John terus menjaga komitmen terhadap tumbuh-kembang gerakan queer dan tentunya sinema di Tanah Air hingga akhir hayatnya.
Rabu sore, 21 Mei 2025, selagi saya lalui dengan kebiasaan sehari-hari dengan mengecek gawai setelah seharian bekerja, tiba-tiba saya mendapat kabar melalui sebuah grup WhatsApp. John Badalu berpulang. Saat saya mendapatkan informasi itu, jenazahnya sedang dibawa menuju Rumah Sakit Sanglah di Bali untuk menunggu kedatangan keluarga.
Seketika saya terdiam. Saya sempat mengecek Facebook untuk memastikan berita duka itu. Dan benar saja, sudah ada puluhan tribute untuk John.
Ada rasa sedih dan rindu bercampur aduk ketika seorang kawan memberikan kabar tentang kepergiannya itu. Seperti banyak teman lain di komunitas, saya benar-benar merasa kehilangan. Rasa kehilangan itu terasa semakin berat karena sebetulnya juga ada rindu untuk saya bisa bertemu langsung dengannya.
Tanpa terkira sudah sekitar lima tahun saya tidak berjumpa dengannya dalam perkawanan kami yang telah terjalin sejak 2006.
Kalem dan Cerdas
Saya masih ingat ketika mengenal John Badalu pada 2006. Ia adalah orang pertama yang percaya pada mimpi saya dan kawan-kawan di Makassar bahwa menyelenggarakan suatu festival film tentang dan/atau yang dibuat oleh orang-orang queer adalah hal yang tidak mustahil, apalagi itu di Indonesia Timur. Dan kami benar-benar mewujudkannya.
Saya terkenang pada bagaimana saya dan John saling berkomunikasi untuk membicarakan ide dan persiapan itu.
Bagi saya, John merupakan sosok yang memberikan kesan. Ia kalem, dalam, dan cerdas. Ya, setidaknya begitu yang terpatri dalam pikiran saya saat kami dulu berjumpa di sebuah kafe kecil di Jalan Bali di Makassar, tidak seberapa jauh dari kediaman orangtuanya saat itu. Kami berdiskusi banyak hal terkait komunitas dan mimpi-mimpi.
“Jangan mi bikin kegiatan yang banyak dan berat. Bikin saja dua sampai tiga kegiatan yang ringan dan menyenangkan,” ucap John waktu saya bercerita seabrek kegiatan yang saya dan teman-teman komunitas hendak inisiasi di sana.
Sebagai kolektif yang berdomisili di daerah, peluang-peluang untuk bertemu orang-orang yang dianggap terpandang secara nasional sepertinya adalah kesempatan yang sangat berharga. Saat itu, John sudah terkenal sebagai pendiri Q-Munity, organisasi di bidang seni dan budaya yang terfokus pada isu minoritas, termasuk LGBT. John juga membidani Q! Film Festival, festival film bertema queer, HIV/AIDS, dan hak asasi manusia yang aktif pada 2002-2017.
Pertemuan seperti itu kami jadikan sebagai momen pembelajaran dan penyemangat untuk terus berkarya.
John tidak segan-segan berbagi ide, saran, dan rekomendasi. Tidak hanya terkait film dan rencana penyelenggaraan festival, tapi lebih jauh lagi soal gerakan dan komunitas, bahkan dukungan pendanaan. Kelak, ia juga sempat mengajak kami main ke rumahnya di Jakarta Selatan dan menjamu kami dengan sangat ramah.
Q! Film Festival Makassar
Waktu berjalan terasa singkat sejak saya pertama berjumpa dengannya dalam rangka persiapan festival film di Makassar. Acara itu sukses dan menjadi ajang berkumpulnya kawan-kawan komunitas di Makassar.
Setelah Q! on Screen pada 2006, tahun-tahun bersama John dan Q-Munity terus berlanjut dan semakin erat.
Ada lebih dari 30 film telah kami tayangkan bersama berbagai bintang dan pembuatan film, termasuk sutradara, yang menghadiri event itu. Komunitas kami di sana bahkan telah mendapat banyak dukungan untuk tempat dan sumber daya lain dari kalangan privat dan universitas.
Ragam kontribusi positif terhimpun dan event itu jadi ruang untuk partisipasi aktif komunitas. Hingga tahun 2010, Makassar Q! on Screen sempat berubah menjadi Q! Film Festival Makassar.
Bagi saya, Q! Film Festival hadir tidak hanya sebagai sebuah event, tetapi jauh dari itu, festival itu menjadi medium untuk memperluas khasanah terkait pemahaman dan penerimaan terhadap keberagaman seksualitas yang saat itu masih tabu, terkungkung dalam kotak yang hitam dan putih saja. Festival itu menjelma selayaknya suatu perayaan bagi komunitas queer yang tidak lagi merasa sendiri.
John, dengan ide dan inovasi yang terkadang nyeleneh bagi sebagian orang, mampu memberikan warna berbeda dari gerakan queer.
Kecintaan dan dedikasinya pada seni, telah berhasil memikat dukungan banyak orang. Dan itu bisa dilihat dari pelaksanaan Q! Film Festival yang mengalami peningkatan dalam jumlah relawan dan penonton setiap tahun, bahkan diakui sebagai salah satu festival film bertema LGBTIQ+ terbesar di Asia.
John dan Arus Pelangi
Kehadiran John Badalu dan Arus Pelangi adalah dua hal yang tidak dapat pisahkan. Sebagai salah seorang yang turut membidani kelahirannya, John sempat menduduki jabatan dalam jajaran Dewan Pengawas. Di tahun-tahun pertama pengembangan, John berperan penting dalam memastikan berjalannya roda organisasi.
Sebagai orang yang tidak terlibat langsung dalam proses pendirian Arus Pelangi, saya bisa membayangkan tentu tidak mudah untuk membuatnya bisa terus merangkak dan berjalan seperti bayi yang baru saja lahir.
Di tengah-tengah absennya pengakuan secara penuh terhadap hak-hak kelompok minoritas gender dan seksualitas, Arus Pelangi tumbuh dengan berbagai tantangan, bahkan dari komunitas queer itu sendiri. Namun, pada perkembangannya, Arus Pelangi kemudian tetap eksis dengan memberikan warna baru dalam gerakan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.
Di kota saya dan John berasal, Arus Pelangi ikut menginisiasi lahirnya Komunitas Sehati Makassar untuk menjadi organisasi pada pertengahan 2007. Organisasi ini yang menjadi “rumah” bagi saya dan puluhan orang muda queer di Makassar, yang sampai saat ini masih belum memiliki arah yang jelas dan penuh perjuangan.
Walaupun setelah periode kepemimpinan awal Arus Pelangi, John tidak melanjutkan posisinya sebagai Dewan Pengawas, nyatanya ia tetap menjaga komitmennya untuk meneruskan kerja-kerja dalam memajukan penikmatan hak-hak queer di Indonesia.
Kepergian John adalah kesedihan tersendiri, tapi saya sangat yakin bahwa kepergiannya juga adalah kesedihan bagi komunitas queer di Indonesia. Juga bagi semua orang yang tidak terbatas pada penikmat seni-budaya, buku, dan film.
Terima kasih, John, untuk segala kontribusimu bagi tumbuh-kembang gerakan queer dan tentunya sinema di Tanah Air.
Nono Sugiyono adalah pendiri Komunitas Sehati Makassar dan saat ini menjabat Badan Pekerja Arus Pelangi.