Pada 1942-1944, masyarakat Kalimantan Barat menjadi korban penyiksaan dan pembunuhan massal oleh penjajah Jepang. Sejarah kelam itu semakin pudar dalam ingatan. Anak-anak korban kini sudah renta. Ada pula yang sudah meninggal dunia.
Di tengah hiruk pikuk suara pengunjung pasar dan deru kendaraan, Syarif Husein Al-Aydrus fokus memasang batu akik ke cincin. Meja ukuran 2×1 meter tempat dia menjual batu akik, tepat berada di bawah ruko tua berlantai dua, Jalan Tanjungpura, Pontianak. Sudah 40 tahun Husein berdagang di sana.
Di sela-sela kesibukan Husein, saya mengajak berbincang.
“Bapak tahu gedung ini dulu punya siapa?”
“Punya Belanda.”
“Itu dulu pernah jadi studio foto punya orang Jepang. Honda namanya.”
Sesaat Husein tertegun. Pria berusia 78 tahun itu seakan menemukan benang merah sejarah saat disebut kata “Jepang”. Ayahnya, Syarif Husna Al-Aydrus, yang biasanya disapa Wan Sena dieksekusi oleh tentara Jepang. Husein tak pernah tahu persis di mana makam ayahnya. Ada beberapa wilayah di Kalbar yang dijadikan tentara Jepang sebagai lokasi eksekusi, yakni Ketapang, Singkawang, Mandor, dan dua lokasi di Pontianak.
Pada Makam Juang Korban Pembunuhan Jepang Kabupaten Ketapang, di Jl Pierre Tendean, tertulis nama Wan Sena dengan nomor urut 126 dari 131 nama korban. Diperkirakan korban-korban lain tak diketahui identitasnya. Husein tak pernah mendatangi Makam Juang tersebut. Dia hanya pernah dikabari keponakannya bahwa nama ayahnya ada di tugu makam juang.
Ayah Husein adalah lurah di Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang. Ketika Husein berusia enam bulan, kabarnya sang ayah ditangkap oleh tentara Jepang, kemudian dinaikkan ke kapal. Setelah itu ayahnya tak pernah kembali. “Waktu saya umur 10 tahun, kakak cerita tentang Abah. Katanya kepala Abah dimasukkan (disungkup) bakul atau karung.”
Saat Husein berusia tiga tahun, ibunya meninggal dunia. Hidup sebagai yatim piatu, Husein diasuh oleh paman, bibi, dan kakak-kakaknya. Husein kemudian pindah dari Kendawangan ke rumah kakaknya di Pontianak.
Ribuan Korban
Penangkapan warga yang berujung eksekusi oleh tentara Jepang, diperkirakan terjadi pada Oktober 1943, hingga akhirnya Jepang mengumumkannya dalam koran Borneo Sinbun tanggal 1 Juli 1944.
Jumlah korban eksekusi oleh tentara Jepang hingga kini angkanya masih simpang siur. Tsuneo Izeki, warga negara Jepang yang pernah menjadi penerjemah saat tentara Jepang menginterogasi beberapa korban, menuliskan kisahnya dalam buku “Nishi Buroneo Jumin Gyakusastsu Jiken: Kensho Pontianak Jiken (Verifikasi Pembantaian Warga Kalbar: Insiden Pontianak)” terbit tahun 1987. Izeki menyatakan bahwa korban sebanyak 1.486 orang. Jumlah itu berbeda jauh dibanding data resmi pemerintah Kalimantan Barat yang menyebut korban sebanyak 21.037 jiwa.
Data tentang jumlah korban dalam buku “Tandjungpura Berjuang” yang dipublikasikan Semdan XII/Tandjungpura pada tahun 1970, tertulis bahwa angka total 1.000 orang dari 9 titik makam kuburan massal di Mandor. Sungai Durian berisi 270 orang, Ketapang berisi 150 orang, belakang KMK, Pontianak berisi 13 orang, Tangsi Besar berisi 6 orang, belakang Gereja Pontianak berisi 14 orang. Kemudian menurut kabar di sepanjang pantai Pasir Panjang, tidak kurang 250 orang yang dibunuh Jepang dan dilempar ke laut.
Berdasarkan narasi dan cerita di masyarakat para korban berasal dari cendekiawan dan bangsawan, namun hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Yusri Darmadi, peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Kalbar, mengatakan bahwa berdasarkan data korban yang dikeluarkan pemerintah Kalbar, para korban juga banyak dari kalangan pedagang, buruh, dan lainnya.
“Diduga tentara Angkatan Laut Jepang pada masa itu membunuh ribuan orang di Kalbar, karena terinspirasi Holokaus yang dilakukan Nazi. Mereka ingin menjadikan Kalimantan sebagai negara jajahan tetap. Menguasai kayu dan tambang di Kalimantan,” kata Yusri, 8 Agustus 2022.
Kedatangan Jepang di Kalbar
Yusri mengatakan bahwa berdasarkan buku yang ditulis Tsuneo Izeki, orang-orang Jepang datang ke Kalbar pada tahun 1920-an. Semula mereka menjalin hubungan bisnis dengan Belanda. Seperti Tsuneo Izeki yang bekerja di perusahaan kayu, Sumitomo. Perusahaan ini sampai sekarang masih ada di Pontianak.
Dokumentasi aktivitas orang Jepang di Kalbar pada masa itu, banyak digambarkan melalui foto-foto hasil jepretan Honda. Dia memotret hingga ke pelosok Kalbar. Di Pontianak, Honda memiliki studio foto di Jalan Tanjungpura. Jejak keberadaan studio foto tersebut masih tersisa. Di dinding ruko lantai dua yang menghadap ke jalan, terlihat jejak kata “HONDA”. Tepat di depan gedung itu terdapat jembatan penyeberangan orang di Kawasan Pasar Tengah.
Pada era 1940-an Jepang berupaya menguasai catur di politik dunia. Pada 19 Desember 1941 Pasukan Angkatan Udara Jepang yang mengendarai 9 pesawat, mengebom Kota Pontianak. Setelah Belanda angkat kaki dari Indonesia, tentara Jepang masuk ke Kalimantan Barat melalui Sarawak, Malaysia dan Kota Tarakan, Kalimantan Utara.
Yusri mengutip buku “The Japanese Occupation of Borneo, 1941–1945” yang ditulis oleh peneliti asal Malaysia, OOI Keat Gin, bahwa pendudukan Jepang di Kalimantan merupakan rencana perang Kekaisaran Jepang. Selama periode sebelum perang, Kalimantan merupakan wilayah strategis dari perspektif militer.
Kedatangan tentara Jepang di Kalbar pada awalnya menggaungkan propaganda, bahwa Jepang adalah saudara tua Asia. “Jepang menerbitkan koran Borneo Sinbun sebagai alat propaganda,” kata Mohammad Rikaz Prabowo, guru yang aktif meneliti sejarah pendudukan Jepang di Kalbar, saat ditemui pada 16 Agustus 2022.
Alih-alih berlaku seperti saudara, Jepang justru menindas warga. Jepang mencurigai bahwa masyarakat Kalbar yang dimotori para cendekiawan, akan melakukan pemberontakan. Jepang lantas menghabisi eks Gubernur Borneo masa Hindia Belanda, Bauke Jan Haga dan ratusan pengikutnya di Kalimantan Selatan. Jepang juga menangkap dan mengeksekusi ribuan orang lainnya yang dicurigai akan melakukan pemberontakan di Kalbar.
Sekelompok orang yang keluarganya menjadi korban eksekusi, memperjuangkan lahirnya Perda nomor 5 tahun 2007, tentang peristiwa Mandor sebagai Hari Berkabung Daerah dan Makam Juang Mandor Sebagai Monumen Daerah Provinsi Kalbar. Berdasarkan Perda tersebut ditetapkan bahwa Hari Berkabung Daerah diperingati tiap 28 Juni. Seluruh sekolah dan instansi pemerintah wajib mengibarkan bendera setengah tiang pada hari tersebut.
Nyaris Dilupakan
Sejarah tentang ribuan masyarakat Kalbar yang dieksekusi Jepang, kini nyaris terlupakan oleh generasi muda. Beberapa anak muda bercerita bahwa mereka tahu tentang Hari Berkabung Daerah yang diperingati tiap 28 Juni. Pada hari tersebut sekolah memasang bendera setengah tiang.
“Guru hanya mengatakan bahwa Hari Berkabung Daerah untuk menghormati pahlawan. Tapi tidak tahu bahwa yang dimaksud pahlawan yang gugur dalam kasus Mandor Berdarah,” kata Laura, mahasiswi Fisip Universitas Tanjungpura, pada 27 Oktober.
Nia, temannya, mengatakan tahu tentang Mandor Berdarah, tapi tak tahu bahwa Pontianak pernah dibom Jepang. Mereka juga tidak tahu bahwa masih ada beberapa bangunan di Pontianak yang masih merekam jejak-jejak sejarah Jepang di Kalbar.
Pada saat yang sama, anak-anak korban kini sudah menua dan ada pula yang sudah meninggal dunia. Orang-orang yang dahulu memperjuangkan lahirnya Perda Hari Berkabung Daerah, kini tak lagi bergerak mencari data-data terbaru.
Syarif Herry, jurnalis yang dulu bergabung dalam kelompok penggagas Perda Hari Berkabung Daerah, menuturkan bahwa upaya-upaya mereka kini terhenti.
“Dulu almarhum Gusti Suryansyah yang banyak menggerakkan dan melakukan upaya. Semenjak dia meninggal, masing-masing sibuk sendiri,” ujarnya, 24 Oktober. Gusti Suryansyah Iswaramahayana, meninggal pada 14 Oktober 2016. Dua kakeknya dari kerabat Mempawah dan kerajaan Landak, menjadi korban eksekusi tentara Jepang.
Herry berharap generasi penerus tak melupakan sejarah. “Kalau ada yang mau meneruskan upaya kami melawan lupa, akan sangat membantu. Sangat berarti untuk sejarah daerah, nasional dan internasional,” katanya.
Dorong Penelitian Terbaru untuk Keadilan Transisi
Moh. Fadhil, dosen IAIN Pontianak mendorong penelitian terbaru tentang peristiwa ribuan korban eksekusi tentara Jepang. “Data zaman dahulu dengan zaman sekarang bisa jadi berbeda. Penelusuran data itu harus betul-betul real time terus,” katanya, 27 Oktober.
Dia mengatakan bahwa keluarga korban berhak mendapatkan keadilan transisi, yakni berhak atas kebenaran, keadilan, pemulihan, dan jaminan ketidakberulangan. Penelitian merupakan bagian dari pemenuhan atas kebenaran.
Fadhil menyatakan, apabila penelitian terbaru tidak dilakukan, sangat mungkin sejarah tentang korban-korban eksekusi tentara Jepang di Kalbar semakin kabur. Pemutakhiran data dan pengarsipan digital sangat penting untuk merawat ingatan dari generasi ke generasi.
Mengenai kompensasi, pemerintah Indonesia dan Jepang sudah membuat kesepakatan. Dituangkan dalam UU nomor 13 tahun 1958 tentang perjanjian perdamaian dan persetujuan pampasan antara RI dan Jepang.
“Perjanjian itu meliputi hal umum. Tidak secara spesifik memuat kasus-kasus secara spesifik seperti peristiwa Mandor dan Jugun Ianfu. Padahal terjadi peristiwa yang spesifik, harus didata dan dipastikan jumlah korban, dampaknya, dan lain-lain,” kata Fadhil.
Berdasarkan referensi berita dan dokumen-dokumen terkait, Fadhil menilai bahwa pemerintah Indonesia dan Jepang pada masa itu kesulitan mendapatkan data para korban. “Tahun 50-an, waktu itu pemerintah kita kan belum stabil secara politik. Sibuk dengan ekonomi, sibuk mempertahankan status quo, apalagi ada pemberontakan. Boleh jadi kesulitan juga dari sisi teknologi,” ujarnya.
Dengan kondisi yang serba terkendala, Fadhil menduga pemerintah RI dan Jepang dibuat perjanjian damai serta persetujuan pampasan secara umum. Satu di antara proses realisasi perjanjian dengan mengirimkan pelajar Indonesia ke Jepang menggunakan dana pampasan. “Itu tidak secara khusus menyasar para korban di Kalbar dan juga Jugun Ianfu,” tambahnya.
Sebagai anak dari korban eksekusi tentara Jepang, Husein mengatakan belum pernah menerima permintaan maaf khu
sus dari pemerintah Jepang. “Harusnya minta maaf. Yang sudah ya sudah lah,” ujar Husein.
Mohammad Rikaz Prabowo mengatakan bahwa perwakilan pemerintah Jepang pernah berkunjung ke Taman Makam Juang Mandor. Dari berita-berita yang dihimpun, tertera bahwa mantan Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, pernah mengucapkan permintaan maaf. Tetapi itu pernyataan secara umum.
“Sejarah mengajarkan tentang memaknai dan melihat ke depan. Bisa bangun generasi muda yang peduli HAM, membuat tata kota dan kebijakan-kebijakan yang peduli HAM. Minimal anak muda bisa berempati kepada negara-negara yang sedang berkonflik, mencegah terulangnya tindak kekejian di Kalbar,” kata Fadhil.