Sejak pagi sejumlah pekerja sudah sudah sibuk memasang saluran air dari beton di persimpangan jalan menuju tambang batu andesit di Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. Pemandangan di sana sudah berubah. Dulu masih banyak pepohonan yang tumbuh di tebing tak jauh dari lokasi para pekerja. Namun kini pohon-pohon itu sudah diganti terpal hitam menutupi tebing untuk mengurangi risiko tanah longsor. Plang peringatan bahaya longsor jadi pemandangan baru beberapa tempat.
Lima hari sebelumnya, pada Sabtu siang, 25 Maret 2023, lokasi itu jadi titik banjir setelah hujan mengguyur cukup lama. Itu adalah kali pertama Wadas kebanjiran. Hujan deras yang mengguyur desa menyebabkan banjir dan airnya masuk ke beberapa rumah warga dan musala di Dusun Karang.
Banjir itu terjadi akibat petak hutan di perbukitan mulai dibuka untuk akses jalan yang menghubungkan lokasi tambang batu andesit di Wadas dan lokasi Waduk Bener di Desa Bener yang berjarak sekitar 12 km. Akibatnya air hujan tidak lagi tertahan tumbuhan dan masuk ke tanah tetapi langsung mengalir di permukaan dan meluncur tanpa hambatan.
Apa yang dikhawatirkan warga penolak tambang andesit di Wadas kini sudah terjadi: tambang andesit berpotensi membawa bencana bagi warga. Masalah tersebut sudah disampaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta beberapa waktu lalu namun tak digubris.
“Hari ini, Desa Wadas sedang mengalami banjir,” ujar Siswanto, salah seorang anggota Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempadewa), Minggu (26/3). Siswanto mendesak rencana tambang batu andesit dihentikan karena bisa membahayakan warga.
Siswanto pernah mengingatkan masalah ini kepada para pejabat dari Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo sebagai Panitia Pengadaan Tanah (P2T) dan Balai Besar Sungai Wilayah Serayu Opak (BBWSSO) sebagai lembaga pemerintah yang menjadi pemrakarsa proyek Bendungan Bener dan tambang andesit di Wadas.
Secara topografis, Wadas terletak di bentang Perbukitan Menoreh yang merupakan daerah rawan longsor. Dan secara historis, Desa Wadas pernah dilanda bencana tanah longsor pada 24 Juni 1988 yang memakan korban tujuh jiwa dan tiga rumah.
Maka, berdasarkan Peraturan Daerah Purworejo Nomor 27 Tahun 2011-2031 tentang Perencanaan Tata Ruang Wilayah, wilayah Kecamatan Bener (termasuk Desa Wadas) ditetapkan sebagai kawasan bencana tanah longsor, kawasan rawan bencana kekeringan, dan kawasan perkebunan berupa kelapa, cengkeh, kopi robusta, aren dan kakao.
Warga Wadas menyadari bahwa vegetasi rapat di perbukitan yang akan menghindarkan mereka dari bencana, bukan saluran air atau gorong-gorong yang dibuat dalam rangka penambangan andesit di bukit. Ada sekitar 124 hektar lahan di perbukitan Wadas yang bakal ditambang. Dan jarak pemukiman terdekat dengan area tambang hanya 300 meter.
“Untuk apa mendapatkan ganti rugi Rp10 miliar (setelah menyerahkan tanah untuk tambang) jika kemudian mati kena tanah longsor,” ujarnya khawatir.
Sejak awal ia bersama warga Wadas lainnya sudah menolak rencana tambang ini. Akan tetapi pemerintah tetap menjalankan rencana menambang batu andesit di desa itu. Batu andesit ini akan digunakan untuk membangun Waduk Bener yang ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) oleh Presiden Joko Widodo dan dilaksanakan oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo.
Dhanil Al Ghifary dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta yang menjadi kuasa hukum warga Wadas yang menolak tambang menilai seharusnya Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan BBWSSO sebagai wakil pemerintahan menyadari bahwa pembukaan tambang di Wadas bakal menyengsarakan warga.
“Pembebasan tanah untuk tambang di Wadas hanya cerita awal penghancuran alam di Wadas,” ujarnya.
Alih-alih membatalkan rencana penambangan, Dhanil justru melihat pemerintah menggunakan cara-cara represif kepada warga yang menolak tambang. Meski pun direpresi, namun sebagian warga sampai hari ini masih tetap tegas menolak keberadaan tambang andesit di Wadas.