Tulisan ini adalah sebuah pengantar menuju satu serial tulisan mengenai sejarah kampung kota yang dilatarbelakangi upaya kami, para relawan Kampung Kota Merekam, bayar utang atau memenuhi janji, juga upaya penebusan kesalahan.
Dari 2017 hingga 2019, sejumlah relawan terdiri dari jurnalis, penulis, dan peneliti, mengelola situsweb kampungkotamerekam.net. Pada 2019, isinya 6 tulisan sejarah kampung kota: Kampung Lodan, Kampung Kerapu, Kampung Akuarium, Kampung Tongkol, Kampung Elektro di Jakarta Utara dan Kampung Kunir di Jakarta Barat.
Lalu karena kelalaian, kami kehilangan nama situsnya. Upaya kami memulihkan melalui Medium kurang berhasil karena kesibukan para relawan.
Di luar itu, kami para relawan juga cacat janji. Setelah menyelesaikan sejarah lima kampung pada 2017, kami memutuskan menulis sejarah lima kampung lain. Pada paruh kedua 2018 hingga awal 2019, kami menyebar ke lima kampung kloter kedua untuk meliput sejarahnya. Dari lima kelompok, hanya satu yang berhasil menyelesaikan tulisan, yaitu Dieqy Hasbi dan Yusni Aziz yang menulis dan memotret Kampung Elektro di Jakarta Utara.
Kami secara kolektif punya utang kepada para narasumber kami, warga kampung kota yang telah membuka tangan sedemikian lebar dan membagi cerita luar biasa mereka untuk ditulis dan direkam.
Maka, pada awal 2022, kami memutuskan untuk bekerja sama dengan Project Multatuli, organisasi pers yang didirikan, salah satunya, oleh Evi Mariani. Teman-teman di redaksi Project Multatuli, juga teman-teman relawan Kampung Kota Merekam (KKM), dan dua teman dari mitra KKM, yaitu Gugun Muhammad dan Apriadi dari Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK)—semua menyambut baik kerja sama ini. Tujuannya: Menghidupkan kembali sejarah penting Kota Jakarta sehingga mereka bisa dibaca lagi dan kali ini mungkin oleh lebih banyak orang.
Sejarah, yang kami maksud, tentu saja bukan sesuatu yang sering dan mudah kita temukan dalam berbagai teks populer mengenai sejarah Kota Jakarta. Sejarah dalam KKM adalah sejarah perjuangan orang-orang kecil, yang senantiasa diancam dan terancam oleh ekspansi kapitalisme dengan dalih pembangunan, dalam mempertahankan dan/atau merebut kembali ruang hidup mereka; merebut hak atas kota.
Diwartakan sebagai bagian dari hak asasi manusia, hak atas kota memang menjadi satu hal yang tidak pernah datang secara percuma. David Harvey (2003) mengingatkan kita bahwa perjuangan hak atas kota pada akhirnya adalah hasil dari kontradiksi antar kelas. Kota, menurutnya, tidak pernah hadir laiknya mimpi basah kelas menengah ngehe Jakarta: “harmonis, nir kekacauan, konflik, kekerasan”. Alih-alih, ia senantiasa menjadi arena pertarungan, atau lebih tepatnya pertunjukan perampasan ruang oleh kelompok yang kuat.
Dalam kasus penggusuran di Jakarta, yang menjadi konteks lahirnya inisiasi KKM, kelompok kuat itu muncul dari perusahaan-perusahaan pengembang dan pemerintah DKI Jakarta.
Apa yang perlu digarisbawahi dari KKM adalah inisiasi ini lahir di masa ketika warga kampung kota Jakarta sedang mengalami tahun-tahun vivere pericoloso atau hidup penuh bahaya.
Sepanjang 2015-2016, mesin-mesin pembangunan di Jakarta tengah berada di puncak performa. Secara beringas, LBH Jakarta mencatat pada 13 April 2017, operasi mesin tersebut telah mengusir 13.871 keluarga dari ruang hidup mereka di dua tahun itu. Sebanyak 25.533 orang menjadi korban-korban dari total 306 kasus. Perlawanan keras datang dari seluruh penjuru kampung kota Jakarta, termasuk di kampung-kampung anggota JRMK, adalah bagian dari apa yang disebut Harvey sebagai upaya merebut definisi hak atas kota yang dipakai serampangan oleh negara tanpa mempertimbangkan keberadaan mereka.
Apa yang kemudian dilakukan oleh Evi, Yusni, Dieqy, dan Islam Bergerak (Azka, Azhar, Fatimah, dan Lintang) pada akhirnya mesti dimaknai sebagai solidaritas terhadap perjuangan atas hak tersebut, melalui JRMK. Lebih dari itu, KKM adalah kerja kolaborasi antara kami, tidak hanya dengan JRMK, tapi juga dengan warga kampung kota sendiri.
Sejak semula kami menyadari betul posisi ini. Itu sebabnya, sejak semula pula segala inisiasi di dalam KKM tidak pernah diputuskan oleh satu pihak. Kami, misalnya, sejak awal sepakat kerja ini mesti membuka keterlibatan pemuda-pemudi kampung setempat dan warga. Kami kemudian memutuskan menjalani proses yang panjang dan berliku dalam menyelesaikan setiap tulisan: dari membuat mentoring kepada pemuda-pemudi yang kami sebut jurnalis kampung sampai memastikan setiap proses pengumpulan data dan penulisan dilakukan dengan keterlibatan para jurnalis kampung.
Pemilihan sejarah lisan sebagai metodologi juga meninggalkan cerita lain tentang upaya KKM untuk sejauh mungkin “melibatkan” warga ke dalam cerita yang disusun. Tentu saja, di luar dari segala keribetan proses yang dilalui, aspek paling penting dari inisiasi KKM adalah cerita warga itu sendiri.
KKM tentu saja bukan inisiasi pertama yang merekam kisah perjuangan warga kota dalam merebut hak atas kota. Yoshifumi Azuma (2001) dalam Abang Beca atau Lea Jellinek (1994) dalam Seperti Roda Berputar, misalnya, dalam ukuran apapun bisa dengan mudah kita nilai menyajikan dimensi perjuangan warga kota secara lebih utuh dan mendalam. Meskipun demikian, ada satu hal yang membedakan antara kisah yang diangkat oleh Azuma dan Jellinek dengan kisah yang Anda baca dari inisiasi KKM ini.
Jika Azuma dan Jellinek berkisah tentang perjuangan yang di masa lalu secara tragis berujung pada kekalahan nyaris total para pelakunya, sebaliknya Anda bisa membaca kisah ini sebagai satu kisah perjuangan yang masih berdenyut. Dalam perkembangan terbaru, Anda bahkan akan menemukan kisah akhir yang manis dari perjuangan warga tersebut. Beberapa kampung, misalnya Akuarium, kini telah berdiri kembali dan Kampung Kunir sedang dalam proses membangun kembali.
Menyaksikan perkembangan itu, siapapun tentu bisa memperdebatkan pilihan taktik dan strategi perjuangan warga sesuai dengan preferensi politik dan ideologi masing-masing. Tapi, satu hal yang tidak akan pernah bisa kita bantah, kisah-kisah di dalam KKM sekali lagi menunjukkan bahwa betapa pun mesin-mesin pembangunan sering menganggap orang-orang kecil di kampung kota secara sepele dalam kontestasi di ruang gigantik bernama kota, mereka toh pada akhirnya akan terus melawan, berapa kali pun mesin tersebut berupaya membunuh mereka.
Menurut kami, untuk tujuan inilah inisiasi KKM ini dibuat. Terakhir, dengan dimuat ulangnya tulisan-tulisan di dalam KKM ini, kami berharap melanjutkan utang-utang yang belum tunai kami bayar. Segera. Selamat membaca!
Buku yang berisi kisah sejarah lima kampung kota (Kampung Akuarium, Tongkol, Lodan, Kerapu, Kunir) di Jakarta bisa diunduh di tautan ini.