Protest Paradigm: Apakah Media Mau Terus Menjadi Corong Kekuasaan?

Mawa Kresna
6 menit
Aliansi Perempuan Indonesia (API) menggelar aksi di depan gedung DPR RI, Jakarta pada 3 September 2025. Mereka menuntut Presiden Prabowo menghentikan kekerasan negara, menarik mundur TNI dari urusan sipil, reformasi Polri, serta membebaskan seluruh tahanan tanpa syarat. Negara diminta menjamin hak warga untuk berkumpul, berserikat, dan menyampaikan protes secara damai tanpa intimidasi maupun kriminalisasi. (Project M/Adrian Mulya)

“Di depan Hotel Mulia ini, musuh sudah dipukul mundur…”

Itu adalah kalimat yang disampaikan langsung reporter Kompas TV ketika polisi mulai membubarkan para peserta aksi 28 Agustus 2025 di Jakarta. Menyadari kesalahan fatal itu, keesokan harinya Kompas TV buru-buru merilis tiga kalimat pendek di akun media sosialnya: meminta maaf, menyebut bahwa mereka selalu bersiaran langsung dari lapangan untuk mengawal aspirasi publik, dan berjanji akan “memperbaiki kualitas jurnalistik”.

Di tengah minimnya tradisi permintaan maaf media Indonesia ketika melakukan kesalahan, permintaan maaf seperti ini memang bisa disebut sebagai bare minimum. Tetapi ucapan yang secara eksplisit mengidentikkan demonstran sebagai “musuh” tidak bisa hanya kita lihat sebagai slip of the tongue. Ia mengilustrasikan cara pandang yang lebih luas, sebuah pola yang telah lama mengakar dalam pemberitaan media Indonesia, khususnya ketika meliput aksi-aksi demonstrasi. Dalam literatur, ia disebut sebagai protest paradigm. 

Protest paradigm, konsep yang berkembang sejak dekade 1980-an, menjelaskan kecenderungan media yang lebih fokus menyoroti kekerasan dalam sebuah aksi-aksi demonstrasi ketimbang substansi tuntutannya. Dalam nilai-nilai berita yang hegemonik, kekerasan dalam aksi demonstrasi dianggap lebih memiliki kelayakan berita (newsworthiness) dibanding aksi-aksi damai. 

Kekerasan ini pun dipahami secara sempit, hampir selalu berhubungan dengan kekerasan yang dilakukan oleh peserta aksi. Sangat jarang pemberitaan kekerasan diarahkan pada aparat keamanan yang melakukannya terhadap peserta aksi. Penembakan gas air mata, misalnya, dilihat sebagai upaya tindakan terukur yang diperlukan untuk membubarkan aksi. 

Fokus pada kekerasan ini hampir selalu beriringan dengan kecenderungan media memberikan preferensi pada sudut pandang pihak otoritas. Latar belakang bagaimana kekerasan terjadi dinarasikan dari sumber resmi seperti pemerintah. Konsekuensi logisnya, tuntutan utama demonstran, akar struktural yang memicu aksi, hingga konteks politik yang lebih besar, kerap diabaikan dari bingkai pemberitaan.

Setidaknya ada tiga aspek utama dalam protest paradigm.

Pertama, delegitimasi terhadap aksi demonstran melalui framing negatif. Strategi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya menyebut demonstran dibingkai sebagai “musuh”, masih di bawah umur, tidak memahami tuntutan, aksi sudah melewati jam malam, dan sebagainya. Ketika mulai terjadi kekerasan, fokus pemberitaan ada di sana. 

Kedua, fokus pemberitaan yang cenderung episodik alih-alih tematik. Artinya, media lebih suka mengisolasi sebuah insiden atau peristiwa tertentu tanpa menghubungkannya dengan persoalan struktural yang lebih besar. Akibatnya, demonstrasi dilihat semata sebagai kericuhan sesaat, bukan sebagai ekspresi ketidakadilan yang sistemik yang berakar dari problem yang luas.

Ketiga, ketergantungan pada pernyataan resmi dari sumber-sumber otoritas seperti pemerintah atau aparat keamanan. Sejumlah riset menunjukkan bahwa protest paradigm berhubungan erat dengan kedekatan relasi ekonomi politik pemilik media dengan pihak-pihak yang berkuasa. Sehingga tidak mengherankan apabila pola ini seringkali menguntungkan kepentingan politik dominan.

Dalam konteks Indonesia, semua aspek ini terlihat jelas kembali dalam aksi-aksi yang berlangsung pada 25 Agustus – 1 September 2025. 

Delegitimasi misalnya tampak dari kesukaan banyak media yang masih saja kerap melabeli demonstran sebagai “anarkis”. Label ini dalam banyak pemberitaan digunakan untuk merujuk pada kekerasan atau kericuhan di lapangan. Masalahnya, istilah tersebut dipakai serampangan hingga anarkis kehilangan makna awalnya, menjadi sekadar stempel untuk menyingkirkan legitimasi aksi. Delegitimasi ini juga diperkuat oleh sandaran media pada pernyataan-pernyataan resmi pemerintah yang juga gemar melabeli demonstran sebagai “anarkis” atau “perusuh”. 

Praktik delegitimasi juga muncul melalui praktik amplifikasi teori konspirasi. Dalam aksi-aksi di berbagai kota kemarin, setidaknya INews TV dan TV One menayangkan narasi konspiratif bahwa “Miliarder Yahudi George Soros Diduga Dalang Demo Ricuh Indonesia”. Sebuah berita yang tidak berdasar, dilempar begitu saja ke ruang publik tanpa verifikasi. Ini adalah bentuk delegitimasi yang bekerja dengan cara menimpakan problem ke sesuatu yang asing, jauh, dan misterius. Seolah-olah rakyat Indonesia tidak punya agensi politik, tidak mampu memiliki sikap kritis, atau tidak mungkin marah terhadap para pemimpinnya dan merespons situasi ekonomi yang memburuk.

Fokus pemberitaan yang episodik alih-alih tematik juga terlihat jelas pada 28 Agustus 2025. Sepanjang hari itu saya sempat menyaksikan dan mengamati siaran beberapa televisi Indonesia. Dari amatan saya, liputan umumnya dimulai pagi hari dengan menyampaikan pernyataan dari Polda Metro Jaya mengenai aksi. 

Setelah itu, berita tentang aksi hanya muncul selintas di sejumlah program. Baru setelah peristiwa meninggalnya Affan Kurniawan mencuat, disusul rentetan konferensi pers pejabat kepolisian, media memberikan perhatian penuh. Momen ini menandai eskalasi peristiwa yang kian membesar, sehingga media praktis tidak mungkin lagi mengabaikannya.

Meski demikian, kecenderungan bersandar pada pernyataan pejabat publik tampak dominan dan sulit dihindari. Cara media menarasikan peristiwa, atau menjelaskan apa yang sedang terjadi, sangat bergantung pada kutipan-kutipan resmi. Dari beberapa headline halaman muka koran yang saya amati (Kompas, Jawa Pos, Media Indonesia, Jakarta Post, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat) sepanjang 26 Agustus hingga 2 September 2025, terlihat jelas bagaimana perspektif otoritas, khususnya Presiden Prabowo, mendominasi bingkai utama pemberitaan.

Anda akan menemukan judul-judul seperti: Presiden Prabowo: Aspirasi Masyarakat Akan Didengar; Presiden Perintahkan Kapolri dan Panglima TNI Tindak Tegas Perusuh; Presiden Imbau Rakyat Tenang; dan seterusnya. Headline semacam ini bukan sekadar kutipan, melainkan framing yang memperkuat otoritas sebagai pusat narasi.

Problemnya, ketika media terlalu bergantung pada pernyataan resmi, yang terjadi adalah pelanggengan status quo. Narasi media-media arus utama yang muncul di ruang publik bukanlah refleksi kenyataan di lapangan, melainkan reproduksi dari versi peristiwa yang dikonstruksi oleh penguasa. Dengan kata lain, media kehilangan daya kritisnya, dan publik kehilangan akses pada informasi yang seharusnya membantu mereka memahami kompleksitas situasi.

Apalagi ditambah adanya dugaan surat edaran dari regulator media agar stasiun televisi dan radio tidak menyiarkan liputan demonstrasi yang “provokatif, eksploitatif, dan eskalatif kemarahan masyarakat”. Selain itu juga media diminta membangun “nuansa sejuk dan damai”. 

Analisis ekonomi politik sederhana, yang juga sudah banyak diteliti oleh para sarjana media, membantu kita memahami bahwa afiliasi politik pemilik media punya peran penting dalam mengarahkan bagaimana media membingkai aksi-aksi demonstrasi yang ada.

Sebenarnya protest paradigm punya keterbatasan dalam menjelaskan kompleksitas pemberitaan aksi-aksi demonstrasi.

Era media sosial memberikan kita ruang untuk mengikuti berbagai aksi, termasuk rentetan peristiwa lanjutannya, secara langsung. Ini membuat publik punya narasi dan pemahaman alternatif atas apa yang sebenarnya terjadi. 

Kondisi ini sekaligus menantang model pemberitaan banyak media apabila tidak menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi. Publik dengan mudah bisa membongkar jika, misalnya saja dalam kasus Kompas yang menyebut demonstran sebagai musuh menjadi viral di media sosial, kondisi semacam ini bisa memaksa media setidaknya untuk menghaluskan framingnya. 

Selain itu, ada jarak yang lebar antara kepentingan ekonomi politik pemilik media dan kerja-kerja jurnalis di lapangan. Keputusan redaksi kerap tunduk pada logika pemilik, sementara jurnalis di lapangan harus menghadapi realitas yang jauh lebih keras. Mereka meliput dengan risiko besar, dari intimidasi, serangan, hingga ancaman nyawa. 

Data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada 25–30 Agustus 2025 menunjukkan, kekerasan terhadap jurnalis terjadi tanpa pandang bulu. Korbannya tidak hanya datang dari media independen, tapi juga media arus utama seperti Antara, Tempo, TV One, bahkan pers mahasiswa. 

Paradoksnya, ketika media secara institusional terjebak dalam protest paradigm yang merugikan demonstran, jurnalis mereka sendiri justru ikut menjadi korban kekerasan dalam demonstrasi yang sama.

Dalam momen-momen genting dalam demokrasi kita, saya percaya cara media bekerja berperan menentukan ke arah mana sejarah akan bergerak. Media sosial menantang protest paradigm, dan bisa jadi pelan-pelan membuat media kehilangan relevansinya untuk publik. 

Kondisi ini memantik satu pertanyaan retoris yang penting diajukan: apakah media mau terus jadi corong kekuasaan, sebagaimana di era Orde Baru?


Wisnu Prasetya Utomo merupakan dosen Komunikasi UGM, sedang studi S3 di Inggris

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Mawa Kresna
6 menit