“Saya harap gelombang solidaritas tidak berhenti di kami berdua, tetapi juga di banyak momen lainnya untuk kemerdekaan, demokrasi, keadilan, hak asasi manusia, lingkungan hidup yang bersih dan sehat serta anti-korupsi.” – Fatia Maulidiyanti, 8 Januari 2024.
Ini bukanlah pertama-tama cerita tentang kepahlawanan. Lagi pula kita hidup di masa kita sangat mudah menjumpai atau merasakan ketidakadilan; saat kamu baru bangun atau menjelang tidur lewat layar ponsel di tanganmu.
Ini pertama-tama cerita tentang pembungkaman. Jalannya bisa beragam. Lewat ancaman. Lewat pengaduan. Lewat pengadilan seperti yang dihadapi Fatia dan Haris. Jalan-jalan seperti itu diakomodasi regulasi di negara kita. Kita mengenalnya UU ITE, atau saya menyebutnya undang-undang penyokong sistem penundukan.
Ada situasi yang diciptakan dari situ. Kita merasa harus takut untuk bicara. Bicara kritis. Bicara konflik kepentingan penguasa. Bicara yang mengganggu kenyamanan penguasa.
Merasa takut bicara adalah tujuan pembungkaman.
Ini adalah cerita kita sebagai warga. Yang sekalipun penguasa tidak mendatangimu ke rumah, tapi jalan pikiranmu yang ingin diambilnya. Kita diwajibkan tunduk atas apa pun pikiran, ucapan, dan tindakan penguasa. Kita ditertibkan saat kita menolaknya. Kita dipenjara saat kita menentangnya.
Kekuasaan semacam itu cuma mengenal bahasa kekerasan. Bahasa yang cuma mengenal kebenaran tunggal. Bahasa manipulasi yang diproduksi mesin propaganda. Bahasa kebohongan yang dirayakan para pendengung yang dipelihara penguasa agar sesama kita lupa bahwa lawan kita sebenarnya, dalam siklus tipu daya ini, adalah para penindas dan sistem yang melanggengkan penindasan.
Suatu hari di ruang pengadilan, Fatia berkata: “Apa yang saya alami hari ini tidak lain tidak bukan adalah wajah paling biasa dari represi terhadap hak asasi manusia. Kendati demikian, ancaman dan tekanan ini tidak menyurutkan niat saya sebagai perempuan pegiat hak asasi manusia.”
“Pemidanaan terhadap saya,” kata Haris dalam pembelaannya, “hanya akan memenjarakan tubuh saya, akan tetapi tidak akan menghentikan kebenaran. Kebenaran akan terus muncul.”
Pernah ada masa saudara kita dibunuh, diculik, dipenjara, diperkosa, dijatuhkan martabatnya sampai serendah tanah, jumlahnya bukan satu-dua, tapi ratusan ribu; dan pelakunya adalah Negara.
Pernah ada masa mayat saudara kita dibuang ke pasar, ke alun-alun, ke jalan raya; tujuannya sebagai teror agar kita tunduk serendah tanah; dan pelakunya adalah Negara.
Pernah ada masa puluhan desa ditenggelamkan dan ribuan petani diusir, katanya untuk proyek “kepentingan umum” dan demi “pembangunan”; dan negara dan korporasi adalah pelakunya.
Pernah ada masa penguasa mengirimkan api hingga kota-kota terbakar, mayat-mayat gosong, orang-orang diculik dan tak pernah pulang, orang-orang ditembak di jalan dan yang pulang tinggal nama, dan yang ditinggalkan adalah seorang ibu, seorang ayah, seorang saudara, seorang anak, seorang manusia, yang setia dan tak pernah setop membentuk barisan korban menuntut dan menagih keadilan di seberang Istana Negara.
Pernah ada masa, dan belum lama peristiwanya, mahasiswa-mahasiswa mati ditembak polisi karena menyuarakan reformasi telah dikorupsi.
Pernah ada masa, dan belum lama peristiwanya, ratusan orang termasuk anak-anak dan ibu-ibu dibunuh terimpit sesak mengisap udara kematian gas air mata polisi dan meninggalkan air mata keadilan.
Pernah ada masa, dan tak pernah berakhir, sebuah bangsa dipaksa bicara dengan volume sekecil mungkin, atau tombol volumenya dimatikan, dalam tahun-tahun protes kampungnya dibakar, tanah dan hutannya dirampas, sungai dan rawa-rawanya dikotori limbah tambang emas dan sawit, dan hewan buruan hilang dan suara burung hilang; diringkus siklus kekerasan.
Kita menghadapi kekuasaan yang sangat anti-kritik. Kita hidup di masa kita dipaksa menormalisasi ketidakadilan. Kita dipaksa negara dan aparatusnya menerima kehadiran korban.
Saya kira kita harus bicara stop. Stop penundukan. Stop konflik kepentingan penguasa. Stop kekerasan.
“Kalau kita solid, kalau kita terus melawan tanpa berhenti,” kata seorang teman dari Papua di luar gedung pengadilan, “maka keadilan akan jadi milik kita.”
Tak ada namanya kebebasan jika kita setengah-bebas. Tidak merdeka jika kita setengah-merdeka. Bukanlah hidup jika kita setengah-hidup. Kita berhak sepenuh hidup, termasuk bebas dan merdeka berpendapat dan berbicara untuk merawat kehidupan.
Ini adalah cerita kita sebagai warga. Kita semua berhak kritis. Kita semua adalah Fatia Maulidiyanti. Kita semua adalah Haris Azhar.