Seperti wabah, bawang merah menyebar dengan cepat, kanopi hutan dibuka, tanah dipaksa berproduksi terus-menerus. Komoditas ini menciptakan gengsi dan sekaligus kekhawatiran bagi keberlanjutan pertanian.
SYAWAL adalah seorang lelaki berusia 22 tahun. Dia tinggal di wilayah Sossok, Kecamatan Anggeraja. Di belakang rumah panggung keluarganya, ada aliran sungai Sossok, yang bermuara ke sungai Mata Allo. Di depan rumahnya, hamparan kebun bawang merah membentang di antara aliran sungai dan jalan desa.
Saat berdiri, di sisi jalan utama Tebing Tontonan menuju Kecamatan Baraka, sungai yang dulunya mengalirkan air jernih itu kini sudah keruh. Sementara kebun bawang merah mengelilingi sisi tebing yang sudah melegenda sebagai tempat olahraga panjat tebing alam di sana.
Tahun 2018, saya menyaksikan dua ekskavator mendaki lereng curam di sisi kiri Tontonan, menguruk tanah dan menumbangkan beberapa tegakan pohon. Lalu awal 2023, lahan kerukan itu sedang panen bawang merah. Terpal oranye berdiri di atas lahan untuk mengeringkan bawang yang telah panen.
Sepeda motor yang dimodifikasi tanpa penutup rangka dengan knalpot terpotong mengangkut hasil panen ke rumah pemilik kebun atau ke tempat pedagang pembeli. Senyum para petani semringah.
Ketika bawang telah berganti menjadi uang, maka bibit baru yang didatangkan dari Jember dan Nganjuk pun segera kembali ditanam, dan orang-orang kembali ke kebun.
Para perempuan akan menjadi buruh tanam. Mereka mulai ke ladang pukul 07.30 hingga pukul 12.00; setiap orang mendapatkan upah Rp70 ribu; tapi jika pemilik lahan memberi makan siang, upahnya menjadi Rp60 ribu. Sementara bagi buruh yang rumahnya jauh, mereka akan mendapatkan uang transportasi Rp10 ribu. Namun, jika lahan luas dan penanaman sampai sore, maka upah menjadi Rp100 ribu.
Begitu pula saat panen, upah tanam dan panen tetap sama. Ini yang digaungkan pemerintah Kabupaten Enrekang bahwa bawang merah membawa berkah bagi warga sekitar lokasi budidaya karena menyediakan lapangan pekerjaan.
Bawang merah membawa berkah. Ungkapan ini acapkali terdengar dari mulut warga. Tapi, pada saat bersamaan, mereka mengeluh, sebab bawang merah membuat petani terlilit utang.
Fakta lapangan selama liputan ini, kami menemukan pengembangan bawang seperti untung-untungan dan berjudi. Jika panen bertepatan dengan harga bawang tinggi, maka akan menjadi berkah; sebaliknya, jika harga turun, petani buntung.
Fluktuasi harga bawang merah memang sungguh sulit ditebak. Pada minggu pertama Januari 2023, saat beberapa petani melakukan panen, harganya Rp25 ribu/kg. Beberapa hari kemudian, menjadi Rp23 ribu/kg. Lalu, pada Februari 2023, turun hingga Rp15 ribu/kg.
“Hancur,” kata Syawal, memberi kabar harga bawang pada akhir Februari 2023.
Tapi, petani tetap menggarap lahan. Syawal adalah bagian paling kecil dalam sekrup sistem pertanian bawang merah. Dia menjadi pekerja penggarap. Lahan yang digarapnya adalah milik seseorang yang sekarang bermukim di Makassar. Tapi si pemilik lahan tak memiliki modal untuk membuka lahan, maka dia meminta seorang pemodal untuk membiayainya.
Saat panen, modal akan dikembalikan ke pemodal awal. Sisanya dibagi; pemodal mendapatkan keuntungan 60 persen, pemilik lahan 40 persen yang akan dibagi dua dengan pekerja.
Syawal ingat betul pertengahan 2022 ketika panen bawang merah menembus Rp40 ribu/kg. Dia mendapatkan bagian Rp40 juta. Dia lantas membeli sebuah motor. Sisanya digunakan untuk kebutuhan keluarga.
Pengolahan lahan hingga panen, dibutuhkan sedikitnya tiga bulan. Sementara usia panen bawang dari proses tanam hingga panen membutuhkan dua bulan.
Kisah keberhasilan bawang saat harga tinggi menjadi buah bibir. Cerita berkembang dengan cepat dan nilai uang panen itulah yang menjadi magnet semua petani berlomba menanam bawang.
Di sisi jalan sebelum mencapai pasar Kecamatan Baraka, puluhan hektare lahan sawah basah, menjadi tidak terurus. Rumputnya sudah tebal. Orang-orang beralih membuka lahan baru untuk bawang. Posisi lahan itu cekung dan bisa menampung air saat hujan, maka tak cocok untuk budidaya bawang.
Bawang membutuhkan tempat agak miring. Bawang juga membutuhkan siraman air setiap hari. Lahannya tak boleh tergenang, sebab akan membuat umbi membusuk. Maka, tak mengherankan, pembukaan lahan baru menyasar lereng-lereng perbukitan.
Di kawasan wisata Dante Pine, tempat yang diberikan izin oleh Kementerian Lingkungan Hidup untuk dikelola karena statusnya sebagai hutan lindung, di sekelilingnya pun sudah dipenuhi bawang.
Herdiono, pengelola kawasan itu, mengatakan, pada 2010 saat kawasan itu pertama kali dikelolanya, deretan bukit dari Dante Pine masih menampilkan kanopi hutan yang sehat. Tegakan pohon masih terlihat begitu jelas. “Tapi sekarang, liat mi, nda lama semua itu jadi bawang. Gunung bawang,” katanya.
Muchlis, kepala Kelompok Pengelola Hutan (KPH) Mata Allo, mengatakan luas kawasan hutan di Enrekang mencapai 74.786 ha. Masing-masing hutan lindung seluas 65.364 ha, hutan produksi terbatas seluas 5.697 ha, dan hutan produksi tetap seluas 3.786 ha.
Sementara sekitar 15.000 ha, telah diterbitkan izin dalam skema perhutanan sosial yang tersebar di 11 kecamatan di Enrekang. Pelepasan kawasan itu disebut bentuk solusi dalam konflik tenurial masyarakat dengan kawasan hutan.
Sayangnya, Muchlis tak bisa merinci berapa luasan kawasan dalam skema perhutanan sosial di wilayah Duri. Sementara itu, kami juga menemukan saat melakukan overlay peta dan mencocokkannya dengan kawasan hutan, ternyata ada banyak lahan bawang merah yang masuk dalam kawasan lindung.
Pengembangan luasan kebun bawang merah di Enrekang juga sejalan program Kementerian Pertanian, yang menjadikan Enrekang sebagai sentra pengembangan bawang merah.
Kepala Dinas Pertanian dan Hortikultura Enrekang, Addi, mengaku penunjukkan Enrekang adalah berkah yang harus disyukuri masyarakat Enrekang.
“Lahan kita masih luas. Dibanding Brebes, Nganjuk, dan Bima, kita (Enrekang) memang paling memungkinkan,” kata Addi.
Addi optimis pengembangan luasan bawang merah akan terus digalakkan. “Tiap tahun luas produksi terus meningkat. Itu artinya, masyarakat menilai sendiri bahwa bawang merah memberikan manfaat yang baik,” katanya.
Dari foto udara, hamparan kebun bawang berah yang bersisian dengan kawasan hutan bagai “panu”; penyakit kulit yang terus bertumbuh menyebar tanpa ada upaya mengobatinya.
Bawang merah membuat kampung-kampung menjadi sepi. Menjumpai beberapa penduduk hanya pada siang hari ketika mereka istirahat di rumah. Pagi dan sore, semua petani berada di kebun hingga jelang pukul 19.00.
Muhrim (38 tahun), seorang petani di Dusun Marena, mengatakan bawang merah adalah komoditas yang rewel. “Butuh pupuk, butuh racun, butuh perawatan, harus segera. Tidak boleh menunggu,” katanya.
Muhrim membandingkannya dengan tanaman jagung. “Kalau jagung, kau tanam hari ini, seminggu kemudian, kau pergi merantau sampai tiga bulan, baru pulang. Pasti ada ji hasil panen. Kalau bawang, satu hari saja tidak lihat kebun, bisa mati dan gagal panen,” lanjutnya.
Meski demikian, para petani tetap mengembangkan bawang merah.
Addi, misalkan, pernah mengalami kerugian. Tujuh hari sebelum usia panen, tanamannya diserang hama jamur dan membuat semua bawang menguning dan mengering. Pertumbuhan umbinya menjadi kerdil, tak bisa diselamatkan.
Dalam hitungannya, dia rugi hingga Rp100 juta untuk luasan lahan 1 ha. Panen umbi kecil itu akhirnya hanya diedarkan ke pasar-pasar lokal, dengan harga sangat jatuh. “Tapi saya tetap tanam bawang. Mau bagaimana lagi? Kami ini petani bawang,” katanya.
“Kami ini petani bawang”. Jawaban inilah yang kami dapatkan sepanjang perjalanan di Enrekang. Mereka beranggapan kerugian adalah risiko dalam pertanian. Bawang merah dalam pandangan petani, mengubah citra mereka sebagai petani miskin menjadi petani sejahtera.
Benarkah demikian?
Ratu dan Buruh Bawang
Yusuf Ritangnga adalah nama pengusaha pestisida dan pupuk di Enrekang. Tak ada petani bawang merah yang tak mengenal namanya. Orangnya ramah dan selalu menggunakan gamis.
Bagi dia, bawang merah di Enrekang membawa berkah. Dia adalah tokoh utama suplai bahan pertanian. Memiliki tiga buah cabang toko yang besar. Nama tokonya Ratu Tani.
Ratu adalah akronim dari namanya dan istrinya. Ratnawati dan Ucu (Ratu). Ucu adalah nama sapaannya di Enrekang, maka orang-orang mengenalnya Haji Ucu. Selain sebagai pengusaha pertanian, dia menjadi pemodal untuk kebun bawang merah. Saat ini, dia memasang baliho dirinya sebagai bakal calon Bupati Enrekang dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Jargonnya: Enrekang Sejahtera.
Haji Ucu dikenal pengusaha dermawan. Beberapa orang yang membuka usaha pertanian, mengambil barang dari tokonya.
Wilayah Baraka kini dikenal sebagai “bukit dollar”. Lahan itu awalnya dianggap lahan tidur, kemudian Haji Ucu menawarkan bantuan untuk membukanya menjadi kebun sekaligus pemodalnya.
Sistem jaringan pipa hingga penyediaan pompa air dan pupuk bisa makan ongkos Rp80 juta–Rp100 juta. Buat petani biasa, modal awal itu cukup berat. Akhirnya, kerja sama pemodal, pemilik lahan, dan pekerja tercipta.
Sementara petani yang tak ingin terikat pada pengusaha, mengambil modal usaha dari kredit bank, seperti BRI dan BNI. Namun, pola ini menjadi sangat riskan, sebab harga bawang tak bisa ditebak, dan banyak petani yang akhirnya merelakan rumah sebagai aset sitaan bank.
Berbeda dengan kepemilikan lahan yang bergantung pada modal pengusaha. Jika panen gagal, maka utang awal bisa diangsur, kemudian menambahkan utang lagi untuk modal. Namun, jika utang telah menumpuk dan tak bisa dilunasi, maka lahan akan menjadi negosiasinya.
Kami menemukan beberapa petani akhirnya menjadi penggarap di lahan bekas miliknya dan menjadi buruh kerja. Risiko kerja sebagai buruh, sangat rentan. Tak ada kontrak atau kesepakatan yang menguntungkan penggarap alias petani kecil.
Bila harga bawang anjlok, petani penggarap bisa saja tak mendapatkan apa-apa. Sementara pemodal, dalam sistem pertanian ini menjadi rantai paling atas, yang hampir tak memiliki kerugian. Sebab tanaman bawang jarang mati ketika belum berumbi.
“Berapapun harga bawang, nanti akan kembali dulu ke pemodal. Kalau tidak ada sisanya, ya, pekerja tidak dapat apa-apa,” kata Muhrim.
“Ya rugi tenaga. Tapi itu sudah pembicaraan awal. Jadi biasanya ada pemodal yang baik hati juga, kasi uang duka, bisa Rp500.000 atau yang saya dengar paling tinggi Rp2 juta,” lanjutnya.
Sementara dalam pandangan pengusaha, pembukaan lahan tidur, atau mengganti komoditas pertanian dengan bawang merah, sangat menjanjikan untuk warga Enrekang. “Ya iyakan. Semakin banyak lahan terbuka, maka produk pertanian akan semakin laku,” kata seorang petani bawang di wilayah Baraka.
Data Dinas Pertanian tahun 2020, luas lahan bawang merah di Enrekang mencapai 11.188 ha. Sementara luas panen mencapai 13.880 ha. Dan produksinya mencapai 1.484.501 kuintal. Dari keseluruhan produksi bawang merah itu, Kecamatan Anggeraja menyumbang paling besar mencapai 1.332.733 kuintal.
Dalam beberapa kesempatan, pejabat pemerintah dan para pedagang bawang menyatakan bahwa tingginya produksi dan luasan panen bawang merah, menyumbang sedikitnya Rp3 triliun, yang berputar dalam sekali musim di Enrekang.
Bagaimana uang itu beredar?
Petani tak bisa menjelaskannya dengan gamblang. Mereka hanya mampu mengira-ngira. Kemungkinan uang sebanyak itu berpusat di antara para pengusaha dan pedagang, sementara hanya sedikit yang mengalir ke tangan petani.
“Kalau mendengar hasil panen bawang di Enrekang, harusnya semua orang memang sejahtera. Tapi, kenyataannya tidak seperti itu,” kata Muhrim.
Kenyataan itu bisa dirangkum dalam data BPS Sulawesi Selatan tahun 2021: Kecamatan Enrekang termasuk dalam lima besar kantong kemiskinan. Pertama adalah Pangkep ada 39.609 keluarga miskin; Jeneponto 41.841 keluarga; Luwu Utara 37.049 keluarga; Luwu 29.910 keluarga; dan Enrekang ada 17.069 keluarga atau 26,13 ribu jiwa tergolong miskin.
Dalam data berseri BPS, kemiskinan di Enrekang terus bertambah. Tahun 2019, berjumlah 25,40 ribu jiwa; tahun 2020, 25,25 ribu jiwa; tahun 2021, 26,13 ribu jiwa.
Saat menggelar diskusi “Mengupas Bawang Enrekang”, beberapa peserta tidak setuju jika Enrekang masuk kategori miskin. “Anda lihat, bagaimana sekali panen itu, uang bisa ratusan juta rupiah,” kata Lukman, pedagang pembeli bawang.
Kami kemudian mencoba melihat bagaimana uang itu beredar. Seorang pedagang pembeli mengatakan saat musim panen, limit pembayaran perbankan hingga Rp500 juta sehari bisa sangat kurang. Nilai itu hanya untuk pembayaran maksimal tiga petani bawang.
Di sinilah persebaran uang itu mulai jomplang. Jika satu lahan menghasilkan panen senilai Rp200 juta, maka pembagian kepada petani penggarap biasanya hanya berkisar antara Rp15 juta hingga Rp30 juta. Nilai itu belum diakumulasi dengan beban kerja selama tiga bulan, dari mulai proses persiapan lahan hingga pasca-panen.
Tanah Kian Jenuh
Sylvia Sjam, guru besar di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, berkata manusia itu umurnya pendek, paling lama 80 tahun, lalu meninggal, tapi tanah itu akan tetap ada.
“Jadi dalam pertanian berkelanjutan itu, tanah menjadi prioritas. Bagaimana bisa pertanian menjadi turun dari satu generasi ke generasi selanjutnya kalau tanahnya sudah jenuh dan rusak? Apa yang akan diolah,” katanya. “Jadi menyelamatkan tanah dan ekosistem pendukungnya adalah menyelamatkan pertanian.”
Bagi Sylvia, praktik pertanian dengan menyirami tanaman pakai unsur kimia sangat besar seperti pertanian bawang akan merusak banyak hal. Tanaman bisa jadi cepat berkembang dan terlindung dari hama, tapi hanya sesaat.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan mahasiswa Pertanian Universitas Hasanuddin di wilayah Anggeraja, mereka cukup tercengang sebab hampir tak menemukan hewan pengurai yang berkembang di dalam tanah.
“Di setiap tanah yang sehat, ada rantai ekosistem di sana. Ada pengurai, ada predator. Jika ada yang hilang, maka salah satunya akan berkembang tak terkendali. Seperti ulat bawang itu, sudah tak ada lagi predatornya,” katanya.
Akhirnya, petani melakukan upaya untuk membunuh ulat. Berbagai jenis racun kemudian dicampurkan, yang dikenal dengan sebutan soda. Maka, menyemprotkan racun ulat pun dimulai, yang dalam beberapa kasus, dilakukan lebih cepat jika telur ulat sudah terlihat meski tunas belum bertumbuh.
Jika hama meningkat, penyemprotan racun ulat dilakukan dua kali sehari, pagi dan sore. Secara umum, petani melakukan penyemprotan selang sehari. Berarti dalam keadaan normal, bila usia bawang adalah 60 hari, maka penyemprotan hama ulat adalah 20 hari.
Di Enrekang, penggunaan racun hama didapatkan di berbagai toko penjualan. Penyuplainya dari beragam perusahaan. Salah seorang yang mengidentifikasi diri sebagai formulator adalah agen penjualan produk pestisida. Mereka tergabung dalam grup WhatsApp formulator yang beranggotakan 100-an orang.
Para formulator ini bekerja langsung menawarkan produk ke petani. “Jadi formulator itu seperti pedagang lah. Harus pintar juga bohong-bohong,” kata salah seorang formulator.
Formulator itu tak ingin namanya disebutkan. Dia beranggapan, itu menjadi tempatnya bekerja dan menghasilkan uang. “Saya tahu kalau menjual dengan iming-iming kebohongan ke petani itu salah. Tapi mau bagaimana lagi? Karena yang lain juga melakukannya,” lanjutnya.
Dia sendiri mengolah lahan untuk bawang merah. Dia pun menggunakan pestisida yang banyak demi menangkal hama. Tapi, hasil bawang itu tak dikonsumsinya, melainkan semuanya dijual.
Sementara untuk bawang yang dikonsumsinya, dia menanam di petak kecil, yang tak banyak menggunakan pupuk dan pestisida. “Saya nda mau makan itu bawang yang disiram pestisida. Racun semua itu. Hampir semua kawasan (Enrekang) inilah,” katanya.
Apa yang dikatakan formulator itu bukan bualan. Selama tiga bulan dalam kunjungan lapangan, kami menemukan pestisida bak mainan petani di wilayah Kecamatan Anggeraja, Sudu’, Marena, dan Baraka. Mereka memasukkannya dalam wadah lalu mencampurkan beberapa merk dagang pestisida, kemudian diaduk menjadi soda.
Untuk luas lahan sekitar 500 meter persegi, penyemprotan racun bisa menghabiskan sedikitnya 15 tangki, dengan kapasitas setiap tangki 15 liter.
Soal pengetahuan pencampuran pestisida, petani mendapatkan dari ungkapan-ungkapan dan praktik petani lain. Mereka tak memiliki metode sendiri. “Kalau orang bilang, itu bagus, ya kita lakukan juga,” kata salah seorang petani.
Salah satu merek dagang pestisida yang terkenal di Enrekang adalah Dangke Turbo kemasan plastik. Merek ini menggunakan bahan aktif Metomil 40%, yang diproduksi oleh PT Dharma Guna Wibawa.
Dangke, menurut para petani, adalah jenis racun ulat yang sangat ampuh. Tapi kerasnya racun ini, rupanya berpengaruh pada kesehatan petani. Ada banyak petani mengalami keracunan. Saat melakukan penyemprotan, mereka tumbang dan tak sadarkan diri.
Meski demikian, peristiwa keracunan karena bahan pestisida disebut petani sebagai konsekuensi. “Biasa itu kalau keracunan. Kalau kena pagi, ya istirahat sampai sore. Dan minum air kelapa,” kata Mandu, petani bawang di Anggeraja.
Mandu berkata hampir semua petani bawang pernah keracunan pestisida. Beberapa kali saya menyaksikan para petani hanya membalut kepala dan hidungnya dengan satu baju kaus tipis saat menyemprot racun hama. Badan cuma dibalut kaus tipis lengan panjang. Tangannya dibiarkan telanjang. Saat mencampur pestisida, mereka pun tanpa menggunakan sarung tangan. Mengaduk bahan-bahan racun itu pun cuma pakai kayu kecil.
Padahal aroma racun itu sangat menyengat. Iqbal Lubis dan Ady Anugerah, tim fotografer dan periset dalam liputan ini, sempat semaput saat memotret petani mengolah racun pestisida.
Beberapa merek dagang ilegal pestisida dari Malaysia pun digunakan oleh para petani bawang Enrekang. Salah satunya Cipper, bentuknya saset plastik. Racun jenis ini bila tumpah ke aliran air dalam kolam pengendapan, maka ikan jenis mujair atau nila sekalipun akan mati.
Racun-racun ini masuk melalui Pelabuhan Pare-Pare. Seorang formulator bilang merek pestsida itu didatangkan oleh beberapa orang dan dijual secara sembunyi, tidak ditempatkan di etalase toko. “Itu kalau datang, dalam sekali musim, bisa satu mobil truk masuk ke Enrekang.”
Bagaimana pestisida ini digunakan dengan masif?
Tim kami melakukan uji sampel residu pestisida. Kami membawa 1 kg bawang hasil panen dari wilayah Batu Noni, yang kemudian diuji di Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Laboratorium Pengujian Pestisida Sulawesi Selatan.
Pengujian itu dilakukan pada 19-27 Januari 2023. Balai itu menggunakan metode pengujian QuEChERS. Pengujian kandungan umbi bawang merah itu dari golongan Organofosfat untuk bahan diazinon, khlorpirifos, dan metidathaion. Hasilnya, dalam sampel itu tidak terdeteksi.
Namun, kandungan itu bukan berarti produk bawang di semua wilayah hasil produksi bawang merah di Enrekang menjadi aman. Pengujian di balai laboratorium hanya menggunakan satu golongan, sebab alat pendeteksi residu untuk dua golongan Piretriod dan golongan Karbamat rusak.
Selama ini, pembacaan untuk pengujian residu pestisida menggunakan tiga golongan itu. Golongan Organofosfat (atau organophosphate dalam bahasa Inggris) merupakan kelompok senyawa kimia yang memiliki gugus fosfat yang terikat pada atom karbon organik. Senyawa ini digunakan untuk insektisida dan herbisida karena memiliki sifat racun terhadap serangga dan gulma.
Jika golongan ini melebihi ambang batas, dapat menyebabkan kerusakan pada sistem saraf dan organ tubuh lainnya dan bisa menyebabkan kematian. Maka, tak heran beberapa negara telah mengurangi atau bahkan menghapus golongan Organofosfat dalam praktik pertanian.
Sementara untuk golongan Piretroid merupakan senyawa kimia yang digunakan sebagai insektisida dalam pengendalian serangga, terutama serangga pengisap darah seperti nyamuk dan kutu. Piretroid bekerja mengganggu sistem saraf serangga yang menyebabkan kejang-kejang dan akhirnya kematian.
Golongan Karbamat merupakan senyawa kimia untuk insektisida dan herbisida. Senyawa ini dari gugus karbonil dan amina. Senyawa Karbamat biasanya digunakan untuk mengendalikan serangga dan hama yang merusak tanaman pertanian.
Sementara itu, data Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura menyebutkan wilayah penanaman bawang merah yang dilakukan dengan masif di Kecamatan Anggeraja termasuk zona merah. Artinya, pemakaian pestisidanya sudah sangat banyak dan dilakukan terus-menerus.
Hal lain adalah botol-botol dan bungkusan racun itu terbuang di kebun-kebun juga ke aliran sungai. Padahal, setiap kemasan bahan insektisida itu Bahan Berbahaya Beracun (B3). Bahkan untuk membakarnya tak disarankan, sebab asapnya beracun yang bisa dihirup oleh manusia dan binatang.
Mirisnya pemerintah kabupaten tak memiliki fasilitas pembuangan limbah beracun. “Apakah dikubur saja atau bagaimana? Atau dibiarkan saja di tempat pembuangan masing-masing?” kata Syawal.
Selain racun, upaya lain yang dilakukan dalam praktik pertanian bawang adalah menggunakan jaring kelambu. Jaring itu membungkus utuh seluruh lahan. Tujuannya untuk melindungi ulat dan kupu-kupu hama masuk dan meletakkan telurnya di tanaman bawang.
Tapi, tak banyak petani yang melakukannya. Alasannya biaya mahal. Sebagai gambaran, untuk luas kebun 500 meter persegi, dibutuhkan sekitar Rp30 juta untuk menutupnya dengan jaring kelambu.
Risiko menggunakan kelambu juga meningkatkan paparan langsung racun. Sebab dalam kelambu, para petani melakukan penyemprotan. Dan sisa racun itu akan menempel di jaring. Meskipun beberapa petani yang menggunakan kelambu mengatakan, jika penggunaan racunnya menurun, sebab penyemprotan bisa sekali dalam dua atau tiga hari.
Tak hanya itu, umbi bawang yang dihasilkan juga lebih kecil dibandingkan dengan bawang yang ditanam tanpa menggunakan kelambu.
Hasbi, penyuluh pertanian Dinas Petanian Enrekang wilayah Anggeraja, mengatakan jika umbi bawang dalam lahan yang ditutupi kelambu, tidak mendapatkan paparan matahari dan angin.
Hasbi mengklaim, dengan menggunakan kelambu, 99 persen petani tidak perlu memakai insektisida, melainkan fungisida.
Meski demikian, kami dapati di sepanjang pertanian bawang di Dusun Marena, para petani tetap menggunakan racun insektisida. “Mau mati semua bawang kalau tidak diracun ulatnya?” kata seorang petani.
Inovasi lain petani adalah menggunakan lampu pada malam hari. Mereka bekerja sama dengan PLN untuk menyalurkan meteran ke kebun. Deretan lampu oranye dan lampu ungu dipasang mengitari kebun. Ini dianggap petani sebagai upaya mengelabui hama agar tak keluar malam hari karena menganggapnya siang.
Menurut Sylvia Sjam dari Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, terobosan itu mungkin membantu meski tak begitu berdampak. Sebab, di bawah lampu, petani tak memasang wadah air.
“Seharusnya, setiap lampu di bawahnya diberikan penadah dari baskom atau ember yang berisi air, untuk memerangkap serangga hama. Jika tak ada air di dalamnya, maka itu hanya sesaat. Sebab keesokannya, binatang yang menjadi hama itu tetap akan terbang,” katanya.
Haji Ucu menilai temuan dan teroboson petani itu cukup efektif dalam beberapa bulan. Ia berkata pembelian racun memang menurun. Tapi, dalam dua tahun terakhir, hama kembali dan permintaan racun kembali meningkat. “Jadi kelambu dan lampu itu sepertinya hanya sesaat. Tidak lama,” katanya.
Akhirnya apa yang dikhawatirkan oleh Sylvia mengenai resistensi hama terjadi. Dosis racun yang dibutuhkan semakin ditingkatkan. Terjadi ledakan populasi hama yang akan terus berkembang. “Jika ingin memutus mata rantai itu, maka sebaiknya dilakukan penanaman sela. Bukan terus-menerus menggenjot satu komoditas bawang,” katanya.
Hama yang tadinya tumbuh untuk tanaman bawang, jika diberikan tanaman sela, tidak akan cocok sehingga siklus pembiakannya terputus.
Kini petani bawang Enrekang terbiasa dengan sebutan “ulat bawang” untuk hama yang menyerang perkebunannya. Ulat itu ada yang berwarna hijau, cokelat, dan ada yang berbintik. Ulat berbintik, atau petani mengenalnya ulat loreng, adalah yang paling susah untuk dimusnahkan, kata mereka.
Yang Semakin Terimpit
“Punya pacar?” tanya saya pada Syawal.
“Tidak ada,” jawabnya.
Dia tertawa dan mulai memandangi hamparan bawang merah di depannya. “Tidak ada waktu untuk pacaran,” lanjutnya.
Kami tertawa bersama. Bawang merah telah mengubah banyak hal di Enrekang dan membuat banyak hal bergerak tak tentu arah. “Kalau anak saya minta mainan, saya bisa buat banyak alasan untuk menundanya. Tapi kalau bawang yang minta, tidak ada uang ya cari pinjaman,” kata seorang petani di Marena.
Orang-orang terus melakukan pembukaan lahan dan penanaman. Ini seperti lingkaran ketergantungan yang sulit diputus di antara harapan akan keuntungan besar. “Seperti kau main judi,” kata Mandu.
Tahun 2014, Herdiono ingat betul saat tergiur mendengar keuntungan mengembangkan bawang. Dia akhirnya mencoba mengelola lahan dengan modal Rp20 juta. Dia mendapatkan hasil panen 3 ton.
Dia semringah, mencoba kalkulasi keuntungan. Ketika bawang itu sudah diikat dalam bonggol kecil, untuk diletakkan dalam tenda terpal, agar cepat kering, seorang pedagang pembeli menghampirinya, dengan harga Rp19 ribu. Dia ingin pembeli itu mengambilnya sepekan kemudian ketika bawang sudah diangkut ke rumah, dengan asumsi umbi sudah kering.
Nyatanya ketika umbi bawang itu sudah siap jual, seorang pedagang yang berbeda mendatanginya, lalu menawarkan Rp9.000/kg. Hati Herdiono hancur. Dia ingin marah, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya, bawang tak bisa ditahan lagi, sebab semakin kering maka semakin susut timbangan dan harganya semakin rendah.
“Itu harganya kembali modal saja. Pedih. Sejak saat itu, saya tobat dan tidak menanam bawang lagi,” katanya.
Di Baraka, saya bertemu dengan pedagang dan pembeli bawang. Dia baru saja membeli bawang dengan harga Rp24 ribu/kg. Dia membayar petani itu Rp200 juta, dihitung secara tunai hingga jelang subuh. “Itu saya sudah dapat untung, Rp3.000/kg. Karena bos di Jawa kasi harga Rp27 ribu/kg,” katanya.
“Jadi di lapangan, pintar-pintar kita lah. Jadi pedagang dan formulator, sama saja. Pintar-pintar berbohong,” lanjutnya, lalu tertawa.
Bagaimana harga bawang ini dimainkan dan siapa yang menentukan harganya. “Ya kami lah. Kan semua pedagang saling tahu. Jadi kami koordinasi untuk penawaran ke petani,” lanjutnya.
Cerita yang didaur ulang dalam pertanian bawang ini adalah kisah suksesnya. Kerugian hanya dijadikan candaan sebab petani diberikan harapan. Modal untuk pupuk hingga membeli racun hama, untuk para petani yang tak punya uang, bisa berutang ke pengusaha, yang akan dilunasi ketika panen.
Namun demikian, para petani yang berusia di atas 40 tahun, sadar betul akan perubahan lanskap kampung setelah demam bawang. Saat berada di sekitaran Pasar Cakke, tebing curam menghalau pandangan. Seorang penggiat alam bebas menunjukkan kepada kami bahwa kawasan bukit yang kini ditumbuhi bawang itu dulunya adalah kawasan sabana. Kini pepohonan pun menghilang.
Cakke dalam bahasa setempat adalah dingin. Kampung yang seharusnya dingin kini telah menjadi panas. “Iyo, mungkin mau mi diganti nama kampung jadi malassu (panas), ka tidak dingin mi,” kata Mandu.
Reportase ini didukung oleh Yayasan Kurawal