Ada yang bilang kesengsaraan suatu negeri disebabkan bungkamnya orang-orang pintar. Pepatah itu bisa jadi benar. Dan mungkin saja itu terjadi sekarang.
Negeri kita, yang dielu-elukan sebagai zamrud khatulistiwa, sedang mengalami kesakitan parah. Krisis ekologis melanda mayoritas wilayah Indonesia. Romantisisme Indonesia sebagai negeri dengan tanah subur, tenteram dan makmur, saat ini, adalah kebohongan.
Jawa tidak lagi indah dengan sawahnya yang kuning keemasan. Pesisir utaranya mulai tenggelam, dan sawah-sawah petani di Karawang, daerah yang ditengarai sentra beras di Indonesia, telah berubah menjadi perumahan dan kawasan industri.
Hutan hujan perawan pun tidak lagi menjadi perwajahan Kalimantan. Sebagian besar telah berubah menjadi lahan-lahan rawa dan semak belukar yang rawan terbakar. Hanya butuh sepercik api dan kemarau panjang untuk mengubahnya menjadi monster asap.
Jutaan orang di Kalimantan mengidap infeksi saluran pernapasan karenanya, tak sedikit juga yang meninggal. Laju deforestasi yang tinggi turut menyumbangkan krisis lingkungan: Banjir menjadi hal biasa di Kalimantan, pulau yang dulunya memiliki banyak pohon untuk menyerap air hujan.
Bergeser ke timur, industri pertambangan telah melukai eksotisme daerah yang terkenal dengan flora dan faunanya yang unik. Bahkan di pulau-pulau terpencil pun, seperti gugusan pulau di Halmahera, industri tambang meninggalkan jejaknya berupa lubang-lubang dalam yang menganga lebar. Limbahnya pun meracuni sumber air masyarakat setempat. Air laut yang biru telah berubah menjadi merah.
Kerusakan alam yang menimbulkan banyak penderitaan bagi rakyat kecil ini, sebaliknya, tidak menyentuh hati pemerintah yang justru membuat lebih banyak kebijakan memperparah krisis ekologis ini.
Atas nama rakyat, pemerintah membuat program yang disebut “food estate” yang mengubah lahan gambut yang dulu gagal dikelola Soeharto di Kalimantan Tengah. Yang paling anyar, pemerintah berniat membangun ibu kota baru di Kalimantan Timur, sebelum permasalahan lingkungan di Kalimantan diselesaikan.
Seperti kebanyakan kebijakan pemerintah Joko Widodo selama ini, tak satu pun dari dua kebijakan itu didasarkan kajian ilmiah yang inklusif dan komprehensif. Kebijakan dibuat tanpa mendengarkan pendapat ahli yang independen, yang bisa memberikan pandangan ilmiah yang objektif tentang bagaimana seharusnya mengelola alam.
Lalu, di manakah para cendekia? Bukankah mereka, para dosen dan periset di seluruh universitas dan pusat riset di Indonesia, seharusnya mengawal dan mengawasi kebijakan negara? Bukankah dahulu mereka yang terdidik lah yang menyalakan pelita pengetahuan menuju kemerdekaan?
Mengabaikan Suara Kritis
Rabu, 11 Januari 2022, sivitas akademika Universitas Mulawarman di Samarinda kedatangan tamu istimewa. Dua anggota DPR dari fraksi PDIP dan Gerindra berkunjung untuk “meminta masukan” dari para akademisi dari universitas di Kalimantan mengenai pembentukan UU Ibu Kota Negara (IKN) .
Pertemuan selama 2 jam ini dikatakan sebagai “konsultasi publik”. Namun, hak istimewa diberikan kepada para rektor sejumlah universitas di Kalimantan Timur yang sengaja diundang oleh Rektor Universitas Mulawarman untuk hadir di sana.
Alih-alih memberikan kesempatan yang sama bagi setiap akademisi yang hadir untuk bersuara, pejabat-pejabat kampus dipersilahkan terlebih dulu menyuarakan pendapatnya. Suara para dekan dan wakil dekan di Universitas Mulawarman kemudian menyusul. Hanya satu suara berasal dari luar lingkaran pejabat kampus, yaitu seorang pekerja administrasi yang tumbuh besar di Penajam Paser Utara, daerah yang nantinya akan menjadi bagian dari IKN.
Tidak banyak argumentasi kritis dan bernas yang dilontarkan para pejabat ini. Dari sekitar selusin tanggapan dan pertanyaan, kebanyakan berkisar perihal sambutan terhadap IKN, usulan nama ibu kota, dan harapan agar proyek ini membangun daerah Kaltim.
“Perguruan tinggi sudah tidak sabar lagi… Pesan kami, segeralah disahkan undang-undang itu,” kata Rektor Universitas Mulawarman Prof. Masjaya.
Sementara Rektor UIN Samarinda memberikan sambutan hiperbolik, “Bapak-Ibu dari Pansus DPR, bapak-bapak membawa suara dari langit. Kajiannya sudah sangat luar biasa.” (Padahal saat pertemuan itu, para hadirin tidak diberikan salinan RUU dan disarankan mencari sendiri di internet.)
Namun, setelah pernyataan-pernyataan formal para rektor, komentar kritis datang dari fakultas hukum universitas tuan rumah. Warkhatun Najidah, ahli hukum tata negara di Universitas Mulawarman, perempuan pertama yang berbicara dalam forum ini, mengkritisi aspek hukum dari RUU IKN. “Banyak sekali dari pasal-pasal ini yang diserahkan pada peraturan presiden,” ujarnya.
Hal itu menimbulkan banyak pertanyaan penting seperti bagaimana DPR akan mengontrol pelaksanaan undang-undang ini, katanya. “Bagaimana kami (rakyat) bisa berteriak?”
Najidah menyarankan agar pengesahan RUU ini ditunda. Ia menyatakan fakultasnya berhati-hati memberikan konsultasi publik. “Kami tidak berkenan ilmu pengetahuan menjadi bahan legitimasi politik untuk RUU yang nantinya menyakiti masyarakat.”
Hendriansyah Castro, kolega Najidah di kampus yang sama, menyatakan IKN tidak menjawab krisis ekologis yang selama ini melanda Kalimantan. Fakultas mereka pun membuat catatan kritis yang diserahkan kepada kedua politikus itu.
Namun, saran mereka tidak diindahkan. RUU disahkan seminggu kemudian pada 18 Januari 2022.
Universitas Dikontrol Penguasa
Terkait relasi kaum cendekia dan kerusakan alam di Indonesia, pernyataan kritis Najidah seharusnya muncul juga dari mulut ratusan ribu cendekia yang tersebar di berbagai universitas dan pusat riset di Indonesia. Namun, berdasarkan pengalaman saya meliput sains lingkungan dan kebijakan sains, kebanyakan dari mereka memilih diam.
Diam karena tidak mengerti, tidak peduli, tidak mau tahu, ataupun takut kehidupan mereka akan terusik. Jika pun mereka ingin bersuara, tekanan-tekanan tak kasat mata membayangi mereka.
Para cendekia yang berani mengungkapkan pendapat seperti Najidah sangatlah sedikit karena cengkeraman kuasa negara terhadap riset dan ilmu pengetahuan di Indonesia sangatlah kuat.
Inaya Rakhmani, sosiolog dari Universitas Indonesia, mengatakan hal ini sudah dimulai sejak Orde Baru ketika penelitian-penelitian universitas mulai dipakai sebagai justifikasi kebijakan-kebijakan pemerintah. Dalam dua dekade terakhir, ia mewujud dalam birokratisasi perguruan tinggi.
Setelah diubah menjadi Badan Hukum Milik Negara pada 2003, perguruan tinggi seperti UI, ITB, UGM, dan IPB harus turut mencari dana melakukan tugas dan fungsinya sebagai pusat riset dan pendidikan. Contohnya, pada 2004, sebagian kampus IPB di Baranangsiang harus digusur untuk membangun sebuah pusat perbelanjaan. Hal ini menjadikan universitas sebagai pelaku bisnis, yang seyogyanya pelaku riset.
Instrumen lain yang digunakan adalah kebijakan karier akademisi ditentukan poin-poin yang diatur oleh negara, di antaranya jumlah publikasi yang nantinya memengaruhi gaji dan jabatan. (Ya, mayoritas kaum cendekia di negeri kita dibayar oleh negara.) Kebijakan ini sejak awal 2000-an dan menjadikan para akademisi melakukan hal apa pun untuk bisa naik pangkat.
Sebelum diperkenalkan Indonesia’s Science and Technology Index (SINTA) pada 2018, banyak dosen bergelar profesor tapi tak banyak menulis karya ilmiah yang berkualitas. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi pun mencoba memperbaikinya dengan mewajibkan seluruh akademisi untuk menerbitkan karya mereka di jurnal internasional. Namun, berdasarkan investigasi saya pada 2018, hal ini justru menunjukkan betapa bobrok komunitas ilmiah di Indonesia.
Para dosen berburu jurnal internasional yang mau menerbitkan hasil penelitian mereka. Tak jarang mereka menjadi mangsa jurnal predator, yaitu jurnal yang hanya mengincar uang akademisi tanpa peduli kualitas tulisannya. Proses telaah sejawat (peer-review) yang mengawal kualitas penelitian yang diterbitkan, diabaikan.
Beberapa akademisi juga melaksanakan simposium internasional yang mereka adakan sendiri, kemudian membayar sebuah jurnal untuk menerbitkan hasil presentasi dari simposium tersebut. Tak jarang juga ada dosen yang masuk ke dalam “bisnis sitasi”: para dosen membayar sejumlah uang agar nama mereka terdaftar sebagai penulis sebuah karya ilmiah tanpa kerja apa pun dengan syarat mereka akan menyitir penelitian tersebut di artikel publikasi mereka di masa mendatang.
Begitulah. Proses riset berubah menjadi perjuangan mencari nafkah dan jabatan. Tak peduli lagi etika dan integritas ilmiah.
Di tengah bobroknya kualitas komunitas ilmiah di Indonesia ini, pemerintah mengubah peraturan pemilihan rektor perguruan tinggi negeri dalam Peraturan Kemenristekdikti No 19 tahun 2017. Sebelumnya, senat universitas memiliki hak penuh dalam pemilihan rektor, tapi sekarang kementerian yang membawahi pendidikan tinggi memiliki 35% suara.
Menteri, yang jelas di bawah kuasa presiden, memiliki celah untuk mengubah proporsi suara yang dibuat oleh senat. Ini jelas-jelas melemahkan posisi universitas sebagai pusat riset dan ilmu pengetahuan. Rektor adalah jabatan politik.
Beberapa dosen yang saya wawancarai terdengar tidak bebas dalam berpendapat. Ada tekanan tak kasat mata yang membayangi mereka. Ada yang berani mengatakan UU IKN adalah “legalisasi perampasan lahan”, tapi ia tidak bisa menyebutkan namanya.
“Saya udah capek berantem dengan atasan,” katanya.
Dan ada juga yang mau berpendapat dan menyebutkan nama, tapi argumennya terdengar formal dan tidak didasari riset kuat. “Saya mendukung pembangunan ini karena tidak seperti industri tambang yang hanya menguntungkan segelintir orang. IKN akan memberi manfaat bagi orang banyak,” ujarnya. Akademisi ini tidak mengetahui bahwa di dalam Badan Otorita IKN terdapat pebisnis-pebisnis yang sebelumnya mengeruk keuntungan di bumi Kalimantan.
Dalam wacana IKN, 24 rektor tergabung dalam Kalimantan University Consortium mendukung program tersebut. Rektor Universitas Palangkaraya, Andrie Elia, mendukung IKN “karena tidak pernah ada bencana dan [Kalimantan] memiliki lahan masih luas untuk puluhan dan ratusan tahun ke depan.”
Saya tidak bisa membuktikan langsung apakah mereka semua benar-benar dipilih oleh presiden. Namun, yang jelas, saya menyangsikan dukungan mereka didasari oleh kajian akademis dan nalar berpikir ilmiah yang kritis.
Yang paling jelas kita bisa membantah pernyataan Andrie Elia. Pernyataannya bertentangan dengan fakta-fakta mengenai kondisi lingkungan Kalimantan dalam dua dekade terakhir.
Meski Kalimantan jarang mengalami gempa bumi dan tsunami, kebakaran hutan dan lahan yang berkali-kali membuat kabut asap tebal di atas langit Asia Tenggara telah menyebabkan kerugian besar. Belum lagi, banjir yang sekarang rutin menjadi bagian keseharian dan tahunan masyarakat Kalimantan.
Alih-alih membangun IKN, pemerintah seharusnya bertanggung jawab untuk menyelesaikan pekerjaan rumahnya di Kalimantan. Dan pekerjaan membereskan permasalahan lingkungan di Kalimantan, masih jauh dari kata selesai.
Tahun lalu, seorang akademisi di Kalimantan menunjukkan kepada saya fakta-fakta sains di balik lahan gambut di Kalimantan dan bagaimana pengelolaan lahan oleh pemerintah selama ini telah menyebabkan berbagai kerusakan yang sulit sekali untuk pulih sempurna.
Ia juga berbagi keresahan mengenai dampak proyek food estate bagi kelestarian lahan gambut di sana. Seperti halnya kebanyakan rakyat Kalimantan, ia sudah lelah dengan bencana yang kerap datang. “Ujung-ujungnya kita lagi yang menjadi korban,” katanya.
Saat itu saya melihat ketegasan dan keberanian dalam kata-katanya. Ketegasan yang sama yang saya temukan dalam pernyataan Najidah. Namun, saat ini, terkait dengan IKN, ia memilih untuk diam. “Rektor saya mendukung program tersebut, saya tidak bisa berkomentar.”
Dyna Rochmyaningsih adalah Direktur Eksekutif The Society of Indonesian Science Journalists (SISJ). Ia menulis segala hal yang bersinggungan dengan sains dan masyarakat dari rumahnya di Deli Serdang, Sumatera Utara.