Pemulung tak pernah punya predikat formal. Besar, kecil, mereka juga punya andil. Di Yogyakarta, para pemulung ikut terancam modernisasi, mencari kemujuran di antara teknologi dan regulasi.
PEMULUNG berhamburan. Sapi-sapi yang sedang mengunyah dedaunan lari kepanikan. Semuanya menjauhi buldoser berkecepatan penuh yang menggusur sampah menjadi timbunan setinggi belasan meter.
Sesaat kemudian, buldoser menjauh, truk sampah datang menumpahkan muatannya. Para pemulung kembali berkerumun, memburu plastik segar yang harganya masih tinggi, sedangkan gerombolan sapi mencari sisa buah dan sayur.
Kemudian truk pergi dan buldoser kembali. Para pemulung berhamburan lagi.
Adegan berbahaya itu berulang terus-menerus di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Piyungan, Yogyakarta. Dari jam tujuh pagi hingga empat sore, enam hari seminggu, TPA itu menjadi tujuan akhir sampah-sampah dari Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul.
Umurnya sudah bablas 10 tahun dari rencana awal. Namun, sampai 2022 fasilitas ini tetap dipakai untuk menampung ratusan ton sampah setiap harinya.
Belakangan fasilitas ini ikut menimbun masalah.
Mei 2022 adalah salah satu klimaksnya.
Sudah berhari-hari akses truk menuju TPA Piyungan ditutup oleh warga Desa Sitimulyo yang berang oleh genangan air lindi di sawah mereka.
Tak banyak yang bisa dilakukan para pemulung akibat penutupan akses tersebut. Sedikit dari mereka tetap mencari sampah di tumpukan usang dan berkualitas rendah. Sisanya tinggal di hunian masing-masing.
Mereka tak punya daya. Bila menuntut akses dibuka, maka hanya akan memancing konflik dengan warga. Jika itu terjadi, jelas pemulung yang kalah. Mereka tidak punya jatah komplain karena bukan warga asli.
Janji pemerintah setempat untuk segera memperbaiki instalasi pengolahan lindi membuat warga melunak. Setelah enam hari, blokir warga dibuka. Truk mengantri lagi, buldoser menggerung lagi.
Meski para pemulung bisa kembali mengais sampah, mereka tetap menyimpan gelisah. Pasalnya setelah insiden blokade, beredar kabar penutupan TPA. Sebenarnya mereka sudah terbiasa dengan gonjang-ganjing penutupan sejak lama. Lagipula, TPA Piyungan harusnya sudah tutup sejak 2012.
Namun, kali ini atmosfernya berbeda. Suara orang-orang terdengar begitu serius membicarakan penutupan itu. Apalagi aparatur berseragam dan berhelm proyek mendadak sering berkunjung.
Untung Jadi Pemulung
Nuri Hidayat, atau yang akrab disapa Bayu, adalah salah satu dari sekitar 400 pemulung yang mencari nafkah di sana. Ia dan istrinya telah menjadi pemulung sejak 2009.
Bayu asli Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, sekitar satu jam perjalanan dari TPA Piyungan. Sehari-hari ia tinggal di TPA. Bayu dan istrinya akan pulang sesekali, bila ada pernikahan, pemakaman, atau saat Lebaran. Itu pun jika ada uang.
Bayu dan istri tinggal di rumah menantu mereka, Slamet. Rumah mereka berdinding tripleks dan berlantai tanah, di tengah permukiman pemulung, tepat di seberang bukit sampah. Para pemulung menyewa hunian dari masyarakat setempat dengan harga Rp200 ribu hingga Rp1 juta per tahun.
Banyak pemulung lain tidak menyewa gubuk. Mereka tinggal dalam brak, bangunan kayu semi-permanen seperti barak yang dapat menampung lebih dari 40 keluarga pemulung. Tidak ada yang membayar sewa sepeser pun. Namun, kondisi brak lebih terbatas ketimbang bangunan sewaan.
“Dulu kayu-kayu [dari TPA] saya kumpulin buat masak. Ya, masak juga seadanya di luar brak. Kalau ambil air untuk nyuci dan minum harus turun ke masjid. Ada sumur timba di situ,” tutur Bayu, menceritakan kehidupannya dahulu ketika masih tinggal di brak.
Penyedia brak ini adalah para pengepul. Mereka membeli sampah dari pemulung dan menyalurkan ke pabrik. Selain membeli sampah, pengepul juga menjadi bos para pemulung. Satu pengepul dapat membawahi hingga 60 orang pemulung. Di TPA Piyungan, terdapat 15 orang pengepul dan semuanya menyandang gelar yang sama: juragan.
Setiap empat hingga tujuh hari sekali, pemulung menjual sampah yang telah mereka pilah kepada juragan masing-masing.
Harga jual setiap material berbeda-beda. Karton dan kertas terhitung murah, apalagi yang basah. Besi, seng, dan tembaga sangat mahal tapi jarang ditemukan. Andalan para pemulung adalah plastik yang harganya cukup bersaing dan jumlahnya sangat melimpah. Beruntung bagi para pemulung, orang-orang di kota malas memilah sampah.
Para juragan menentukan harga dengan mempertimbangkan situasi pasar. Untuk memastikan tidak ada ketimpangan harga jual antarjuragan, mereka secara rutin melakukan perundingan harga.
Layaknya komoditas lain, harga jual sampah sering kali fluktuatif. Bayu menceritakan, kadang harga bisa sangat rendah hingga uang hanya cukup untuk makan sehari-hari, tapi kadang bisa sangat tinggi sampai ia bisa melunasi cicilan motor dalam tiga kali pembayaran.
“Dulu pas pertengahan pandemi malah tinggi. Saya itu dalam satu bulan setengah pernah sampai dapat 10 juta,” kata Bayu.
Terlepas harga jual sampah yang tidak menentu, para pemulung mengaku beruntung jadi pemulung. Tidak sedikit yang tetap memilih untuk memulung ketimbang kembali ke pekerjaan mereka sebelumnya. Beberapa bahkan bercita-cita menjadi juragan.
“Kaya gini lebih enak, Mas. Kalau tani atau kerja kuli proyek uangnya gak jelas,” celetuk seorang pemulung sambil terus memunguti sampah.
Risiko Laten
Tertabrak alat berat, tercekik debu truk, dan diseruduk sapi jantan berahi adalah beberapa dari sedikit risiko memulung. Risiko lain yang berbahaya adalah terjangkit penyakit.
Istri Bayu misalnya, yang biasanya memasak di dekat kantong-kantong kresek raksasa berisi sampah. Di antaranya tidak jarang terdapat kantong berwarna kuning bertuliskan “infeksius” yang biasa ditemukan di rumah sakit untuk menampung limbah pasien dengan penyakit menular.
Belakangan, risiko yang lebih tak terlihat menampakkan perkaranya. TPA sudah terlalu penuh dan konflik lingkungan yang dipantiknya semakin membelukar. Rangkaian optimalisasi TPA Piyungan yang sudah lama direncanakan mengalami percepatan pasca-blokade warga. Rangkaian ini dimulai dengan penutupan zona gundukan lama.
Sejak Oktober 2022, zona gundukan lama yang berkode Zona A dan Zona B ditutup tanah urukan dan ditumbuhi rerumputan. Kegiatan penimbunan sampah pindah ke Zona Transisi, tepat di utara Zona A dan Zona B. Pemulung otomatis ikut bermigrasi ke sana.
Namun, zona itu tidak punya usia panjang. Menurut rencana, zona ini hanya akan digunakan sampai 2025. Setelahnya, lokasi akan ditender melalui skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
Tidak seperti proses tender biasa, pemenang KPBU bukan hanya mendapat wewenang menyediakan, tapi juga mengoperasikan teknologi pengolahan sampah dengan total kontrak 23 tahun.
Rencana ini berambisi untuk mengolah seluruh sampah yang tidak terkelola di hulu. Dengan adanya teknologi, pemerintah memproyeksikan tidak akan ada lagi timbunan yang menggunung tinggi dengan sampah dan konflik seperti TPA Piyungan lama.
Ni Nyoman Nepi Marleni, dosen Departemen Teknik Sipil Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta mengatakan, teknologi itu idealnya bakal mengurangi kualitas dan kuantitas sampah residu yang diandalkan pemulung selama ini.
Sampah residu adalah sampah yang tidak lagi melalui proses pengelolaan dan sekadar ditimbun di TPA.
“Residu kan harusnya sudah gak bisa diapa-apakan. Memang cuma untuk ditimbun agar dia terurai setelah bertahun-tahun,” jelas Marleni.
Saat ini, masih banyak sampah yang mestinya bisa didaur ulang justru masuk ke tumpukan residu. Hal ini karena sistem pengelolaan sampah di level kabupaten/kota tidak optimal dan kesadaran masyarakat untuk memilah sampah masih rendah.
Sampah-sampah terdaur ulang dalam tumpukan residu inilah yang akhirnya menjadi sumber pendapatan pemulung.
“Kalau pemulung nunggu, mereka cuma dapat residu dari teknologi. Artinya gak dapet apa-apa,” Marleni melanjutkan.
Marleni mengatakan, pemulung sebenarnya dapat diberdayakan sebagai tenaga non-ahli pada lokasi pengolahan sampah baru. Namun, pengolahan berbasis teknologi lebih butuh ketersediaan tenaga ahli yang bersertifikat pendidikan tinggi, bukan tenaga fisik.
Maka, kalaupun ada pemberdayaan, menurutnya tidak mungkin seluruh pemulung terserap.
Selain itu, hadirnya pihak swasta sebagai pengelola teknologi memperkecil potensi penyerapan pemulung sebagai tenaga kerja.
Sebelum KPBU, seluruh operasi pengelolaan sampah dipegang oleh Balai Pengelolaan Sampah Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPS DLHK) Yogyakarta. Setelahnya, akan ada penyerahan beberapa fungsi manajemen persampahan dari pemerintah daerah kepada pihak swasta, khususnya pada sektor hilir.
Dampaknya, pemerintah bisa mengusulkan penyerapan tenaga kerja pemulung, tapi yang punya kuasa untuk menentukan adalah pihak swasta.
“Prinsipnya, siapa pun nanti pemenangnya, kalau ada proses menggunakan tenaga manusia untuk pemilahan, ya, kami minta untuk memanfaatkan [pemulung]. Tapi kita tidak bisa memaksakan,” kata Jito, Kepala BPS DLHK Yogyakarta.
Opsi lainnya yaitu penyerapan pemulung ke unit Tempat Pembuangan Sementara (TPS) di hulu. Namun, peluangnya kecil sebab pengelolaan TPS ada di bawah pemerintah kabupaten/kota yang memprioritaskan penyerapan tenaga kerja dari warga kabupaten/kota masing-masing.
Para pemulung di TPA Piyungan mencatat jumlah mereka mencapai hampir 450 orang. Kebanyakan dari mereka berasal dari Gunung Kidul, kabupaten dengan persentase warga miskin kedua tertinggi di DIY setelah Kulonprogo.
Selain mereka, terdapat 52 orang lain yang berasal dari luar Yogyakarta, termasuk dua orang dari NTT dan satu dari Sumatra Utara.
Mempertemukan Mesin dan Pemulung
Penelitian oleh Cano dkk. (2022) mengategorikan rantai nilai sampah di Indonesia ke dalam tipe suppressed informal yang dicirikan oleh ketergantungan daur ulang sampah terhadap komunitas pemulung yang ironisnya diabaikan pemerintah.
Di sisi lain, terdapat tipe formal. Tipe ini diterapkan negara maju seperti Norwegia dan Belanda yang kerap dipuja sebagai kiblat pengelolaan sampah oleh Indonesia.
Cirinya, pemrosesan sampah bertumpu pada badan usaha resmi yang menghasilkan produk baru untuk sumber energi alternatif atau bahan baku industri. Proyek KPBU yang sedang digadang-gadangkan merupakan usaha memenuhi ciri ini.
Namun, ada satu hal yang terlewat. Di tipe formal, tidak boleh ada yang namanya pemulung.
Untuk menengahi kedua tipe yang berseberangan tersebut, lahir tipe ketiga, hybrid. Tipe ini bukan hanya memungkinkan pengolahan sampah dengan teknologi modern, tapi juga menjamin kesejahteraan pemulung.
Tipe hybrid punya satu syarat utama: pelembagaan komunitas pemulung sebagai pemangku kepentingan resmi yang dilindungi dan diberdayakan negara. Percontohan bagi tipe hybrid adalah negara-negara Amerika Latin seperti Brazil, Argentina, dan Peru.
Brazil, misalnya mengklaim diri sebagai negara pertama yang menekankan inklusi pemulung dalam kebijakan manajemen persampahan nasional mereka, Política Nacional de Resíduos Sólidos (PNRS). Di salah satu negara bagiannya, Sao Paulo, kerja sama pemerintah dan korporasi berhasil melibatkan 1.400 pemulung dalam 40 lembaga yang mampu memilah 3.500 ton sampah per bulan.
Persoalannya, mayoritas pemulung di Indonesia bekerja secara informal tanpa dinaungi oleh asosiasi seperti Ikatan Pemulung Indonesia.
Tidak ada kebijakan mengenai pemberdayaan pemulung di Indonesia. Padahal, diperkirakan terdapat 3,7 juta orang pemulung atau setara 1,3% populasi Indonesia.
Jito menyinggung, luputnya kebijakan ini membuat pihak unit pelaksana teknis di TPA seperti dirinya kesulitan melibatkan pemulung dalam operasi manajemen persampahan.
“Saya pribadi sebenarnya merasa pemulung itu membantu mengurangi sampah di TPA, tapi secara peraturan perundangan kan pemulung itu gak boleh. Mau memberdayakan, anggaran kita juga gak mencukupi,” kata Jito.
Efeknya berupa konflik antara praktik pengolahan sampah pemerintah dan kegiatan pemulung yang merugikan kedua belah pihak.
Sebagai contoh, di TPA Piyungan para operator alat berat kerap mengeluhkan hiruk-pikuk pemulung yang menyulitkan proses pemadatan sampah. Jito menceritakan, seorang operator pernah mengundurkan diri setelah setengah hari bekerja karena ketakutan mengendalikan alat berat di daerah yang padat oleh pemulung.
Padahal, para pemulung juga menghadapi ancaman terlindas buldoser setiap kali memunguti sampah.
Tidak diperhitungkannya pemulung sebagai bagian dari warga yang terdampak proyek KPBU juga merupakan buntut dari tidak adanya kebijakan ini.
Dokumen Acuan Alokasi Risiko 2022 milik PT. Penjaminan Infrastruktur Indonesia, BUMN yang mendampingi Pemerintah Daerah DIY dalam mempersiapkan proyek KPBU, sebenarnya mencantumkan daftar panjang berbagai risiko proyek beserta solusinya. Salah satunya isu sosioekonomi, mulai dari pelibatan warga dalam proyek hingga penyediaan hunian baru akibat pembebasan lahan.
Namun, dokumen ini hanya mencantumkan satu risiko mengenai pemulung, yaitu sebagai faktor “menurunnya kualitas komposisi sampah” yang penanganannya adalah dengan cara “membatasi peran pemulung terhadap komposisi sampah.” Itu pun hanya berlaku untuk teknologi pengubah sampah menjadi energi (waste to energy).
Karena terabaikan, pemulung mencari cara adaptasinya sendiri. Di TPA Piyungan, adaptasi ini salah satunya berbentuk sebuah bangunan 10 x 15 meter.
***
Saya menemui Maryono di markasnya yang padat oleh tumpukan kasur bekas. Ia dikenal sebagai penjual sampah busa yang selalu mengenakan topi koboi. Di samping itu, Maryono juga mengetuai komunitas pemulung TPA Piyungan, Makaryo Adi Ngayogyokarto atau Mardiko.
Hari itu, saya diajak menengok satu bangunan baru di sebelah markas Maryono.
Maryono menyelinap lewat celah sempit ke dalam sebuah ruangan. Pintu belum terpasang. Dindingnya masih berupa terpal merah, lantainya hancuran semen dan batu, pilarnya tiang bambu. Tidak ada barang apa pun di dalam situ.
“Nanti di sini untuk pemilahan, di sana untuk pembuatan kompos, di sana untuk maggot,” tunjuk Maryono pada pojok-pojok ruangan yang lengang.
Ruangan itu adalah calon unit pemilahan sampah yang rencananya beroperasi setelah Ramadan 2023. Pendanaannya dibantu lembaga zakat, Lazismu. Pengelolanya murni dari pemulung dalam naungan Mardiko.
Maryono membayangkan ketika nanti mesin-mesin didirikan di TPA Piyungan, akan ada truk-truk sampah yang tidak bisa masuk karena tipping fee atau karena mengangkut sampah dengan komposisi yang tidak sesuai kualifikasi teknologi.
“Nanti truk-truk itu bisa datang ke sini untuk kami yang pilah. Gratis, tidak dipungut biaya,” katanya optimistis.
Maryono sudah melakukan perjanjian kerja sama dengan dua truk sampah yang tertarik menurunkan muatan di sana.
Selain unit fasilitas pemilahan sampah, para pemulung juga memberdayakan diri mereka sendiri lewat pelatihan keterampilan kerja melalui kegiatan-kegiatan Mardiko.
“Di Mardiko kami belajar membuat mie ayam, menggunakan komputer, sampai membuat video dokumentasi. Ini untuk bekal nanti kalau rekan-rekan pemulung sudah tidak memulung lagi,” kata Maryono.
Mardiko juga memiliki kartu anggota yang bisa digunakan oleh para pemulung untuk mendapatkan pengobatan gratis di klinik tertentu.
Pahlawan Tanpa Tanda-Tanda
Betapapun, Maryono berharap pemulung tetap dilibatkan dalam berbagai rencana pemerintah mengelola sampah. Ia percaya pemulung telah membantu pemerintah dalam mengurangi jumlah sampah TPA.
“Pemulung yang jumlahnya 447 itu kan juragannya ada 15. Kami perkirakan rata-rata satu pengepul bisa dapat enam ton per minggunya,” kata Maryono.
“Kali 15 pengepul sudah berapa? Sudah 90 ton per minggu. Kalau satu bulan berapa? Satu tahun sudah berapa? Kalau 28 tahun sudah berapa?”
Kini, para pemulung di TPA Piyungan melalui hari-hari dengan kabar yang masih simpang siur bagi mereka. Kata kunci yang berseliweran sebatas “mesin” dan ”modern”.
“Kalau yang modern, katanya pemulung tidak bisa di sana karena serba mesin, katanya. Mungkin, kalau ada itu hanya melibatkan masyarakat,” ujar Maryono.
“Nanti itu memulung kalau ada mesin kaya gimana, ya?” tanya satu pemulung.
“Kalau saya inginnya kami tetep jalan ya walaupun sudah modern, tapi ya pemulung bisa apa,” singgung pemulung lain.
Para juragan juga tidak tahu banyak tentang proyek KPBU. Sulastri, juragan Bayu yang membawahi hampir 50 pemulung asal Gunung Kidul mengaku hanya mendengar kabar burung saja mengenai rencana pengadaan teknologi pengolahan sampah di TPA Piyungan.
“Ya cuma pernah denger. Lewat aja. Gak ngerti bakal kaya gimana. Nanti kalau dibolehkan memulung, ya pemulung yang mau ikut saya silahkan ikut. Yang enggak paling pulang, bertani,” katanya.
***
SORE ITU, saya berkendara bersama Bayu ke puncak tumpukan sampah Zona A yang sudah ditutup. Sekarang terdapat jalan tanah untuk akses kendaraan. Beberapa remaja sedang bercengkrama, duduk-duduk di atas bongkah batu sisa penutupan.
Tempat itu diberi julukan Bukit Aroma. Rencananya akan jadi tempat wisata.
Di puncak, kami bisa memandangi Zona Transisi secara keseluruhan. Saya terkejut melihat betapa kecil tempat itu jika dilihat dari atas. Zona Transisi hanya seperti sebuah kubangan yang makin hari makin sesak dengan sampah.
Dalam dua atau tiga tahun, tempat itu rencananya akan ditutup seperti Zona A. Setelah itu, mesin tiba.
“Ini pertama kali saya naik sini,” kata Bayu. Padahal rumahnya hanya berjarak sekitar 100 meter dari puncak itu.
Biasanya Bayu banyak bercerita mengenai kehidupannya. Sore itu, ia menjadi cukup pendiam.
Memecah keheningan, saya bertanya kepada Bayu, apa rencananya jika nanti mesin-mesin membuatnya tidak lagi bisa memulung. Dengan statusnya sebagai pendatang dari luar Bantul dan usianya yang sudah mendekati kepala tujuh, Bayu menjadi salah satu pemulung paling rentan.
Ia merenung sejenak. Matanya tetap menyorot kubangan sampah Zona Transisi di bawah sana.
Dalam jeda itu, ratusan burung kuntul kerbau berhamburan ke langit. Mereka akan pulang ke pesisir selatan, satu jam perjalanan dari TPA Piyungan. Besok pagi mereka akan kembali lagi untuk mencari makan.
Lalu Bayu mengangkat dagunya dan menatap saya. Ia tersenyum. Seutas tawa hambar keluar dari mulutnya sebelum ia menjawab.
“Gak tahu.”