Indri (26) duduk termenung sambil menatap anaknya, Dinda (7) dan Ardi (5), yang sedang bermain. Pikiran berat menggelayut di kepalanya. Belakangan, hasil panen garamnya tak menentu akibat anomali iklim. Ia gelisah tak lagi punya simpanan untuk biaya sekolah dan kebutuhan sehari-hari.
Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, adalah sentra produksi garam di Jawa Timur. Dari luas lahan 351,59 hektare (ha), 162,5 ha di antaranya adalah lahan- lahan garam produktif.
Kebanyakan petambak garam di Kecamatan Sedati adalah pekerja musiman yang datang dari Kalianget, Kabupaten Sumenep di Pulau Madura. Saban Juni, atau bila cuaca mendukung, mereka datang dengan truk untuk membawa kebutuhan hidup selama hampir lima bulan. Tak jarang, para petambak datang dengan membawa serta istri dan anak mereka.
Mereka mengerahkan semua sumber daya yang ada untuk memaksimalkan produksi. Mereka kemudian tinggal di gubuk-gubuk sederhana yang dibangun tidak jauh dari lokasi tambak.



Indri adalah istri dari Heri, seorang petambak garam musiman. Saat bekerja di musim kemarau, mereka membawa kedua anaknya ke Sedati dan menetap di sana. Sekolah memaklumi. Anak-anak bakal diizinkan untuk mengikuti kegiatan belajar-mengajar selama enam bulan, dan enam bulan lainnya mengikuti orangtua bekerja menambak garam. Sekolah tak punya pilihan karena anak-anak tidak akan ada yang mengurus di Madura bila ditinggal bekerja orangtuanya.
Berempat mereka tinggal di gubuk kecil berdinding anyaman bambu seluas 4 x 5 meter. Ruangan tersebut berfungsi sebagai ruangan serbaguna; tempat memasak, tempat bercengkerama, tempat bermain, dan juga tempat tidur. Ketika hujan turun, air menetes dari lubang kecil di atap gubuk.
Sejak subuh, Indri menyiapkan makanan dan mencuci baju agar dapat membantu suaminya di ladang pada siang hari. Dia menjaga kincir angin dan melihat kondisi polybag tambak garam, mewaspadai kalau-kalau ada kebocoran. Untuk mengejar ketertinggalan sekolah anak-anaknya, Indri mengajari mereka mengaji dan pengetahuan tematik di sore hari.
Di masa ini, pola makan keluarga Indri berubah. Tadinya makan ayam, kini menu berganti jadi ikan lele atau ikan asin untuk berhemat.
“Ya terpaksa menyesuaikan keadaan, biar uang dari juragan bisa cukup untuk keperluan hidup lainnya, sementara ladang belum panen akibat hujan terus,” ujarnya.
Pemilik lahan memberi Rp400 ribu kepada Indri untuk biaya hidup selama satu minggu di gubuk bersama suami dan anak-anaknya.



Kekhawatiran lain dirasakan oleh Suri (55) yang telah menjalani profesi petambak garam selama 40 tahun.
“Pada musim normal saat musim berganti dengan semestinya, saya dapat memproduksi hingga 4.000 karung garam dan menutup musim produksi dengan membawa pulang sekitar Rp50 juta. Namun, untuk tahun 2022, saya hanya mampu menghasilkan sekitar 400 karung garam. Beruntung harga jual garam saat itu masih tinggi sehingga saya masih bisa mendapatkan uang dari bagi hasil sebesar Rp4 juta,” ungkap Suri.
Satu karung berisi 50 kg garam.
“Biasanya saya selepas panen bisa membeli baju, tetapi saya terpaksa mengurungkan niat saya dan memfokuskan uang yang dihasilkan pada pendidikan anak saya yang kedua,” kata Suhaidah (40), istri Suri.
Penghasilan dari musim produksi garam sebelumnya bagi Suhaidah sangat tidak cukup. Apalagi anak keduanya, Muhammad Fian, sedang menempuh pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan dan memerlukan biaya untuk praktek dan magang.
Saat tidak menjadi petambak garam, Suri bekerja sebagai buruh angkut di sebuah pabrik garam di Kalianget Madura dengan pendapatan Rp30.000 per hari.
“Jika uang saya habis, saya terpaksa meminjam uang pada keluarga,” ungkap Suhaidah.



Uang hasil panen biasanya digunakan petambak untuk membuka usaha di musim hujan, membayar biaya sekolah dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Malah karena cuaca tak tentu pada masa produksi, uang penghasilan juga digunakan untuk membayar hutang yang pernah digunakan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan tersebut seperti yang dilakukan Rois.
“Saat pulang kembali ke Madura, Tomo suami saya bekerja sebagai nelayan dan membuat bagan. Modal biaya untuk membuat 1 bagan sekitar 6-7 juta, kalau biaya membuat bagan tidak cukup, saya berhutang ke keluarga,” jelasnya.
Intensitas hujan tak menentu dampak perubahan iklim adalah momok bagi petambak garam. Imam Syafi’i (41) bercerita pada 2016 hujan hampir sepanjang tahun membuat tak satupun petambak berhasil memanen garam.
“Walaupun ada panas matahari, namun jelang panen terdapat hujan dengan intensitas tinggi satu jam saja, atau malah kurang, maka dipastikan garam yang siap panen akan rusak,” jelasnya.
Pada 2021, Imam sempat memanen walau terpaksa mengakhiri produksi lebih awal. Setelah musim kemarau datang terlambat, ia terpaksa berhenti produksi karena hujan turun lebih cepat.
“Dari total lima bulan, saya hanya berproduksi selama dua bulan. Itupun dengan kondisi panas yang tidak maksimal. Saya hanya mampu menghasilkan 100 karung garam berukuran 50 kg dengan harga Rp4.000 per kilogram. Saya merasakan lima tahun terakhir ini cuaca semakin tidak bisa ditebak, sehingga mempersulit para petambak garam musiman menentukan waktu produksi,” tambahnya.



Idealnya musim produksi garam mulai dilakukan sejak bulan Juni setiap tahunnya atau saat musim kemarau tiba. Namun, di tahun 2022 hujan masih turun hingga pertengahan bulan Agustus. Banyak petambak menunggu di dalam gubuk mereka tanpa bisa melakukan banyak hal terkait produksi.
Urutan produksi garam biasanya dimulai dari menyiapkan gubuk untuk tempat tinggal disusul pembersihan lahan. Petambak meratakan tanah dengan alat khusus. Setelah tanah rata, mereka menutupi tanah dengan plastik besar untuk menampung air laut selama proses produksi garam.
Untuk mempermudah pemindahan air laut ke ladang, mereka membangun kincir angin yang berfungsi sebagai pompa. Jika cuaca ideal dalam satu minggu setelah kolam terisi air laut, panen garam sudah bisa dilakukan. Namun awan kumulonimbus yang masih terlihat di masa seharusnya musim kemarau menghadirkan kekhawatiran mendalam. Hujan mencegah penguapan maksimal sehingga air laut sebagai bahan utama pembuatan garam menjadi tawar.
Kondisi tersebut menuntut para petambak garam pandai membaca prakiraan cuaca. Pada musim 2022, Imam ingin hasil maksimal walau produksi harus mundur tiga bulan akibat hujan. Ia nekat menyiapkan lahan lebih awal dari petambak lainnya. Setelah sekali rusak oleh hujan, tambak garamnya mulai menghasilkan. Ia menjadi petambak yang panen pertama.
“Alhamdulillah perjuangan yang tidak sia-sia. Saya berhasil panen saat harga garam tinggi yaitu Rp75.000 per karung,” kisahnya.


Ketika panen gagal, petambak garam tidak membawa uang pulang ke Madura. Pendapatan dari mengolah tambaklah yang akan menutup segala kebutuhan di kampung halaman setelah kebutuhan primer di tambak dibiayai oleh pemilik lahan. Pembagian hasilnya adalah 60 persen untuk pemilik lahan dan 40 persen untuk petambak.
Di sisi lain, banyak pemilik lahan melepas tambak garam mereka. Lahan beralih menjadi pemukiman, sementara lainnya dibiarkan mangkrak menunggu pembeli. Menurut Imam, jumlah kepala keluarga yang berprofesi sebagai petambak garam di wilayah Tambak Cemandi dan Karanganyar di tahun 2021 sebanyak 150 orang. Namun di tahun 2022 harga garam mengalami penurunan. Banyak lahan ladang garam kemudian dijual dan sebagian petambak merantau ke Jakarta.
“Di dekat rumah saya, ada 40 hektar tambak garam yang dijual dan akan segera dibangun menjadi pemukiman baru”, ujar Imam.
Sentra produksi garam di Sedati yang dulu ramai kini sepi.
Buasan, Tomo, Suri, Nasidin, Rendi, dan Bayu adalah para petambak terakhir yang meninggalkan sentra produksi garam di Kecamatan Sedati, Sidoarjo. Perkiraan hujan berhenti setelah September meleset. Mereka hanya mengalami musim produksi selama sebulan, setelah itu hujan semakin sering turun dan merusak tambak garam. Pemilik lahan memutuskan masa produksi tidak berlanjut. Mereka gagal memaksimalkan penghasilan. Musim kemarau datang terlambat dan sangat singkat.


