Ulah manusia yang menyebabkan krisis iklim semakin parah membawa dampak serius terhadap alam dan makhluk hidup. Salah satunya memicu kasus penyakit bervektor seperti demam berdarah dengue (DBD) yang lebih banyak merenggut nyawa anak-anak.
HUJAN ringan masih sering turun di sebagian besar wilayah Yogyakarta. Meski sudah bulan Juli, bulannya kemarau.
Sore itu, Perumahan Gama Asri di Kecamatan Turi yang berada di kaki Gunung Merapi masih basah. Hujan yang turun singkat itu masih membasahi jalan, semak-semak, dan pohon salak.
Sinar matahari yang keluar dari persembunyiannya, membuat suasana pada musim peralihan itu menjadi lebih hangat.
Arimba (42 tahun), seorang warga di perumahan itu mengingat pengalamannya terkena demam berdarah (DB) pada pertengahan 2022. Ruam merah muncul di tangannya, persendiannya nyeri, dan indra pengecapnya hilang.
Arimba menduga ia tertular putranya, Agha Afkar Barra (10 tahun), yang lebih dulu terjangkit DB. Gejala Barra lebih berat, selain badannya gatal-gatal, ia juga muntah-muntah hingga dirawat ke rumah sakit selama beberapa hari.
Barra tidak sendirian. Kala itu, DB sedang ramai menjangkit di lingkungan rumah mereka. Sedikitnya ada sepuluh anak dan dewasa yang mengidap penyakit yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti itu.
Keberadaan nyamuk pembawa virus dengue itu tak lazim di wilayah pegunungan seperti di Kecamatan Turi, yang memiliki ketinggian sekira 650 meter di atas permukaan laut (dpl) dan udara yang sejuk.
Penelitian University of Stanford di Amerika Serikat (AS) tahun 2017, menyebutkan nyamuk Aedes aegypti lebih mudah berkembang biak dan menyebar pada suhu berkisar 30 derajat Celsius.
Tetapi, Arimba, yang tinggal di perumahan itu sejak 2012, mengatakan setiap tahunnya selalu ada kasus DB di lingkungannya.
“Sebelum sakit, kami (juga) tidak pergi ke mana-mana,” ujarnya Senin (11/7), mengasumsikan penularan terjadi secara lokal.
Indonesia menjadi satu dari lima negara di Asia Tenggara yang memiliki status endemi DB. Yogyakarta menjadi satu dari sepuluh provinsi di Indonesia dengan kasus demam berdarah tertinggi.
Dalam lima tahun terakhir, kasus DB per tahun di Indonesia berada pada rentang 100 ribu kejadian, lapor data Kementerian Kesehatan. Dari jumlah kasus itu, korban meninggal dunia terbanyak adalah anak-anak dengan rentang usia 1-14 tahun.
Badan Pusat Statistik (BPS) Yogyakarta merangkum jumlah kasus DB pada anak mencapai 55 kasus, tahun 2000 489 kasus, dan tahun 2022 mencapai 502 kasus.
United Nations International Children’s Emergency Fund (Unicef) dalam laporan, “Health Result 2021, Child Health,” memperkirakan satu dari empat anak di seluruh dunia yang berjumlah 2,5 milyar berpotensi terkena DB dan malaria.
Putri bungsu Bambang Haryanto adalah salah satu korbannya. Ia yang tinggal di Kricak, Kota Yogyakarta, kehilangan Asila Najwa pada Januari 2016. Saat itu, Najwa baru menginjak usia 8 tahun.
Bambang tinggal di wilayah padat penduduk, pinggir Sungai Winongo. Sebelum mengembuskan napas terakhirnya, suhu tubuhnya naik dan demam. Bambang dirujuk ke rumah sakit. Dokter mendiagnosisnya radang tenggorokan dan diizinkan untuk menjalani perawatan mandiri di rumah.
Beberapa hari kemudian suhu badannya turun tetapi terus menerus buang air besar.
“Sore, saya bawa ke rumah sakit tetapi malam hari, ia meninggal,” ujarnya.
Dampak Perubahan Iklim
Buku Data dan Informasi Dampak Perubahan Iklim Sektor Kesehatan Berbasis Bukti di Indonesia (Kementerian Kesehatan RI, 2021) menegaskan perubahan iklim membuat kesehatan umat manusia kian rentan.
Beberapa penyakit yang berpotensi meningkat adalah penyakit bervektor seperti DB, malaria, chikungunya, dan virus nile west. Selain itu, kegagalan kardiovaskular karena panas ekstrem, asma karena polusi udara, malnutrisi, kolera, dan disentri.
Siswanto, Sub Koordinator Bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengatakan emisi gas rumah kaca menyebabkan suhu global naik rata-rata 1,2 derajat Celsius dari zaman pra-industri. Di Indonesia, kenaikan suhu di berbagai daerah bervariasi tetapi rata-rata naik 1 derajat Celsius.
Wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta juga mengalami kenaikan suhu. Dalam pers rilis 10 Oktober 2021, Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati mengatakan suhu di dua provinsi ini naik 0,7 derajat Celcius dalam 30 tahun terakhir.
Dwikorita menengarai salah satu penyebabnya adalah perubahan fungsi lahan di sekitar Gunung Merapi. Alih fungsi lahan pertanian dan lahan hijau terus terjadi di Yogyakarta, terutama untuk perumahan. Sebagai contoh, bukit-bukit yang hijau di Kabupaten Sleman diratakan untuk pembangunan perumahan.
Penebangan pohon-pohon besar juga sering terjadi, seperti di sepanjang jalan kabupaten dekat kantor Stasiun Klimatologi Yogyakarta, BMKG berada, untuk perluasan jalan. Padahal pepohonan bisa meneduhkan dan mengurangi emisi GRK karena menyerap karbon dioksida
Di sisi lain, perubahan iklim juga menciptakan situasi ideal bagi vektor nyamuk Ae aegypti dan Ae albopictus (betina) untuk berkembang biak dan meluaskan jangkauannya.
Bhatia S., dkk., dalam artikel, “A Retrospective Study of Climate Change Affecting Dengue: Evidences, Challenges, and Future Directions” di Frontiers in Public Health, Mei 2022, menyebutkan ada tiga faktor yang menaikan kasus DB, yaitu curah hujan, temperatur, dan kelembaban.
Sutamsi, ahli iklim dari BMKG Yogyakarta, mengatakan perubahan iklim menyebabkan perubahan karakteristik hujan. Hujan lebat berdurasi lama digantikan hujan lebat berdurasi singkat yang menciptakan genangan-genangan air di berbagai bejana, tempat nyamuk meletakkan telurnya. Setelah hujan berhenti disambung dengan matahari yang panas.
“Ini jadi tempat yang cocok untuk nyamuk demam berdarah,” ujarnya.
Suhu hangat menyebabkan daya jelajah nyamuk demam berdarah semakin luas. Serangga ini bisa mencapai wilayah berelevasi lebih tinggi yang sebelumnya tidak bisa dijangkau karena suhunya lebih rendah dari lingkungan normal Ae aegypti.
Dalam artikel berjudul, “Effect of the Variability and Climate Change to Detect Case of Dengue Fever in Indonesia,” di Jurnal Meteorologi dan Geofisika, November 2010, Achmad Sasmito, dkk., menulis di Colombia dan Mexico, Ae aegypti yang umumnya di wilayah berketinggian 1500 meter dpl, kini bisa hidup di wilayah berketinggian 2200 meter dpl.
Nyamuk Aedes aegypti biasanya aktif menggigit pada siang hari dan memiliki jelajah terbang sejauh 200 meter. Ae aegypti berwarna hitam dengan bintik-bintik putih di sekujur tubuhnya itu menjadi carrier (pembawa) utama virus dengue.
Proses penularan dimulai setelah Ae aegypti menghisap darah manusia dan kemudian menyedot lagi darah manusia lain yang sehat. Saat menghisap darah, ia melepaskan virus dengue di tubuhnya melalui saliva (air liur) ke tubuh orang sehat itu. Dalam beberapa hari orang itu akan terinfeksi virus dengue.
Hingga saat ini belum ada obat bagi DB. Secara klinis, penderita DB akan sehat lagi bila imunitas tubuhnya kuat. Tetapi bila kekebalan tubuhnya buruk, ia akan mengalami gejala penyakit yang lebih serius, atau yang dikenal dengan demam berdarah dengue (DBD).
Dalam kasus DBD, virus dengue bereplikasi di dalam darah sehingga merusak trombosit, plasma darah dan menyebabkan pembuluh darah pecah. Darah tidak bisa mengantarkan sari makanan, akibatnya penderita mengalami dengue shock syndrome yang bisa berujung pada kematian.
“Dengan kata lain menyebabkan kegagalan multiorgan,” ujar dr. Riris Andono Ahmad, Direktur Pusat Studi Kedokteran Tropis, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada (UGM), Kamis (25/5).
Sedihnya, tren kasus DBD meningkat terus di seluruh dunia. World Health Organization (WHO) menyatakan DBD adalah penyakit paling banyak tersebar dan terus meningkat di seluruh dunia. Pada tahun 2000, terjadi lonjakan kasus sebanyak 505.430 menjadi 5,2 juta. Kini, kira-kira 3,5 milyar orang tinggal di berbagai negara yang berstatus endemi demam berdarah.
Di Yogyakarta, kasus DBD tercatat melonjak drastis terjadi di Kabupaten Kulon Progo dengan mencapai 645 kasus pada tahun 2022, tertinggi sejak tahun 1998 yang mencapai 336 kasus, demikian data dinas kesehatan setempat
Secara keseluruhan, Yogyakarta mencatat jumlah kasus DB yang fluktuatif tetapi trennya meningkat. Dinas Kesehatan Provinsi DIY menyatakan ada 2196 kasus (2006) meningkat menjadi 6318 kasus (2016), turun jadi 3618 (2020), dan 1459 kasus (2022).
Di Indonesia tren kasus DBD juga terus naik. Data Kementrian Kesehatan RI (2010) mencatat ada 400-an kasus (1974) terus berlipat ganda hingga 160.000 kasus (2008).
Tahun 2021 ada 73.518 kasus dan meningkat menjadi 131.625 kasus (2022). Jumlah kematian juga meningkat dari 705 menjadi 1183 (Kompas, 5 Februari 2023).
Para ahli sepakat fenomena global perubahan iklim ikut mendongkrak kasus DBD. Faktor ini menambah penyebab “klasik” seperti kebersihan lingkungan, musim hujan, kepadatan penduduk, dan pergerakan orang dari satu tempat ke tempat lain.
Dampaknya terhadap anak dan hak anak
Danuarsa Purbavidura, seorang murid kelas 10 SMA I Wates, Kulon Progo, mengingat ia pernah menderita DB pada Desember 2022. Pada suatu pagi, badannya yang subur itu terasa lemas dan suhunya tinggi.
Ia sempat dirawat di rumah sakit selama tujuh hari. Untungnya, waktu itu sudah masuk masa liburan sehingga kegiatan belajar di sekolah tidak terganggu.
“Saya sakit setelah mengikuti kegiatan pramuka,” ujarnya, Selasa (23/5).
Danuarsa bisa pulih dan berkumpul kembali dengan keluarga dan teman-temannya di sekolah. Tetapi ayahnya, Bambang Dwi sempat khawatir karena muka Danuarsa pucat sekali.
Sang ayah mengatakan sebelum Danuarsa, kakak perempuan, Citras Kautsar dan menantunya juga terkena DB. Boleh jadi Danuarsa tertular dari mereka karena tinggal dalam satu rumah di Dusun Terbah, Kecamatan Pengasih, Kulon Progo.
“Saya juga khawatir karena di rumah ada cucu yang berumur 8 bulan. Anak kecil bisanya nangis saja, tidak bisa sambat (mengatakan apa yang dirasakan),” ujarnya.
Kekhawatiran Bambang beralasan karena daya tahan tubuh balita masih sangat rentan. Unicef dalam laporan berjudul “The Climate Crisis is a Child Rights Crisis, Introducing the Children’s Climate Risk Index,” (2021) menyatakan 26 persen kematian anak-anak akibat dari perubahan lingkungan adalah anak-anak di bawah umur 5 tahun.
“Hampir 90 persen dari penyakit global yang disebabkan perubahan iklim diderita oleh anak-anak dibawah lima tahun,” kata laporan itu.
Henrietta Fore, Direktur Eksekutif Unicef, menyebut krisis iklim sebagai krisis hak-hak anak. Anak-anak yang terdampak perubahan iklim dan kerusakan lingkungan makin sulit mengakses hak-haknya seperti layanan kesehatan, pendidikan, air bersih, perlindungan sosial dan sanitasi.
Unicef menyusun Children’s Climate Risk Index (Indeks Risiko Iklim terhadap Anak-Anak) untuk memetakan anak-anak di seluruh dunia yang terdampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan, dan pemenuhan hak-hak dasarnya.
Anak-anak di Benua Afrika dan India yang sedikit menyumbang emisi gas rumah kaca ternyata berisiko sangat tinggi, bertolak belakang dengan anak-anak di negara-negara maju yang menyumbang banyak emisi gas rumah kaca justru memiliki risiko rendah.
Menurut Unicef, anak-anak di Indonesia memiliki indek risiko tinggi. Mudah diduga, ini adalah dampak dari degradasi lingkungan yang terus terjadi. Alih fungsi hutan menjadi perkebunan dan tambang terus terjadi dengan laju rata-rata 650 ribu hektar per tahun. Dampaknya kerusakan lingkungan multidimensi, bencana alam hidrometeorologia, dan menyumbang emisi gas rumah kaca.
Selain itu, pemerintah masih membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) menggunakan batu bara, bahan bakar fosil paling kotor. Selain menyuplai listrik di perkotaan, PLTU juga dibangun untuk mendukung tambang nikel, terutama di Indonesia bagian timur.
Pemerintah Indonesia sudah meratifikasi Paris Agreement dalam UU No.16 tahun 2016 tentang Kesepakatan Global untuk Mengendalikan Perubahan Iklim. Selain itu, Indonesia juga mengadopsi UU Perlindungan Anak. Kedua aturan tersebut mempunyai kewajiban melindungi anak dari berbagai dampak dari perubahan iklim.
Anak-anak yang meninggal itu tidak boleh menjadi angka statistik saja, mereka adalah korban dari negara yang tidak mampu memenuhi hak atas lingkungan yang aman dan sehat bagi anak.
Bagi orangtua seperti Bambang, pemerintah belum cukup melakukan sosialisasi juga pencegahan dampak perubahan iklim yang bisa memicu lonjakan berbagai kasus DB.
“Pemerintah harus gencar sosialisasi cara mengatasi perubahan iklim karena kita tidak tahu caranya,” ujar Bambang Haryanto.
Para ahli kesehatan terus berupaya memberantas DBD, salah satunya dengan mengembangbiakkan Ae aegypti yang bervirus wolbachia.
The New England of Journal Medicine (NEJM) sudah mengakui hasil penelitian World Mosquito Program (WMP) selama 11 tahun (2011-2022) di Provinsi DIY, nyamuk ber-wolbachia bisa mengurangi 77 persen kasus DBD dan 86 persen rawat inap di rumah sakit.
“Tetapi untuk menambah jumlah nyamuk ber-wolbachia dalam jumlah besar, butuh insectarium besar, butuh investasi besar,” ujar dr. Riris.
Belum pasti kapan pemerintah bisa memproduksi nyamuk ber-wolbachia dalam jumlah besar. Kendati demikian, Yogyakarta menjadi provinsi pertama di Indonesia yang menjadi tempat uji coba nyamuk Aedes Aegypti bervirus wolbachia yang bisa membunuh virus dengue.
***
SAAT MATAHARI menghangatkan pagi yang cerah, puluhan anak-anak SD Kanisius Kenalan di Bukit Menoreh, Kabupaten Magelang berjalan sejauh 4 kilometer dari Kapel Kerug di bawah Puncak Suralaya menuju tempat ziarah, Sendang Sono, Sabtu (20/5).
Berpakaian jawa, mereka berjalan naik-turun dan melewati ladang dan hutan. Mereka sedang napak tilas Barnabas Sarikrama, seorang penyebar agama Katolik di perbukitan Menoreh.
Kepala Sekolah, Josef Onesimus Maryono mengatakan tema napak tilas adalah ngesti aji waluyaning pertiwi. Artinya berusaha serius disertai doa untuk keselamatan Bumi.
“Menyelamatkan Bumi ini butuh spirit dan inspirasi dari tokoh yang telah berperan dalam sejarah hidup kami sebagai orang desa,” ujar Simus, Jumat (19/5).
Sekolah ini berada di ketinggian sekira 400 meter dpl dan mempunyai moto, Kembang Melati atau SD Kanisius Kenalan Membangun Menoreh Lestari, Sehat, dan Indah.
Kurikulumnya mengajarkan anak mencintai lingkungan dan budaya-tradisi pedesaan, seperti bertani dan beternak. Setiap Hari Bumi, sekolah membuat kegiatan khusus, misalnya mengunjungi mata air.
Saat mendampingi anak-anak napak tilas, FX Fri Harna (Frans), salah satu guru SD Kanisius Kenalan, mengatakan anak-anak ditanamkan rasa mencintai desa agar kelak tidak ingin pindah ke kota. Di desa, mereka akan mempertahankan lingkungan di desa yang asri agar tidak dibeli dan diubah lanskap desa oleh orang kota.
Upaya ini dilakukan salah satunya untuk merespons dan memitigasi dampak perubahan iklim.
Pelaksana Harian Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (Samin), Ambar Tri Anggoro Putro, mengatakan setiap lembaga pemerintah harus lebih proaktif dan serius mengawasi kondisi anak sejak dari kandungan. Sebagai pegiat NGO perlindungan anak, Anggoro belum melihat keseriusan pemerintah dalam mengatasi persoalan perubahan iklim.
“Kekhawatiran Unicef soal dampak perubahan iklim terhadap anak itu belum pernah didiskusikan,” ujarnya, Sabtu (9/6).
Ia berharap Satuan Tugas Perlindungan Anak di setiap kelurahan tidak hanya pasif menerima laporan soal kekerasan saja. Lembaga ini harus proaktif memantau lingkungan di mana anak-anak tinggal, layak atau tidak.
Situasi dunia saat ini memang seperti karya seniman jalanan, Isrol “Media Legal” dari Yogyakarta. Ia menggambar pria jongkok dengan wajah tertutup masker dan dilengkapi narasi, “Dunia sedang Tidak Baik-Baik Saja.”
Ya, bila situasi Bumi makin tidak baik-baik saja, alias peningkatan suhu gagal dihentikan maka kehidupan anak-anak akan semakin rentan dan mungkin gagal menggapai cita-citanya.
Liputan ini merupakan hasil Fellowship dari AJI Indonesia bekerja sama dengan Unicef dengan tema perubahan iklim dan dampaknya terhadap anak.