Warga Transmigran Merajut Ulang Mimpi Setelah Terusir Dari ‘Desa Adaro’ 

Ronna Nirmala
17 menit
Batubara
Bangunan SD Juai di bekas Desa Wonorejo, Juai, Balangan, Kalimantan Selatan yang kini dikelilingi semak dan pepohonan setelah desa transmigrasi itu beralih menjadi kawasan tambang PT Adaro. (Project M/Harryaldi Kurniawan)

Tiga puluh empat tahun silam, mereka meninggalkan Tanah Jawa menuju Borneo demi mengejar hidup yang lebih baik. Satu per satu mimpi ditanam, bertumbuh, dan dipanen hasilnya. Ketika harapan hidup mulai terangkai, cobaan lain datang.

Delapan belas tahun kemudian, satu per satu dari mereka terusir karena ekspansi batubara. Kini, mereka menggali sumber rezeki lain di atas tanah yang tak sepenuhnya dikehendaki.


Tanggal 1, hari Selasa, tahun 1988

Sulastrinadi masih ingat perjalanannya berangkat dari Semarang untuk ikut program transmigrasi ke Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan.

Entah Maret atau November, pria berusia 62 tahun itu hanya ingat tanggal 1-nya saja.

“Berangkat tanggal 1, hari Selasa, naik kapal perang. Tidur di geladak kayu. Mabok. Dapat jatah makan sayur kubis bening,” kata Sulastri.

Dua hari dua malam perjalanan laut, Sulastri dan istrinya tiba di Banjarmasin. Mereka menginap satu malam di sana untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju lokasi Perkebunan Inti Rakyat Khusus (Pirsus) 2, di Kecamatan Juai.

Aplikasi penunjuk jalan Google Maps memperkirakan perjalanan dari Banjarmasin menuju Balangan berkisar enam jam. Tapi itu masa kini, zaman Sulastri dulu mungkin bisa lebih lama lagi.

Tiba di Balangan, Sulastri dan kepala keluarga lain bergantian mencabut lotre untuk menentukan jatah rumah. Sulastri dapat jatah di dusun 10, yang pada 1999 bergabung dengan dusun 8 dan 9 menjadi desa definitif bernama Desa Wonorejo.

Wonorejo dalam bahasa Jawa berarti hutan yang mulia, hutan yang ramai.

Rumah dengan dua kamar dan dapur berukuran 2×2 meter persegi itu masih dikelilingi rumput alang-alang tinggi. Butuh waktu sekitar lima bulan bagi Sulastri dan istrinya untuk memangkas rumput dan menata rumah hingga layak huni.

Setahun awal, setiap keluarga transmigran mendapat jatah beras dari PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIII.

Sebelum mendapat jatah kebun dan pekarangan, Sulastri melakukan banyak pekerjaan untuk bertahan hidup. Selain menjadi buruh PTPN, ia jualan es giro, dagang sayur, sembako hingga belajar menjadi mekanik sepeda motor.

“Aku pokoknya gawean apa aja, yang penting jadi duit, tak lakoni terus,” kata Sulastri.

Dua tahun kemudian, Sulastri mendapat jatah kebun. Tak sulit baginya belajar menoreh getah, karena sebelum ikut program transmigrasi Pirsus 2, Sulastri pernah merantau ke Sumatera dan belajar menoreh.

“Di Sumatera, kulihat hasil menoreh ini bisa ditukarkan setiap hari. Makanya setelah balik ke Jawa dari Sumatera, lima bulan aku ga pernah diam. Kudatangi kantor pemerintah, cari tahu bagaimana caranya bisa jadi transmigran,” kenangnya.

Baginya sulit mencari nafkah di Jawa. Lapangan kerja minim. Jika berkebun, hasilnya baru bisa dirasakan sekali tiga bulan. Jika sudah menikah dan punya anak, ia khawatir tak mencukupi. Karena itu, ia putuskan untuk ikut jejak transmigran yang berhasil hidup nyaman dari menyadap karet.

Benar saja. Kebun Sulastri terus bertambah hingga totalnya mencapai 5 hektare.

Ngambil (kredit) sepeda (motor) sampe lima. Kalau ada tetangga yang mau pulang ke Jawa pinjam uang, kupinjami ke bank. Mayu aja. Cukup aja. Jatuh tempo setahun, 10 bulan sudah kupunahi (lunasi),” katanya lagi. Ia juga bisa menyekolahkan tiga anaknya hingga tingkat menengah atas.

Batubara
Seorang petani beraktivitas di kebun karetnya di Desa Sumber Rezeki, Juai, Balangan, Kalimantan Selatan. (Project M/Harryaldi Kurniawan)
Batubara
Seorang petani karet menoreh pohon karet di Desa Sumber Rezeki, Juai, Balangan, Kalimantan Selatan. (Project M/Harryaldi Kurniawan)

Tahun 2006

Kemapanan hidup Sulastri dan ratusan warga transmigran lain di Wonorejo mulai terusik.

Memori Sulastri mencatat saat itu ada perusahaan tambang batubara yang mulai masuk ke desa, PT Adaro Energy Indonesia Tbk.

Adaro menjadi salah satu pemegang kontrak karya PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) generasi pertama yang berdiri pada 1982 di Kalimantan Selatan. Lokasi penambangannya meliputi Kabupaten Tabalong dan Balangan dengan konsesi seluas 35.800 hektare.

Adaro memulai produksi komersialnya pada 1992, melalui metode penambangan terbuka (surface open-cut mining).

“Sejak aku datang ke sini, kantor Adaro sudah ada di Dahai (desa lain di Balangan). Cuma ndak ada pikiran, model akan masuk ke trans itu ga ada,” kata Sulastri.

Lokasi tambang Adaro kala itu masih berjarak sekitar lima kilometer dari Wonorejo, lanjutnya.

Dalam pikiran Sulastri, operasi tambang macam Adaro tak mungkin menggarap hutan dan pohon karet yang menjadi andalan warga desa.

Namun, setelah hampir 20 tahun menikmati hidup layak dari bertani karet, warga mulai didatangi pihak yang mengaku dari perusahaan. Orang-orang itu bilang bahwa Desa Wonorejo akan dijadikan kolam pengendapan air lumpur penirisan tambang (settling pond).

Sejak saat itu, satu persatu warga mulai menjual lahan dan kebunnya.

Amun sebetulnya ku diam di desa 10 ini betah, kerasan, senang. Tapi lantaran dusun 10 hitungannya sudah diombang ambing Adaro dengan diadakannya ukuran global, jadi aku merasa ketakutan. Amun kita ini ga mencairkan, di-global orang, kita gak menerima duit berarti lahanku hilang,” kata Sulastri, yang ditemui di dekat bekas dusun 10, 27 Maret 2022.

“Kanan kiri ku mencairkan, aku di tengah ketinggalan. Kayak apa aku hidup bekawan. Adaro ini pinternya itu kalau mau foto yang disuruh bukan orang biasa, model kayak preman gitu,” katanya.

Foto yang dimaksud Sulastri adalah proses pengukuran lahan untuk menentukan harga jual tanah warga. Pengukuran dilakukan secara ‘global’ atau sporadik untuk lahan yang sangat luas. Akibatnya banyak warga yang tak tahu lahannya sudah dijual oleh orang lain.

Warga tak punya banyak pilihan untuk bertahan. Jikapun bisa, gangguan-gangguan lain terus berdatangan.

Batubara
Truk pengangkut batubara beriringan melintas di area tambang PT Adaro di Dahai, Balangan, Kalimantan Selatan. (Project M/Harryaldi Kurniawan)
Batubara
Sebuah truk pengangkut batubara melintasi jalan hauling di area tambang PT Adaro di Dahai, Balangan, Kalimantan Selatan. (Project M/Harryaldi Kurniawan)

Suatu pagi, tahun 2010

Sriyatmi Endah berangkat dari rumah menuju kebun tempat ia biasa menoreh karet di Desa Wonorejo, sebuah desa transmigran di Kecamatan Juai, Balangan, Kalimantan Selatan.

Hari itu, Sri hanya berdua dengan salah satu anaknya. Suaminya, Bambang Sujono, sedang terbaring sakit.

Saat tengah me-mungut getah dari wadah kecil yang dipasang pada pohon karet, muncul empat alat berat. Tanpa aba-aba, kendaraan itu menyeruduk pohon-pohon karet. Sekali, dua kali, pohon itu tak kunjung rubuh. Butuh empat kali hingga rata dengan tanah.

Sri menghentikan aktivitasnya dan mendekati mereka.

Loh, Pak. Kenapa ini dirubuhkan?” tanya Sri.

“Sudah waktunya, Bu,” jawab salah satu dari mereka.

“Waktunya apa, saya kan minta tempo empat bulan,” ujar Sri lagi.

Sri kemudian menaiki kendaraan itu untuk menghentikan sopir merobohkan pohon-pohon karetnya. Aksinya tak digubris, Sri lantas menelepon Bambang.

Ndak papa, nduk. Ndak papa. Sudah waktunya,” ujar Bambang di ujung telepon sembari menyusul Sri.

Sri menceritakan ulang momen-momen ia harus merelakan kehilangan kebun karetnya itu di rumah barunya di luar Desa Wonorejo, 29 Maret 2022.

Sri dan Bambang (75), pasangan suami-istri petani asal Klaten, Jawa Tengah, itu datang ke Wonorejo dengan iming-iming tanah seluas 2 hektare dari pemerintah dalam program transmigrasi Perkebunan Inti Rakyat Khusus (Pirsus) 2 periode 1988-1989. Demi perbaikan taraf hidup, begitu bunyi Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 1972 tentang transmigrasi.

Tanah yang diberikan pada warga transmigran ini dulunya adalah milik PTPN. Sesuai aturan yang berlaku kala itu, setiap kepala keluarga diberikan paling sedikit 2 hektare tanah untuk membangun rumah dan usaha pertanian dengan status yang bisa beralih dari hak pakai menjadi hak milik.

Setelah jadi hak milik, tanah boleh diperluas selama warga memiliki kemampuan mengolah lahan dan memenuhi ketentuan agraria lainnya.

Upaya Sri dan Bambang untuk mengalihkan hak pakai menjadi milik juga tidak begitu saja terjadi. Mereka harus mencicil, sepeser demi sepeser, dengan menjadi buruh di PTPN.

Dua minggu pertama jadi warga transmigran, mereka ditugaskan untuk menanam, membersihkan rumput, dan menyemprot tanaman. Gajinya Rp9.100 per minggu.

Pada minggu ketiga, mereka diizinkan menoreh karet. Mereka juga diizinkan menukar hasil torehan dengan upah ke PTPN. Hanya saja, upah itu bakal dipotong dengan cicilan untuk membayar tanah.

Kira-kira butuh enam sampai tujuh tahun, Sri dan Bambang baru bisa mengantongi sertifikat tanah, rumah, dan lahan kebun yang dijanjikan pemerintah itu. Hingga sampai akhir tanahnya harus beralih ke Adaro, Sri dan Bambang sudah mengembangkan perkebunannya ke lahan seluas 5 hektare.

Batubara
Getah menetes di kebun karet Pak Sunarko di Desa Sumber Rezeki, Juai, Balangan, Kalimantan Selatan. (Project M/Harryaldi Kurniawan)
Batubara
Dua ember getah yang dikumpulkan dari kebun karet Pak Sunarko di Desa Sumber Rezeki, Juai, Balangan, Kalimantan Selatan. (Project M/Harryaldi Kurniawan)

Mendekati Lebaran tahun 2010 hingga 2019

Sri dan Bambang jadi satu dari sedikit keluarga transmigran terakhir sebelum Wonorejo tidak lagi berpenghuni. Mereka baru melepas tanah yang digarap lebih dari tiga dekade silam dan berpindah ke desa lain di Kecamatan Paringin pada 2019.

Sementara, Sulastri sudah lebih dulu pindah ke Desa Mungkur Uyam, masih di Kecamatan Juai, jelang akhir tahun 2010.

Keputusan Sri dan Sulastri untuk tidak buru-buru menjual tanahnya membuat mereka terhindar dari jerat calo tanah yang membuat sebagian warga lain harus melepas dengan harga jauh di bawah untung dan berurusan dengan penipuan administratif.

“Menantu saya itu, sertifikat ada, mau dibebaskan, ga keluar gambarnya. Katanya ini sudah dijual orang,” cerita Sarjiman, bekas warga dusun 8 Wonorejo.

Sarjiman pernah menunjukkan sertifikat itu ke Adaro. Alih-alih membantu mencari jalan keluar, pihak perusahaan malah memintanya mencari orang yang sudah menjual tanahnya itu.

Bukan hanya menantunya yang kena buntung. Sarjiman juga pernah menjual sebagian lahan pekarangannya senilai Rp20 juta kepada calo. Namun, tidak lama dari penjualan itu, datang seseorang yang mengaku tanah itu milik nenek moyangnya. Beruntung Sarjiman masih memiliki surat keterangan pembagian jatah tanah dari PTPN.

Sulastri dan Sri pakai jalur praktis. Mereka langsung tawarkan tanah mereka ke Adaro. Tapi, bukan berarti tanpa hambatan. Penghitungan ‘global’ membuat banyak luas perkebunan warga tereduksi hampir separuhnya.

“Saya seperti orang mau mengemis-ngemis ke Adaro,” kata Sri, mengisahkan saat-saat ia harus bolak-balik membawa sertifikatnya ke Adaro.

Sri tidak menyebut berapa akhirnya Adaro membayar lahannya. Ia hanya bilang, kini ia hanya memiliki setengah dari luas perkebunannya di Wonorejo dulu.

Sudah ganti rugi yang tidak berimbang, hasil menoreh di desa baru ini menurut Sri tak sebaik di Wonorejo.

Bila dulu ia bisa mendapatkan hingga Rp20.000 untuk setiap satu kilogram getah karet, kini di desa baru, harga rata-rata tertingginya hanya berkisar Rp10.000.

“Enak dulu di Wonorejo pohonnya besar-besar. Getahnya banyak,” ujar Sri.

Batubara
Dua perempuan menimbang getah karet di Desa Sumber Agung, Halong, Balangan, Kalimantan Selatan. (Project M/Harryaldi Kurniawan)
Batubara
Seorang pria mengumpulkan getah karet di Desa Sumber Agung, Halong, Balangan, Kalimantan Selatan. (Project M/Harryaldi Kurniawan)

* * *

Semua Kena Getah Wonorejo

Kabar kesuksesan para transmigran generasi pertama di Desa Wonorejo dalam mengelola perkebunan karet tersebar luas dan mengundang kehadiran warga lainnya. Selama dua dekade Wonorejo tak hanya dihuni transmigran dari Pulau Jawa saja, tetapi juga orang-orang dari sekitar provinsi seperti Banjar dan Kutai Kartanegara.

Karena itu, tak semua warga Wonorejo punya lahan, termasuk para generasi kedua transmigran dan pendatang. Mereka umumnya bekerja menjadi buruh sadap.

Namun setelah tambang mendekat, para pendatang ini ikut kena getahnya. Sebelum akhirnya angkat kaki dari Wonorejo, mereka harus merasakan penurunan pendapatan akibat hasil menoreh yang terus berkurang.

Sebagian dari mereka menduga karena debu batubara yang hinggap di daun karet. Sebagian lagi meyakini aktivitas pengeboman (blasting) dan alat berat tambang, baik untuk pengerukan maupun hauling transportasi, telah mematahkan akar pohon.

“Kalau menurutku pengaruh getaran bumi. Apalagi setrom yang untuk aspal itu lewat, rumah seperti diambung-ambung. Karet daunnya subur kok akarnya patah? Kecuali patah busuk. Ini akar karet waras kok bisa patah,” kata Sulastri.

Bila sebelumnya warga bisa dapat 40-50 kilogram setiap kali menoreh di satu perkebunan, sejak Adaro masuk, mereka hanya bisa mengumpulkan 10-20 kilogram.

Getah kering dan kental bisa dihargai Rp10.000 per kilogram. Jika basah atau encer hanya Rp8.000 per kilogramnya. Akan tetapi, untuk dapat getah kering, penyadap harus menunggu hingga dua minggu setelah pohon dikuliti.

Belum lagi jika terjadi perubahan cuaca ekstrem yang membuat getah sama sekali tidak bisa disadap.

Selain menurunnya produksi karet, warga mengeluhkan kondisi air sumur dan sungai yang tak lagi bisa diandalkan untuk minum dan memasak karena sudah tercemar limbah tambang.

Tercemarnya air sungai bahkan sudah menjalar hingga ke desa tetangga, Sumber Rejeki.

Warga Wonorejo yang tak punya lahan semakin buntu, tidak tahu harus berpindah ke mana.

Tahun 2010, saat Adaro memutuskan untuk menggusur sebagian besar lahan dan rumah warga Wonorejo yang telah terjual, mereka meminta waktu tambahan tiga bulan untuk mencari tujuan baru.

Namun, Adaro tak lagi memberi waktu lantaran permintaan itu bukan yang pertama kalinya. Dengan pengawalan pasukan polisi dari Polres Balangan, Tabalong, Hulu Sungai Utara, dan Hulu Sungai Tengah penggusuran dilakukan.

“Mereka menginap berhari-hari,” kata Sari seorang perempuan yang kala itu masih duduk di bangku SMA, merujuk pada gerombolan aparat keamanan itu.

Dia menyaksikan orang tuanya terpaksa membongkar rumah dan mengumpulkan barang-barang di tepi jalan. Tak tahu harus ke mana, mereka akhirnya membangun pondok kecil di bawah pohon karet. Hampir dua tahun Sari tinggal di pondok yang akhirnya juga digusur paksa. Sebagian warga ada yang mengungsi di masjid, balai desa, dan fasilitas umum lainnya.

Tak semua warga tahu bahwa akan ada penggusuran.

“Tahu-tahu, pagi-pagi datang polisi banyak sekali. Waktu digusur itu bepaksaan, kayak orang rumah kabakaran itu na. Kalau ndak selesai satu hari, harus habis. Kita lepasinlah papannya kayunya. Ndak ada penggantian, satu paku pun ndak ada,” kata Masrani, lelaki asli Banjar yang tinggal di Wonorejo.

Seperti Sari, Masrani pun tak punya pilihan selain tinggal di bawah pohon karet. Ia pasang kemah dari terpal untuk tinggal bertiga dengan ibu dan istrinya. Setiap hari istrinya mengambil air di sungai kecil dekat Wonorejo.

Tinggal di bawah pohon karet, Masrani hidup kucing-kucingan dengan petugas Adaro. Agar tak ketahuan ia bikin kemah jauh di dalam pohon karet yang rimbun.

“Kalau ketahuan Adaro sudah didatanginya. ‘Ini tempat kami, kalian harus pindah dari sini kalau tidak kami tuntut’. Terpaksa kami pindah. Empat tahun ada kami begitu,” kenang Masrani, yang kini bermukim di Sumber Rejeki.

Batubara
Desa Sumber Rezeki, Juai, Balangan, Kalimantan Selatan. Sebagian besar warga Desa Wonorejo pindah ke desa tersebut setelah desa mereka beralih menjadi kawasan tambang PT Adaro. (Project M/Harryaldi Kurniawan)
Batubara
Plang batas lahan yang dikuasai PT.Adaro di Desa Sumber Rezeki, Juai, Balangan, Kalimantan Selatan. (Project M/Harryaldi Kurniawan)

Wonorejo Tenggelam di Kolam Pengendapan Limbah

Tim Project Multatuli mendatangi langsung bekas Desa Wonorejo pada akhir Maret. Desa ini berjarak sekitar 300 kilometer dari calon Ibu Kota Negara baru, Nusantara.

Pemantauan kami mengonfirmasi bahwa tidak ada lagi warga yang tinggal di sana. Seluruh desa telah hilang berganti menjadi kolam-kolam settling pond. Di kolam-kolam besar terdapat pipa yang mengalirkan limbah tambang. Setelah ditampung di kolam besar, air lumpur limbah dialirkan ke kolam-kolam kecil untuk diendapkan, sebelum dilepaskan ke Sungai Tutupan.

Tak ada pagar yang menghalangi akses menuju kolam tambang. Hanya beberapa spanduk peringatan larangan berenang, mandi dan memancing.

Yang tersisa di dusun 10 hanya satu bangunan bekas sekolah dasar dan poskesdes. Sisanya sudah kembali menjadi semak belukar, jika tak dikeruk untuk settling pond.

Sesekali warga masih diizinkan masuk ke Wonorejo untuk mengambil rumput liar sebagai pakan ternak.

Setelah penggusuran, Adaro juga memindahkan aset-aset desa seperti kantor desa, posyandu dan balai pertemuan, ke lahan milik warga Sumber Rejeki yang kemudian dibebaskan perusahaan.

Adaro bahkan turut memindahkan fasilitas desa seperti masjid, koperasi dan pemakaman ke luar Kecamatan Juai.

Kendati demikian, koperasi Desa Wonorejo masih beroperasi untuk melayani 115 anggota. Namun, pelayanan koperasi tak lagi untuk penukaran getah karet.

“Hanya simpan pinjam dan bertemu ketika RAT (Rapat Akhir Tahun),” kata Sarjiman, ketua koperasi yang sudah pindah ke luar Kecamatan Juai.

Batubara
Jalan bekas Desa Wonorejo, Juai, Balangan, Kalimantan Selatan. Kawasan transmigrasi ini beralih menjadi area tambang PT Adaro. (Project M/Harryaldi Kurniawan)
Batubara
Lahan bekas Desa Wonorejo, Juai, Balangan, Kalimantan Selatan menjadi kolam-kolam (settling pond) dengan pipa yang mengalirkan limbah tambang PT Adaro. (Project M/Harryaldi Kurniawan)

Desa ‘Siluman’ Wonorejo

Secara fisik, Wonorejo tak lagi memiliki wilayah yang diklaim sebagai teritorinya. Akan tetapi, di atas kertas, Desa Wonorejo masih ada.

Administrasi pemerintahan setempat masih mengakui status kependudukan warga Desa Wonorejo yang tercatat berjumlah 57 kepala keluarga atau sekitar 114 jiwa. Kendati sebagian besar dari warga kini menyewa atau tinggal menumpang di Desa Sumber Rejeki.

Bukan hanya itu, anggaran operasional untuk menggaji aparat Desa Wonorejo juga masih mengalir. Padahal penyaluran dana desa sudah berhenti sejak 2017.

“Sejak 2012, saya sudah mengeluhkan ini ke pemerintah kabupaten dan provinsi. Ini ke depannya bagaimana? Tapi ganti bupati, ganti gubernur, yang ditempatkan ga paham,” kata Agus Priyatno, mantan Kepala Desa yang kini menjadi Sekretaris Desa Wonorejo.

Para pegawai desa yang masih dapat gaji itu saat ini hanya sebatas melayani keperluan surat menyurat warga yang hendak pindah, mencabut kartu keluarga atau jika butuh surat rekomendasi untuk menjalankan usaha.

“Sebetulnya saya malu dengan desa lain, gaji sama tapi wilayah sudah tidak ada,” kata Agus.

Pihaknya kini hanya bisa menanti kepastian status administratif Desa Wonorejo. “Sejak 2020 kami siap akan diapakan, dihapus atau digabung dengan desa lain? Hanya saja kalau dihapus dasarnya apa? Kalau Bupati berani keluarkan SK menyatakan dihapus, desa menunggu itu. Apapun itu, desa siap,” katanya.

Project Multatuli telah menghubungi pejabat terkait di Kementerian Dalam Negeri untuk menelusuri lebih lanjut perihal status Desa Wonorejo tetapi tak kunjung menerima balasan.

Hal lain, menurut Agus, anggaran yang seharusnya masih mengalir adalah dana tanggung jawab sosial (CSR) Adaro yang dihentikan perusahaan sejak 2017. Baginya, Wonorejo adalah ring satu yang paling terdampak dan masih banyak warga yang masih tidak memiliki kejelasan akan tempat tinggal mereka.

Agus kini juga masih berstatus menumpang di Desa Sumber Rejeki. Setiap seminggu sekali ia masih rutin berjalan malam hari menyusuri bekas Desa Wonorejo.

“Sambil mengenang nyamannya dulu di sana. Tapi sekarang banyak yang diportal jalannya. Kadang nyasar juga,” katanya.

Batubara
Bangunan posyandu di bekas Desa Wonorejo, Juai, Balangan, Kalimantan Selatan yang terbangkalai setelah desa tersebut beralih menjadi kawasan tambang PT.Adaro. (Project M/Harryaldi Kurniawan)
Batubara
Peta Indonesia tanpa gambar Pulau Jawa dan Kalimantan yang tergantung di bangunan SDN 3 Sirap di bekas Desa Wonorejo, Juai, Balangan, Kalimantan Selatan yang telah beralih menjadi kawasan tambang PT Adaro. (Project M/Harryaldi Kurniawan)

Perpanjangan Nafsu Ekspansi

Izin operasi pertambangan batubara Adaro sejatinya akan berakhir pada Oktober 2022. Perusahaan yang dikelola kakak Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, Garibaldi “Boy” Thohir, itu mengatakan pihaknya telah mengajukan perpanjangan izin sejak tahun lalu.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dikabarkan masih melakukan evaluasi sebelum mengumumkan keputusan untuk memberikan perpanjangan izin atau sebaliknya.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Selatan, Kisworo Dwi Cahyono, meminta pemerintah untuk cermat mengevaluasi seluruh dampak yang muncul dari pertambangan Adaro di Kalimantan Selatan, termasuk hilangnya Desa Wonorejo.

Kisworo mengatakan, permukiman warga transmigran seharusnya tidak bisa dikalahkan begitu saja oleh kepentingan perusahaan maupun ambisi memenuhi target proyek kelistrikan 35 ribu megawatt.

“Dari pada memberikan izin perpanjangan kepada Adaro tanpa evaluasi menyeluruh, pemerintah mestinya mulai mengakui wilayah kelola rakyat,” kata Kisworo.

Project Mulatuli telah menghubungi Head of Corporate Communication Adaro Energy, Febriati Nadira pada Jumat, 15 April 2022. Kami meminta tanggapan soal praktik pembebasan lahan yang dilakukan perusahaan di Desa Wonorejo dan rencana mereka terkait kontrak yang berakhir pada Oktober nanti.

Febriati menanggapi dengan meminta kami mengirim daftar pertanyaan. Namun, hingga artikel ini ditayangkan, kami belum menerima respons dari yang bersangkutan.

Catatan Walhi Kalsel menunjukkan, dari 3,7 juta hektare luas Kalimantan Selatan, sebanyak 1,2 juta di antaranya sudah dikuasai pertambangan dan 620 ribu hektare sudah menjadi perkebunan sawit.

Luasnya lahan pertambangan di Kalimantan Selatan praktis memberi kontribusi yang signifikan sekaligus mengikat ke pendapatan daerah yang sekitar 30 persennya berasal dari dana bagi hasil (DBH) pertambangan.

Pada 2019, Kabupaten Balangan mencatat pendapatan daerah sebesar Rp1.1149,12 miliar dengan dana bagi hasil pertambangan berkisar Rp350 miliar.

Sugianoor, tokoh pemuda di Balangan, menilai pemerintah seharusnya tidak membiarkan Adaro memuaskan hawa nafsunya dalam berekspansi, karena ini bukan sekadar transaksi jual beli tanah. Bagaimanapun, ekspansi pertambangan ini telah menyebabkan sebuah desa menghilang.

“Kalau kelak setengah kecamatan juga hilang, bagaimana?” kata Sugi.


Artikel ini merupakan laporan kedua dari serial #EnergiKotor yang didukung Change.org dan Koalisi ##BersihkanBankmu.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Ronna Nirmala
17 menit