“Banyak yang bilang ibadah waria tak diterima. Itu seperti menyepelekan apa yang ada dalam diri kami. Kami ini juga manusia yang punya hak yang sama dengan warga negara lain, termasuk untuk beribadah.” — Shinta Ratri
SEBAGAI MUSLIM sekaligus queer, saya selalu punya kenangan pahit tentang agama, khususnya institusi agama, yang saya anut dan kebetulan menjadi paling dominan di negeri ini. Itu bukan hanya doktrin seputar tafsir homofobik yang menegaskan bahwa keberadaan diri saya (sebagai queer) adalah dosa dan kesalahan, melainkan pula perundungan yang kerap dilakukan guru agama, tokoh agama, dan kawan-kawan sepermainan ketika saya belajar agama atau mengaji di sekolah maupun tempat ibadah di lingkungan tempat tinggal saya.
Olok-olokan maupun cibiran kepada saya yang “banci” atau “bencong”, memaksa saya untuk kemudian berjarak pada agama. Saya tumbuh dengan rasa bingung, kecewa, sedih, tak berharga, dan punya luka bertahun-tahun lamanya bersama agama.
Sejujurnya, saya pernah terlampau pesimis melihat betapa klisenya negeri ini yang mengedepankan slogan keberagaman (pula dalam beragama), tapi gagal menjamin ruang bagi kami yang minoritas untuk sekadar beribadah secara aman.
Sekitar 2008, ketika saya lulus kuliah dan bekerja sebagai jurnalis, saya mulai terpapar dengan isu sekaligus terhubung dengan komunitas queer. Secara kebetulan, itu menjadi tahun yang sama atas kehadiran Pondok Pesantren Waria Al-Fatah yang dipimpin dan diasuh oleh Shinta Ratri yang kemudian saya kenal sebagai ibu dan pejuang hak LGBTIQ+ di Indonesia, khususnya hak waria/transpuan.
Ibu Shinta punya tempat yang istimewa dalam diri saya. Biasanya, saya menjumpainya di sela-sela pertemuan dengan kawan-kawan komunitas. Kehadirannya membawa kesejukan. Meski tak segan untuk mengutarakan pendapat, ia selalu tampil dengan perangai dan gaya bicara yang lembut. Tidak cerewet, tapi juga tak mudah tersinggung dengan candaan kami yang cong ini. Tentu saja, ia religius dengan caranya sendiri sebagai seorang transgender. Ia tampil santun dengan pakaian tertutup lengkap dengan jilbab ke mana pun.
Saya akan selalu ingat kata-katanya yang terdengar sederhana tapi begitu mengena: “Kita juga manusia. Setiap orang berhak untuk punya Tuhan dan beribadah… Menjadi transgender bukan dosa!”
Seruan itu sering ia lontarkan untuk menghubungkannya pada ketidakadilan yang diterima oleh kelompok minoritas gender dan seksual. Ia gemar menantang tafsir untuk membuktikan Islam itu benar-benar rahmatan lil ‘alamin; bahwa kehadirannya mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi semua, tak terkecuali komunitas waria/transpuan.
Melalui sosok Ibu Shinta, saya merasa punya pemahaman baru. Ia bukan cuma meruntuhkan pesimisme saya pada kehadiran agama (dan institusinya), melainkan pula makna lain pada arti ruang aman serta hak untuk beragama dan beribadah.
Maka, ketika pada Rabu pagi, 1 Februari 2023, saya mendapat kabar atas kepergian beliau, betapa rasa kehilangan itu terlampau besar bagi saya, bagi banyak kawan queer, dan mungkin kita semua yang berjuang atas nama kemanusiaan.
Ruang Aman Ponpes Al-Fatah
Ponpes Al-Fatah tampak selayaknya rumah mungil di gang kecil di Yogyakarta. Ia berada di antara pemukiman warga. Kehadirannya punya cerita panjang yang bermula dari aktivitas doa bersama yang diinisiasi oleh Ibu Shinta Ratri bersama para sahabat untuk lima kawan transpuan yang tewas saat bencana gempa. Kegiatan doa bersama itu berjalan lancar dan diikuti banyak kawan.
Meski awalnya dimaksudkan untuk berlangsung sekali waktu saja, tapi dari sanalah kebutuhan komunitas waria/transpuan untuk beribadah menjadi perbincangan. Maka, untuk merespons antusiasme teman-teman waria/transpuan dalam kegiatan keagamaan, mereka melanjutkannya dengan berbagai aktivitas, termasuk mengaji.
“Waria tidak dapat ruang publik untuk ibadah,” ucap Bu Shinta pada acara bincang-bincang televisi pada 3 Oktober 2021.
Ia mengutarakan ada banyak kawan waria/transpuan yang tidak dapat beribadah bersama seperti kebanyakan muslim lain (yang bukan waria/transpuan) di musala atau masjid karena diskriminasi dan stigma.
Pada 2008, mereka akhirnya memantapkan pendirian pesantren khusus bagi komunitas waria/transpuan yang dinamai Ponpes Senin-Kamis Al-Fatah di Notoyudan. Al-Fatah memiliki arti Allah maha membuka segala rahmat untuk manusia. Ibu Mariani menjadi ketua di periode kepemimpinan pertama sebelum Ibu Shinta. Seiring berjalan waktu, tempat itu terus diramaikan kawan-kawan yang ingin salat berjamaah, belajar membaca Al-Qur’an, mengaji, memperdalam ilmu agama Islam dan sebagainya, sehingga dikenal dengan sebutan Ponpes Waria Al-Fatah yang berlokasi di kediaman Ibu Shinta hingga hari ini.
Meski diperuntukkan bagi waria/transpuan dari latar belakang beragam di Yogyakarta, ponpes ini turut membuka pintu bagi siapa saja: bagi yang gay, yang lesbian, yang mahasiswa dan peneliti, yang ustaz maupun kiai, yang jurnalis dari dalam dan luar negeri untuk meliput, bahkan tamu yang straight sekali pun untuk memenuhi rasa penasaran atau sekadar mau tahu.
Keberadaannya diterima baik warga sekitar. Banyak dari kita kemudian menyaksikan betapa Ponpes Al-Fatah sesungguhnya sedang menjawab kehadiran agama untuk melindungi kaum yang tertindas. Ia bertransformasi tak hanya tempat bagi kawan-kawan waria/transpuan beragama dan beribadah, melainkan juga rumah aman.
Sebagai pengasuh dan pemimpin ponpes, Ibu Shinta berbagi ruang rumahnya untuk menjadi sekretariat maupun ruang kelas dan salat. Setiap Minggu, kawan-kawan mengaji bersama. Sementara pada hari-hari lain, ponpes hampir tak pernah sepi. Ada sejumlah orang yang mondok (ikut tinggal) di sana. Tak jauh dari lokasi ponpes, juga ada kos-kosan Ibu Shinta yang didiami kawan-kawan waria/transpuan. Ia sendiri sehari-hari gemar memasak dan tak sungkan menjamu siapa saja yang mampir untuk makan.
“Masakan dia itu enak banget,” komentar Echa Wa’ode berbagi pengalaman ketika mengunjungi Ponpes Waria Al-Fatah dan menyantap hidangan yang dibuat Bu Shinta.
Echa adalah transpuan dan kini menjabat Sekretaris Umum Arus Pelangi. Ketika kami berbincang pada obrolan untuk mengenang Bu Shinta, ia berkata akan selalu teringat sosoknya yang adem, tak pernah emosi saat ngomong, dan keibuan. Echa pertama kali mengenal Ibu Shinta saat mengikuti sebuah pelatihan di Banjarmasin pada 2015.
“Dia apa adanya, low profile. Tapi juga sosok transpuan yang berani.”
Pejuang Hak LGBTIQ+ di Garda Depan
Bu Shinta pernah berkata, “Penerimaan terhadap transpuan harus diperjuangkan. Jadi, tidak seperti dulu waktu saya muda, penerimaan itu seperti hadiah: kami diterima pemerintah, masyarakat; diundang olahraga, menari, dan lainnya. Tapi, semakin ke sini, masyarakat kita semakin konservatif dalam memahami keberagaman. Di situlah, sekarang penerimaan waria itu harus kita perjuangkan.”
Keberanian dan kegigihan Shinta Ratri dalam berjuang, telah teruji ketika gelombang “anti-LGBT” mengemuka sebagai salah satu akibat dari pengkambinghitaman politik, yang menyerang kelompok queer terutama waria/transpuan sebagai target ujaran kebencian para pejabat pemerintah menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019.
Pada 2016, Arus Pelangi dalam risetnya menyatakan 89,3 persen kelompok LGBTIQ+ pernah mengalami kekerasan. Sementara Wahid Foundation dan Lembaga Survei Indonesia menempatkan kami sebagai kelompok paling tidak disukai di Indonesia. Gelombang kebencian diiringi kriminalisasi melalui berbagai kebijakan daerah ini berujung pada kedatangan belasan anggota Front Jihad Islam (FJI) mengancam menutup Ponpes Waria Al-Fatah pada 19 Februari 2016.
Meski sempat mengungsi sejenak untuk menyelamatkan diri, Ibu Shinta menolak bersembunyi dan menolak bungkam. Di tengah tekanan dan ancaman ormas tersebut, ia maju untuk berdiri di garis depan. Sosok transpuan bergelar sarjana biologi dari Universitas Gadjah Mada ini membangun konsolidasi di antara sesama aktivis queer dan para sekutu.
“Bulan itu sedang booming kebencian terhadap LGBT di seluruh Indonesia. Ketika isu LGBT diangkat, pasti yang menjadi korban pertama adalah kawan transpuan sebab waria paling tampak atau visibel.”
“Kami korban kekerasan di jalan. Yang ngamen, ada yang dilempar es teh plastik. Suasana saat itu menyedihkan. Kami diberitakan oleh media massa online yang jelek dan memutarbalikkan (dengan) menyatakan kebencian dan memancing untuk menyerang kami, membubarkan (Ponpes Waria Al-Fatah) dengan alasan waria itu tak boleh ibadah sebelum bertobat menjadi laki-laki.”
“Mereka menggunakan strategi bahwa masyarakat sekitar tidak menerima, (padahal) masyarakat yang dibilang tidak menerima, tak ada. Kami adem ayem,” ucap Ibu Shinta.
Ponpes Waria Al-Fatah sempat tutup empat bulan. Tetapi, di balik itu, Ibu Shinta bersama pasukannya tengah melakukan reli untuk menggalang dukungan dari Komnas HAM, Komnas Perempuan, jaringan advokat publik, politisi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan lain-lain, termasuk Gusti Kanjeng Ratu Hemas dan Sinta Nuriyah Wahid.
Tentang momen itu, Echa mengutarakan kesannya terhadap kegigihan dan keberanian Ibu Shinta.
“Waktu ponpes dijegal, dia tak mundur dan menjelaskan ponpes itu apa,” ungkapnya. “Dia bernegosiasi sama ketua (ormas intoleran) yang datang. Buat kami, dia sosok transpuan yang berdiri di garda depan dengan usia yang tak lagi muda. Akhirnya, sampai detik ini, ponpes itu tetap berdiri dan tak bisa ditumbangkan, tetap berjalan dan aktif. Dia yakin setiap orang punya Tuhan dan tiap orang berhak untuk beribadah.”
Dalam sebuah wawancara, Ibu Shinta menangkal narasi yang memojokkan kelompok waria/transpuan untuk beribadah. Ia bilang, “Kami itu ada! Kami ciptaan Allah. Kami sama seperti kalian. Kami punya hak untuk menyembah Allah. Mereka menyangka ini buatan bahwa waria boleh beribadah ketika sudah bertobat. Bertobat bagaimana? Kami salah apa? Kami menjalankan ini dengan keridaan.”
“Kalau kami ditanya, apakah kami mau jadi waria, kami tak mau karena jadi waria itu penuh diskriminasi, jadi olok-olok, dibuat candaan, dimiskinkan. Mana mau kami ada di situ kalau bukan menjalani suatu takdir.”
Ketika pandemi melanda, keberadaan ponpes berperan penting atas keberlangsungan hidup komunitas di Yogyakarta. Ia bersama kawan-kawan mengelola bantuan dengan mendistribusikan sembako, membuka dapur umum, dan merawat kawan-kawan yang terdampak Covid-19.
Kepergian sosok peraih penghargaan pejuang HAM dari Front Line Defenders tahun 2019 ini memang telah menghadirkan duka dan tangis. Tetapi, ia telah dihantarkan dengan penuh rasa cinta yang berlimpah.
Echa Wa’ode, yang turut hadir pada hari pemakaman, mengutarakan kawan-kawan transpuan di sana telah dibuat terkesima dengan kehadiran begitu banyak pelayat.
“Ia betul-betul sosok yang berpengaruh untuk orang banyak. Berbondong-bondong orang datang dan, di masjid besar itu, ia diizinkan untuk disalatkan. Itu pertama kali transpuan disalatkan di situ.”
Dan seperti yang telah menjadi potret biasa di ponpes selama 15 tahun ini, kawan-kawan waria/transpuan dapat mendoakan atau mengibadahkan Ibu Shinta dengan kenyamanan masing-masing: yang mengenakan sarung atau kerudung tak harus merasa sungkan atau segan untuk berdampingan dengan masyarakat yang bukan waria/transpuan.
Ponpes Waria Al-Fatah adalah ruang ibadah yang tidak biner. Dan itu punya makna revolusioner bagi tafsir (nilai) dan praktik Islam terhadap pengakuan dan perlindungan kelompok queer. Juga bagi kita untuk melihat manusia dan dunia yang tak terbatas pada dua sisi belaka: lelaki-perempuan, feminin-maskulin, hitam-putih.
Bahwa seperti waktu yang tak linier dan biner, di antara siang dan malam, kita dapat menikmati senja, petang, pagi, sore, hari di mana langit berubah gelap saat gerhana matahari atau sebaliknya; malam yang dapat menjadi terang kala purnama datang. Ada cerah dan mendung yang bisa terjadi kapan pun. Begitu pun ada keindahan berupa pelangi sehabis hujan di siang yang berubah cerah.
Ibu Shinta Ratri telah menjadi ikon dan sosok pejuang yang kontribusinya akan selalu kita rawat dan wariskan. Terima kasih, Ibu Shinta! Saya dan juga banyak kawan belajar tentang kasih sayang, cinta, ketulusan, keberanian, dan makna perjuangan.
Nurdiyansah Dalidjo adalah penulis buku Rumah di Tanah Rempah (2020) dan bekerja sebagai manajer tim di Project Multatuli.