Menanam Kini, Tergusur Besok: Pekebun Tua Melawan Korporasi Batu Bara di Kalimantan Timur

Mawa Kresna
15 menit
Thomas Rewo Lewo Samo (kiri) dan anak angkatnya, Martinus Hibur (kanan), terpaksa ke Jakarta untuk mempertahankan kebun mereka dari korporasi batubara setelah perjuangan di daerah asal, Kalimantan Timur, tak membuahkan hasil. Mereka membawa bukti surat Kepala Desa Mulawarman yang membenarkan keabsahan perkebunan mereka. (Project M/Alfian Putra Abdi)

Kehidupan Thomas si pekebun tidak pernah gampang. Waktu muda ia terlibat konflik perebutan tanah di Nusa Tenggara Timur. Saat tua, fase hidup yang harusnya untuk menuai hasil, kebunnya justru digusur korporasi batu bara di Kalimantan Timur.


LANTAI EMPAT bangunan indekos di Jakarta Pusat itu lengang. Riuh pasar di bawah tidak sampai ke atas. Hanya ada bunyi mesin token listrik dan suara kasar mesin air yang menggema. Angin sore bertiup kencang dari serambi, menggesel jendela dan pintu-pintu kamar. Ada empat kamar di sana dan cuma dua yang berpenghuni.

Thomas Rewo Lewo Samo, pria 76 tahun, salah satu penghuni kamar, sedang menuang air panas ke dalam gelas plastik berisi teh kantong. Perawakannya kurus-tinggi, matanya menjorok masuk, dengan rambut ikal yang jarang. Jika angin berembus, keluar bau balsam dari badannya.

Setelah menambahkan dua sendok makan gula pasir untuk teh, Thomas duduk bersila dan tercenung di depan pintu menuju serambi, sambil membiarkan tehnya agak mengadem.

“Tambah lagi airnya,” teriak Martinus Hibur, yang duduk bersila di depan Thomas. Suaranya memecah sepi sejenak. Martinus, pria 54 tahun, anak angkat Thomas yang tinggal di kamar sebelahnya.

Ia menuang air panas ke dalam gelas teh Thomas hingga penuh. Uap di gelas menebal. Lalu ia berteriak seperti orang mengeja, “Biar-tambah-rezeki. Kalau-dia-penuh-tambah-rezeki.” Sekilas, terdengar serupa doa.

Pada tahun yang tak teringat lagi, Thomas pernah mengalami kecelakaan saat berkebun di Kalimantan Timur. Refleksnya sedang tidak bagus hari itu. Ia tak mampu menghindari patahan dahan yang jatuh. Sekelebat, kayu menghantam kepalanya. Thomas ambruk. Pekebun lain membawanya ke mantri desa. “Kata mereka mata saya keluar semua. Tapi tidak tahu bagaimana cara mereka, bisa masuk lagi,” kenang Thomas.

Sejak itu penglihatannya menjadi buram, berangsur pendengarannya menurun, terus memburuk dalam enam tahun terakhir.

Thomas dan Martinus adalah pekebun asal Dusun Karya Harapan, Desa Mulawarman, Tenggarong Seberang, Kalimantan Timur. Mereka sudah setahun dua bulan di Jakarta untuk mengurus sengketa lahan. PT Jembayan Muarabara, korporasi tambang batu bara diduga telah menyerobot lahan perkebunan mereka.

Mereka sudah melakukan protes ke sana kemari, mulai tingkat desa hingga provinsi. Namun mereka mesti ke Jakarta karena aturan hukumnya telah berubah. Dalam UU 3/2020 tentang perubahan atas UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, peranan pemerintah daerah telah dihilangkan. Pemda tidak lagi punya wewenang mengurusi pertambangan di wilayahnya, karena telah menjadi kewenangan penuh pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Sehingga masyarakat tidak bisa lagi protes ke pemda jika dirugikan oleh aktivitas pertambangan. WALHI dan JATAM bersama perwakilan petani dan nelayan pernah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi namun ditolak.

Sebab itu, Thomas sengaja memilih lokasi indekos yang berdekatan dengan istana presiden, kantor Kementerian ESDM, dan tak terlalu jauh dari gedung DPR RI. Agar irit tenaga lagi biaya.

“Kami terpaksa ke Jakarta mengurus itu, supaya bisa menikmati jerih payah kami meski sedikit. Rasanya sudah lama sekali di sini, menunggu terus belum ada penyelesaian,” ujar Thomas.

Mengundi Nasib di Kalimantan

Thomas lahir dan besar sampai usia 24 tahun di Nusa Tenggara Timur. Ia hidup di antara berkebun dan perang tanding antar desa. Ia tidak pernah merasakan bersekolah. Tidak ada gedung sekolah di desanya. Jika mau bersekolah, ia mesti menyebrang ke desa tetangga yang penuh risiko. “Di desa itu pro sama musuh kami. Kami jadi terkurung,” ucap Thomas.

Perebutan batas tanah menjadi pemicu perang tanding. Cara penyelesaiannya mesti dengan adu fisik, siapa yang paling kuat. Masalahnya bisa menjadi runcing jika urusan personal menyertai. Apalagi, jika sudah jatuh korban dari salah satu pihak. Thomas muda pernah memarang orang untuk bela diri. Perang itu juga yang menyempitkan ladangnya cari uang.

“Pernah saya sampai mandi air kayu karena air tidak ada. Mereka kepung kampung kami. Hidup kami menderita, sampai kami harus merantau,” kata Thomas.

Seseorang bilang kepada Thomas muda, ada banyak pekerjaan di Kalimantan. Iming-iming kehidupan yang lebih layak pun membuat Thomas tergugah untuk mengundi nasib. Bersama sepuluh kawannya, Thomas tiba di pulau berjuluk “paru-paru dunia” pada 1970. “Pertama kami ke Tarakan, baru ke Samarinda. Tujuan kita cari kerja.”

Setahun sebelumnya, pemerintahan Presiden Soeharto menerbitkan Rencana Pembangunan Lima Tahun tingkat I, disingkat Repelita I. Peneliti Patrice Levang dalam buku Ayo ke Tanah Sabrang: Transmigrasi Indonesia (2003) menyebutkan Kalimantan memang ditarget untuk menunjang program Orde Baru. Sehingga terjadi pembangunan infrastruktur besar-besaran, mengubah dataran rendah menjadi lumbung padi atas nama Revolusi Hijau, pengeringan ribuan hektare rawa untuk irigasi, lalu lintas, dan drainase. Program ambisius itu membutuhkan banyak tenaga kerja, yang kemudian mendorong arus transmigrasi.

Kalimantan menawarkan banyak pekerjaan, namun Thomas memilih kerja di perkebunan. Ia tidak percaya diri bekerja di perusahaan karena tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Toh, Thomas berjiwa bebas. Ia juga tak senang kerja dengan aturan yang ketat.

Menahun ia bekerja di perkebunan orang lain. Baru pada 1997, ia menggarap kebun sendiri di Dusun Karya Harapan. “Berkebun itu lebih tenang karena tidak ada perintah. Sesuka hati kita bekerja. Saya lebih cocok bekerja di kebun. Tidak di perusahaan,” kata Thomas.

Thomas dibantu Martinus untuk menggarap kebun seluas 11 ha. Martinus merantau dari NTT ke Kalimantan Timur pada 1989, setelah menyelesaikan pendidikan SMA. Di perantauan, ia tidak punya minat bekerja di perusahaan. “Menurut cerita waktu itu, peluang kerja banyak di Kalimantan. Makanya saya merantau ke sana. Melihat kesempatan tanah masih luas, daripada kerja dengan perusahaan lebih bagus kita garap tanah,” kata Martinus.

Mereka menanam banyak jenis tetumbuhan di sana, antara lain: 6.649 pohon karet, 11.250 pohon pisang, 500 pohon lombok, 550 pohon durian, 250 pohon manggis, dan puluhan pohon ragam jenis lainnya: mangga, kelapa dalam, serai, kunyit, jahe, dan kemiri. Beberapa pohon sudah masuk masa produksi dan yang lain dalam masa tumbuh.

Keluarga mereka hidup dari hasil perkebunan selama bertahun-tahun. Thomas sempat beristri dan punya tiga anak yang sudah dewasa. Martinus menikah dengan perempuan Dayak dan punya lima anak. Pemasukan terbesar mereka dari pohon karet. Tiap satu hektare bisa menghasilkan kurang lebih 1 ton getah karet, dengan rata-rata jumlah produksi bulanan mencapai 300-2.000 kilogram. Untuk harga per kilogram karet cukup fluktuatif, terakhir harga berkisar Rp9.000-9.500. Hasilnya bisa untuk membayar uang sekolah anak-anak. Untuk kebutuhan harian, mereka mengandalkan hasil jualan buah-buahan dan sayur-mayur.

Tapi itu dulu, sebelum PT Jembayan Muarabara menggusur perkebunan mereka. “Terus terang saja, karet dan terutama pisang itu hidup saya, karena digusur perusahaan, kami tidak bisa hidup sehari-hari,” kata Thomas.

Thomas sering sakit-sakitan di Jakarta. Ia tak berobat ke dokter karena tak punya uang. Jika sakit, ia hanya beristirahat dan minum teh hangat. (Project M/Alfian Putra Abdi)

Semenjak ada operasi tambang batu bara, lahan perkebunan mereka semakin menyusut. Setengah dari luasan kebun sudah menjadi disposal area. Hasil panen pun menurun. Martinus sampai tidak bisa menguliahkan anak keempatnya yang lulus SMA tahun 2022.

Bahkan akses mereka ke kebun semakin jauh. Jalur yang biasa mereka lewati dengan sepeda motor itu berseliweran alat berat pertambangan. Sekali lewat, nyawa taruhannya. Seandainya selamat pun, belum tentu aparat keamanan korporasi memperbolehkan mereka masuk, sehingga mereka mesti berjalan kaki melalui jalur setapak dengan jurang di kiri dan kanan. Jarak tempuhnya enam kilometer. Mereka kerap kewalahan jika bolak-balik.

“Sekarang masyarakat tinggal tulang belulang, mau masuk kebun, polisi bilang ‘jangan ganggu perusahaan’. Bagaimana masyarakat bisa tidak mati di atas lahan sendiri?” Martinus kesal.

Patgulipat Korporasi Batu Bara

PT Jembayan Muarabara mengantongi izin pertambangan seluas 6.959 ha di Tenggarong Seberang, Marang Kayu, Kalimantan Timur dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Izin operasi mereka sejak 24 Juli 2017 hingga 23 Juli 2027. Dalam wilayah konsesi PT JMB terdapat kawasan hutan produksi tetap (HP) seluas 4920.31 ha.

Namun sejak 2015, Thomas sudah bersitegang dengan pihak korporasi. PT JMB mengklaim telah membeli lahan perkebunan dari pemilik yang asli. Ada 13 surat tanah yang mereka bebaskan dalam periode 2011-2012. Dengan luas lahan 25,7 ha dari total 98 ha milik Kelompok Tani Sumber Makmur. Di mana lahan perkebunan Thomas seluas 11 ha berada di dalamnya. Thomas jengkel karena puluhan tahun cuma ia yang berkebun di sana. Martinus menduga pihak korporasi melakukan rekayasa surat.

“Mereka ambil nama orang lain untuk mengakui tanah kami. Tanah kami, saksi batasnya jelas. Tanamannya ada di dalam,” kata Martinus.

PT Jembayan Muarabara merupakan korporasi batu bara yang terafiliasi dengan sejumlah korporasi batu bara dalam negeri hingga luar negeri, melalui kepemilikan saham dan struktur perusahaan yang kompleks.

Saham mayoritas PT Jembayan Muarabara dikuasai PT Separi Energy, sedangkan saham minoritas dipegang PT Borneo Citrapertiwi Nusantara.

Adapun kepemilikan saham mayoritas PT Separi Energy dikuasai PT Borneo Citrapertiwi Nusantara. Sedangkan kepemilikan saham mayoritas PT Borneo Citrapertiwi Nusantara dikuasai oleh PT Bahari Cakrawala Sebuku.

PT Bahari Cakrawala Sebuku memiliki lahan konsesi batu bara seluas 14.243 ha di Kabupaten Kota Baru, Kalimantan Selatan. Mereka memiliki jajaran manajemen yang sama dengan PT Jembayan Muarabara: Sudasi Harsono (Direktur Utama), Surachai Sukhahuta (Direktur), dan Hendry Muliana Hendrawan (Komisaris).

Saham mayoritas PT Bahari Cakrawala Sebuku dikuasai perusahaan batu bara asal Singapura, Sakari Resources Limited. Sedangkan pemegang saham minoritas oleh perusahaan dengan modal asing, PT Reyka Wahana Digdjaya.

Semua perusahaan tersebut merupakan entitas anak yang menginduk pada PTT Mining Limited di Hong Kong, yang jika ditarik ke atas merupakan entitas anak PTT International Holdings Limited—perusahaan ini menginduk ke BUMN Thailand, PTT Public Company Limited. Akan tetapi sejak September 2021, PTT Mining Limited  telah diakuisisi oleh PT Astrindo Nusantara Infrastruktur Tbk.

Untuk membuktikan dugaan rekayasa yang dilakukan PT JMB, Thomas dan Martinus menemui Tarinah, salah satu pekebun yang namanya masuk daftar pembebasan tanah PT JMB. Kepada mereka, Tarinah mengaku tidak pernah punya lahan garapan di Desa Mulawarman. Apalagi menandatangani surat atas lahan yang tidak pernah ia punya. “Tandatangan pada SKT 593/575/33.2009/SKT/VI/2007 adalah bukan tanda tangan saya. SKT ini saya cabut,” aku Tarinah dalam sepucuk surat pernyataan.

Pemalsuan surat pernyataan itu juga diakui oleh Mulyono, Kepala Desa Mulawarman. Ia mengatakan namanya pernah dicatut oleh PT JMB dalam sebuah surat pernyataan sebagai pemilik tanah, namun faktanya ia tidak pernah memiliki tanah tersebut.

“Kan memang sempat ada muncul nama saya, tapi saya di sana nggak pernah ngurus itu. Nggak pernah ngurus, nggak pernah buat. Saya juga tidak pernah punya lahan di situ,” kata Mulyono, Jumat, 3 Februari 2023.

Atas pencatutan nama itu, Mulyono pun membuat surat bantahan. “Waktu itu saya kaget ketika dikasih tau itu, loh saya nggak pernah urus yang begituan. Akhirnya saya buat surat pembantahan bahwa saya tidak pernah membuat surat itu dan tidak pernah memiliki lahan di sana.”

Thomas dan Martinus juga pernah mengadu ke pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, hingga mereka diundang rapat di Ruang Tepian I Lt.2 Kantor Gubernur Kalimantan Timur pada 22 Desember 2020.

Mereka meminta Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor untuk mengusut tuntas dugaan pemalsuan surat tanah tersebut. “Usut tuntas perangkat pemerintahan Kecamatan Tenggarong Seberang yang sesuai sumber data yang ada diduga bekerjasama dengan pemerintah Desa Mulawarman dalam menggelapkan lahan/tanah Thomas,” kata Martinus.

Rapat dihadiri oleh Dinas Kehutanan, Dinas ESDM, Dinas Pertanahan dan Penataan Ruang (DPPR) Kabupaten Kutai Kartanegara, Kesbangpol Kalimantan Timur, dan Isran Noor diwakilkan bawahannya, sedangkan PT JMB mangkir.

Pada 8 Maret 2021, Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor merespons pertemuan tersebut dengan bilang, “Kepada Thomas Rewo Lewo Samo dan PT Jembayan Muarabara diharapkan untuk dapat menyelesaikan permasalahan melalui proses hukum yang berlaku.” Ia tidak menanggapi dugaan pemalsuan surat itu.

Martinus membawa puluhan surat pembebasan tanah ke Jakarta. Ia menduga surat-surat tersebut hasil rekayasa PT Jembayan Muarabara. (Project M/Alfian Putra Abdi)

Dinas Pertanahan dan Penataan Ruang Kabupaten Kutai Kartanegara (DPPR) yang sempat membentuk Tim Penyelesaian Sengketa, enggan mengusut dan menyelesaikan dugaan pemalsuan surat. “Karena terdapat fakta, informasi, dokumen dan kesaksian yang saling bertentangan dan berbeda-beda dari pihak-pihak yang bersangkut paut dengan surat-surat tanah tersebut,” tulis Kepala DPPR Kutai Kartanegara, Setianto Nugroho Aji dalam Surat  Penyampaian Hasil Mediasi Nomor P.616/DPPR/sengketa/590/9/2021.

Dalam surat yang sama, DPPR Kutai Kartanegara justru merekomendasikan PT JMB membayar ganti rugi kepada Thomas dan Martinus sebesar Rp61.750.000. Mereka hanya menghitung lahan Thomas yang terganggu operasi tambang seluas 3,25 ha dan menghitung tanaman karet kecil usia 2 tahun sebanyak 1.625 pohon saja.

Nominalnya lebih kecil daripada hasil perhitungan Dinas Perkebunan dan Kehutanan Tenggarong Seberang pada 3 Maret 2016, sebesar Rp1.812.710.250. Malahan menurut Martinus harga tanam tumbuhnya bisa lebih tinggi dari perhitungan tersebut. “Sudah hampir Rp3 miliar, karena tanaman ini bukan ditanam main-main.”

“Kalau ganti ruginya cukup bagus mungkin saja bisa alih usaha lain. Kalau tidak mana bisa, belum kalau kami menanam lagi, harus menunggu berapa tahun dulu untuk bisa panen,” keluh Martinus.

DPPR Kutai Kartanegara meminta Thomas dan Martinus menempuh jalur hukum jika tidak bisa menerima hasil rekomendasi. “Dengan dikeluarkannya surat rekomendasi penyelesaian sengketa ini, maka dinyatakan selesai dan tidak dapat menerima lagi segala bentuk pengaduan maupun keberatan pada obyek lokasi yang sama,” tulis Setianto Nugroho Aji.

Menyikapi hasil rekomendasi, Direktur Utama PT JMB, Sudasi Harsono menerbitkan surat nomor JMB-SHL/L.065/Bupati/X/2021. Ia menyetujui semua isi rekomendasi, termasuk nominal ganti rugi, lalu menganggap persengketaan telah selesai.

Sudasi Harsono meminta Thomas dan Martinus menempuh jalur hukum jika masih berkeberatan. “Kami selalu minta diproses secara hukum supaya tuntas. Karena negara kita negara hukum, hukum harus kita hormati,” tukasnya.

Proses mediasi membuat Thomas dan Martinus kecewa. Mereka menggelar protes langsung ke lokasi pertambangan, berharap PT JMB melunak dan bertanggungjawab atas kerusakan yang telah terjadi, meski mereka sadar kemungkinannya sangat kecil sekali.

Pihak korporasi tidak ada yang pernah menemui mereka, kecuali barisan aparat kepolisian berpelengkap senjata dan tameng.

“Kami hanya mempertahankan lahan, hanya demo saja yang bisa kami lakukan. Tidak mau rusuh. Sampai akhirnya kami datang ke Jakarta. Karena kami capek diperlakukan di Kalimantan,” ujar Martinus.

Melempar Dadu di Jakarta

Thomas dan Martinus tiba di Jakarta pada 24 September 2021. Ada enam warga Dusun Karya Harapan yang membersamai. Mereka menempati dua kamar berukuran 2×3 meter persegi. Tidur saling berdempetan. Jika pengap, mesti ada yang mengalah tidur di depan kamar.

Agenda harian mereka ialah menagih tanggung jawab negara. Mereka berdemonstrasi ke kantor Kementerian ESDM, markas besar Polri, dan gedung DPR RI, tanpa sorot media dan tambahan massa. Mereka sempat dipanggil Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM untuk audiensi, serta diundang seorang anggota Komisi VII DPR RI.

“Kami ke ESDM, mereka minta kami berhenti demo. Mereka janji selesaikan sampai tuntas. DPR katanya sudah kaji, janji terus bikin kami lama di sini,” ujar Martinus.

Mereka tidak mengira upaya penyelesaian di Jakarta sama alotnya seperti di Kalimantan, sementara pasokan logistik mereka terbatas. Setiap hari mereka mengirit untuk makan. Pernah suatu hari, mereka memasak kangkung dan garam lalu dimakan bersama dengan nasi. “Kadang ibu-ibu di bawah kasih kita sayur. Kalau untuk makan minum ada saja rezekinya,” kata Martinus.

Terkadang mereka mengandalkan famili yang sudah menetap di Jakarta. Ada yang kasih mereka beras, uang untuk ongkos mobilisasi, bahkan ada yang ikut patungan kamar indekos. Mereka kelabakan untuk bayar sewa kamar indekos. Harga sewa kamar Rp1,3 juta per bulan. Beruntung, pemilik indekos menggratiskan satu kamar selama belum ada penyewa lain.

“Sampai motor saudara kami di sini rela digadai ke pemilik kontrakan untuk bayar. Tapi Pak Johny melarang. Dia yang bayarin, sekarang motornya di tempat dia,” kata Martinus. Pak Johny yang disebut adalah Johny Nelson Simanjuntak, mantan Komisioner Komnas HAM, yang menjadi kuasa hukum mereka.

Thomas dan Martinus tinggal berdua di sebuah indekos di Jakarta Pusat. Enam warga Kalimantan Timur yang sebelumnya menyertai mereka pulang duluan karena kehabisan uang dan jatuh sakit. (Project M/Alfian Putra Abdi)

Setelah menyurati Kementerian ESDM pada 18 April 2022, Thomas dan Martinus beserta pihak PT JMB diundang mediasi di Gedung Ditjen Minerba pada 12 Mei 2022. Akhir Mei 2022, tim Ditjen Minerba terbang ke Dusun Karya Harapan untuk verifikasi lapangan. Martinus berang karena tidak ada pemberitahuan. “Mereka datang ke lapangan tanpa pemilik lahan. Kami masih di Jakarta. Kalau kami tahu, kami kasih unjuk orang di sana,” ujar Martinus.

Setelah itu terbit dua surat rekomendasi dari Ditjen Minerba, surat bernomor B-664/MB.05/DBB.HK/2022 pada 6 Juli 2022 dan surat bernomor B-1154/MB.05/DBB.HK/2022 pada 21 September 2022. Substansi dua surat itu sama: mereka meminta kedua belah pihak untuk rembukan ulang dan jika tidak terjadi kesepakatan kedua belah pihak dapat mengajukan upaya hukum di pengadilan.

Project Multatuli berupaya mengonfirmasi hal tersebut kepada Direktur Pembinaan Pengusahaan Batu Bara, Lana Satria, selaku penanda tangan dua surat tersebut, namun sampai tulisan ini dipublikasi yang bersangkutan tidak merespons.

Menurut Johny Nelson Simanjuntak, pengadilan bukan langkah yang tepat untuk menyelesaikan perkara sengketa ini. Ada relasi yang tidak setara antara Thomas dan PT JMB. Ia khawatir keadilan tidak berpihak pada mereka. Mestinya, Ditjen Minerba mendampingi Thomas hingga tercapai kesepakatan ganti rugi yang menguntungkan kliennya, sebab pemerintah telah abai membiarkan korporasi tambang beroperasi sebelum membereskan hak-hak warga di lokasi.

“Kami sudah klasifikasikan ini perampasan hak atas tanah atau ilegal mining. Kami akan melaporkan ke kepolisian. Dan akan kami bawa mereka ke menteri dan presiden,” kata Johny.

Sejak itu, kelompok Thomas dan Martinus mulai rapuh di Jakarta. Selain kesulitan keuangan, sebagian dari mereka mulai sakit. Bahkan salah satu dari mereka sempat dirawat inap di rumah sakit Jakarta, sebelum akhirnya pulang dan meninggal di Kalimantan Timur. “Dia pulang karena dengar katanya ESDM akan siap tuntaskan, akan dimusyawarahkan. Malah diarahkan ke jalur hukum,” ujar Martinus.

Kondisi kesehatan Thomas pun mulai tak prima. Dalam lima bulan terakhir, kesehatannya naik-turun. Ia mudah meriang, batuk, dan pilek. Tapi ia tidak mampu berobat ke dokter karena mesti berhemat. Setiap kali badannya meriang, Thomas menyeduh teh panas dan beristirahat di kamar. Tiga hari lalu ia baru saja sembuh, cara itu menyelamatkannya.

Sementara, di belakang Thomas dan Martinus, relasi bisnis antara pemerintah dengan korporasi tetap berjalan. Pada 7 November 2022, Direktur Pembinaan Pengusahaan Batu Bara, Lana Satria mengeluarkan surat berisi daftar perusahaan yang mesti memasok batu bara untuk memenuhi kebutuhan PLTU tahun 2023 sebanyak 161.155.417 metrik ton. Ada 125 perusahaan yang ditugaskan, salah satunya PT Jembayan Muarabara.

Kini, keseharian Thomas hanya berbaring di kamar atau berjemur di serambi lantai empat. Ia masih menunggu kepastian sambil berharap tidak sakit lagi. Martinus yang mondar-mandir ke kantor Johny Nelson Simanjuntak, menggali-gali kemungkinan untuk mendapatkan hak mereka.

“Saya sudah sangat tua, tenaga juga sangat kurang. Kalau tidak diganggu perusahaan, hidup tenang saja. Saya ingin cepat balik ke Kalimantan meneruskan kebun,” kata Thomas dengan lirih. Kepulan uap di gelas tehnya mulai menipis. Ia teguk perlahan, lalu menyunyi.


Muhibar Sobary Ardan berkontribusi dalam liputan ini.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Mawa Kresna
15 menit