Para pekerja yang terhubung pada rantai pasok industri perikanan di Benoa, yang nilai ekspornya ratusan miliar per tahun, menghadapi kondisi kerja buruk, termasuk upah belum layak dan jam kerja berlebihan.
SELUSIN PEKERJA bongkar muat berdiri di tepi Pantai Kedonganan. Mereka menerawang jauh ke tengah laut menanti perahu kayu itu bersandar. Di atas perahu kayu yang hanya dimuat satu orang, ada puluhan ikan tuna sirip kuning (yellowfin).
Menurut salah seorang pekerja, sudah jarang ikan tuna mendarat ke Kedonganan. “Hari ini cuma satu perahu yang datang,” ujar Amri, pekerja asal Jawa Timur.
Para pekerja seperti Amri adalah pekerja borongan. Mereka bongkar muat berbagai macam hasil laut, dari ikan layang, cakalang, udang, hingga cumi. Upah mereka tergantung banyak muatan dan tak menentu, antara Rp50 ribu-Rp200 ribu per hari.
Amri dan pekerja lain bergiliran mengangkut ikan tuna menuju penimbangan Pangkalan Pendaratan Ikan Kedonganan. Di sana petugas sudah siap mencatat berat ikan. Rata-rata berat tuna 50 kg-70 kg.
Ada dua lusin lebih tuna sirip kuning datang hari itu. Sebagian besar akan disuplai untuk beberapa Unit Pengolahan Ikan di Pelabuhan Benoa. Sisanya dijual di Pasar Ikan Kedonganan.
Pada 2020, nilai produksi tuna di Bali tertinggi se-Indonesia. Nilainya Rp281,43 miliar dengan volume produksi 6.144 ton. Jumlahnya jauh lebih tinggi ketimbang DKI Jakarta di urutan kedua, hanya Rp70,48 miliar untuk volume produksi 2.185 ton.
Pelabuhan Benoa merupakan penghasil produk perikanan tangkap terbesar kedua di Indonesia setelah Pelabuhan Perikanan Samudera Muara Baru di Jakarta. Mulai dari pendaratan ikan, pengolahan berskala industri, tempat penyimpanan, hingga pengekspor perikanan.
Selama Januari-Juni 2023, produksi ikan tangkap di Benoa mencapai 9.790 ton dengan nilai Rp208,9 miliar. Angka ini lebih kecil ketimbang periode Januari-Juni 2022, dengan volume produksinya 15.063 ton senilai Rp366,4 miliar.
Tuna sirip kuning menjadi penyumpang nilai tertinggi, yakni Rp59,8 miliar. Kedua, cumi-cumi, Rp45,3 miliar.
Sebanyak 70% dari hasil produksi ikan tangkap di Benoa untuk memenuhi permintaan pasar internasional.
Yang Tak Kasat Mata di Pabrik Tuna
Tumben sekali Rahayu bisa melihat matahari tenggelam di langit Denpasar hari itu. Biasanya, pada waktu yang sama, ia masih lembur dan mencermati potongan-potongan ikan pelagis di sekitarnya.
“Baru tiga hari ini aku pulang sore. Sebulan bisa lembur terus,” ujar Rahayu, bukan nama sebenarnya, pada November 2023.
Rahayu adalah perantau Nusa Tenggara Timur. Usianya pertengahan 20-an. Bermodal ijazah sekolah menengah kejuruan, ia pergi ke Bali demi mendapatkan pekerjaan dan upah layak.
“Ada banyak hotel dan vila di NTT, tapi susah juga diterima. Aku bisa saja kerja di toko biasa tapi gajinya Rp500 ribu/bulan. Enggak bisa buat apa-apa,” ujarnya.
Setiba di Bali, Rahayu bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Bukan pekerjaan yang diidam-idamkan tapi ia tak meratapinya. Pikirnya, jalani saja dulu menjadi PRT sembari menjajal kemungkinan lain.
Sampai suatu hari kawan serantau memberi tahu lowongan di PT Hatindo Makmur. Rahayu melamar dan diterima.
PT Hatindo Makmur merupakan salah satu unit pengolahan ikan di Pelabuhan Benoa. Beroperasi sejak 1999, perusahaan ini mengolah dan mengekspor makanan laut terbesar di Bali. Pemiliknya seorang warga negara Taiwan bernama Ko Shun Jung.
Komoditas utama pabrik itu adalah ikan tuna. Yellowfin, bluefin, big eye, skipjack, albacore, swordfish, mahi-mahi, marlin, oilfish, king fish, dan moonfish. Pabrik itu juga mengemas cumi-cumi dan gurita. Mengolahnya jadi beragam produk seperti loin, fillet, steak, dan beku.
PT Hatindo Makmur sudah mengantongi sertifikat keamanan pangan dari Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) dan British Retail Consortium (BRC), sebagai syarat dagang di pasar internasional. Para pembelinya dari Amerika Serikat, Tiongkok, Taiwan, dan Filipina.
Pada 2019, PT Hatindo Makmur mengekspor komoditas perikanan sebesar 1.007 ton. Tahun-tahun setelahnya berkisar antara 230-746 ton.
Tapi, Rahayu belum merasakan kesejahteraan di sana.
Perusahaan hanya membayar Rahayu dengan gaji pokok Rp800 ribu/bulan, ditambah tunjangan transportasi Rp25 ribu/hari dan biaya makan Rp10 ribu/hari. Dalam sebulan, upah yang diterima Rahayu Rp1.850.000, masih di bawah upah minimum Bali (UMP) tahun 2023 sebesar Rp2.713.672. (Pada 2024, UMP Bali naik Rp100 ribu).
Gaji yang pas-pasan memaksa Rahayu putar otak mengatur finansial. Sebisa mungkin ia membaginya untuk indekos, kebutuhan pribadi, dikirim untuk keluarga di kampung, dan menabung jika beruntung.
Tak jarang Rahayu harus bekerja lebih panjang dari biasanya. Dalam kondisi normal, perusahaan mewajibkan pekerja bekerja 6 hari seminggu dengan hari libur Jumat. Jam kerja 08.00-17.00 dengan waktu istirahat 40 menit.
Perusahaan juga kerap menyuruh pekerja lembur. Biasanya saat pasokan ikan melimpah. Para pekerja disuruh lembur sampai jam 21.00 atau 24.00. Bahkan bisa bekerja seminggu penuh karena hari Jumat tetap masuk dan dihitung lembur seharian.
Rahayu mengeluhkan upah lembur yang sedikit. Perusahaan membayar Rp5.700/jam.
“Semua mengeluh. Kalau dibayar Rp8ribu-10ribu masih mending. Lembur empat jam, hanya dapat Rp20 ribu saja,” kata Rahayu.
Jika dihitung, Rahayu dan para pekerja Hatindo lain bisa lembur 4-8 jam sehari. Ini bahkan melebihi aturan UU Cipta Kerja yang menetapkan waktu lembur maksimal 4 jam sehari atau 18 jam seminggu.
“Waktu bekerja di rumah tangga masih bisa ada waktu untuk keluarga karena kerja pagi pulang sore,” kata Rahayu. “Tapi ternyata kerja di sini lebih bikin kesal karena berangkat pagi pulang malam, jadi enggak punya waktu untuk keluarga.”
Sering lembur membuat pertahanan tubuh Rahayu remuk. Terakhir ia menderita diare dan panas dingin. Begitu ke dokter, ia dinyatakan kecapekan dan harus istirahat.
“Kalau izin sering-sering pasti dipanggil kantor. Tapi gimana ya? Di sana enggak ada libur. Orang capek. Jadi kadang libur sendiri saja.”
Saking jarang libur, Rahayu sampai pernah bekerja dalam kondisi haid. Ia bekerja sembari menahan rasa nyeri. Pada akhirnya tak tertahankan juga dan ia memutuskan kembali ke indekos.
Kini Rahayu berada dalam dilema. Ia menyadari pekerjaannya berat dengan gaji seadanya tapi lembur sepuas-puasnya, tapi tak punya keberanian untuk meninggalkannya.
Ia merasa tak yakin bisa mudah mendapatkan pekerjaan. Ia khawatir harus beradaptasi dengan orang baru di tempat baru. Ia lebih memilih bertahan dan berharap Hatindo memperbaiki kesejahteraan para pekerja.
“Semoga saja gaji kami naik. Uang lemburnya naik. Terus liburnya, kalau hari Jumat libur, kasih kita libur. Mau sebanyak apapun ikannya,” ujarnya.
Langit Denpasar mulai menghitam pekat. Bintang-bintang benderang. Rahayu harus segera istirahat sebab mendapat kabar dari grup WhatsApp kantornya, besok ia lembur lagi.
“Duh, badan lemas. Paginya kita sudah kepikiran, pasti lembur lagi sampai malam,” ujarnya. “Semangat! Biar bisa kredit pesawat! Ha ha ha.”
Project Multatuli berusaha mewawancarai Komisaris PT Hatindo Makmur, Komang Sri Maharani di kantornya, tapi yang bersangkutan tidak di tempat. Kami mengirim pesan konfirmasi tapi belum direspons sampai artikel ini dirilis.
Terombang-ambing di Atas Kapal Tuna
Cuaca di Pelabuhan Benoa begitu menyengat siang itu. Suhu udara 31 derajat Celsius. Beruntung masih ada angin berembus. Alam, awak kapal perikanan berusia akhir 20-an, memilih ngadem di geladak KM Bandar Nelayan. Di depan Alam, selusin awak kapal menyiapkan alat tangkap rawai tuna atau longline.
KM Bandar Nelayan adalah kapal tangkap milik PT Bandar Nelayan, salah satu perusahaan makanan laut terbesar di Bali. Berdiri sejak 1995, perusahaan ini dimiliki mantan nahkoda bernama Kasdi Taman. Kasdi juga menjabat Ketua Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) yang berkantor sama dengan alamat Bandar Nelayan di Pelabuhan Benoa.
Bisnis Bandar Nelayan menjamah hulu ke hilir industri perikanan. Punya sejumlah kapal penangkap ikan tuna dan cumi, pabrik pengolahan, rumah makan, dan komoditas ekspor ke beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Vietnam.
Selama 2019-2023, angka ekspor PT Bandar Nelayan di atas ribuan ton per tahun. Capaian ekspor tertinggi pada 2021 sebesar 1.897 ton, paling sedikit 1.251 ton pada 2023.
Sebentar lagi Alam dan para awak KM Bandar Nelayan akan lepas tali dan berlayar ke Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 573 di perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa hingga ke Laut Lepas. Target mereka adalah tuna yellowfin, albakora, atau marlin.
Di KM Bandar Nelayan, Alam sudah bekerja selama lima kali trip penangkapan ikan tuna. Satu trip untuk kapal penangkap tuna memerlukan waktu berlayar 7-10 bulan.
“Sebenarnya saya sudah malas ikut kapal kayak gini,” keluh Alam, bukan nama sebenarnya, pada November 2023. “Kalau hujan sengsara, enggak bisa istirahat. Kapal lari terus enggak bisa berhenti.”
Di atas kapal, Alam bekerja bisa sampai 20 jam sehari. Nonstop dari jam 16.00 hingga 12.00 esoknya. Saat kondisi laut memburuk, kerjaannya bertambah dua kali lipat. Siang bekerja di buritan, malam pindah ke haluan kapal.
Jam kerja itu melebihi standar jam kerja dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 33 Tahun 2021, yakni tidak boleh lebih dari 14 jam dalam sehari atau 91 jam dalam sepekan.
“Jam kerja di kapal tergantung kapten,” ujar Alam. “Kita tidur cuma empat jam.” Di atas kapal, kapten menempati puncak hierarki.
Kesehatan Alam seringkali ambrol. Kadang pria asal Jawa itu meriang, diare, pusing, dan mual. Apalagi cuaca dingin berangin dan badan selalu siap basah. Sementara yang tersedia di kapal cuma obat-obatan. Ia lebih sering membiarkan dirinya sembuh sendiri. Dan berkat semacam belas kasihan kapten, ia masih diizinkan libur saat sakit.
“Asal jangan dimanja,” katanya. “Kuncinya makan. Satu dua sendok perut harus terisi. Kalau muntah ya makan lagi. Lama-lama juga terbiasa. Mandi dan keramas. Dibawa tidur juga sembuh.”
Apabila ada awak kapal menderita sakit parah selagi berlayar, kapten akan mengizinkannya pulang. Kapal tidak putar kemudi ke pelabuhan, melainkan menitipkan yang sakit ke kapal pengumpul ikan (collecting ship), yang datang setiap lima bulan untuk mengambil hasil tangkapan.
Tapi, Alam memutuskan tetap bertahan, sebab akan merugi jika pulang.
“Kalau awak kapal sakit dan minta pulang ya enggak digaji. Gaji hangus. Tapi kalau finish kontrak, premi dan gaji keluar semua,” ujarnya.
Hal lain yang membuat awak kapal rentan sakit, kata Alam, pasokan bahan pangan yang pas-pasan.
Setiap lepas tali, kapal menyiapkan perbekalan, termasuk bahan makanan untuk puluhan awak kapal selama berbulan-bulan, seperti daging ayam, telur, daging merah, mi instan, dan sayur-mayur. (Satu kapal tangkap berkisar 10-30 orang, tergantung gross tonnage.)
Akan tetapi, stok pangan hanya cukup untuk 2-3 bulan. Bulan-bulan berikutnya mereka jalani dengan memakan mi instan dan ikan hasil tangkapan.
“Kalau ada tempe dan tahu sih enak. Makan ikan terus sampai pulang, bosan. Kadang saya makan lauknya telur ikan. Rasanya kayak sosis. Apalagi dicampur mi goreng. Enak,” kata Alam.
Alam masih menimbang-nimbang untuk keluar dari PT Bandar Nelayan. Ia memang keletihan dengan cara kerja di atas kapal, tapi ia juga memikirkan keluarga kecilnya.
Meski begitu, ia jengkel atas sistem pengupahan tidak transparan. Selintas ia terpikir kembali ke kampung dan mencari kerja di daratan. Atau bekerja di perusahaan kapal yang berbeda, entah perusahaan dalam negeri atau luar negeri.
“Kapal longline di luar negeri gajinya lebih gede. Di Korea, katanya, sebulan Rp30 juta sampai Rp35 juta sudah sama premi. Uang dan kerjanya sesuai. Enggak kayak kapal negara sendiri. Awak kapal dibayar murah.”
Merujuk Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan 33/2021, sistem pengupahan awak kapal terdiri dua komponen, gaji bulanan dan bagi hasil.
Gaji bulanan meliputi gaji pokok minimal setara UMP atau UMK, tunjangan berlayar minimal 3% gaji pokok, bonus produksi minimal 10% total nilai produksi, dan uang lembur minimal 25% tunjangan berlayar per hari.
Sementara bagi hasil ditentukan lewat kesepakatan antara pemilik kapal perikanan dan awak kapal. Namun, jika pemilik kapal tidak mendapatkan pendapatan bersih, ia harus membayar awak kapal setengah dari nominal UMP atau UMK.
Realitasnya, Alam hanya dibayar Rp60 ribu/hari dan premi Rp100 ribu per 1 ton hasil tangkapan. Jika mujur, ia bisa membawa pulang Rp32 juta-Rp45 juta/tahun, yang akan dibayarkan saat masa kontrak kerja berakhir atau saat kapal kembali ke pelabuhan.
Itu masih perhitungan kotor, sebab dipotong biaya rokok selama berlayar dan uang lepas tali alias biaya yang dibayarkan pemilik kapal kepada awak kapal sebelum berlayar, biasanya dipakai awak kapal untuk dikirim ke keluarga di kampung; sebagian untuk keperluan hidup selama menanti jadwal pelayaran di pelabuhan.
“Perhitungan di Bandar Nelayan kurang jelas. Seumpama saya bon Rp5 juta, kadang pas pulang jadi Rp6-7 juta,” ujar Alam.
Penghitungan upah tidak transparan di Bandar Nelayan juga dialami Ponco, bukan nama sebenarnya. Upah yang dijanjikan di awal, tidak sama dengan yang didapatkannya di akhir. Lantaran merasa dirugikan, Ponco memutuskan pindah ke perusahaan kapal lain.
“Tidak ada aturan saat pemberian gaji, sama seperti saya kerja bangunan. Kerja di perusahaan tapi tidak jelas aturan keuangannya,” keluh Ponco.
Bersama KM Bandar Nelayan, Ponco berlayar selama 7 bulan ke perairan Laut Arafuru (WPP 718). Awalnya ia dijanjikan mendapatkan Rp60 ribu/hari dan premi hasil tangkapan Rp13.500/kg, yang akan dibayar setelah kapal kembali ke daratan.
Ponco sudah berhitung bisa membawa pulang setidaknya Rp12,6 juta, berdasarkan hitungan upah harian. Belum termasuk premi. Namun, upahnya jauh dari ekspektasi.
“Saya lupa, karena tidak ada slip gaji. Tapi kalau tidak salah Rp4,2 juta,” ujarnya.
“Banyak potongan yang tidak masuk akal, misalnya potongan pembuatan buku laut. Dan ada potongan yang tidak ada rinciannya untuk apa.”
Ponco berkata kapok bekerja di kapal Bandar Nelayan. Sekarang ia bekerja di kapal milik perusahaan Tiongkok. Rute berlayarnya di luar laut Indonesia. Ponco mengaku lebih sejahtera ketimbang di kapal lokal.
“Tidak sepenuhnya yang saya salahkan perusahaan,” katanya, “Kalau pemerintahnya tegas, perusahaan tidak akan semena-mena.”
Project Multatuli berupaya mewawancarai Direktur PT Bandar Nelayan, Richi Richado, melalui sambungan telepon dan mendatangi kantornya di Pelabuhan Benoa. Namun, yang bersangkutan tidak merespons.
Kabar dari Kapal Cumi
Obi dan Santo, bukan nama sebenarnya, terpaksa tidak menuntaskan kontrak 10 bulan berlayar di kapal KM Sanjaya milik PT Sentral Benoa. Mereka sakit parah di tengah laut pada bulan keempat.
“Perut saya radang setengah mati sekali. Buat berdiri lurus tidak bisa. Pas periksa ke dokter, ada asam lambung dan usus buntu,” keluh Obi, yang berusia 30-an.
“Saya periksa ke klinik, kata dokter, infeksi saluran kencing. Jadi perutnya sakit sampai sekarang. Kalau angkat berat, enggak kuat,” ujar Santo, usianya sepantaran Obi.
Semula Santo dan Obi memancing cumi, sotong, dan makerel di perairan Laut Maluku (WPP 715). Bulan pertama dan kedua keadaan berjalan normal, meski belum banyak hasil pancingannya. Jam kerja masih normal-normal saja.
Biasanya mereka bekerja jam 17.00 hingga 06.00 esok harinya. Selama itu mereka mancing sembari berdiri. Setelahnya, mereka istirahat hingga jam 15.00.
“Kerjanya tidak terlalu berat. Capek berdirinya saja. Kadang saya duduk sebentar. Tapi, kalau dilihat tekong, enggak enak juga,” ujar Santo.
“Istirahatnya juga lumayan. Tidak seperti di kapal tuna,” ujar Obi.
Keluhan utama mereka soal ketersediaan makanan. Perbekalan KM Sanjaya pas-pasan. Ketika lepas tali, kapal memang membawa aneka bahan pangan: ayam potong, sayur-mayur, daging merah, dan telur. Namun, stoknya sedikit.
“Enggak sampai dua bulan sudah habis,” ujar Santo. “Karena di kapal, orang banyak, nafsu makan lebih besar daripada di darat.”
Sisa bulan masa berlayar, mereka makan menu alakadarnya.
“Tidak ada lauknya. Tidak ada sayurnya. Kami makan ikan yang sudah lama, kiriman dari perusahaan. Hanya direbus. Tidak digoreng karena minyak terbatas,” kata Obi.
Mereka minum air yang disimpan dalam palka, Terkadang air masih berasa fiberglass–bahan serat kaca dicampur resin yang biasa dipakai untuk pembuatan kapal pengganti kayu.
“Walaupun dicuci bersih, dimasak, cuman bekas fiber masih ada. Dokter bilang saluran kencing saya infeksi, mungkin karena berdiri terus dan minum air dari palka,” ujar Santo.
“Masih enak air mentah daripada air di kapal itu. Kadang di palka kecampur air laut, agak asin,” tambah Obi.
Memasuki bulan keempat, Santo dan Obi sakit-sakitan. Awalnya mengalami meriang, pusing, lama-lama perutnya sakit. Santo sampai berak darah. Obi sampai tak kuat berdiri.
Seperti di kapal tuna, kapal cumi cuma menyediakan obat-obatan warung. Selebihnya, bila ada yang sakit serius, diizinkan kapten untuk rehat.
“Buat jalan saja susah. Benar-benar sakit,” ujar Santo.
“Rasanya sudah setengah mati sekali,” kenang Obi.
Keduanya akhirnya meminta izin kapten untuk dipulangkan. Namun, tak semudah itu.
Kapal masih di laut. Target tangkapan belum tercukupkan. Mustahil putar kemudi. Satu-satunya cara, mereka harus menunggu kapal pengumpul tiba. Mereka sepakat bersabar selama dua minggu. Sampai akhirnya kembali ke Pelabuhan Benoa.
Di darat, upah berlayar mereka ditahan-tahan. Pihak perusahaan meminta Obi dan Santo menunggu selama seminggu. Alasannya, masih proses berhitung. Perusahaan juga menahan KTP dan buku pelaut.
Obi dan Santo luntang-lantung di darat tanpa uang, penanganan medis, dan tempat tinggal. Mereka tidak punya saudara di Bali.
“Untung kami ada teman, numpang di kosnya. Kalau enggak ada mereka, paling kami tinggal di kapal sambil menahan sakit,” ujar Santo.
Perusahaan bahkan tidak menanyakan alasan mereka pulang sebelum menyelesaikan kontrak. Mereka sendiri yang memberi tahu perusahaan kondisi mereka. Tapi, perusahaan berupaya lepas tangan. Perusahaan masih minta Obi bekerja bongkar muat di kapal pengumpul.
“Dari perusahaan, kami disuruh tulis surat pernyataan apabila terjadi kecelakaan atau meninggal, perusahaan tidak bertanggung jawab. Suratnya itu dipegang kantor,” ujar Obi.
Selama seminggu itu mereka menahan rasa sakit sembari bolak-balik menagih upah dan dokumen pribadi. Mereka menyerah juga. Lalu minta pertolongan ke Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia. Pengurus DFW yang membawa mereka berobat ke klinik dan mendamping masalah pengupahan.
“Saya enggak punya BPJS. Saya berobat dibayarin pihak DFW Indonesia. Kalau menunggu kantor, nanti-nanti saja. Lama,” ujar Santo.
Setelah pemeriksaan dokter, hanya Obi yang kondisinya kritis dan membutuhkan tindakan operasi. Namun, untuk melakukan itu, harus ada persetujuan pihak keluarga, sementara Obi tak punya saudara di Bali. Pelik.
Proses pencairan upah mereka juga awalnya mandek. Santo dan Obi jengkel karena penghitungan upah tidak transparan.
Upah mereka dihitung harian Rp35 ribu dan premi hasil tangkapan Rp8 ribu/kg. Untuk masa kerja empat bulan, Santo mengantongi Rp7,2 juta (upah harian + premi). Namun, itu mesti dipotong biaya bon di awal sebesar Rp5 juta.
“Sebelum lepas tali, saya di darat menunggu hampir dua bulan. Saya kasbon untuk kasih keluarga di rumah Rp3 juta. Sisanya untuk saya hidup di darat,” ujarnya.
Sementara Obi hanya membawa pulang Rp2,670,000. Ia menilai ada perhitungan hasil pancing yang keliru. Ia menilai sudah memancing 300 kg, tapi yang tertulis 200 kg.
“Saya bingung kapten cuma kasih 200 kg. Saya dianggap pulang tanpa alasan, jadi upah harian dihitung Rp10 ribu sehari. Saya pulang karena sakit. Kok dibilang enggak ada alasan?” ujar Obi.
Obi bertambah senewen saat perusahaan menunjukkan catatan utangnya Rp13 juta. Obi memang berutang sebelum berlayar, tapi hitungannya Rp4,6 juta. Uang itu dipakai untuk membiayai hidupnya di Bali saat menunggu jadwal kapal berlayar.
Setelah negosiasi didampingi DFW, perusahaan membebaskan Obi dan Santo dari bon. Perusahaan juga membiayai transportasi mereka kembali ke daerah asal.
“Saya kira saya tidak akan melaut lagi. Kerja di darat saja. Melaut lumayan tersiksa,” kata Obi.
“Saat ini saya di darat saja dulu. Belum kepikiran ke laut lagi. Saya masih takut dan ada sedikit trauma,” ujar Santo.
Project Multatuli mengonfirmasi ke Direktur PT Sentral Benoa Utama, Rudy Herianto, di kantornya. Namun, seorang resepsionis mengatakan yang bersangkutan tidak di tempat. Beberapa saat kemudian, kami menghubungi telepon kantor dan resepsionis mengatakan hal yang sama: Pak Rudy tidak di tempat dan jarang ke kantor.
Project Multatuli mengonfirmasi keluhan-keluhan awak kapal soal pengupahan di masing-masing perusahaan kepada I Nyoman Sudarta, Sekretaris Jenderal Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI). Ia membantah dan mengklaim bahwa para AKP sudah sejahtera dengan mendapatkan “upah besar”. Namun, katanya, “upah besar” itu bukan dari gaji bulanan, melainkan dari premi bagi hasil tangkapan.
ATLI merupakan induk organisasi perusahaan pemilik kapal dan pengolahan di Pelabuhan Benoa. Ada 144 anggota ATLI, terdiri dari 22 perusahaan dan 86 perorangan di sektor penangkapan, 8 perusahaan pengolahan, 8 perusahaan keagenan, 2 perusahaan dock kapal ikan, dan 18 perorangan non-usaha.
Permen KKP 33/2021 mengatur sistem pengupahan harus terdiri atas gaji bulanan dan bagi hasil.
Namun, Sudarta berkilah model pengupahan itu adalah dua komponen yang bisa dipilih salah satunya dan dapat disesuaikan berdasarkan kesepakatan antara pekerja dan perusahaan. Hasil kesepakatan, katanya, akan dicatat dalam dokumen perjanjian kerja laut.
“(Gaji bulanan dan bagi hasil) Itu pilihan,” ujarnya. “Kami menganutnya form perjanjian kerja laut”
“Yang penting si pekerja mendapatkan penghasilan tidak lebih kecil dari UMR atau UMP tiap bulan. Gaji di sini sudah UMR, Rp3 jutaan,” katanya.
“Karena kalau bicara upah,” tambahnya, “kalau awak kapal dapat premi dan gaji, perusahaan bisa bangkrut.”
Perjanjian Kerja Laut
Sekalipun diikat kontrak bernama perjanjian kerja laut (PKL), realitasnya masih ada awak kapal yang belum memiliki PKL dan bagi yang memiliki PKL pun acapkali tidak memahami isinya.
Obi adalah awak kapal yang tidak dibekali PKL. Santo menandatangani dokumen PKL sebelum berlayar, tapi tidak sempat membaca untuk memahami isinya, sebab dokumen sudah keburu diambil perusahaan.
“Setelah saya tandatangan, nanti diambil lagi sama perusahaan,” ujar Santo.
Ponco tidak pernah menandatangani PKL. Kontrak kerjanya hanya lisan dengan kapten kapal. “Jadi tidak ada yang menguatkan apabila ingin dilaporkan.”
Padahal kontrak kerja merupakan syarat wajib demi menjamin kesejahteraan dan keselamatan kerja para awak kapal.
Dalam Permen KKP 33/2021, isi perjanjian kerja laut mencakup sistem upah, jam kerja, identitas AKP, identitas pemilik kapal dan kapalnya, serta jenis dan jangka waktu kontrak.
Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia pernah melakukan survei kondisi pekerja di lingkungan Pelabuhan Benoa. Menjaring 173 pekerja perikanan (115 awak kapal, 34 karyawan usaha pengolahan, 7 kapten kapal, 9 kepala kamar mesin, dan 8 teknisi kapal/pabrik), survei tahun 2023 mendapati 46% awak kapal sudah memiliki PKL dan 30% tidak memiliki dan bahkan tidak memahami PKL.
Kebanyakan awak kapal tidak memahami PKL lantaran tidak punya banyak waktu untuk membaca dan menelaah.
“Awak kapal mengonfirmasi bahwa proses penandatanganan Perjanjian Kerja Laut sangat cepat,” tulis DFW dalam Kondisi Pekerja Perikanan dan Rantai Pasok Industri Perikanan di Pelabuhan Benoa, Provinsi Bali.
Selain itu, penandatanganan perjanjian kerja laut sebatas persyaratan agar kapal bisa segera berlayar. Ini dibenarkan petugas kesyahbandaraan Benoa, Roisul Maarif. Ia hanya membacakan isi PKL di hadapan awak kapal dan perusahaan.
“Minimal perwakilan awak kapal ada di kantor kami. Nanti Syahbandar akan bacakan isinya. Kalau sudah oke, mereka tandatangan, artinya mereka setuju dengan isi dalam PKL tersebut,” ujar Roisul kepada Project Multatuli.
Dokumen perjanjian itu rangkap dua untuk disimpan perusahaan dan awak kapal. Roisul berkata seharusnya awak kapal memiliki juga salinan perjanjian tersebut.
“Kami mengimbau dan mewajibkan setiap perusahaan memberikan salinan perjanjian ke mereka. Itu wajib. Harusnya diberikan pihak perusahaannya,” ujar Roisul.
I Nyoman Sudarta dari Asosiasi Tuna Longline Indonesia mengklaim perusahaan bukan sengaja tidak memberikan salinan perjanjian, tapi “menyimpan dokumen itu agar tidak dibuang” awak kapal.
“Mungkin dianggap tidak penting oleh awak kapal. Akhirnya otomatis jadi tidak dibagikan. Tetapi perjanjian itu tidak akan hilang di perusahaan, tetap ada. Minta saja ke perusahaan,” ujar Sudarta.
Problem Calo
Selain itu, jaringan calo awak kapal adalah lapisan rumit lain yang menebalkan sisi gelap pekerja perikanan tuna dan cumi di Benoa.
Alam pernah ditawari bekerja di salah satu kapal perikanan oleh seorang calo di Jawa. Ia dijanjikan upah dan premi besar. Namun, Alam tak langsung terpincut. Ia mengumpulkan informasi dari kawan-kawannya sesama awak kapal.
“Banyak calon di Jawa untuk Bandar Nelayan. Jangan main-main sama calo. Lewat calo, potongannya Rp1 juta. Jangan juga lewat Facebook. Mending tanya-tanya lewat teman yang sudah melaut duluan,” ujar Alam.
Survei DFW Indonesia menggambarkan 48% awak kapal di Benoa mendapat pekerjaan dari calo, 27% dari teman atau saudara, 13% langsung mendaftarkan diri ke perusahaan, 11% diajak nahkoda kapal, dan 1% dari Facebook.
Sayangnya, perekrutan tidak diatur dalam Permen KKP 33/2021, yang menurut DFW Indonesia harus dibenahi dengan merevisi aturan tersebut.
“Permen 33/2021 seharusnya mengatur mengenai sistem rekrutmen sebagai awal perbaikan dalam tata kelola awak kapal agar tidak terdapat celah pelanggaran dan agen yang seringkali merugikan pekerja,” tulis DFW Indonesia.
Namun, Sudarta dari Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ALTI) membantah praktik percaloan masih terjadi di Pelabuhan Benoa. Setiap perusahaan kapal, klaimnya, memiliki orang-orang di tiap daerah yang bertugas merekrut calon awak kapal.
“Dulunya mungkin calo, akhirnya oleh perusahaan dipekerjakan. Tapi, kami yakini, itu bukan calo, tapi petugas perusahaan,” kilahnya.
ATLI memimpin proyek fishery improvement projects (FIP) yang mengepalai 22 perusahaan perikanan dan 19 perusahaan pengolahan di Indonesia.
FIP merupakan upaya mekanisme dalam rantai pasok industri penangkapan dan pengolahan perikanan yang menekankan aspek berkelanjutan dengan mengedepankan transparansi, pelacakan jejak, dan kepatuhan terhadap standar internasional, serta aspek tanggung jawab sosial. Diharapkan, prosedur ini menjunjung hak asasi manusia, kondisi kerja, dan keterlibatan komunitas lokal dalam kegiatan perikanan.
Tujuan dari penerapan komitmen FIP untuk mencapai sertifikasi Marine Stewardship Council (MSC) yang akan membantu para pelaku usaha perikanan lokal dalam memasarkan produk mereka di pasar internasional.
“Semua perusahaan di Benoa sudah menuruti FIP sepanjang dibicarakan dulu. Karena ini lawannya pasar. Pasar akan percaya FIP,” ujar Sudarta.
Tumpang Tindih Regulasi
Seperti kebanyakan problem publik di Indonesia, masalah ketenagakerjaan di Pelabuhan Benoa tersangkut tata kelola dan regulasi.
Dinas Ketenagakerjaan dan Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Bali mengakui belum dapat berperan aktif mengawasi awak kapal, kecuali yang bekerja di unit pengolahan ikan.
“Satu sisi, kita menerapkan UU 13/2003 tentang ketenagakerjaan, sementara Permen KKP 33/2021 juga ada. Terus terang sampai sekarang kita belum bisa mensinergikannya,” ujar Kabid Bina Hub. Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan, Meirita, kepada Project Multatuli.
“Kami tetap menjalankan fungsi pengawasan ketenagakerjaan. Kami ke perusahaan, walaupun dalam kunjungan kami menggunakan beberapa persyaratan Permen KKP,” tambah pengawas ketenagakerjaan Ni Wyn Winiarti.
Menurut mereka, sebenarnya sudah ada pembahasan soal pengawasan bersama. Tiap-tiap pemangku kepentingan, seperti KKP, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, dan Polairud, saling bersinergi dan saling melengkapi.
“Nantinya dinaungi Kadis Kelautan dan Perikanan. Ini baru rencana dan kita belum menerima tindak-lanjutnya,” ujar pengawas ketenagakerjaan I Wyn Gd Dedy Wirawan.
Saat ini setiap ada masalah perburuhan awak kapal akan diselesaikan lebih dulu oleh pihak Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan. Namun, jika mandek di sana, dibawa ke Disnaker Bali.
“Awak kapal di sana, kan, ada perjanjian kerja laut. Selama persoalan itu bisa ditangani Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan, selesai di sana. Kalau perselisihan ke Disnaker Denpasar, kalau sudah kecelakaan kerja [awak kapal]], kita masuk,” ujar Meirita.
Dengan kata lain, kewenangan Disnaker pun terbatas.
Baca liputan lain kami tentang #perburuhan dan perbudakan di laut lepas: Eksploitasi dan Kematian ABK