Praktik buruk pertambangan batubara di Desa Satui Barat, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan ditengarai punya kontribusi besar terhadap putusnya jalan nasional hingga merusak puluhan rumah warga. Sebagian warga memilih pindah, sebagian lain memilih bertahan.
ANGGARAPN ORANG bahwa merantau ke Kalimantan adalah pilihan tepat tidak berlaku buat semua orang. Tanah yang subur, pekerjaan apa saja mudah dicari, buka usaha pun banyak peluangnya, menjadi sederet alasan kenapa Kalimantan cocok sebagai tempat merantau. Itu pula yang ada dalam benak Diana (25), sebelas tahun silam.
Setelah menikah dengan Suriadi pada 2013, perempuan kelahiran Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat ini memutuskan pindah bersama suami ke Satui, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Berbekal pengalaman suami yang sudah 13 tahun merantau di sana, Diana yakin hidupnya bakal berubah.
“Istilahnya, saya datang ke sini untuk mengubah nasib. Jauh-jauh dari keluarga. Tahun 2000 itu abahnya (suami saya) sudah datang ke Satui. Membuka bengkel, sama kadang-kadang menyopir, karena sudah punya keahlian di Lombok,” cerita Diana.
Perlahan impian mengubah nasib itu terwujud. Diana dan Suriadi memulai membangun impian mereka dengan mengontrak rumah kayu ukuran 4×6 m² sebagai tempat tinggal mereka. Suriadi membuka usaha bengkel motor dan mobil di jalan nasional Ahmad Yani kilometer 171, tak jauh dari rumah kontrakan.
Suriadi mujur mendapatkan lokasi strategis untuk bengkelnya. Jalan nasional Ahmad Yani merupakan jalan antarkota yang menjadi jalur utama lalu lalang truk angkutan dan kendaraan lain. Truk dan kendaraan roda empat menjadi “pasien” yang paling banyak singgah di bengkelnya. Ramainya pelanggan membuat bengkelnya tak butuh waktu lama untuk berkembang. Dalam sehari, pendapatan bengkel bisa mencapai Rp500 ribu.
Baru setahun di Satui, Suriadi dan Diana sudah mampu membeli tanah dan rumah seharga Rp80 juta. Di atas lahan yang luasnya kini sudah bertambah menjadi 20×100 m², mereka membangun rumah kayu dan merehab bengkel.
“Itu harus jual motor abahnya (suami saya) dan cincin juga buat nambah-nambah modal. Waktu itu pengen juga punya rumah kayak orang-orang. Akhirnya kesampaian,” katanya. Kebahagiaan keluarga ini bertambah lengkap dengan hadirnya dua anak selama delapan tahun berkeluarga.
Sayangnya, kondisi itu tidak bertahan lama. Penyebabnya penambangan batubara. Rumahnya hancur karena tanah bergerak di wilayah desa yang diduga pengaruh dari penambangan batubara di sekitar desa.
Diana tidak pernah mengira retakan tanah yang muncul di lantai rumahnya pada April 2022 menjadi penanda awal kejadian ini.
Retakan itu awalnya hanya sepanjang penggaris kecil. Ia mulanya menganggap hal itu masalah sepele. Maklum saja, rumahnya berada di tepi jalan nasional yang kerap dilintasi berbagai jenis kendaraan bermotor, dari roda dua hingga angkutan berat.
Sayang, anggapan Diana meleset. Lambat laun kondisi justru semakin mengkhawatirkan karena retakan itu merambat dari dalam rumah hingga ke pekarangan.
Suatu hari pada Juli 2022, Diana pergi mengantarkan suami ke klinik untuk berobat. Suriadi mengalami gangguan syaraf pada bagian kaki. Kedua anaknya pun ditinggal di rumah. Meninggalkan dua anaknya sejenak di rumah adalah hal biasa, karena itu Diana tidak merasa khawatir.
Tetapi, siapa sangka, keputusan meninggalkan anaknya di rumah saat itu membuat trauma. Ketika ia pulang, ia mendapati retakan tanah di WC rumah semakin besar dan anaknya paling bontot terperosok ke dalamnya.
Diana panik. Ia segera mengangkat anaknya dari celah retakan. Beruntung, kondisi anak bungsunya baik-baik saja. Sejak saat itu, ia menjadi tidak tenang bila berada di rumah.
Retakan semakin lebar bisa saja meruntuhkan rumahnya dan membawa petaka bagi keluarga. Saat itulah Diana mulai berpikir untuk pindah dari rumah, mencari tempat lebih aman untuk sementara.
Keputusan itu akhirnya membulat setelah peristiwa pada September 2022. Saat itu tanah bergerak semakin parah dan membuat Jalan Ahmad Yani longsor. Jalan nasional itu menjadi benar-benar terputus. Diana dan warga lain yang menyaksikan peristiwa itu merasa ngeri. Mereka akhirnya memutuskan beranjak dari rumah mereka masing-masing.
“Sejak September, bengkel itu sudah kada (tidak) dibuka lagi. Mobil kada bisa masuk ke bengkel karena tanahnya ambles. Kami pun memutuskan menyewa rumah supaya aman,” kata Diana.
Kejadian itu membuat keluarganya kehilangan pendapatan sama sekali. Hampir satu bulan, di awal mereka pindah ke rumah kontrakan, Diana harus berutang ke sana-sini untuk mencukupi kehidupan keluarganya.
“Pokoknya kacau sekali waktu itu,” ujarnya. “Hampir setiap hari makan mi aja.”
Untungnya, kondisi kini sudah berangsur pulih. Suaminya membuka bengkel “darurat” di depan rumah kontrakan. Masing-masing keluarga juga dijatah Rp1 juta/bulan untuk membayar sewa rumah. Biaya sewa ditanggung oleh Pemkab Tanah Bumbu.
* * *
Ahmad Hamdani mengambil keputusan berbeda dengan kebanyakan warga lain. Alih-alih pindah demi keselamatan, ia memutuskan bertahan menjaga rumah dan warung kelontong yang sebagian sudah ambles tanahnya.
Keluarganya sudah diungsikan ke rumah kontrakan yang aman, sementara ia tetap membuka warung. Warungnya berada persis di tepi Jalan Ahmad Yani Kilometer 171 menjadi satu-satunya harapannya mencukupi kebutuhan keluarganya.
“Sudah sejak 2000-an kita pindah ke sini. Awalnya dari Banjarmasin,” katanya.
Wilayah Satui, menurut Hamdani, punya peluang bagus membangun usaha. Sebagai gambaran, sebelum longsor, Hamdani bercerita jalan ini ramai dilalui orang-orang mau ke arah Batulicin–pusat Kabupaten Tanah Bumbu; begitupun kalau ada yang mau ke Banjarmasin.
Pada hari-hari biasa sebelum longsor, Hamdani mengaku bisa memperoleh pendapatan kotor Rp1 juta- Rp2 juta per hari. “Sekarang paling Rp1 juta maksimal,” ujarnya.
Lokasi Desa Satui Barat yang strategis untuk berjualan juga dirasakan warga lain, Hajjah Tinah. Lantaran rumahnya di tepi jalan, sudah bertahun-tahun keluarganya berdagang aksesoris ponsel dan pulsa.
“Nyaman di sini. Berusaha di pinggir jalan. Aku juga sudah hampir 30 tahun begana (tinggal) di sini,” tuturnya.
Ia terpaksa tinggal karena menanti-nanti kejelasan ganti rugi dari kerusakan tanah dan bangunan di desa. “Handak ai pindah (pengen pindah), cuma bila duitnya kededa (tidak ada) kayak apa?” tanyanya.
Karut-Marut Pertambangan Batubara
Efek jangka panjang dari praktik buruk pertambangan batubara diduga kuat menjadi penyebab tanah bergerak di Satui Barat. Dugaan ini diperkuat temuan beberapa lubang tambang (void) yang tidak direklamasi di wilayah tersebut.
“Orang-orang nggak bakal buta,” ujar Diana mempertanyakan ada lubang tambang berdekatan dengan jalan raya dan permukiman warga.
Lubang tambang yang ia maksud yakni bekas peninggalan perusahaan tambang terdahulu. Seorang sumber lain menyebutkan sejumlah lumbang tambang ini bekas perusahaan PT Anugerah Bara Coal dan PT Autum Bara Energi, serta pemegang izin usaha pertambangan kecil lain yang semuanya sudah tidak beroperasi lagi.
Beberapa lubang tambang berjarak hanya 19 meter dari titik longsor Jalan Ahmad Yani Kilometer 171. Ada juga lubang lain yang jaraknya hanya 42 meter dari permukiman dan jalan raya.
Kegiatan pertambangan batubara aktif pun masih dapat ditemukan di wilayah tersebut. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Selatan mencatat jarak antara lahan tambang dan jalan raya serta permukiman sekitar 183 meter.
Tambang batubara itu dikelola perusahaan lokal PT Mitra Jaya Abadi Bersama. Dari data Minerba One Map Indonesia (MOMI) yang dikelola Kementerian ESDM, PT Mitra Jaya mendapatkan perpanjangan izin melalui Gubernur Kalsel, Sahbirin Noor. Izin usaha pertambangan operasi produksi perusahaan ini bernomor SK 503/6-IUP.OP4/DS-DPMPTSP/IV/III/2020. Luas konsesinya 198 ha. Di lain sisi, ada juga lahan konsesi PT Arutmin Indonesia yang sebagian areanya tumpang tindih permukiman warga dan jalan raya.
Sejak 1990, unit usaha PT Bumi Resources Tbk itu melakukan operasi produksi di wilayah Satui dengan level produksi waktu itu 2 juta ton per tahun. Kini, status perusahaan berganti dari Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara Badan Usaha menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus.
Meski Arutmin mengklaim tidak melakukan aktivitas penambangan khususnya di Satui Barat, dari temuan di lapangan, terdapat bekas lubang tepat di lahan Arutmin yang berdekatan permukiman warga.
Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono, menegaskan perusahaan mestinya mematuhi peraturan pemerintah nomor 78 tahun 2010 tentang reklamasi pasca-tambang.
“Dalam aturan itu mewajibkan perusahaan menutup lubang tambang setelah melakukan pengerukan,” kata Kisworo. Aturan lain yang harus ditepati adalah jarak lubang tambang dengan permukiman minimal 500 meter.
Itu membuktikan lemahnya pengawasan negara terhadap sektor industri ekstraktif yang memiliki daya rusak tinggi, menurut Kisworo.
Adapun Diana, Hamdani, Hajjah Tinah dan mayoritas warga lain di Satui Barat sejatinya tidak terlalu mempersoalkan aktivitas tambang batubara. Terlebih, selama ini, warga Satui Barat mendapatkan kompensasi debu meski cuma Rp225 ribu per kepala keluarga dari perusahaan.
Dari perusahaan, mereka juga menerima “tali asih” Rp22,5 juta untuk memperbaiki rumah-rumah yang rusak pada pertengahan tahun 2021. Namun, ketika dampak dari kegiatan ekstraktif itu sudah merusak rumah-rumah dan mematikan usaha, warga pun menuntut haknya. Lebih-lebih, menurut warga, tidak pernah ada kejadian seperti ini sepanjang mereka tinggal di Satui Barat.
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Sejak Agustus 2022, warga Satui Barat yang terdampak penambangan batubara ini menuntut ganti rugi. Tim pendamping warga dimotori pengacara bernama Agus Rismalian Noor.
Mereka bolak-balik ke Pemerintah Kabupaten Tanah Bumbu untuk menanyakan siapa yang mengganti kerusakan ini. Agus mencatat ada 23 keluarga yang tempat tinggalnya terdampak kejadian ini. Ada yang rusak berat, ada yang rusak ringan.
Kerja-kerja advokasi itu direspons pemkab dengan mengutus tim appraisal untuk menghitung nilai penggantian tanah dan bangunan yang rusak. Nilai ganti rugi kepada masing-masing keluarga pun sudah ditentukan.
Hanya saja, siapa yang akan membayar dan kapan uang akan dicairkan belum terjawab sampai sekarang. Pemkab Tanah Bumbu hanya menjadi fasilitator untuk mempertemukan perwakilan warga dengan perusahaan-perusahaan yang beroperasi.
Sementara itu, perusahaan masih kukuh tidak mengeluarkan dana karena masing-masing mengklaim tidak terlibat atas kerusakan itu.
Kondisi menggantung ini membuat warga harap-harap cemas.
“Kenapa kita ini ingin cepat-cepat pencairan? Masalahnya, itu rumah juga sekalian tempat kerja. Masalahnya ini usaha satu-satunya,” ujar Diana.
Masalah lain adalah nilai ganti rugi yang sudah ditentukan tim appraisal dinilai terlalu murah jika dibandingkan dengan ongkos membeli tanah di desa lain, keluh Hamdani. Tanahnya ditawar Rp200 ribu/m².
“Kalau mau beli tanahnya aja di desa lain sudah Rp800 ribu sampai Rp1 juta. Jadi mau dapat apa?”
Di sisi lain, aparat kepolisian masih melakukan penyelidikan atas peristiwa yang disebut-sebut sebagai “Tragedi Kilometer 171” ini. Hal ini demi memastikan penyebab dan pihak mana yang akan bertanggung jawab atas kejadian tersebut.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Kalimantan Selatan, Kombes Suhasto, berkata sudah memanggil PT Mitra Jaya Abadi Bersama, PT Arutmin Indonesia, PT Autum Bara Energi, dan perusahaan lain sebagai saksi-saksi. Polisi juga memanggil beberapa ahli dan inspektur tambang untuk mempelajari kasus ini.
“Karena ini juga merupakan efek dari kegiatan (tambang) yang lalu-lalu. Oleh karena itu sabar dulu,” ujar Suhasto, akhir Oktober 2022.
Suhasto tidak menampik lokasi kejadian longsor dan tanah bergerak di Satui Barat berada di wilayah konsesi PT Arutmin Indonesia. Namun, menurut Polda Kalsel, PT Arutmin mengaku tidak melakukan aktivitas pengerukan di Satui Barat, alih-alih menuding ada aktivitas pertambangan ilegal di wilayah konsesinya.
“Tahun 2019, pernah Arutmin bersurat. Pernah terdapat aktivitas pertambangan liar. Sempat melaporkan juga. Tapi itu, kan, dulu. Mungkin dari situ efeknya baru muncul sekarang,” klaim Suhasto. Ia menambahkan kalaupun ada yang dipidana, tersangkanya “bukan perorangan, tapi korporasi. Tapi itu masih jauh.”
PT Mitra Jaya Abadi Bersama, PT Arutmin Indonesia dan PT Arutmin Indonesia menjadi sorotan dalam kasus ini.
Arutmin jadi perhatian karena titik lokasi rumah warga yang retak-retak dan jalan longsor berada di wilayah konsesi mereka. Belum lagi ada lubang-lubang tambang, yang disebut-sebut dari tambang ilegal di wilayah PT Arutmin.
Sementara PT Mitra Jaya disorot karena satu-satunya perusahaan tambang aktif yang lokasinya berdekatan dengan wilayah longsor.
Saat dikonfirmasi, perwakilan Humas PT Mitra Jaya, Solikin, tidak membantah bahwa batas areal konsesinya berjarak kurang lebih 200 meter dari badan jalan raya. “Dan untuk jarak ke rumah warga 250 sampai 300 meter,” katanya.
Walaupun demikian, Solikin mengklaim perusahaan menaati peraturan seperti menyiapkan dokumen dan kajian lingkungan hingga membuat rencana kerja dan anggaran biaya. “Sementara ini kami belum ada menemukan teguran terkait masalah ini.”
Solikin menduga penyebabnya ada lubang-lubang tambang yang tidak direklamasi, berada persis di tepi jalan longsor, bekas peninggalan PT Autum Bara Energi dan Anugerah Bara Coal.
“Persis di belakang rumah warga, di situ ada lubang tambang ilegal karungan. Lebih banyak runtuhnya karena faktor tersebut,” bantahnya. Ia berkata tudingan terhadap perusahaannya adalah tuduhan yang “terlalu jauh.”
Solikin berkata perusahaan sudah memberikan bantuan Rp22,5 juta-Rp30 juta, tergantung kerusakan.
“Bantuan itu dikabulkan karena permintaan warga sendiri. Kami pikir cukuplah untuk memperbaiki rumah. Lagipula, rumah itu berada bukan di wilayah konsesi kami dan cukup jauh dari lokasi tambang,” katanya.
Pekerjaan Rumah Pemerintah
Selain mengatasi masalah tanah ambles dan puluhan rumah retak-retak, pemerintah masih punya pekerjaan rumah untuk membereskan masalah jalan nasional yang terputus. Nasib jalan ditangani oleh Balai Pelaksana Jalan Nasional Kalsel ini sampai sekarang masih samar.
Padahal, jalan itu menghubungkan antarkabupaten/kota dan antarprovinsi. Untuk menuju ke pusat kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Kotabaru, misalnya, warga dari Banjarmasin dan sekitarnya harus melewati jalur ini.
Dari pantauan di lapangan pada medio November 2022, belum ada progres signifikan terkait kelanjutan pengerjaan akses jalan nasional tersebut.
Sebelumnya, Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional Kalsel, Syauqi Kamal, mengatakan sudah melakukan metode geolistrik untuk mengukur resistivitas tanah dan memastikan struktur jalan seperti apa yang akan dibangun ulang di jalan itu.
Ahli geoteknik dari Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat, Dr. Rusdiansyah, sudah meneliti kelayakan teknis Jalan Ahmad Yani Kilometer 171 setelah terjadi longsor. Penelitian pada 15 Oktober 2022 itu menyatakan faktor keamanan lereng di wilayah tersebut di bawah standar. Angkanya 0,56, artinya tidak aman. Sementara di wilayah permukiman yang tanahnya ambles dan retak-retak, skor faktor keamanannya 1,38.
“Kesimpulannya, bisa terjadi longsor apabila ada pemicu,” ujarnya.
Pemicu longsor antara lain hujan lebat dengan intensitas lama, selain itu tinggi beban kendaraan bermotor yang melintas di wilayah terdampak. “Itu menimbulkan getaran. Maka, rekomendasi aku waktu itu bahwa jalan itu tidak layak secara teknis karena berpotensi membahayakan warga apabila ada pemicu.”
Temuan lain, ada lapisan batubara dengan jenis claystone di bawah jalan raya dan permukiman warga. “Claystone ini punya perilaku kalau kena udara dan air, kekuatannya melemah,” terangnya.
Sampelnya diuji dengan merendam batu dalam air. Hasilnya, selang 30 menit, bentuk batu itu mengikis. “Setelah direndam 60 menit, batu itu sudah jadi bubur,” kata Rusdiansyah.
Rekomendasinya, Pemkab Tanah Bumbu untuk segera mempertimbangkan evakuasi warga.
Sebagai langkah darurat, Pemkab Tanah Bumbu sudah membuat jalur alternatif sebagai pengganti jalan utama yang rusak. Lokasinya berdekatan dengan titik yang sudah longsor, meski jaraknya 1,8 km lebih jauh dari jalan utama.
Sementara warga terdampak sampai sekarang masih menunggu keadilan.
“Kami masih menunggu-nunggu hasil penyelidikan dari Polda Kalsel. Kalau sudah selesai, baru kami akan berpikir lagi bertindak seperti apa,” ujar Hamdani. “Tetapi, kalau seandainya rumah dan lahan tidak rusak, kita jelas penginnya di sini saja. Kita sudah nyaman berjualan. Kita sudah lama tinggal di sini.”