Dari ujung gang Abdul Rokah (54) terlihat sedang duduk di teras rumahnya sendirian. Ia memandangi banjir yang mengalir deras melawati depan rumah di RT 01 RW 16 Tambak Lorok, Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara. Banjir itu menggenangi jalan sepanjang gang hingga dekat masjid, tingginya kira-kira 40 cm.
Saya menitipkan sepeda motor di depan masjid, lalu menggulung celana hingga di atas lutut, kemudian berjalan menghampiri Rokah, menerjang banjir rob yang sudah bercampur sampah dan berminyak yang seketika bikin kaki saya gatal-gatal. Sepanjang gang, tak ada siapa pun yang lewat.
“Banjir mas. Ya gini tiap hari di kampung ini,” sapa Rokah ketika saya sampai di teras rumahnya, Selasa, 21 Juni 2022.
Belum sempat saya sampai di teras rumah Rokah, hujan tiba-tiba datang. Saya lalu masuk ke teras agak mepet ke depan pintu agar tak kehujanan.
“Air depan rumah saya ini palingan nanti sekitar jam sembilan malam udah mulai surut,” katanya.
Di Tambak Lorok, banjir rob sudah menjadi ‘menu’ sehari-hari, tetapi tak sampai masuk rumah. Hanya di jalan depan rumah saja. Rob memasuki kampung itu kadang dari pukul 10 pagi, kadang juga siang sekitar pukul dua hingga pukul sembilan malam, bahkan kadang air surut hingga pukul 11 malam.
“Kalau air naiknya misal pagi jam 10, surutnya juga jam 10 malam, kadang jam 11 malam,” kata Rokah.
Tapi banjir kali ini berbeda. Banjir besar itu dibarengi jebolnya tanggul laut di kawasan industri Lamicitra yang berada di pelabuhan Tanjung Mas sekitar pukul 12 siang dengan ketinggian air 1,5 meter. Sebelum air meninggi puluhan ribu karyawan berlarian keluar meninggalkan tempat kerjanya untuk menyelamatkan diri. Tak ada korban jiwa dalam peristiwa itu, namun sepeda motor milik karyawan-karyawan tersebut terendam banjir sehingga rusak parah.
Rumah Rokah pun tak lepas dari kepungan banjir kali ini. Air menerabas masuk rumah Rokah dan warga lainnya pada 23 Mei 2022 lalu. Air menggenangi rumahnya setinggi lima sentimeter, sementara di luar banjir sudah setinggi 60 cm hingga 70 cm. Air masuk ke dalam rumahnya sejak pukul empat sore dan baru surut pukul 10 malam. Meski tak ada kerusakan berarti, tetapi banjir yang bolak-balik datang itu membuat Rokah resah.
Banjir Datang, Pendapatan Hilang
Di RT 01, tempat Rokah tinggal, terdapat 90 rumah yang dihuni 108 kepala keluarga. Tak semuanya bekerja sebagai nelayan, hanya sepertiga saja yang mengais rejeki di laut, sisanya bekerja di sektor darat. Ada yang bekerja di pabrik tekstil, di kawasan industri pelabuhan, ada juga yang bekerja di pemerintahan Kota Semarang.
Ketika banjir rob besar pada 23 Mei datang, rumah-rumah warga di sana tak ada yang bebas dari kepungan banjir. Air bahkan masuk ke dalam rumah hingga semata kaki. Bagi sebagian warga di sana, banjir itu mungkin tidak berdampak apa-apa selain harus mengosek rumah setelah terendam banjir, namun buat para nelayan, ketika banjir rob datang, itu artinya pendapatan hilang.
Sejak banjir rob itu datang, para nelayan di Tambak Lorok berhenti melaut. Termasuk juga dengan Rokah. Melaut pada saat rob sedang tinggi sama saja cari masalah serta buang-buang uang dan tenaga. Melaut ketika ombak sedang tinggi berisiko pada keselamatan dan sudah dipastikan tidak bakal dapat hasil tangkapan ikan yang maksimal.
Rokah bercerita, untuk sekali melaut ia harus mengeluarkan modal sebesar Rp30 ribu. Modal itu untuk keperluan beli makan dan bensin untuk perahunya yang berukuran 4,5 meter dengan mesin tempel berkapasitas 9 pk (Paardenkracht). Tentunya tak ada subsidi bahan bakar dari pemerintah.
Pada Januari sampai Mei saat ia melaut, Rokah banyak mendapatkan kakap putih dan kepiting, yang kemudian ia jual ke pelelangan ikan di kampungnya. Pendapatan per hari dari melaut, rata-rata Rokah dapat mengantongi Rp75 ribu hingga Rp100 ribu. Keuntungan dari melaut dikurangi modal hanya berkisar Rp40 ribu sampai Rp70 ribu, jika diasumsikan melaut selama 30 hari berturut-turut dan mendapatkan tangkapan maksimal, paling-paling Rokah hanya mengantongi Rp2,1 juta saja sebulan. Jumlah itu masih jauh dari UMK Kota Semarang.
Sedangkan Juni hingga Desember Rokah dan istrinya menjadi pengepul rajungan di teras rumah ibunya di RT 03 RW 14 yang berjarak sekitar 300 meter dari rumah Rokah. Setiap harinya Rokah membeli rajungan dari nelayan-nelayan di Tambak Lorok rata-rata 150 kilogram, dengan harga per kilogramnya Rp22 ribu.
“Kalau tahun 2021 harganya bisa sampai Rp100 ribu per kilogramnya. Tapi kemudian harga ekspor daging rajungan turun ya sekarang ikutan turun,” jelasnya.
“Nelayan yang menjual rajungannya ke saya ya ada sekitar 10 nelayan. Per nelayan ada yang jual 10 kilogram, ada juga yang 20 sampai 30 kilogram. Tergantung dapatnya hari itu,” kata Rokah lagi.
Rajungan-rajungan itu kemudian ia rebus menggunakan dua periuk besar berkapasitas 40 kilogram sekitar 30 menit. Dalam sehari rata-rata menghabiskan dua tabung gas ukuran tiga kilogram. Setelah direbus, kemudian ditiriskan dan diletakkan di keranjang plastik, dan dijual ke PT Kelola Mina Laut, pabrik makanan laut ekspor di Kabupaten Demak dengan mengambil keuntungan Rp2.000 per kilogramnya.
“Tiap jam 5 sore orang pabrik pasti datang ke sini ngambil rajungannya.”
Meski tak bekerja sebagai nelayan, Selamet Riyadi ketua RW 16 Tambak Lorok, juga kelimpungan soal pendapatan. Sejak tahun 2017, Selamet bekerja serabutan, apa saja ia kerjakan asal halal, untuk memenuhi kebutuhan keluarga dengan empat orang anak. Sudah pusing memikirkan mencari uang, ia kini juga dihantui kecemasan karena banjir yang makin sering datang dan semakin tinggi.
“Sebelumnya ada rob, tapi hanya di jalan utama. Kalau sekarang sudah masuk ke gang-gang kampung,” kata Selamet.
Menurut Selamet ada 85 rumah yang terendam banjir di RW 16. Kerugian yang didapatkan warga yakni rusaknya motor, mobil dan perabotan elektronik seperti kulkas dan mesin cuci. Rumah Selamet juga kemasukan air setinggi mata kaki. Namun ia tak mengeluhkan kerusakan kendaraan maupun perabotan lain.
Selamet selalu berharap pemerintah segera menemukan solusi atas banjir rob yang kian lama kian tinggi itu, sebab warga makin lama makin jengah berurusan dengan banjir. Setiap kali banjir, paling tidak butuh waktu 10 jam baru bisa surut.
“Kalau tidak ada pompa ya bisa sampai 10 jam baru kering. Kalau dibantu pompa kan paling lama tiga jam udah kering,” ucapnya.
Solusi Tak Menyentuh Substansi
Abdul Rokah menduga semakin tingginya banjir rob itu salah satunya disebabkan penyedotan air tanah yang berlebihan di kawasan industri di pelabuhan Tanjung Mas dan pembangunan jalan lingkar arteri 20 tahun lalu. Getaran truk besar yang lewat, menurut Abdul Rokah dapat menyebabkan konstruksi tanah menurun.
“Jadi tanah yang di bawah itu lembek dan mudah ambles,” terangnya.
Dugaan Rokah itu sejalan dengan analisis Pakar Lingkungan dan Tata Kota Universitas Islam Sultan Agung Semarang, Mila Karmila. Menurut Mila, sejak tahun 1980 ketika kawasan pelabuhan di bangun terminal peti kemas, tanah di sana sudah mengalami penurunan.
Di pelabuhan Tanjung Mas konstruksi tanahnya sudah turun hingga 1,2 meter di bawah permukaan laut. Sementara di kampung-kampung pesisir seperti di Tambak Lorok, rata-rata penurunan tanah hingga 10 cm per tahun.
Kondisi itu sebenarnya disadari oleh pemerintah Kota Semarang. Sekretaris Daerah Kota Semarang, Iswar Aminuddin mengakui bahwa penurunan tanah di pesisir utara. Karena itu sejak lama pemerintah berusaha mencari solusi, salah satunya dengan membangun sistem sungai di Semarang. Mereka juga membuat tanggul laut dan melakukan pengerukan sejumlah sungai di Semarang.
“Pada 2014 itu kan pembangunan sistem kali Semarang sudah terbangun dan hasilnya sudah bisa kita lihat bahwa rob dan banjir di kali Semarang sudah dapat teratasi,” katanya.
Iswar menjanjikan pembangunan tanggul laut di Tambak Lorok tahap kedua akan dilakukan tahun ini. Ia menyebut pemkot Semarang telah mengalokasikan dana sebesar Rp1,6 triliun untuk mengatasi banjir.
“Itu adalah upaya untuk pengendalian banjir. Dan itu yang sudah dilaksanakan,” ucap Iswar.
Pemerintah Kota Semarang mencanangkan pengendalian banjir lain dengan rencana pembuatan kolam retensi seluas 220 ha. Kolam retensi yang dimaksud Iswar yakni terkait dengan pembangunan tol tanggul laut Semarang-Demak, padahal pembebasan lahannya belum tuntas.
“Fungsi tol itu sendiri bagian dari pada integrasi dengan pengendalian banjir di kota Semarang,” katanya.
Air yang direncanakan akan tertampung di kolam retensi, nantinya akan dipompa dan dibuang ke laut. Ia mengklaim tanggul tol tersebut dipastikan dapat mengurangi rob. “Bahkan bukan rob lagi. Kalau sudah tertutup kan air laut tidak bisa masuk lagi,” ujarnya.
Untuk pembangun tanggul laut di Tambak Lorok, Iswar mengaku akan dikerjakan tahun ini. Setelah tanggul tersebut selesai dibangun, kemudian akan ada pompa portable yang dapat menyedot air ke laut.
“Memang seperti itu konsep pembangunan infrastruktur untuk wilayah pesisir Kota Semarang,” kata Iswar.
Sebaliknya, soal penanganan rob itu, Mila mengatakan tidak bisa hanya dengan membuat tanggul lalu permasalahan itu dianggap selesai. “Penanganan rob juga dibarengi dengan rekayasa yang sifatnya konservasi mangrove dan pemerintah harus membatasi pengambilan air tanah yang berlebihan,” kata Mila.
Nelayan Tak Mungkin Jadi Andalan
Rokah sudah banyak makan asam garam di Tambak Lorok. Ia sudah menyaksikan sendiri ketika banjir rob masih tipis di seberang jalan besar, sampai akhirnya masuk ke rumahnya. Bila solusi tak segera datang, mungkin dalam beberapa tahun ke depan, banjir rob akan semakin parah. Itu yang bikin Rokah khawatir.
Bagi Rokah, Tambak Lorok bukan sekadar tempat ia tinggal, tapi sudah menjadi perjalanan dari hidupnya yang tidak bisa dipisahkan lagi. Ia sudah menetap di sana selama 46 tahun. Ia dan ibunya hijrah dari Demak ke sana pada tahun 1977. Semula ia tinggal bersama ibunya, sampai akhirnya ia menikah pada 1989, lalu pindah hidup mandiri, menikah dan memiliki tiga orang anak. Barulah pada tahun 1999 ia menempati rumah yang jadi langganan banjir.
“Kalau di Tambak Lorok, saya sejak 1977, kan saya melaut dari Demak terus ke sini,” katanya. “Di kampung ini, yang tua-tua itu tidak ada yang warga asli, semuanya pendatang.”
Ia bercerita, nama Tambak Lorok berarti lurukan yang artinya tujuan dari berbagai daerah. Kampung ini menjadi tempat para nelayan tinggal, dan mulai banyak ditinggali warga sekitar tahun 1950.
Saat itu melaut adalah jalan utama mereka mendapatkan penghasilan. Ikan masih mudah didapat, biaya melaut belum mencekik, dan biaya hidup pun tak semahal sekarang. Sejak saat itu Tambak Lorok lekat kaitannya dengan hidup para nelayan. Namun itu semua adalah masa lalu.
Jika Rokah dulu menjadi nelayan karena pilihannya, tapi kini tidak bagi anak-anaknya. Anak-anak Rokah tidak ada satu pun yang melanjutkan jejaknya sebagai nelayan. Padahal ia ingin ada yang meneruskan pekerjaanya itu. Anaknya yang bungsu memilih bekerja di Polytron, pabrik elektronik di daerah Sayung, Kabupaten Demak, kemudian ada yang buka warung makan dan yang sulung bekerja di pabrik alat-alat kesehatan di daerah Semarang Barat.
Menjadi buruh pabrik atau berdagang masih lebih rasional untuk menjawab kebutuhan hidup. Pendapatan mereka teratur, tiap bulan dapat gaji tetap, tidak seperti nelayan yang bergantung pada jumlah tangkapan ikan.
Kondisi itu sebenarnya cukup miris jika mengingat Pemerintah Kota Semarang menggembar-gemborkan Tambak Lorok sebagai kampung bahari. Program ini dilaksanakan dari tahun 2015 dengan membangun dermaga, jalan masuk, pembangunan pasar, dan tempat pelelangan ikan serta ruang terbuka hijau.
Selamet bercerita pada 2012 lalu, pemerintah Kota Semarang pernah membangun tempat pelelangan ikan (TPI) di Tambak Lorok, namun sejak bangunan itu rampung warga tak pernah diajak musyawarah dan juga belum sempat menggunakanya.
“Karena terendam rob. Sekarang tinggal sisa bangunannya saja. Padahal menghabiskan dana sekitar enam miliar,” kata Selamet.
Alih-alih membuat nelayan sejahtera, program kampung bahari itu justru tidak berkorelasi peningkatan kesejahteraan nelayan. Bahkan hidup sebagai nelayan sudah bukan lagi idaman bagi warga di sana.
Penghasilan nelayan di kampung itu, kata Selamet, sudah tidak dapat lagi menjadi tumpuan hidup. Pendapatan bersih sekali melaut hanya berkisar Rp50 ribu hingga Rp100 ribu saja.
“Itu sudah dari 2015.”
Rokah beruntung masih punya alternatif mata pencaharian bila tak melaut, sementara nelayan yang lain beberapa hanya melongo tanpa pekerjaan. Selamet mengatakan dari 529 kepala keluarga yang ada di lingkup RW-nya sebanyak 60 persennya adalah nelayan. Ketika banjir rob datang, banyak nelayan yang akhirnya hidup bergantung pada pendapatan hari-hari sebelumnya yang mereka sisihkan.
Di luar banjir rob besar kemarin, seharusnya pada bulan Mei atau Juni adalah musim udang rebon yang bisa bikin nelayan cuan. Biasanya, ketika musim itu datang, nelayan bisa mengantongi Rp1 juta dalam sehari.
“Tetapi kan itu tidak tiap hari,” katanya.
Bila musim rebon itu sudah lewat, para nelayan hanya berharap cuaca membaik, sehingga mereka tetap bisa melaut meski keuntungan tak seberapa.