Setelah Viral, Polisi Menyelidiki Lagi Kasus Dugaan Pencabulan Tiga Anak. Tapi, Jalan Keadilan Masih Terjal

Fahri Salam
14 menit
Ilustrasi kepolisian menyelidiki lagi kasus dugaan pencabulan terhadap ketiga anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. (Project M/Muhammad Nauval Firdaus - di bawah lisensi Creative Commons BY-NC-ND 2.0)

KENAPA kalian baru muncul? Setelah dua tahun, kenapa kalian datang dan bertanya keadaan anak-anak?

Emosi Lili meledak ketika mengenali rombongan itu dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Luwu Timur. Rombongan itu datang tanpa memberi tahu lebih dulu ke rumahnya, tempat tinggal ketiga keponakannya selama dua tahun terakhir. 

Untuk apa lagi kalian datang?

“Mau tanya-tanya [kabar] anak-anak,” kata seorang dari rombongan.

Tanya apa?

“Bagaimana keadaannya?”

Sehatlah.

“Sekolah kah?”

Sekolahlah.

“Bagaimana sosialisasinya dengan teman dan lingkungan? Bagaimana bergaulnya dengan tetangga? Anak-anak sekolahnya di mana?”

Eh…, nda perlu ji kalian tahu sekolah di mana.

Lili meredakan emosinya. Ada jeda panjang. Emosinya naik lagi saat salah seorang rombongan itu bertanya, “Bisa nda bapaknya ketemu dengan anak-anak?”

Tidak bisa.

“Jadi tidak bisa, Bu.”

Iya, tidak bisa.

 

LILI adalah kakak Lydia, keduanya nama samaran. Dua tahun lalu, setelah ketiga anak Lydia bercerita mengalami kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh ayah kandung mereka, Lydia membawa ketiga anaknya yang berumur di bawah 10 tahun itu ke rumah Lili. Sejak itu Lili adalah orang yang menjaga dan paling dekat dengan anak-anak Lydia.

Kepolisian Resor Luwu Timur menghentikan penyelidikan kasus dugaan pencabulan itu, hanya dua bulan sejak Lydia membuat pengaduan, pada Desember 2019. Alasannya, kepolisian tidak menemukan “dua alat bukti yang cukup” terjadi tindak pidana kekerasan terhadap anak. Namun, setelah Project Multatuli merilis kejanggalan proses penyelidikan tersebut, 6 Oktober 2021, kepolisian mendalami lagi kasus yang menimpa anak-anak Lydia. 

Laporan Project Multatuli tak cuma menggerakkan publik mempertanyakan kinerja kepolisian setempat menangani kasus dugaan kekerasan seksual anak-anak Lydia, tapi juga merembet jadi gelombang testimoni ketidakpercayaan publik terhadap institusi kepolisian Indonesia, lewat tagar ‘##PercumaLaporPolisi’ di media sosial. 

Laporan kami juga memantik solidaritas media yang disebut-sebut tak pernah terjadi sebelumnya dalam ekosistem jurnalisme Indonesia, dengan ramai-ramai merepublikasi artikel ‘Tiga Anak Saya Diperkosa” tersebut, setelah Project Multatuli menerima serangan siber beberapa jam usai merilisnya.

Lydia, ketiga anaknya, dan Lili berada di Luwu Timur pada saat laporan Project Multatuli terbit. Sehari setelahnya, 7 Oktober, rombongan dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Dinas Sosial Luwu Timur, membuka pagar dan mengetuk pintu rumah Lili.

Dari dalam kamar, ketiga anak Lydia mendengar keributan antara tante mereka dan rombongan tamu. Lewat pesan WhatsApp, anak pertama Lydia mengabarkan ibunya, kalau-kalau rombongan itu akan membawa dia dan kedua adiknya. 

Di kantor, Lydia panik, membalas pesan ke anaknya, “Masuk kamar. Bawa semua adek, Nak. Kunci kamar.”

Ia segera pulang. 

Mengantisipasi kemungkinan ada kejadian berikutnya yang bakal mengganggu anak-anaknya, Lydia mengajukan izin ke atasan kantornya. Benar saja, keesokan harinya, serombongan polisi dipimpin Kapolres Luwu Timur yang baru, Silvester Simamora, mendatanginya, dipandu kepala desa setempat dengan mengendarai mobil. 

Lili seketika mangkel melihat rombongan polisi itu. Dari dalam rumah, Lydia mendengar kegaduhan. Ia menghalau para tamu. 

Lili melunak setelah didekati kepala desa, dan meminta Lydia membolehkan mereka masuk ke rumah. Para tetangga mulai keluar rumah demi menyaksikan keributan kecil itu.

“Terus terang ya, Pak, saya sudah trauma lihat polisi,” kata Lydia kepada Silvester, yang baru bertugas sebagai Kapolres Luwu Timur sejak Juli 2021. “Bapak datang dengan pakaian seragam seperti ini, saya tidak suka sekali. Apalagi anak-anak saya masih trauma.”

“Kalau mau, Pak, hubungi kuasa hukum saya,” ujar Lydia. “Kalau seperti ini, tanpa memberi tahu, saya kayak diserang…”

 

KUNJUNGAN Kapolres Luwu Timur AKBP Silvester Simamora itu dikatakan polisi sebagai ajang “silaturahmi.” Tapi, kata Lydia, ia diminta menyerahkan “bukti-bukti baru” supaya penyelidikan bisa kembali dibuka. Dalam dua hari berikutnya, tim dari Polres dan Pusat Pelayanan Terpadu Luwu Timur kembali mendatangi kediaman Lydia. 

Sementara Lydia, Lili, dan ketiga anaknya dalam keadaan kewalahan dan tertekan, para pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum Makassar segera pergi ke Luwu Timur, sekitar 12 jam perjalanan mengendarai mobil dari Makassar. Mereka tiba persis saat tim Bareskrim Polri juga mendatangi kediaman Lydia pada Minggu, 10 Oktober 2021.

“Kami bertemu dengan mereka pun secara kebetulan,” kata Rezky Pratiwi dari LBH Makassar. “Mereka mengenalkan diri dari Divisi Propam dan Bareskrim. Dan ditemani tim dari Polres Luwu Timur, tapi ibu Lydia menolak kepolisian dari Luwu Timur masuk ke dalam rumah.”

Tim Bareskrim meminta Lydia membuat catatan mengenai apa saja kekurangan dan dirasa kurang optimal dalam proses penyelidikan sebelumnya, kemudian menyampaikannya dengan tulisan tangan yang dibubuhkan tanda tangan. 

“Nah, kami tidak tahu apakah itu jadi laporan resmi atau apa? Ditindaklanjuti dalam bentuk apa? Saat itu kami belum tahu,” kata Pratiwi. 

Di Makassar, Koalisi Bantuan Hukum Advokasi Kekerasan Seksual terhadap Anak merilis pernyataan sikap demi merespons apa yang dihadapi keluarga Lydia selama beberapa hari terakhir.

Koalisi menekankan kedatangan Pusat Pelayanan Terpadu dan Polres Luwu Timur, sekali lagi, “tidak memiliki perspektif korban dalam menangani kasus anak.” Kedua institusi ini diduga kuat melakukan kesalahan prosedur dalam proses penyelidikan dua tahun lalu, terang Koalisi. 

Lydia mendatangi Pusat Pelayanan Terpadu untuk minta pendampingan, tapi lembaga ini justru mempertemukan terduga pelaku dengan anak-anaknya. Saat diperiksa Polres Luwu Timur, Lydia dan ketiga anaknya tanpa didampingi penasihat hukum, pekerja sosial maupun psikolog. Komnas Perempuan menyebut proses mereka merupakan pelanggaran SOP.

Adapun asesmen psikologis ketiga anak, yang menyebut tidak memperlihatkan tanda-tanda trauma, dianggap sahih dan jadi pegangan penyelidikan, tapi mengabaikan cerita ketiga anak yang mengaku mengalami kekerasan seksual dilakukan ayah mereka.

Menurut Koalisi, tidak ada tanda trauma bukan berarti tidak terjadi kekerasan seksual, terlebih terduga pelaku adalah orang terdekat korban. Umumnya dalam kasus seperti ini, terduga pelaku tidak memakai cara-cara kekerasan melainkan lewat bujuk rayu atau manipulasi.

Koalisi juga menyayangkan pernyataan polisi yang “akan membuka kembali penyelidikan kasus apabila ada bukti-bukti baru yang cukup”. Ini mengesankan upaya mencari keadilan justru dibebankan kepada Lydia.

“Seharusnya upaya mencari bukti baru hanya bisa dilakukan apabila polisi lebih dulu membuka lagi penyelidikan, bukan sebaliknya,” terang Koalisi. 

 

SEMENTARA Lydia dibebani menunjukkan bukti, di Jakarta, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono menyampaikan kepada wartawan bahwa Lydia membatalkan pemeriksaan ketiga anaknya ke dokter spesialis kandungan. 

Rencana pemeriksaan ini muncul atas saran dr. Imelda Hadi, dokter spesialis anak dari Rumah Sakit Inco Sorowako yang memeriksa anak-anak Lydia pada 31 Oktober 2019. 

Dua tahun lalu, Lydia membawa anak-anaknya yang merasakan sakit bagian sekitar vagina dan anus ke sebuah puskesmas.

Itu puskesmas yang sama yang melakukan visum et repertum (VeR) terhadap ketiga anaknya di hari Lydia melaporkan ke Polres Luwu Timur,  9 Oktober 2019. Hasil VeR itu kemudian menyebut “tidak ada kelainan dan tanda-tanda kekerasan” pada organ kelamin maupun dubur anak-anak.

Meski begitu, pada 30 Oktober, Lydia kembali ke Puskesmas itu. Dan, dari dokter yang berbeda, ia menerima surat rujukan yang diagnosisnya anak-anak mengalami “internal thrombosed hemorrhoid + child abuse”, serta “abdominal and pelvic pain”.

Istilah medis itu mengartikan kerusakan pada bagian anus yang diduga terjadi akibat kekerasan seksual, serta keluhan rasa nyeri di bagian rongga perut dan panggul yang bisa disebabkan oleh trauma fisik.

Surat rujukan itu meminta Lydia membawa anaknya ke rumah sakit daerah Luwu Timur. Tetapi, karena dihantui perasaan tidak percaya atas proses penyelidikan polisi yang sedang berjalan, ia memilih ke RS Inco Sorowako. Di sinilah ia bertemu dr. Imelda, merekam lewat ponselnya ketika anak-anaknya memperagakan apa yang terjadi setelah dokter bertanya apa penyebab luka-luka pada organ anus dan vagina.

Diagnosis dalam “Surat Kontrol Konsul”, ditandatangani dr. Imelda pada 31 Oktober 2019 dan berlaku sampai 28 Januari 2020, tertulis anak-anak Lydia mengalami “vaginitis” dan “konstipasi”, istilah medis untuk peradangan vagina dan sembelit.

Namun, pemeriksaan medis oleh dr. Imelda ini diabaikan kepolisian. Belakangan, polisi menyebutnya sebagai “pemeriksaan medis mandiri”.

Polres Luwu Timur tetap berpegang pada VeR di Puskesmas dan RS Bhayangkara, lalu mengeluarkan surat penghentian penyelidikan pada 10 Desember 2019. Saat kasus anak-anaknya ditangani LBH Makassar, Polda Sulawesi Selatan tetap mengabaikan hasil diagnosis dr. Imelda dalam “gelar perkara khusus” pada 6 Maret 2020, menguatkan hasil penyelidikan anak buahnya.

Setelah kasus ini viral di media sosial, tim supervisi Mabes Polri akhirnya menemui dr. Imelda pada 11 Oktober 2021.

Polisi mendapati keterangan bahwa dr. Imelda memberi resep antibiotik dan parasetamol nyeri untuk peradangan yang dialami anak-anak Lydia saat pemeriksaan 2019, kata Rusdi.

Proses pemeriksaan ke dr. Imelda ini bersama Lydia dan LBH Makassar. Menurut polisi, mereka “sepakat” mengikuti saran si dokter agar anak-anak direkomendasikan ke dokter spesialis kandungan. Rencananya diadakan pada 12 Oktober.

Namun, menurut Abdul Azis Dumpa dari LBH Makassar, apa yang disebut “kesepakatan” itu semacam ada keharusan bagi kliennya membawa anak-anaknya ke dokter kandungan. “Padahal, dasarnya apa? Seharusnya penyelidikan dibuka dulu, baru hal itu dilakukan jika dibutuhkan.” 

Rezky Pratiwi melihat kondisi Lydia sangat rentan setelah menghadapi desakan-desakan dari berbagai instansi dan penegak hukum, juga para wartawan yang mengejar-ngejarnya untuk bicara kendati sudah menyarankan mereka menghubungi LBH Makassar.

Tentu bagi seorang ibu, Lydia ingin mendapatkan keadilan untuk anak-anak secepatnya, setelah menunggu selama dua tahun. Sebelumnya ia merasa sendirian, mendadak menerima perhatian dari banyak pihak. Ia melihat kesempatan keadilan itu, tapi ia didorong-dorong harus memutuskan dalam situasi tergesa-gesa. 

“Lydia bilang ke kami saat itu, dari yang disampaikan kepolisian, ‘Proses [pemeriksaan yang baru] sudah 95 persen. Dan pemeriksaan anak ke dokter [spesialis] kandungan akan menggenapi jadi 100 persen,” kata Pratiwi.

“Saya bilang ke Ibu Lydia, ‘Eee…, tidak begitu ki.’”

“Kami menjelaskannya dengan baik. Ketika penyelidikan dibuka lagi, sangat mungkin [pemeriksaan medis ke anak-anak] dilakukan,” Pratiwi meneruskan. “Masalahnya, penyelidikan belum dibuka lagi!”

LBH Makassar dan Lydia akhirnya menolak rencana itu. Pada saat yang sama, kepolisian membuka penyelidikan baru melalui surat perintah Sprin.Lidik/664/X/Res.1.24/2021/Reskrim bertanggal 12 Oktober 2021. 

Tim LBH Makassar juga akhirnya mengevakuasi Lydia, ketiga anaknya, dan Lili. Meninggalkan situasi rentan di Luwu Timur. Pergi ke sebuah rumah aman.  

 

Melebarkan Rentang Peristiwa Dugaan Pencabulan

Di ruangan konferensi pers Bareskrim Polri Jakarta, Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan menyampaikan bahwa kepolisian akan mendalami peristiwa dugaan pencabulan pada rentang 25-31 Oktober 2019.

Alasannya, pemeriksaan medis pada 9 Oktober 2019 dan 24 Oktober 2019 menyatakan tidak menemukan kelainan pada korban. 

Problemnya, sedalam informasi dan sejumlah dokumen penyelidikan yang didapatkan LBH Makassar, tidak ada pemeriksaan medis oleh kepolisian pada 24 Oktober 2019. 

Anak-anak Lydia diperiksa secara medis untuk kepentingan visum et repertum hanya di sebuah Puskesmas di Luwu Timur pada 9 Oktober 2019, dan di RS Bhayangkara Makassar pada 6 November 2019. Hasil masing-masing visum itu terbit pada 15 Oktober dan 15 November 2019.

Penyebutan tanggal 24 Oktober 2019 adalah tanggal terbit surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan oleh Reskrim Luwu Timur. Surat ini memuat informasi bahwa penyidik telah memeriksa Lydia, terlapor, dan tiga anak korban; telah melakukan visum ketiga anak korban; serta rencana ketiga anak diperiksa medis dan psikologis ke Bidang Kedokteran Kesehatan (Biddokes) Polda Sulsel di Makassar.

Rezky Pratiwi sempat heran atas pernyataan Kombes Ahmad Ramadhan. Ia menduga polisi telah menginterpretasikan secara keliru sekuens peristiwa dugaan pencabulan tersebut.

“Kami sampai mengubek-ubek dokumen penyelidikan sebelumnya yang mungkin terlewat. Sama sekali tidak ada dokumen visum maupun pemeriksaan medis pada 24 Oktober 2019 itu,” katanya. 

Azis Dumpa berkata bila polisi mencari dugaan terjadinya kejahatan seksual pada rentang itu, “Apa yang mau didalami polisi? Sementara saksi dan korban tidak pernah mengatakan kejadian di rentang waktu itu.”

Dalam pertemuan berikutnya di Makassar dengan Tim Supervisi Bareskrim Polri, termasuk melibatkan penyidik dari Unit Pelayanan Perempuan dan Anak, LBH Makassar mengklarifikasi soal rentang terjadinya suatu tindak pidana (tempus delicti) dalam kasus ini. Mereka menyarankan polisi memperluas tempus delicti

“Toh, bekal dalam kasus ini adalah ungkapan anak-anak yang konsisten. Dan bagaimana penyidik bisa menggali keterangan para saksi,” kata Pratiwi. Kuncinya, kata dia, pertanyaan-pertanyaan terbuka oleh kepolisian bakal mengumpulkan beragam bukti.   

 

UPAYA menggali peristiwa dugaan pencabulan dengan meminta keterangan Lydia dan Lili digelar di Polda Sulawesi Selatan, yang diteken oleh AKBP Silvester Simamora. Tak ada wartawan yang tahu. 

Mula-mula, Lili yang dipanggil ke Polda pada akhir Oktober lalu. Didampingi tim LBH Makassar, Lili menjawab berbagai pertanyaan penyidik dari pukul 10.00 hingga 17.00 waktu setempat. 

Adapun Lydia diperiksa oleh penyidik di Polda Sulsel selama dua hari, awal November kemarin. Pemeriksaan pertama dari jam 9.00 hingga jam 1 dini hari. Hari kedua, dari sekitar pukul 15.00 sampai 23.00.  

Sejak melaporkan kasus ini, baru pertama kali inilah Lydia menghadapi banyak pertanyaan dan membuatnya kelelahan. “Tidak seperti penyelidikan sebelumnya [pada 2019] yang semuanya cepat. Terus langsung dihentikan,” ujarnya. 

Di proses itu, Lydia sempat menangis, marah, emosional saat menceritakan rumah tangganya sampai kemudian bercerai. “Saya mau melupakan apapun yang menyangkut mantan suami saya,” katanya, beberapa hari kemudian. “Saya mau fokus saja ke kasus anak-anak. Itu saja.” 

Rezky Pratiwi menerangkan proses penyelidikan terbaru ini tetap dalam tanggung jawab Polres Luwu Timur, tetapi pemeriksaannya berdasarkan supervisi Bareskrim Polri. Para penyidik yang bekerja adalah tim gabungan dari Polres Luwu Timur dan Polda Sulsel.

AKBP Silvester berkata belum bisa menyampaikan progres penyelidikan saat dikontak Project Multatuli pada Rabu, 10 November kemarin. 

“Prinsipnya, saya akan sampaikan sebatas tidak keluar dari SOP penyelidikan,” katanya. “Hanya saja saya mohon waktu karena harus koordinasi dengan Polda.”

Di lingkungan Polda Sulsel pekan ini, berganti pucuk pimpinan. Irjen Nana Sudjana, sebelumnya Kapolda Sulawesi Utara, baru saja menggantikan Irjen Merdisyam yang dimutasi sebagai Wakil Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri.

 

EPILOG

PADA  satu hari Kamis yang lembab, selagi menunggu pemanggilan dari polisi, Lydia, Lili, dan ketiga anaknya pergi ke sungai berarus tenang demi sejenak mengusir rasa jenuh. Duduk di tepi sungai, ia memperhatikan ketiga anaknya yang riang dan saling mencipratkan air dengan tangan dan kaki.

“Kalau sudah ketemu air,” ujarnya, “anak-anak nda mau mi berhenti.”

Anak bungsunya tidak menghiraukan ajakan seseorang mengeringkan badan, justru mendekati ibunya dengan mulut terbuka lebar, kemudian Lydia dengan cekatan menyuapinya. 

Mereka liburan ke sungai sampai petang hari. Pulangnya, mereka mampir makan di sebuah warung. Lili terlihat begitu dekat dengan anak sulung Lydia. 

Lydia dan Lili telah menutupi rapat-rapat apa yang dihadapi mereka bersama anak-anak ke keluarga besar selama dua tahun terakhir. 

Lydia adalah tipe adik yang jarang menceritakan masalahnya, ujar Lili. Tapi, pada satu hari saat Lili berada di luar kota, dua tahun lalu, Lili menerima telepon dari Lydia dan mendengarkan nada suara adiknya yang tegang. Ia memintanya bercerita, tapi Lydia minta bertemu. 

“Saya masih berpikir positif, awalnya saya nda percaya,” kata Lili, yang kemudian mendatangi rumah Lydia. “Saya kaget sekali. Kaget sekali.”

“Bagaimana saya tidak kaget? Wuih, kodong. Anak-anakku e… Saya menangis.”

Emosi Lili tak keruan bila mengingatnya, rapuh dan menangis ketika melihat ketiga keponakannya. 

“Anak-anak ini panggil saya Mamak,” katanya. 

Sebelum Lydia memutuskan pindah ke rumah Lili, ia bolak-balik perjalanan demi sekolah anak-anak. “Beberapa hari di rumah saya, beberapa hari kembali ke rumahnya,” ujar Lili.

Lili semakin dekat bersama ketiga keponakannya selagi Lydia pergi bekerja. “Di rumah, kalau saya berbaring, tiba-tiba anak-anak ini bilang ke saya, ‘Mamak, kenapa ayahku kasi begituka?’ Itu saya nda bisa mi jawab. Mauka bilang apa?”

“Kalau misalnya saya nonton tivi, anak-anak komentari soal bapaknya. Hatiku sesak sekali,” kata Lili.

 

SAAT ini yang menjadi perhatian serius LBH Makassar adalah mekanisme pemeriksaan ketiga anak Lydia. 

Selama ini anak-anak telah didampingi oleh psikolog dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Makassar. LBH Makassar berharap pendampingan ini berlanjut sampai ke asesmen pemeriksaan di kepolisian.   

Namun, ada perbedaan pendapat.

Seorang sumber dari P2TP2A Provinsi Sulawesi Selatan, yang enggan namanya ditulis tetapi bersedia diwawancarai, merekomendasikan asesmen psikologi ketiga anak lewat kerja sama dengan Himpunan Psikolog Indonesia (HIMPSI). 

“Jadi nanti ketika anak-anak siap diasesmen, pengurus HIMPSI yang menugaskan anggotanya sesuai keahlian,” ujarnya. Ia berkata Kementerian PPA memerintahkan instasinya untuk terlibat dalam pendampingan psikologi ini.

Ia juga berkata kasus ini harus berjalan cepat demi anak-anak kembali ke kehidupan normal. Proses yang berjalan lambat, ujarnya, akan menjadi beban bagi anak dan ibu. 

Rezky Pratiwi menilai pendapat itu tidak tepat dan bisa menjadikan substansi kasus akan bias. “Saya bicara dengan kepolisian. Mereka mencari psikolog dari HIMPSI. Saya bilang, ada P2TP2A Makassar. Dijawab lagi, ‘Kan akan lebih bagus yang netral dan independen,’” kata Pratiwi. 

Ada kesan proses pendampingan psikologi oleh P2TP2A Makassar diinvalidasi, kata Pratiwi. “Hanya karena dia mengetahui kasus ini sejak awal, lalu dibilang tidak netral. Apa coba?”

Ini belum lagi jika kepolisian tetap membutuhkan bukti fisik, sehingga mengharuskan ketiga anak diperiksa ke dokter spesialis kandungan. 

Azis Dumpa dari LBH Makassar meminta kepolisian lebih dulu memaksimalkan metode wawancara mendalam dengan ketiga anak, didampingi oleh psikolog–apakah nanti memakai psikolog dari P2TP2A Makassar atau HIMPSI.

“Memeriksa anak-anak ke dokter kandungan adalah opsi paling terakhir,” kata Azis Dumpa.

LBH Makassar khawatir pemeriksaan medis demi bukti fisik itu akan “membuat anak-anak mengalami trauma,” ujar Pratiwi. Apapun, katanya, setiap tindakan medis ke anak-anak ini harus lewat asesmen psikolog.

Lydia berharap polisi yang menyelidiki sekarang bisa “menempatkan kemanusiaannya dengan baik.”  

“Saya khawatir sekali bagaimana perkembangan anak-anak ke depan. Baik-baik ji kah ini anak-anak nanti?” ujar Lili.* 

 


Tulisan ini adalah bagian dari serial reportase #PercumaLaporPolisi yang didukung oleh Yayasan Kurawal.

CATATAN: Artikel Project Multatuli berjudul “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan”, terbit 6 Oktober 2021, dalam penilaian Dewan Pers pada 29 Oktober 2021 “adalah termasuk karya jurnalistik.” Maka, bila kepolisian menerima pengaduan dugaan perselisihan/sengketa terkait produk pers, pengaduan tersebut pertama-tama harus melalui mekanisme Dewan Pers.

Surat yang ditandatangani oleh Ketua Dewan Pers, Mohammad NUH, ini ditujukan kepada Kapolres Luwu Timur, ditembuskan ke Kapolri, Kabareskrim Polri, Kapolda Sulsel, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, serta Pemimpin Redaksi Project Multatuli. 

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Fahri Salam
14 menit