BANYAK orang terkejut dengan langkah Presiden Jokowi. Di kala senja kekuasaannya, ia berusaha untuk tetap berada di dalamnya. Ada beberapa usaha yang ia tempuh, secara sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan, untuk tetap berkuasa.
Kabarnya, ia berusaha untuk tetap bisa berkuasa di periode ketiga. Ketika ini gagal, lewat relawan atau pembantu-pembantunya, ia menaikkan isu perpanjangan masa jabatan, 2 atau 3 tahun. Alasannya, ekonomi Indonesia hancur karena pandemi Covid-19 dan ia perlu menuntaskan proyek-proyek strategis nasional seperti hilirisasi dan pemindahan ibu kota negara. Cara itu gagal.
Namun Jokowi tidak menyerah begitu saja. Kali ini, yang maju adalah Gibran Rakabuming, yang baru dua tahun 10 bulan menjadi wali kota Solo, menjadi calon wakil presiden berpasangan dengan Prabowo Subianto. Ketika si anak terbentur pada persyaratan bahwa seorang cawapres harus berusia setidaknya 40 tahun, ada seorang mahasiswa melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi yang meminta agar ketentuan undang-undang itu diubah.
Hasilnya adalah sebuah drama politik yang penuh ketegangan. Ketua MK, yang adalah ipar Jokowi dan paman Gibran, akhirnya diberhentikan dari jabatannya, setelah sukses mengubah syarat batas usia cawapres. Sentimen publik pun sangat negatif terhadap pencalonan Gibran.
Sepanjang proses itu, jarang orang bertanya, mengapa Jokowi berubah dari seorang politikus populis menjadi seorang penguasa yang ingin memaksimalkan semua kesempatan berkuasa?
Politikus Populis
Jokowi naik karena politiknya yang populis. Ada banyak pengertian tentang populisme, namun agaknya para ahli sepakat elemen dasar dari ide ini, yakni sebuah politik non- atau bahkan anti-elite. Kadarnya tentu bermacam-macam. Ada yang terang-terangan menyebut bahwa elite adalah penyebab penyakit sosial dalam masyarakat karena ketamakan mereka sebagai sebuah golongan. Ada juga yang lebih lunak dengan menyerukan bahwa diperlukan penguasaan kekuatan untuk memaksa kalangan elite agar berbagi kepada warga negara lain, khususnya yang paling kekurangan.
Dalam konteks Indonesia, Jokowi adalah antitesis dari politik yang didominasi oleh para elite – baik elite-elite oligarki maupun dinasti. Jokowi adalah representasi rakyat. Di mata rakyat biasa, Jokowi adalah “orang seperti kita yang mampu menjadi pemimpin dan mengalahkan para elite.”
Tetapi bukan berarti Jokowi tidak didukung elite. Kaum liberal progresif perkotaan sangat gandrung pada orang Solo ini. Buat mereka, Jokowi adalah representasi dari kesamaan kesempatan. Ia adalah contoh ideal kaum liberal: orang sederhana yang mampu meniti tangga sosial, berpandangan progresif, bervisi kemajuan, dan sangat mementingkan kemajemukan.
Pendeknya, ia tampil sangat sederhana. Ia senang blusukan mengunjungi rakyat kecil di pasar, di sawah, di tempat pelelangan ikan, dan sebagainya. Rakyat biasa, yang mayoritas dari penduduk negeri ini, terpesona. Ia juga rajin memberi bantuan kepada rakyat kecil sebagai bentuk dari jaring keamanan sosial.
Pada saat bersamaan, Jokowi juga adalah seorang developmentalis. Sebagai pedagang, ia melihat bahwa kemakmuran negeri ini tidak akan tercapai bila ekonomi pasar tidak diperbaiki dan perbaikan itu harus dilakukan dengan membenahi infrastruktur. Mulailah ia membangun berbagai fasilitas transportasi dan memperbaiki berbagai prasarana yang tidak akan mampu dibenahi oleh sektor swasta.
Berbeda dengan politikus pada umumnya, Jokowi tidak menyerahkan pembangunan proyek-proyek infrastruktur ini kepada swasta. Di masa lalu, para politikus sering berkolusi dengan pihak swasta yang mendapat proyek-proyek, sehingga biaya proyek jadi tinggi sementara hasil mutu rendah.
Jokowi adalah seorang populis teknokrat yang dirigistik. Ia memakai kekuatan perusahan-perusahan negara untuk mengerjakan proyek-proyek infrastruktur. Sekalipun berlabel “perusahan,” badan ekonomi ini adalah milik negara. Perusahaan ini boleh mencari pendanaan sendiri termasuk dengan menerbitkan surat hutang (obligasi). Tidak mengherankan bila di bawah Jokowi, utang-utang BUMN khususnya BUMN Karya yang mengerjakan proyek-proyek infrastruktur, meningkat.
Secara keseluruhan, utang luar negeri Indonesia cenderung meningkat. Pada akhir pemerintahan Presiden SBY (2013) jumlah utang luar negeri Indonesia sebesar US$293,3 miliar atau Rp4.522,12 triliun. Per Januari 2023 utang luar negeri Indonesia meningkat menjadi US$404,87 miliar setara Rp6.241,84 triliun. Utang-utang itu tidak termasuk utang BUMN yang dipakai untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur.
Di bidang politik, Jokowi juga berbeda dengan politikus lain. Setelah kejatuhan Orde Baru, hampir semua presiden memiliki partai politiknya sendiri. Gus Dur membuat PKB (yang kemudian diambil alih oleh Muhaimin Iskandar); Megawati memiliki PDI-P; SBY menciptakan Partai Demokrat. Jokowi sendiri tidak memiliki partai. Karir politiknya melaju di bawah bendera PDI-P.
Jokowi memang memiliki relawan, namun relawan ini berbeda dengan partai yang memiliki ideologi, pengurus dari tingkat nasional ke desa atau bahkan RT/RW. Para relawannya pernah mendesak untuk mendirikan partai namun ditolak oleh Jokowi.
Kepandaian lain dari Jokowi adalah melakukan politicking. Pada periode kedua kekuasaannya, dia berhasil menghimpun sebagian besar partai untuk mendukung pemerintah. Ia bernegosiasi dengan kekuatan-kekuatan besar itu sehingga ia memiliki dukungan mayoritas nyaris mutlak (super-majority) untuk memerintah.
Jokowi bernegosiasi untuk memberikan portfolio kementerian yang dikehendaki oleh partai-partai. Selain itu, untuk tetap memelihara para relawan, ia mengganjar mereka dengan jabatan-jabatan komisaris dan wakil menteri. Hanya satu relawan yang menjadi menteri, itu pun di akhir masa jabatan Jokowi.
Masa kedua Jokowi nyaris tanpa pergolakan yang berarti. Ia juga berhasil meyakinkan partai-partai besar akan pentingnya stabilitas. Dia bahkan merangkul lawan politik terbesarnya, Prabowo Subianto, dengan menjadikannya Menteri Pertahanan. Ia sesungguhnya menghidupkan kembali karir politik Prabowo yang sebenarnya sudah hampir mati itu.
Selain itu, Jokowi berhasil mengontrol massa-rakyat dengan lebih ketat. Berbeda dengan Soeharto yang melakukan pembangunan ekonomi di bawah todongan senjata oleh militer, Jokowi melakukannya dengan mengefektifkan kontrol kebebasan berbicara (UU ITE). Selain mengontrol oposisi dan kritik, Jokowi juga melengkapi diri dengan pasukan-pasukan online (buzzers, influencers) yang siap membuat narasi tentang kebaikan dan keberhasilan pemerintahannya.
Jokowi juga semakin memberikan perlindungan kepada para elite politik dan ekonomi lewat revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, dan revisi UU Kitab Hukum Pidana. Semua aturan-aturan hukum ini pada hakekatnya merupakan ‘infrastructure of repression’, infrastruktur penindasan yang mengamankan para elite dan mengontrol massa-rakyat.
Kombinasi antara kontrol terhadap massa-rakyat dan kompromi dengan para elite ini memberikan hasil maksimal kepada pemerintahan Jokowi. Ia bisa melakukan apa saja tanpa mendapatkan rintangan yang berarti. Ia juga memompa nasionalisme rakyat dengan proyek-proyek yang tampaknya membuat reputasi Indonesia semakin mengkilat. Kita menyaksikan balapan motor di Mandalika, kemewahan pertemuan G-20 di Bali, pesta pora mewah dan megah pada KTT ASEAN di Jakarta, dan lain sebagainya.
Jokowi juga dibuai oleh hasil polling tingkat kepuasan terhadap pemerintahannya yang sangat tinggi. Jokowi berhasil memperoleh skor di atas 80%, polling tingkat kepuasan yang hanya dinikmati oleh penguasa seperti Vladimir Putin dari Rusia.
Kekuasaan Minim Kontrol
Dengan tingkat kepuasan yang tinggi, pemerintahan Jokowi nyaris tanpa kontrol. Partai-partai menyukai status quo dan para pemimpin partai menyadari bahwa mereka sudah mendapat porsi kekuasaan yang adil. Di sisi yang lain, sang presiden semakin memperkuat posisinya. Karena pengaruh jabatan ia bisa mendudukkan orang-orangnya di kepolisian dan militer.
Keleluasaan yang dinikmati oleh Jokowi nyaris mirip seperti yang dinikmati oleh Soeharto pada zaman Orde Baru. Hanya saja, kali ini Jokowi tidak memakai senjata untuk mencapai tujuan-tujuannya. Ia sangat mahir melakukan negosiasi kepada para elite dan membangun dukungan dari bawah.
Jokowi membangun basis dukungan yang cukup solid. Para pemujanya sangat toleran jika ia melakukan sesuatu yang di luar batas kewajaran. Jika dia melakukan kesalahan maka yang disalahkan bukan Jokowi namun para pembantu dan orang-orang disekelilingnya. Saya cukup sering mendengar para pendukungnya berkata, “Jokowi orang baik yang dikelilingi oleh orang-orang jahat.” Selalu ada permaafan bilamana presiden tidak mampu melakukan apa yang ia janjikan.
Seolah-olah kekuasaannya adalah untuk bernegosiasi dengan para setan (negotiating with evils). Sentimen anti-partai dan anti-politikus itu sangat tinggi di Indonesia. Jokowi memanfaatkan sentimen itu dengan sangat baik. Itu sebabnya ia tidak mendirikan partai politik. Ia mencitrakan dirinya sebagai orang bersih yang tidak ternoda oleh politik. Dia bukan politikus namun hanya sekedar orang baik dengan misi membersihkan politik dari para politikus profesional.
Sehingga kita melihat bahwa banyak orang memaklumi langkah-langkah nepotis Jokowi seperti ketika ia melobi agar anak dan menantunya bisa dicalonkan menjadi wali kota. Orang memaafkannya karena nepotisme marak di tingkat pemilihan kepala daerah. Jika keluarga politikus lain boleh melakukannya, mengapa Jokowi tidak?
Orang pun masih mahfum ketika ia meninggalkan PDI-P, partai pendukung utama yang membuat ia menang dalam lima pemilihan umum. Orang juga masih toleran ketika ia mengalihkan dukungan ke Prabowo Subianto, ketimbang ke calon yang didukung oleh PDI-P. Orang pun maklum akan usaha Jokowi untuk lepas dari pengaruh PDI-P yang mau agar ia menjadi ‘petugas partai’ yang menjalankan idealisme dan nilai partai.
Namun, batas permakluman ini tampaknya dilanggar ketika anaknya Gibran Rakabuming akan dipasangkan dengan Prabowo Subianto dan untuk itu undang-undang harus diubah. Titik balik ini membuat orang seolah tersadar bahwa Jokowi ternyata bukan politikus yang taat pada aturan main, patuh pada etik politik, dan legawa menerima akhir kekuasaannya.
Apa yang mampu menjelaskan tingkah laku Jokowi ini? Apa yang menyebabkan Jokowi seakan menempuh segala cara demi tetap berkuasa? Mengapa pula ia beraliansi dengan Prabowo, mantan musuh besarnya itu?
Oportunisme Seorang ‘MAGA Jawa’
Banyak orang tidak sadar bahwa kekuatan utama Jokowi adalah kemampuannya melihat kesempatan (opportunity). Ia adalah politikus yang sangat pragmatis. Selain itu, dia juga tahu betul memanfaatkan momentum.
Belum selesai masa jabatannya periode kedua sebagai walikota Solo, dia sudah melihat peluang di Jakarta. Segera dia bertarung di ibu kota dan menjadi gubernur. Dua tahun masa jabatannya sebagai gubernur, dia tahu persis popularitasnya. Ia maju ke pemilihan presiden dan menang melawan Prabowo Subianto.
Pada awalnya, Jokowi dipandang sebagai Obama-nya Indonesia. Dia adalah anak kandung reformasi. Orang-orang terharu biru dengan kemenangannya yang nyaris mustahil. Rakyat biasa dengan latar belakang sangat sederhana bisa mengalahkan Prabowo Subianto dengan mesin politik yang terawat dengan baik dan sudah dipersiapkan sejak lama.
Jokowi, politikus tanpa partai, membetot kecintaan kelas menengah dan rakyat kecil. Ia adalah Cinderela politik Indonesia, sekaligus Daud yang menaklukan raksasa Goliat dengan alat sederhana.
Pada awalnya, bintang politik Jokowi memang tampak seperti Obama, minus keahlian berpidato dan kedalaman intelektual. Namun semakin lama semakin kelihatan bahwa Jokowi rupanya menikmati kekuasaan yang nyaris seperti kultus. Inilah yang membuat dia tampak semakin menyerupai Donald Trump, presiden AS ke 45, yang juga memiliki daya tarik yang sama.
Seperti Trump, Jokowi adalah seorang marketer yang handal. Ia memiliki keterampilan untuk menjual dan mempengaruhi orang untuk membeli. Keterampilan ini yang membentenginya dari berbagai kesalahan. Seperti Trump, Jokowi seolah-olah memiliki kekebalan karena kesalahan-kesalahannya dimaklumi dan para pembantunya yang harus menanggung beban itu.
Sehingga, para pendukung Trump dan Jokowi menjadikan mereka sebagai kultus. Mereka memberikan cek kosong kepada pemimpinnya. Apa saja yang dikatakannya selalu benar.
Namun, tidak seperti Trump, Jokowi menghindari hal-hal yang bombastis. Jika Trump membual dan berbohong tanpa tahu malu, Jokowi sebaliknya. Ia memelihara postur sederhana, membumi (down to earth). Jika Trump menantang badai, Jokowi menyerap dan larut dalam badai itu. “Aku rapopo,” katanya dalam bahasanya sendiri, Jawa, untuk menanggapi kritik dan makian.
Untuk publik Indonesia, ini adalah sikap yang disukai. Jokowi tahu persis itu. Ia juga tahu bahwa saudara sebangsanya ini punya nasionalisme yang sangat tinggi. Ia berusaha membangun kebanggaan itu sekalipun dalam derajat yang sangat dangkal (superficial). Lihat saja bagaimana ia mengkampanyekan mobil Esemka yang tidak pernah secara serius dibuat itu. Atau, bagaimana ia membuat proyek-proyek gemerlap seperti destinasi pariwisata, sirkuit balap Mandalika, dan yang terakhir IKN. Dia paham sepenuhnya bahwa publik Indonesia akan menelan itu mentah-mentah proyek nasional yang banal ini.
Secara disadari atau tidak, sesungguhnya Jokowi juga sedang membangun gerakan. Ia membangun pendukung-pendukung fanatik seperti Trump membangun gerakan Make America Great Again (MAGA). Walaupun mirip, Jokowi menerapkan MAGA ala Jawa, yang barangkali bahkan ia sendiri tidak menyadari itu.
Dinasti dan Nepotisme
Tidak seperti Trump, Jokowi terpilih untuk kedua kalinya. Dia memiliki basis politik yang kuat. Kepuasan terhadap pemerintahannya (approval rating) sangat tinggi. Tapi mengapa ia perlu membangun dinasti dan bahkan menerabas semua kepatutan politik untuk mendudukkan anaknya, Gibran Rakabuming, sebagai calon wakil presiden Prabowo Subianto?
Paling tidak ada tiga pendapat yang pernah saya dengar tentang tindak tanduk Presiden Jokowi ini. Yang pertama datang dari lingkaran presiden sendiri. Argumennya adalah karena Presiden Jokowi mendapat perlakuan yang tidak pantas dari Megawati Sukarnoputri dan PDI-P. Ujaran Megawati bahwa Jokowi adalah “petugas partai,” terus menerus didengungkan. Selain itu, pidato Megawati bahwa Jokowi tidak akan berarti tanpa PDI-P juga mendapat kritikan keras dari pendukung presiden ini.
Megawati mungkin memakai istilah yang tidak tepat dengan menyebut Jokowi sebagai “petugas partai.” Namun bukankah wajar bila seseorang yang maju dengan tiket sebuah partai, setelah berkuasa harus juga menjalankan visi partai? Lalu, apa fungsi partai politik bila kadernya tidak melakukan apa yang menjadi idealisme dan cita-cita partai?
Agar adil untuk PDI-P, bagaimana dengan dukungan partai ini, yang tanpa reserve, mendukung dan mengawal perjalanan politik Jokowi beserta anak dan menantunya?
Yang kedua, saya banyak mendengar bahwa Jokowi merasa perlu untuk membangun dinasti karena semua hampir semua politikus Indonesia melakukannya. Alih-alih meninggalkan warisan berupa demokrasi yang kokoh dan sistem yang meritokratis, Jokowi memilih untuk mengutamakan pengabadian pengaruhnya.
Jokowi sangat pintar melihat peluang dan memanfaatkan momentum. Jika tidak sekarang, kapan lagi? Dalam politik, kesempatan tidak akan datang untuk dua kali. Inilah saatnya.
Namun bagaimana dengan biaya politik yang tinggi yang harus ditanggung Jokowi? Di sinilah pertaruhannya. Agaknya Jokowi percaya bahwa kekuatan masa berkuasa (incumbency) yang memungkinkan untuk menggerakkan aparat negara dan menghimpun dana kampanye yang besar akan mampu mengubah opini publik.
Kesempatan juga datang mengingat usia Prabowo. Secara obyektif, sekalipun kita melihat bahwa Prabowo sekarang sering berlari-lari kecil, semua orang tahu bahwa ia sudah tidak berada dalam kondisi kesehatan yang puncak. Bukankah ini kesempatan yang tidak boleh dilewatkan?
Pendapat ketiga berpusat pada pertanyaan: Mengapa memilih Prabowo? Mengapa tidak dengan Anies Baswedan? Bukankah Anies sebenarnya tidak pernah menjadi lawan langsung Jokowi? Terhadap dua pertanyaan terakhir, saya kira, koalisi dengan Anies Baswedan tidak mungkin karena Jokowi membutuhkan Anies sebagai kontras dengan dirinya.
Jokowi sangat berhasil mendemonisasi Anies di kalangan pendukungnya. Dia membangun citra bahwa jarak antara dirinya dengan Anies seperti bumi dan langit. Anies adalah pendukung Islam garis keras, dan dia sendiri adalah pendukung pluralisme. Anies berpolitik dengan mengeksploitasi identitas, sementara dirinya adalah anti-identitas. Demonisasi ini berlangsung secara terus menerus. Bahkan Prabowo tidak mendapatkan demonisasi seperti Anies.
Kemudian mengapa Prabowo? Ada pendapat yang mengatakan bahwa hanya Prabowo yang bisa menawarkan perlindungan kepada Jokowi sesudah tidak berkuasa. Terhadap argumen ini, saya memiliki pertanyaan lanjutan: Jika ada perlindungan, berarti ada yang ditakutkan? Orang berani tidak butuh perlindungan. Lalu apa yang ditakutkan? Hingga di sini, saya pun tidak mendapat jawabannya.
Terhadap teori ini, saya pun punya pandangan yang berbeda. Dengan tingkat kepuasan dan popularitas yang sedemikian tinggi, bukankah sesungguhnya tidak ada yang perlu ditakutkan oleh Jokowi? Jika ia sedemikian populer dan dicintai oleh rakyat, ia tidak akan tersentuh oleh siapapun.
Popularitas dan kecintaan rakyat adalah bentengnya. Jika pun rezim yang datang kemudian memperlakukan dia seperti Soeharto memperlakukan Soekarno, maka ingatan rakyat tidak bisa dihapuskan. Bukankah sentimen terhadap Bung Karno tetap positif dan jarang sekali orang memandangnya secara negatif? Bukankah sampai saat ini Soeharto masih menjadi figur pemecah belah di mana sebagian rakyat masih sangat membencinya?
Hingga dua bulan lalu, saya masih berani membayangkan bahwa Jokowi akan menyelesaikan masa jabatannya secara bermartabat dan bertanggung jawab. Ribuan orang akan mengantarnya pulang ke Solo sesudah menunaikan kewajibannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Di Solo pun, ia disambut ribuan orang yang memenuhi jalanan dan Jokowi berhenti lalu berjalan kaki ke kediamannya. Sangat bermartabat. Sangat negarawan.
Lalu mengapa dia memilih jalan yang dalam pandangan banyak orang sangat tidak populer ini? Ia sebenarnya bisa sangat berpengaruh ketika lengser dari kekuasaan dengan kepala tegak dan bermartabat.
Saya kira, kini setelah sembilan tahun Jokowi berkuasa, kita kemudian makin tahu bahwa ia memulai perjalanan politiknya sebagai seorang populis dan mengakhirinya sebagai oportunis kekuasaan. Tujuan politik jangka pendeknya sangat pragmatis: Gibran menjadi wakil presiden, partai yang dipimpin Kaesang, PSI, masuk ke DPR, dan terakhir bila PSI mampu tampil baik (mereka habis-habisan untuk masuk ke DPR) maka Kaesang bisa mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI. Semua jalan ke arah itu sudah disiapkan.
Hanya yang satu yang berada di luar kontrol Jokowi dan keluarga, itu adalah: rakyat!