57 Pegawai KPK dan Orang Baik yang Suka Lepas Tangan

Mawa Kresna
6 menit
KPK
Ilustasi diklat bela negara dan wawasan kebangsaan pegawai KPK. (Dokumentasi KPK)

Seumpama ada satu biang keladi mengapa janji kemerdekaan belum juga terwujud meski usia republik sudah mencapai 76 tahun, maka jawabannya adalah korupsi. Korupsi membuat janji mencerdaskan kehidupan bangsa terhambat, upaya menyejahterakan rakyat jauh dari harapan, dan ikrar melindungi segenap tumpah darah Indonesia mandek sebatas jargon politik belaka.

Namun meski punya daya rusak demikian dahsyat, pemberantasan korupsi agaknya bukan prioritas Presiden Joko Widodo (Jokowi). Alih-alih sekadar jalan di tempat, pemberantasan korupsi di era “orang baik” ini malah mundur jauh ke belakang. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilemahkan secara sistematis, kewenangannya ditumpulkan, dan sebagian orang-orang terbaiknya disingkirkan. 

Bagi Jokowi pemberantasan korupsi agaknya tidaklah lebih penting dari menambah jumlah jalan, membangun bandara, mendirikan pelabuhan, membuka lahan sawit dan tambang, juga membikin pabrik. Pokoknya yang penting ekonomi meroket dan orang bisa kerja, kerja, dan kerja. 

Jokowi lupa (atau memang tidak pernah sadar) meroketkan pertumbuhan ekonomi di tengah praktik korupsi yang merajalela serupa peribahasa mimpi melihat kucing bertanduk: mustahil. Jargon kerja, kerja, kerja tak akan bisa melahirkan keadilan sosial. Sebab, tak pernah ada sejarahnya negara korup bisa mengenyangkan perut dan menyehatkan akal rakyat.

Janji memberantas korupsi dengan cara memperkuat KPK adalah salah satu alasan mengapa sebagian besar rakyat Indonesia memilih Jokowi. Rakyat percaya pada janji ini karena Jokowi bukan berasal dari oligarki politik yang sejak lama merancang pelemahan KPK. Sehingga kampanye Jokowi terasa begitu membuai di telinga rakyat yang muak dengan korupsi dan oligarki. 

Sialnya meski tidak berasal dari oligarki politik Indonesia, Jokowi ternyata jenis politikus yang lebih suka main aman dalam isu pemberantasan korupsi. Ia misalnya lebih memilih buang badan soal polemik pemberhentian 57 pegawai KPK. Gara-gara sikapnya ini 57 pegawai itu per 30 September 2021 benar-benar mesti angkat kaki dari KPK.

Jokowi punya dua dalih untuk membenarkan sikapnya tersebut. Pertama, wewenang mengangkat pegawai KPK menjadi PNS atau memberhentikannya, ada di tangan pejabat pembina yang dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). 

“Kalau itu kewenangan pejabat pembina, harusnya kan itu menjadi tanggung jawab mereka,” ujar Jokowi saat bertemu sejumlah pemimpin redaksi media massa di Istana Negara Jakarta, 15 September 2021.

Alasan kedua, kata Jokowi, sudah ada keputusan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) soal uji materi pelaksanaan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) di KPK. Dengan penuh percaya diri ia menyebut sikapnya sebagai bentuk tata cara bernegara yang baik.

“Saya kan enggak mungkin mengambil keputusan kalau proses hukum berjalan di MA dan di MK, jangan semuanya ditarik-tarik ke presiden,” kata Jokowi. “Yang menurut saya tata cara bernegara yang baik seperti itu, ada penanggungjawabnya dan proses berjalan sesuai dengan aturan.”

Lantas, seberapa masuk akal dua dalih yang dikemukakan Jokowi diterima? Benarkah ia tak berwenang menyelesaikan polemik pemberhentian 57 pegawai KPK? Benarkah sikap diam Jokowi ditujukan untuk melakukan tata cara bernegara yang baik? Atau justru ia cuma sedang bermain kata-kata untuk berpaling dari persoalan penting di tengah situasi genting?

Kita mulai dari dalil pertama. Sebenarnya frasa “jangan semuanya ditarik-tarik ke presiden” bukan pertama kali digunakan Jokowi. Dalam berbagai isu yang menuntut peran maupun tanggung jawab presiden, baik karena skala masalah atau janji politik yang belum ditunaikan, Jokowi kerap menggunakan frasa serupa.

Ia misalnya pernah bilang “bukan urusan saya” dan “masa dikit-dikit saya ambil alih” saat ditanya wartawan soal tindak lanjut kasus penyerangan Novel Baswedan. Ia juga pernah mengatakan “apa urusan saya dengan Esemka” saat ditanya wartawan kapan janji Esemka menjadi mobil nasional direalisasikan. Saat menggelar pertemuan dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Jokowi juga menekankan agar persoalan daerah tidak sedikit-sedikit diadukan ke dirinya. Saking seringnya lepas tangan mengenai isu-isu strategis yang menuntut perannya, meme YNTKTS (Ya Ndak Tau Kok Tanya Saya) sering juga viral di media sosial.

Pertanyaannya sekarang, benarkah Jokowi tak berwenang selesaikan polemik pemberhentian 57 pegawai KPK? 

Cara menjawab pertanyaan ini sebenarnya mudah, yaitu kembali ke pernyataan Jokowi pada 17 Mei 2021. Saat itu Jokowi mengatakan bahwa hasil TWK tidak serta merta bisa menjadi landasan pemecatan pegawai, hasil TWK juga tidak boleh merugikan pegawai, lalu apabila ada pegawai yang dinyatakan tak lulus TWK maka masih ada peluang untuk perbaikan melalui pendidikan kedinasan tentang wawasan kebangsaan. Ia juga secara khusus menyebut Menteri PAN-RB dan kepala BKN untuk merancang tindak lanjut bagi para pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus TWK berdasarkan prinsip-prinsip yang telah ia sampaikan.

Dari pernyataan itu kita bisa membangun sebuah analogi sederhana, jika memang Jokowi tidak punya kewenangan, buat apa dia berkomentar dan bahkan mengajukan permintaan kepada Menteri PAN-RB serta kepala BKN untuk menindak lanjuti pegawai KPK yang tak diloloskan TWK agar tak dirugikan?

Kita semua tahu pada akhirnya ucapan Jokowi sama sekali tidak digubris oleh Menteri PAN-RB dan Kepala BKN. Meski demikian, jangan dulu buru-buru menyimpulkan bahwa menteri PAN-RB dan Kepala BKN sedang membangkang perintah presiden, sebab bisa jadi Jokowi sendiri yang sedang melanggar kewenangannya, sebagaimana logika yang ia bangun saat menolak turut campur dalam polemik pemberhentian 57 pegawai KPK.

Di luar analogi itu, masih ada seabrek alasan mengapa tak semestinya Jokowi berlepas tangan. Mengacu UU ASN Pasal 25 ayat 1 dan Pasal 3 PP 17/2020, presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan birokrasi di Indonesia. Ia berwenang mengangkat seseorang menjadi ASN. Sehingga, ketika Ombudsman dan Komnas HAM menyimpulkan adanya temuan pelanggaran HAM dan malistrasi dalam proses TWK KPK, maka presiden sebagai pembina tertinggi tak seharusnya buang badan.

Belum lagi kalau kita mengacu ke sistem presidensial yang memberikan presiden kewenangan penuh dalam menjalankan roda kekuasaannya. Jangankan memerintah menteri PAN-RB, Kepala BKN, dan Kesekjenan KPK, presiden bahkan bisa membatalkan UU yang melemahkan KPK lewat mekanisme Perppu. Tapi ia bukan saja tidak melakukannya, bahkan menjadi bagian yang mensponsori pelemahan KPK.

Dalih kedua Jokowi bahwa ia tak ikut campur soal polemik pemberhentian 57 pegawai KPK karena proses hukum sudah berjalan di MA dan MK juga bertolak belakang dengan sejumlah kasus sikap yang ditunjukan pemerintah sebelumnya.

Saya beri beberapa contoh:

1) Saat MA mengeluarkan putusan Nomor 7 P/HUM/2020 yang membatalkan Perpres 75/2019 tentang Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan, Jokowi bukan saja mengabaikan putusan MA, tapi justru kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan lewat Perpres Nomor 64 tahun 2020.

2) Saat UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja diuji formil di MK, Jokowi tidak diam saja. Ia mengutus Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto untuk mewakili dirinya dalam sidang MK dan meminta seluruh permohonan pemohon dibatalkan.

3) Saat MA menolak kasasi Jokowi dan sejumlah menteri dalam kasus Karhutla di Kalimantan, mereka tidak serta merta menuruti putusan MA. Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan justru mengajukan peninjauan kembali (PK).

Kembali ke putusan MA dan MK mengenai TWK di KPK. Kendati dua lembaga tersebut menyatakan penyelenggaraan TWK merupakan wewenang KPK namun keputusan tersebut tidak serta merta menegasikan temuan-temuan Ombudsman dan Komnas Ham. Sebab keputusan MA dan MK bersifat normatif, sedangkan temuan Komnas Ham dan Ombudsman mengenai adanya dugaan pelanggaran HAM dan maladiministrasi selama TWK bersifat faktual.

Pada akhirnya saya mengerti banyak orang kecewa dengan sikap buang badan presiden. Tapi kecewa itu sebenarnya tidak perlu-perlu amat, karena sejatinya bukan Jokowi yang berubah, tapi mungkin mereka yang terlalu berharap kepada orang yang memang tak patut diharapkan. 


Penulis adalah jurnalis yang meminati isu politik dan sejarah. Jay pernah bekerja di Republika dan Tirto.id. Kini ia bekerja sebagai produser di narasi.tv. 

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Mawa Kresna
6 menit