Berhenti Jadi Budak Korporat, Anak-Anak Muda di Jakarta Bertaruh Hidupkan Kembali Pertanian di Ibu Kota

Yayasan Kota Kita
Adrian Mulya & Ronna Nirmala
11 menit

Jagakarsa, kecamatan di Jakarta Selatan, pada masa lalu adalah salah satu episentrum pangan untuk Batavia. Sejumlah anak muda berikhtiar untuk mengembalikan masa-masa itu di tengah impitan modernisasi kota.


ALKISAH pada tahun 1505, atas perintah Sunan Gunung Jati, Kerajaan Mataram di Demak mengirim Pangeran Jagakarsa Surowinangun untuk membangun pertahanan di selatan Sunda Kelapa (kini Jakarta) dari serangan Portugis. 

Jagakarsa kala itu, adalah wilayah strategis. Wilayah itu juga kaya akan hasil Bumi, sangat mendukung untuk dijadikan benteng pertahanan untuk para prajurit perang. Benteng pertahanan lalu diikuti pembangunan lumbung pangan untuk mencukupi persediaan makanan. 

Sembilan belas tahun kemudian, Pangeran Jagakarsa mendirikan permukiman di tempat yang sama. Ia juga dimakamkan di daerah yang sama. Untuk menghargai jasanya, nama Jagakarsa, dipakai sebagai nama kecamatan di Jakarta Selatan yang berada di dekat perbatasan Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat itu. 

Buah anggur hasil dari kebun anggur perkotaan.
Salah satu anggota KTH Kumbang melakukan penanaman singkong.

Setidaknya sampai tahun 1952, Jagakarsa, termasuk Srengseng dan Kebayoran, menjadi wilayah pemasok sayur dan buah untuk pasar-pasar di Jakarta. 

Catatan Asep Suryana, “Dari Ommelannden Batavia ke Pinggiran Jakarta: Monetisasi dan Individualisasi dalam Pertanian Buah di Wilayah Pasar Minggu 1930-1966,” menyebut pasokan sayur dan buah dari tiga wilayah itu mencapai 24 juta kilogram per tahunnya yang dikirim melalui kereta api, truk, sepeda, delman, maupun gerobak. 

Namun, modernisasi dan ambisi pembangunan ibu kota membuat warga Jagakarsa tak lagi menengok pertanian. 

“Dulu malah ada upacara Sumbang Bumi untuk merayakan hasil panen, terus kalau lo lihat peninggalan kejayaan pangan zaman Jagakarsa adalah nama-nama buah dijadikan nama jalan di sini,” kata Julian Riezki, salah satu anak muda yang menginisiasi kembali gerakan pertanian kota di Jagakarsa.

“Dan ketika gw tanya sama keturunan Pangeran Jagakarsa si Bang Tamin, dia ngomong, ‘apa yang lo bilang itu bener Jul, warga Jagakarsa ini dulunya petani’.”

***

Beban berat Jakarta adalah populasi yang terus bertambah. Ibu kota menjadi magnet ekonomi yang begitu menggoda. Atas dasar pertumbuhan ekonomi, beragam infrastruktur pembangunan dikejar. Di Jakarta, lahan kosong disulap menjadi rumah, gedung, dan jalan-jalan tol.

Di sisi lain, kelebihan populasi berimbas pada ketersediaan bahan pangan. Saat ini, pasokan pangan Jakarta bergantung dari luar daerah seperti Jawa Barat, Banten, dan Jawa Tengah. Lahan pertanian di Jakarta, terlebih Jagakarsa, telah banyak berubah fungsi. Data Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Perikanan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta lahan pertanian di Jakarta hanya 0,6% dari total luas provinsi.

(Dari kiri) Julian Rizki (34), Tahlia Salima Motik (29) dan Risya Ayudya bersama dua orang lainnya yakni Bonit dan Erbi membentuk Selarasa yang bercita-cita sebagai tempat eksperimen dan lumbung pangan petani Jagakarsa.

Di antara kesempitan itu, Julian bersama keempat kawannya, Tahlia Salima Motik (29), Risya Ayudya (34), Anita Purniawati (34), dan Bellina Rosellini (34), tergerak menghidupkan lagi kejayaan Jagakarsa pada masa lalu. Mereka menginisiasi Selarasa, komunitas yang kini berbadan koperasi yang berperan menjadi penghubung, baik petani dengan petani, ataupun petani dengan konsumen di Jagakarsa.

Mencari keadilan untuk kualitas dan harga komoditas pangan yang dikonsumsi setiap hari, tidak bisa dilakukan sendiri, mereka berargumen.

Kelima orang yang memiliki ketertarikan tentang pangan ini bertemu pada 2017, saat festival seni media yang diinisiasi OK. Video – Ruangrupa, bertajuk OK. Pangan. Markas Selarasa berada di Gudskul, Studi Kolektif dan Ekosistem Seni Rupa di Jagakarsa. 

Dari sana, mereka menyusun strategi untuk membuat wadah tempat berkumpulnya para petani se-Jabodetabek. Selarasa mulai memetakan petani Jagakarsa dan menemukan setidaknya ada 28 titik lahan pertanian mandiri dengan lebih dari 50 produk pangan olahan rumahan tersebar di Jagakarsa.

Salah satu program Selarasa adalah melakukan pemetaan kelompok tani yang tersebar di Jagakarsa.

Mereka bertemu dengan para petani, berkumpul membentuk jejaring, hingga mengadakan program-program khusus untuk membantu para petani Jagakarsa saling terhubung antar petani maupun konsumen. 

Selain sebagai foodhub, Selarasa juga membangun dapur bersama. Di Dapur Selarasa inilah, kelompok petani bisa menitipkan sayur dan produk olahan mereka untuk dijual. Keuntungannya dibagi untuk petani dan operasional dapur.

Beberapa programnya antara lain Pasar Selaras, Tur Odong-odong, Majelis Sayur, dan Kultum (Kuliah Tumbuhan). 

Pasar Selaras adalah program yang diinisiasi saat pandemi untuk menampung hasil pangan dari petani untuk disalurkan ataupun disumbangkan kepada masyarakat yang membutuhkan. Majelis Sayur menjadi wadah para petani untuk saling terkoneksi. Di sana mereka belajar ilmu menanam, saling mengisi bibit dan pasokan sayur, hingga bertukar proyek ketring.

Sepanjang perjalanan mereka, Julian mengatakan rantai distribusi pangan menjadi problem utama ketergantungan pangan dari luar daerah seperti yang dialami Jakarta saat ini. Hal itu, bukan hanya menurunkan kualitas pangan, tapi sekaligus menaikan harganya.

“Bagaimana, ya, kita bisa memutus mata rantai distribusi itu?” kata Julian. 

Ia sesederhana menginginkan warga tahu bahwa ada tetangga mereka yang menanam sayur jadi mereka tak perlu beli di pasar, “Kenapa beli harga ke dua kalau bisa beli di harga pertama?” 

Para Petani Ibu Kota

Ibnuh Hazar memarkir skuter listriknya di samping tembok perumahan warga. Sesekali dia melirik ke langit. Meski udara panas, matahari siang itu masih tertutup bangunan rumah. Ia masuk ke kebun hidroponik yang diapit oleh dinding perumahan untuk memeriksa tanaman seladanya. 

Pria berdarah Bali ini adalah salah satu dari petani di Jagakarsa yang memanfaatkan ruang perkotaan untuk bercocok tanam. Instalasinya hanya berukuran 6 x 5 meter. Dalam empat hari, ia bisa mendapat hasil panen 5-10 kilogram. 

Ibnuh Hazar (30) memeriksa hama serta kualitas tanaman hidroponik sebelum dipanen dan dipasarkan.

Kebun hidroponiknya diberi nama “Young Sayur”, menggambarkan semangat para petani muda. 

Pada 2021, Ibnuh meninggalkan pekerjaannya sebagai software engineer di Gojek dan memilih bertani. 

“Memang momennya pas, jadi gue belum menikah terus financial juga sudah siap untuk beberapa tahun ke depan, dan pengen nyobain sesuatu yang baru yang belum pernah gw lakuin seumur hidup yaitu bertani,” kata Ibnuh.

Kebun Young Sayur berada di area perumahan. Keterbatasan lahan dan sinar matahari menjadi tantangan pertanian kota.

Ibnuh bertemu dengan Selarasa pada tahun 2021, via sosial media. Sejak itu, ia banyak mengikuti program di antaranya Pasar Selaras vol 1 dan 2, penyerapan hasil panen untuk bakso sayur, serta Majelis Sayur. 

Bersama Young Sayur ia membangun kebun sekaligus mengolah penjualan salad di bagian hilirnya dengan nama serupa. Konsepnya sederhana, salad yang diproduksi langsung dari kebun sendiri agar kualitas tetap terjaga. 

Namun, memulai bertani di perkotaan bukan tanpa tantangan. Selain keterbatasan ruang, tantangan menanam sayur berkualitas adalah suhu dan ketersediaan matahari. 

Ibnu putar otak. Ia memasang, grow light, lampu sinar UV untuk tanaman hidroponik dalam ruangan. Ia mengakali agar sinar matahari yang hanya masuk pada jam 11-1 siang bisa lebih maksimal.

Selain itu, ia juga memodifikasi mesin pendingin untuk menurunkan suhu air. Hal ini dilakukan karena tanaman hidroponik membutuhkan suhu dingin, akan tetapi menggunakan pendingin ruangan membutuhkan daya yang tak sedikit.

Hasilnya, panen selalu konsisten. Namun, ia masih mencari cara agar biaya operasional, terutama pemakaian listrik yang hampir 100% dapat ditekan.

Bertemunya Young Sayur dan Selarasa juga membuka peluang baru bagi Ibnuh untuk bertemu dengan konsumen-konsumen dari tempat lain.

Ibnuh Hazar (30) memilih untuk meninggalkan software engineer dan beralih ke pertanian hidroponik sejak 2021.

***

Tangga menuju perkebunan anggur milik Supriyanto yang berada di rooftop lantai tiga.
Rimbun anggur tampak menyelimuti kebun rooftop milik Supriyanto.

Di antara gang-gang kecil Jagakarsa, sebuah rumah tingkat tiga menjulang. Di lantai teratasnya terbentang jeruji besi yang dirambati pohon anggur. 

Hari itu, rumah Supriyanto sedang didatangi sejumlah pengunjung. Sepasang suami istri yang telah sepuh berkeliling kebun rooftop seluas 6,5 x 10 meter milik Supriyanto itu. Di ujung yang lain ada ibu-ibu yang sibuk bertanya tip dan trik agar pohon cepat berbuah.

Pemilik kebun sedang tidak di tempat, kata Adit, anak muda yang bertugas sebagai manajer kebun. Menurut Adit kecintaan Supriyanto terhadap anggur sudah terjalin sejak pertama kali ia menanam anggur Isabella, jenis anggur yang biasa diproduksi menjadi wine, pada 2001. 

Kecintaan makin menjadi setelah Supriyanto mengunjungi kebun anggur di Yogyakarta pada 2014.

“2018 coba nanem 50 pohon, yo, gagal semua baru pertama,” kata Adit. Dari sana eksperimen dengan media tanam terus dicoba. Sekarang kebun Supriyanto sudah berhasil menanam 100 varian anggur. Dalam satu hari, kebun anggur ini bisa menjual 40 bibit via marketplace. Supriyanto menamakan tokonya “Kebun Anggur Import Jakarta.”

Buah anggur hasil dari kebun anggur perkotaan.
Pengunjung berkeliling melihat pohon anggur. Dalam sehari Kebun anggur Import Jakarta bisa menjual rata-rata 40 bibit dengan harga beragam yakni 100-250 ribu rupiah.

Layaknya pertanian kota, mereka juga menemui kendala keterbatasan ruang. Maka dari itu, kebun anggur Supri tidak menjual buah, mereka hanya menjual bibit. 

Adit menjelaskan jika ingin menjual buah, maka mereka membutuhkan kebun yang luas. “Kalau lahan terbatas, sekali panen habis, harus tunggu masa berbuah yang bisa berbulan-bulan, ya, ndak untung,” katanya.

Lain dengan Young Sayur, kebun anggur justru diuntungkan dari cuaca panas karena tanaman terbebas dari jamur. Pada saat musim hujan, petani harus mengontrol kadar air agar media tanam tidak lembab dan akar tidak jamuran. 

Di beberapa kesempatan, Kebun Anggur Import Jakarta sering didatangi tamu yang dibawa oleh Selarasa via program Tur Odong-odong. Para peserta juga berkesempatan untuk belajar cara menanam anggur dari Supriyanto. 

***

Julio menunjuk sebuah pohon alpukat yang mati akibat kekeringan. Kemarau belakangan bikin beberapa tanaman Kelompok Tani Hutan Kumbang (KTH Kumbang) tumbang. 

Ini diperparah tanah yang mereka pakai adalah tanah urukan Setu Babakan yang banyak mengandung plastik. Mereka sudah melakukan berbagai cara dengan meningkatkan kedalaman sumur serta membangun saluran air dari Setu Babakan, tentunya dengan dana swadaya dari para anggota. 

“Masuk tahun ini gagal panen karena kekeringan, di sini pakai konsep hutan karena di bawah Dinas Perhutanan, jadi pohon-pohon di sini adalah tanaman hutan yang banyak mengandalkan curah hujan,” kata Julio, salah satu pengurus KTH Kumbang.

Hamzah Abdullah (25) (kiri) dan Jullio Eglisias Tarigan (24) adalah salah satu pengurus KTH Kumbang yang masih aktif bertani sampai sekarang. Air untuk menyiram tanaman ditampung di galon untuk mengairi tanaman. Musim kemarau membuat sebagian tanaman di KTH Kumbang mengalami kekeringan.
Selain tanaman dan perikanan air tawar, KTH Kumbang juga melakukan budidaya lebah madu.

Lokasi KTH Kumbang terletak tak jauh dari cagar budaya Setu Babakan di Srengseng Sawah, Jagakarsa. Julio mengatakan bahwa lahan seluas 1,4 hektare ini adalah milik Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Provinsi DKI Jakarta. Sejak pandemi, Dinas mempersilahkan warga untuk mengelola lahan tersebut.

Dalam mengelola lahan pertanian, KTH Kumbang menggunakan struktur per seksi yang terdiri dari seksi pembibitan, pertanian, perikanan, budidaya lebah, dan pemupukan.

“Setiap anggota mau nanam apapun bebas, nantinya 2,5% dari setiap penjualan masuk ke kas kelompok,” kata Julio.

Awalnya KTH Kumbang punya 27 orang anggota, tetapi sekarang tersisa 13 orang petani yang masih aktif menanam. Beberapa komoditas pangan yang dapat dijumpai antara lain alpukat Cipedak, buah buni, pisang, singkong, cabai, jagung, kangkung, ikan mujair, bawal, dan lele. Mereka juga mengelola pupuk kompos secara mandiri dan menggunakan pestisida alami buatan mandiri.

Julio menunjukkan buah buni hasil pembibitan di KTH Kumbang. Buah buni (Antidesma Bunius L) memiliki banyak khasiat untuk kesehatan seperti menjaga kekebalan tubuh dan mata. Namun, jumlah buah buni di Indonesia sudah semakin langka.

Julio menunjukkan buah buni yang sudah ranum menghitam. Rasanya asam dan sepat. Nantinya buah ini akan diolah menjadi produk minuman yang rasanya manis dan segar, selain juga menjual sayuran kepada masyarakat sekitar.

Kolaborasi KTH Kumbang, Young Sayur, Kebun Anggur Import bersama petani kota Jagakarsa lainnya yang difasilitasi oleh Selarasa ini yang kemudian melahirkan Majelis Sayur. KTH Kumbang sendiri mempunyai produk minuman buah buni dan teh daun alpukat yang juga mereka olah sendiri.

Lebih jauh, para inisiator dan kolaborator Selarasa berharap upaya mereka menjadi model ekonomi yang mendukung produk olahan lokal. Selain berkelanjutan, bagi mereka, produk mereka juga unggul karena minim sampah, minim distribusi, dan minim eksploitasi sumber daya alam.

Selarasa sering mengadakan acara yang berkaitan dengan pangan dan tanaman salah satunya lokakarya origami daun kopau dari Riau.

Mereka berharap Selarasa mampu menjadi lumbung pangan bukan hanya bagi petani kota tetapi warga sekitar.

“Kalau ngomongin pangan, harapan gue, kita bisa balik ke belakang, bukan ke depan. Yaitu balik di masa-masa Jagakarsa jadi episentrum pangan. Untuk apa melihat ke depan kalau masa kejayaan itu ada di belakang? Dari sana kita bangun semangat yang sama,” tukas Julian.


Cerita foto ini didukung oleh Yayasan Kota Kita dengan tujuan memotret inisiatif pertanian kota di tengah keterbatasan lahan dan upaya membangun kemandirian pangan. 

Yayasan Kota Kita menerbitkan riset terkait pangan perkotaan yang bisa kamu baca pada tautan ini: Pangan Perkotaan di Tiga Wilayah Urban di Indonesia

Baca artikel terkait pertanian kota lainnya di Project M:

Mandiri Pangan di Tengah Kebijakan Nol Sawah: Petani Kota Solo Menanam di Antara Tembok Rumah dan Toko

 

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Yayasan Kota Kita
Adrian Mulya & Ronna Nirmala
11 menit