Perlahan tapi pasti. Perubahan fungsi kawasan mangrove di pesisir Sumatra Utara semakin masif. Sayang, upaya restorasi belum sebanding dengan kerusakan yang ada.
LEBIH dari empat dekade hidupnya, Sajali Sinaga menghabiskan waktu mencari ikan di antara akar mangrove di sekitar Sungai Sei Siur, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kebiasaannya mesti berubah sebab ikan tak lagi banyak. Nelayan 63 tahun itu juga harus mengayuh lebih jauh, menyeberang sampai ke Pulau Sembilan, demi mendapatkan ikan.
“Sebelum ada tambak udang dan kebun sawit, mudah mencari ikan di sini (Sei Siur),” ujarnya ketika ditemui pada sore hari ketika sedang bersiap hendak pergi menangkap ikan, menjelang akhir Juli.
Hari itu, Sajali hanya istirahat 15 menit di rumah. Semenjak ikan semakin jarang, ia memaksa diri untuk bekerja lebih keras.
“Semalam sore pergi, tadi pagi dijemput hasil tangkapannya. Istirahat sebentar, dan siangnya pergi lagi mencari ikan. Selebihnya di laut. Kalau sebentar di laut, penghasilan tidak mencukupi,” katanya.
Meski sudah menghabiskan hampir seluruh waktunya bekerja, penghasilan Sajali tetap jauh dari cukup. Hari itu ia hanya mendapat Rp125 ribu dari hasil penjualan 2 kilogram udang, dan empat ekor kepiting. Bila melaut sehari semalam, penghasilannya mentok antara Rp150 ribu – Rp200 ribu.
Pada tahun-tahun sebelumnya, Sajali mengatakan bisa mendapatkan Rp300 ribu – Rp350 ribu dalam satu malam. Tetapi sejak 15 tahun terakhir, kondisinya semakin buruk.
“Hasil tangkapan semakin sedikit karena bakau sudah tidak ada lagi, hanya di pinggir-pinggir benteng ini saja,” katanya.
Bagi Sajali, hutan mangrove adalah tempat ikan-ikan bertelur juga sarangnya udang dan kepiting.
“Karena sudah tidak ada bakau, di mana dia mau bertelur? Nah, inilah kan udah alih fungsi ini, tambak mau dijadikan hutan sawit,” katanya.
Bukan hanya perkara alih fungsi lahan, limbah dari perkebunan sawit yang dialirkan ke sungai juga berdampak pada hutan mangrove dan keberadaan ikan.
“Ketika hujan, limbah dapat [terlihat] dengan jelas, airnya hitam dan bau,” katanya.
Sajali hanyalah satu dari ratusan nelayan di pesisir di kabupaten itu yang harus menelan pahit dampak perubahan lahan.
Dikuasai Mafia Tanah, Sebagian Lain Terdampak PLTU
Onrizal, peneliti mangrove dari Universitas Sumatra Utara, menyebut luas hutan mangrove pada periode tahun 1977-2006, mencapai 103.425 hektare. Kendati demikian, penelitiannya menemukan, pada periode 2010-2020, luas hutan mangrove tersisa hanya 41.700 hektare.
Penyusutan lahan berdampak pada menurunnya jumlah ikan hingga 66 persen, 28 persen di antaranya bahkan tidak pernah lagi ditemukan nelayan hingga menyebabkan penurunan penghasilan sampai 40 persen.
“Hutan mangrove adalah awal rantai makanan biota laut, kalau itu hilang makan biota laut juga akan hilang, dan 2/3 populasi ikan akan ada jika mangrove tetap ada (eksis),” kata Onrizal pada akhir Juli.
Perambahan kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading di Kabupaten Langkat seluas sekitar 11.000 hektare adalah salah satu contohnya. Sekitar 56 persen dari luas lahannya telah rusak dan beralih fungsi menjadi perkebunan sawit.
Pada Desember 2021, Kejaksaan Agung menemukan bahwa sekitar 210 hektare lahan di kawasan tersebut dikuasai mafia tanah yang kemudian mengubah lahan mangrove menjadi 28.000 pohon sawit.
Sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Langkat mengklaim seluas 8.000 hektare lahan mangrove telah dialihfungsikan mafia tanah menjadi perkebunan sawit.
Kejaksaan Agung juga menemukan 60 sertifikat kepemilikan tanah di tanah negara tersebut yang diduga dikuasai oleh seorang mafia. Kasus itu telah ditangani Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara tetapi sampai kini belum seorang pun ditetapkan sebagai tersangka.
Sumiati Surbakti, Direktur Yayasan Srikandi Lestari (YSL), lembaga non-pemerintah yang mengadvokasi hak-hak masyarakat di pesisir Langkat, mengatakan penguasaan hutan negara secara ilegal bukan cerita baru di Langkat, yang sampai saat ini para pelakunya tak tersentuh oleh hukum.
“Tak jarang di antara mereka [mafia tanah] memiliki relasi ke penguasa,” katanya.
Ketika mengunjungi kawasan pesisir Sei Siur, kami menemukan plang-plang yang menjelaskan bahwa kawasan itu merupakan kawasan hutan, namun lahan tersebut telah dibersihkan dan telah ditanami kelapa sawit.
“Begitulah faktanya, sudah jelas ada plang, tetapi kenapa bisa kelapa sawit ditanam di sana?” kata Sumiati.
Di sisi lain, peralihan lahan menjadi sawit bukan satu-satunya masalah di Langkat. YSL juga menemukan bahwa proyek pembangkit energi batubara (PLTU) Pangkalan Susu juga ikut memicu degradasi mangrove di pesisir Langkat.
PLTU Pangkalan Susu dibangun di atas area seluas 105 hektare yang dulunya merupakan kawasan hutan mangrove dan wilayah tangkapan nelayan. PLTU Pangkalan Unit 1 dan 2 berkapasitas 2 x 400 MW telah beroperasi sejak 2015, sementara Unit 3 dan 4 dengan kapasitas sama, selesai dibangun pada 2019 dan beroperasi setelahnya.
Sumiati mengatakan penurunan pendapatan nelayan membuat profesi itu semakin banyak ditinggalkan.
“Sebagian bahkan ada yang menjual perahunya untuk membayar utang, dan sebagian lagi mencari pekerjaan lain. Nelayan bukan lagi pekerjaan yang dapat diandalkan masyarakat pesisir, terutama di sekitar PLTU,” kata Sumiati.
Dedi Susanto, 38, salah satu nelayan terdampak, mengatakan ia banting setir menjadi kuli bangunan sejak hasil tangkapan tidak lagi mampu untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
“Kehidupan nelayan kecil seperti kami ini semakin buruk, sumber pendapatan kami terus berkurang,” katanya ketika membawa kami mengunjungi daerah tangkapannya dulu.
Tiga tahun lalu, sebelum Dedi berhenti jadi nelayan, ia bisa mendapatkan penghasilan hingga Rp500 ribu hingga Rp800 ribu dari satu hari melaut.
“Kalau sekarang, jangankan Rp800 ribu, sekali pergi saja kalau dapat Rp50 ribu, itu sudah Alhamdulillah,” kata Dedi, menyambung bahwa pendapatan itu tidak sebanding dengan biaya operasional, bahan bakar, dan konsumsi yang bisa mencapai Rp100 ribu.
Menurut Sumiati, tidak hanya secara legal oleh negara untuk pembangunan PLTU, degradasi mangrove juga banyak terjadi secara ilegal. Tidak sedikit di antaranya beralih secara ilegal oleh mafia tanah yang memiliki kuasa.
Hilangnya Koloni Udang Mangrove
Sekitar 129 kilometer dari Pangkalan Susu, Langkat, para nelayan tradisional di Desa Paluh Sibaji, Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang, tak lagi mencari ikan di kawasan mangrove.
Mangrove tak lagi ada, berganti usaha tambak udang skala besar. Bagi nelayan tradisional, ini berarti mereka harus pergi mencari ikan di laut, berlayar lebih jauh dengan kapal mesin demi menyambung hidup.
Ahmad Ajid, Ketua Serikat Nelayan Deli Serdang, mengatakan pada sekitar tahun 2010, kawasan mangrove di wilayah pesisir bahkan bisa menampung hingga 800an kapal nelayan dengan total hasil tangkapan bisa mencapai berton-ton udang, kepiting, dan kerang.
Jumlah nelayan tradisional turut berkurang ketika hutan mangrove di pesisir desa mereka mulai beralih fungsi. Tanah-tanah pesisir yang dulunya dihuni masyarakat pesisir diambil alih pengusaha yang mengklaim telah mendapat izin dari negara.
“Waktu itu masih di era Presiden Soeharto, tidak ada warga desa yang mau protes, apalagi pengusaha itu mengatakan proyek itu adalah proyek nasional,” kata Ajid.
Pengusaha yang dimaksudnya adalah PT Growth Pacific. Ketika itu, perusahaan mendirikan tambak udang skala besar seluas 62 hektare di lahan adat yang sebelumnya dikelola warga desa. Beberapa tahun kemudian, warga mendapati bahwa bukan hanya tambak udang saja yang beroperasi di kawasan pesisir.
“Yang kami tahu sekarang ada tiga pengusaha yang menguasai lahan di pesisir desa kami ini,” katanya. Pantauan melalui kamera nirawak, di pesisir Paluh Sibaji kini juga berdiri sejumlah usaha ternak ayam dan penangkaran ikan.
Ajid dan puluhan warga heran mengapa tanah yang sudah didiami generasi pendahulu kini dikuasai pengusaha pendatang dan mengklaim telah memiliki izin. Warga mencurigai kepala desa yang bermain mata dengan pengusaha untuk melanggengkan izin usaha di tanah-tanah yang dulunya merupakan tanah adat warga pesisir.
Selama lebih dari 20 tahun, mereka berupaya untuk mengklaim kembali tanah yang mereka sebut sebagai tanah adat pesisir itu dari PT Growth Pacific melalui jalur hukum dan berbagai aksi protes, namun sampai sekarang hanya sebagian kecil yang dapat diambil kembali.
Warga yang berhasil mengambil kembali lahan mereka kemudian menanami kembali wilayah itu dengan mangrove dan menjadikan lokasi budidaya ikan, juga mendirikan infrastruktur jalan dan jembatan dengan menggunakan anggaran dana desa.
“Itulah yang kami perjuangkan selama hampir 20 tahun ini, sembilan teman saya pernah ditangkap polisi dan saya sudah sering diincar saat berjuang dulu,” kata Ajid.
***
Berlayar lebih jauh bukan perkara yang mudah bagi para nelayan di pesisir Pantai Labu.
Abdul Hamid (52), salah satu nelayan dari Desa Paluh Sibaji mengatakan ia kini hanya bisa menangkap udang kecepe (rebon) karena hanya mampu membawa kapalnya sejauh 1 mil. Lebih dari itu, kapalnya akan kalah dengan kapal-kapal penangkap ikan lain yang lebih besar.
Jika cuaca sedang baik, dia mampu menangkap rata-rata 5 kg. Kondisi ini sangat berbeda jauh dari sepuluh tahun silam, saat udang kecepe hanya diperlakukan sebagai tangkapan tambahan saja.
Sepuluh tahun silam itu, nelayan bisa menangkap ikan seperti kembung, selar, gambas, tenggiri, kakap merah, serapuh, dan barakuda hingga 130 kg selama empat hari melaut. Sementara, udang banyak ditemukan di sekitar hutan mangrove dengan hasil tangkapan bisa mencapai hingga 100 kg.
“Kalau dulu ibarat menjemput aja,” kata Abdul.
Abdul mengenang masa-masa kejayaan menjelang tahun 1990-an, ketika banyak nelayan beralih dari perahu sampan ke perahu mesin karena ekonominya semakin membaik dari melaut.
“Waktu itu sekitar tahun 1982-1983 ketika masih berdiri Koperasi Unit Desa di desa itu. Mereka sudah mulai menggunakan perahu mesin, mulai beralih dari perahu sampan,” kata Abdul.
Tapi sekarang kondisinya sungguh jauh berbeda, “Kalau dulu [pendapatan] sehari untuk seminggu, sekarang seminggu untuk sehari.”
Upaya Rehabilitasi Lahan
Warga pesisir Langkat dibantu sejumlah pihak tak bisa berdiam diri. Di tengah upaya-upaya degradasi fungsi kawasan, warga melakukan upaya rehabilitasi lahan dengan menanam mangrove.
Setidaknya dalam tiga tahun terakhir, telah tertanam 75.000 bibit mangrove di lahan seluas 339 hektare di Desa Lubuk Kertang, Desa Kwala Serapuh, dan Desa Sei Siur.
Menurut Sumiati dari YSL, upaya penanaman hutan kembali dilakukan dengan skema perhutanan sosial dengan melibatkan masyarakat, meski tidak jarang terkendala karena lahan yang dikuasai mafia tanah.
“Sangat sulit mencari lahan yang clear dan clean di pesisir Langkat, itu jugalah yang menjadi hambatan bagi kita untuk melakukan penanaman kembali mangrove, karena banyak lahan sudah dikuasai mafia tanah,” katanya.
Di Desa Paluh Sibaji, Ajid beserta sejumlah masyarakat desa pesisir telah menanam mangrove di lahan yang rusak karena abrasi pasca-pengerukan pasir laut sekitar 20 tahun lalu.
“Inilah salah satu cara kami untuk mengembalikan ekosistem daerah pesisir Paluh Sibaji, diharapkan ini menjadi benteng terakhir pertahanan desa dari abrasi,” katanya menunjukkan lahan mangrove itu.
Sayang, upaya restorasi terhenti karena minimnya dukungan dari pemerintah.
Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), badan yang berdiri atas Peraturan Presiden No. 120 tahun 2020 untuk merehabilitasi kerusakan mangrove, memprioritaskan Sumatra Utara sebagai salah satu dari 13 provinsi target restorasi 600.000 hektare mangrove di seluruh Indonesia hingga tahun 2024.
Berdasarkan data BRGM tahun 2022, total luas mangrove yang ada di Sumut mencapai 57.490 hektare, seluas 8.878 di antaranya mangrove dengan tutupan jarang dan seluas 6.112 hektare tutupan sedang.
Pada 2021, BRGM menanam kembali mangrove seluas 7.559 hektare dan seluas 373 hektare pada tahun 2022. Selama dua tahun itu, penanaman terluas dilakukan di Kabupaten Langkat, seluas 2.503 hektare.
BRGM telah menghabiskan anggaran Rp97 miliar pada tahun 2021, Rp4,3 miliar pada tahun 2022 dan Rp150 miliar untuk merestorasi kawasan mangrove. BRGM menargetkan penanaman hingga 7.900 bibit mangrove pada tahun 2023-2024. Anggaran berasal dari skema kerja sama Kementerian Keuangan dan Bank Dunia.
Kendati demikian, warga pesisir mengaku tidak mengetahui dengan pasti bagaimana program itu berjalan dan berdampak kepada mereka.
“Belum ada, sosialisasi pun belum ada,” kata Ajid.
Saat kunjungan ke Sumut akhir tahun lalu, Kepala BRGM Hartono mengatakan restorasi mangrove tidak akan masuk ke kawasan yang masih bermasalah atau belum inkrah bila masih bersengketa, seperti yang terjadi di Langkat juga di Pantai Labu.
Hartono berdalih pihaknya tidak akan merestorasi wilayah yang bermasalah secara hukum karena tanpa itu, lahan lebih berpotensi untuk kembali rusak. Dalam keterangannya, Hartono menambahkan saat ini, pihaknya memprioritaskan kawasan ‘clean’ dengan dukungan penuh dari masyarakat.
Karena kondisi itu, Sumiati pesimistis upaya restorasi BRGM akan berhasil. Pasalnya, perlu ada upaya serius dari pemerintah untuk mengembalikan lahan-lahan yang diklaim mafia tanah kepada negara.
Tanpa usaha serius, menurut Sumiati restorasi hanya akan seperti membuang garam ke laut.
*Liputan ini didukung oleh Rainforest Journalism Fund - Pulitzer Center.