komika, dan tokoh yang melengkapi mahasiswa, buruh, dan aktivis telah membantu atensi kelas menengah. Kenyataan ini menggembirakan karena selama ini kelas tersebut dianggap tidak berpengaruh karena berjumlah kecil, mudah dipecah-belah, mementingkan diri sendiri, dan aspirasi politiknya mudah dikendurkan oleh ketergantungan pada bantuan dan perlindungan negara. 

Kekuatan Sipil

Dalam kegentingan seperti itu, mendapatkan cap “aktivis borjuis” dan “pro-demokrasi liberal” tidak berarti apa-apa. Tidak membuat yang menyandangnya buruk; tidak pula membuatnya lebih mulia. Kadar aktivis berada pada terpanggil-tidaknya untuk menghalau krisis.  

Konsep gerakan mahasiswa sebagai kekuatan moral dari Arief Budiman dan Soe Hok Gie (1967) tetap relevan untuk diutarakan kembali. Mahasiswa hadir dalam momen-momen penting menurut panggilan sejarah. Mereka tanpa pamrih dan menarik diri setelah membereskan masalah. Adalah tugas aktor lain untuk melanjutkan dengan konstruksi baru yang tidak masuk angin. 

Begitu pula masyarakat sipil, betapapun sengitnya kritik terhadapnya. Keberadaan aktor ini telah mengisi kekosongan kelompok progresif menyusul pemberangusan Partai Komunis Indonesia dan kaum kiri oleh penguasa pada 1960-an. Kekuatan masyarakat sipil selama ini berhadap-hadapan dengan negara dan modal untuk menyerukan nilai-nilai keadilan dan menyuarakan penderitaan warga akar rumput. Masih kurangnya daya tawar masyarakat sipil memang merupakan PR besar yang harus diatasi. 

Selain itu, selama dua dasawarsa belakangan, rezim oligarkis telah menggunakan segala cara untuk menyempitkan ruang sipil. Kebebasan berekspresi dan lingkup aksi masyarakat sipil telah dibatasi oleh kriminalisasi, ancaman jiwa, kekerasan fisik, digital, dan psiko-sosial, hingga hambatan pendanaan dan politik pecah-belah, termasuk melalui konsesi tambang dan pemburukan citra di ranah digital dan non-digital. 

Saat politik dan perjuangan berbasis kelas belum bisa terwujud akibat pendidikan politik dan pengorganisasian yang belum siap, kita tetap harus mengandalkan gerakan moral mahasiswa dan gerakan sosial aktivis untuk menahan agar negara kita tidak terjerembab ke jurang yang lebih dalam. 

Persilangan

Kritik terhadap aksi Peringatan Darurat seyogyanya kita tempatkan sebagai peta besar tentang medan peperangan yang begitu luasnya. Sembari melewati mode penyelamatan, kita perlu menataletak struktur gerakan yang berbeda. Struktur mana merupakan persilangan antara aktor independen di luar negara dan partai baru yang punya ideologi dan platform perjuangan, seperti Partai Buruh dan Partai Hijau, yang melampaui usangnya ideologi dan program parpol-parpol lama.  

Bukan masanya kekuatan pro-demokrasi terpecah-belah. Diperlukan pembagian peran di tengah krisis konstitusi dan kedaulatan hukum. Dengan begitu, kita bisa menuntaskan krisis ini dengan tuntutan-tuntutan yang terukur tanpa mengabaikan pentingnya menjejalkan sistem yang lebih radikal ke muka penguasa tanpa mereka bisa menolak. 


Ilham B Saenong, aktivis, bekerja di Humanis

Catatan: Ini adalah tanggapan ketiga untuk opini “Darurat Aktivisme Borjuis“. Kamu bisa baca tanggapan pertama yang ditulis Evi Mariani, pemimpin umum PM, “Aku Ingin Kita Tetap Marah“; tanggapan kedua ditulis Wahyu Eka Styawan, aktivis WALHI Jawa Timur, “Kritik Terbaik adalah yang Menggugah Orang untuk Bergerak“.

Mughis pernah menulis opini dengan tesis yang sama pada 2021 di PM, dan mendapatkan opini tanggapan yang terbit di IndoProgress oleh Coen Husain Pontoh, editor IP, “Menginvestigasi Kelas Menengah“, dan Eduard Lazarus, jurnalis dan editor lepas, “Kiri Indonesia: Dihantui Warisan Komunis dan ‘Masyarakat Sipil’“. 

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Fahri Salam
4 menit