Mendukung partai progresif adalah membela diri dari ketidakadilan.
PERHITUNGAN sementara Pemilu Legislatif 2024 menunjukkan peluang Partai Buruh untuk melaju ke Senayan masih jauh dari harapan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat Partai Buruh memperoleh 0,63% atau berkisar 1,3 juta pemilih (data per 20 Februari 2024, 58,95%). Perolehan itu masih di bawah aturan ambang batas 4% perolehan suara untuk anggota parlemen nasional dalam mandat UU Pemilu.
Memang bagi partai yang baru berdiri tiga tahun ini, lolos 4% total suara atau sekitar 7 juta pemilih adalah target yang ambisius. Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang telah dua kali mengikuti pemilu, diketuai anak presiden, dan di-endorse oleh presiden, kemungkinan besar juga gagal ke Senayan.
Namun begitu, sepak terjang Partai Buruh boleh jadi alternatif baru dalam perjuangan melalui pemilu. Dalam rekap sementara, perolehan suara Partai Buruh masih lebih baik dari partai yang didirikan Amien Rais tiga tahun lalu, Partai Ummat, juga Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Garuda, dan Partai Kebangkitan Nusantara (PKN). Sementara, perhitungan suara di tingkat lokal (provinsi, kabupaten dan kota) di wilayah industri, memperlihatkan hasil yang lebih tinggi dari nasional, seperti di Tangerang dan di wilayah Bekasi.
Partai Buruh berdiri atas inisiatif aliansi kelompok pekerja dari sektor perburuhan, petani, nelayan, pekerja rumah tangga, kelompok miskin kota, dan pekerja sektor informal termasuk ojek online (ojol). Isu kesejahteraan kelas pekerja adalah fokus perjuangan partai. Saat kampanye terakhir pada 8 Februari, di langit-langit Istora Senayan terpampang beragam spanduk berisi program partai seperti hak cuti melahirkan untuk perempuan, pensiun, penghapusan outsourcing (alih daya) juga magang, hingga asuransi kesehatan.
Fokus utama partai adalah menghapus UU 11/2020 tentang Cipta Kerja atau Omnibus law yang sangat merugikan para pekerja.
Keikutsertaan Partai Buruh dalam pemilu 2024 adalah puncak dari perjalanan panjang keterlibatan serikat dalam politik elektoral sejak 20 tahun lalu. Saat itu, pimpinan serikat banyak yang menjadi caleg melalui beragam partai politik. Said Iqbal misalnya, pernah menjadi caleg DPR RI mewakili daerah pemilihan provinsi Kepulauan Riau pada 2009.
Pada 2014, eksperimen kampanye “go-politics” oleh serikat buruh dilakukan di Kabupaten Bekasi dan menghasilkan dua orang buruh yang menjadi anggota DPRD. Pada 2019, salah satu pimpinan serikat, Obon Tabroni berhasil ke Senayan melalui Partai Gerindra. Tahun ini, Obon kembali menjadi calon anggota legislatif dari partai yang sama, dan menolak bergabung ke Partai Buruh.
Kehadiran serikat buruh – juga Partai Buruh – dalam kontestasi pemilu adalah upaya untuk memperjuangkan hak-hak pekerja yang selama ini dipandang sebelah mata oleh partai elite. Kendati perjalanan serikat buruh dalam ranah politik belum membuahkan hasil yang diinginkan, tetapi kehadiran mereka telah mengkonsolidasikan kekuatan politik progresif dalam pemilu. Upaya tersebut penting sebagai pijakan dalam membangun strategi jangka panjang, Pemilu 2029 dan 2034.
De-industrialisasi dan Pelemahan Serikat Pekerja
Kehadiran Partai Buruh dalam kontes politik elektoral lebih dari sekadar soal melampaui syarat ambang batas parlemen. Melalui Partai Buruh, aliansi kelas pekerja telah meletakkan fondasi awal, menjadi titik berkumpul, mendorong semangat kolektif untuk terus melakukan konsolidasi elemen progresif. Mendukung partai progresif adalah membela diri sendiri dari ketidakadilan.
Ketidakadilan bagi kelas pekerja setidaknya merujuk pada lima situasi.
Pertama, lahirnya UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law). Negara memperdalam praktek liberalisasi pasar tenaga kerja denganmemperluas praktik alih daya (outsourcing), dan memperpanjang mekanisme pekerja PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) dari 3 ke 5 tahun.
Kedua, struktur ekonomi Indonesia terus mengalami de-industrialisasi, kontribusi sektor manufaktur pada 2014 sebesar 29%, dan pada 2022 menjadi 19%. Sumbangan sektor jasa pada pendapatan nasional terus meningkat, dan pada 2022 sebesar 52%. Sektor jasa sebagian besar bercorak informal dan dikecualikan dari pengaturan formal ketenagakerjaan termasuk upah minimum dan pemenuhan hak dasar pekerja lainnya.
Ketiga, terus meningkatnya pengangguran. Data BPS pada Agustus 2023 menyebut saat ini terdapat 7,86 juta pengangguran di Indonesia. Sementara pada 2022, perguruan tinggi meluluskan sarjana sebanyak 1,85 juta dan lulusan SMK sebanyak 1,63 juta. Keduanya tidak selalu match dengan kebutuhan pasar tenaga kerja.
Keempat, pelemahan serikat kerja yang telah berlangsung sejak PP no 78/2015 tentang Pengupahan. Di dalamnya peran serikat pekerja dan peran mekanisme tripartit dalam penentuan pengupahan dicabut. Penentuan upah minimum tidak lagi melalui mekanisme tripartit yang melibatkan dinas tenaga kerja, perwakilan pengusaha, dan serikat pekerja, melainkan menggunakan angka pertumbuhan ekonomi nasional dan tingkat inflasi.
Dalam mekanisme tripartit, serikat pekerja mengusulkan besaran upah merujuk pada angka Kehidupan Hidup Layak (KHL), yang disusun melalui pemantauan harga kebutuhan hidup para pekerja. Tren kenaikan upah pasca pemberlakukan PP 78/2015, menjadi 2.4% jauh lebih rendah dibandingkan mekanisme tripartit yang melibatkan buruh.
Kelima, pergeseran demografi yakni telah bergabungnya kelas pekerja muda (Gen Y/milenial dan Gen Z) yang kebanyakan bekerja di sektor-sektor kreatif dan kebanyakan bekerja paruh waktu (freelance). Tipe pekerjaan mereka berciri serabutan, tanpa sistem jaminan sosial dari pemberi pekerjaan. Mereka ini yang kemudian mendirikan banyak serikat pekerja termasuk Serikat “Sindikasi.”
Distrust pada Partai Politik
Sebagian publik sudah tidak percaya partai politik. Partai politik dianggap mainan para elite yang mementingkan kepentingan mereka ketimbang rakyat pemilihnya. Kasus-kasus korupsi partai politik sudah terlalu sering seolah makanan sehari-hari. Partai politik memang memiliki mekanisme mencabut mandat kadernya saat mereka sudah berada di parlemen, tapi alasan pencabutan ini lebih sering karena kepentingan partai, bukan konstituen.
Sebuah kajian menunjukkan bahwa partai-partai di Indonesia pasca-Reformasi tidak memiliki perbedaan ideologi dan program kerja yang jelas. Semua partai sama. Kesamaan ini yang menyebabkan ahli lain menyebut bahwa partai-partai di Indonesia sebagai partai kartel.
Berbeda dengan pemilu pertama pada 1955, saat itu ada lima aliran yang menjadi basis ideologi partai, yakni nasionalisme radikal (diwakili PNI), komunisme (diwakili PKI), tradisionalisme Jawa (yang masuk menyelip ke PKI dan ke PNI), Islam modern (diwakili Masjumi), dan Islam tradisional (diwakili Partai NU). Pada Orde Baru, ideologi selain Pancasila dilarang. Rezim kala itu juga menyederhanakan sistem kepartaian, menyisakan nasionalisme dan Islam yang beraliran Pancasila. Di era Reformasi, kembali lahir varian ideologi seperti 1955, khususnya kekuatan Islam, yang kemudian diwakili Partai Keadilan/Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Ideologi nasionalisme ini lebih sering digunakan untuk menjadi benteng masuknya aliran pemikiran asing, dan tidak ada kaitannya dengan posisi partai dalam kebijakan. Saat UU Cipta Kerja yang pro pada pengusaha dibahas, hanya PKS yang menolak dan walk-out di forum pengesahan UU ini. Partai lain, dengan ideologi nasionalis dari berbagai varian, mendukung, termasuk partai dengan kursi terbesar yakni PDI Perjuangan.
Dalam kasus lain misalnya kenaikan pajak tempat hiburan, partai juga tidak memiliki sikap yang jelas terkait ideologi nasionalisme mereka. Kasus ini viral saat Inul Daratista protes di akun media sosialnya. Setelah pertemuan dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Panjaitan, kenaikan ini ditunda.
Presiden Partai Buruh pun dianggap sering main mata dengan partai politik besar, termasuk saat petingginya mencium tangan Ganjar Pranowo, calon presiden yang diusung PDI Perjuangan, yang saat itu masih didukung Presiden Joko Widodo. Padahal, PDI Perjuangan adalah salah satu partai pendukung kelahiran UU Cipta Kerja. Secara internal pun terjadi fragmentasi antara serikat buruh. Andi Gani Nena Wea, salah satu inisiator Partai Buruh, menjadi bagian dari tim pemenangan pasangan Ganjar Pranowo, meski secara resmi Partai Buruh tidak mendukung capres manapun. Situasi ini turut menimbulkan keraguan pada elite partai. Sehingga sering muncul di media sosial lontaran pada Partai Buruh “dukung partainya tapi tidak presidennya”
Singkatnya Partai Buruh lahir dalam konteks tingginya distrust pada lembaga demokrasi ini. Tapi di sisi lain, apa opsi yang tersedia bagi masyarakat sipil dalam konteks demokrasi perwakilan yang kita gunakan saat ini? Kita membutuhkan partai alternatif yang memiliki program yang jelas dalam melawan ketidakadilan. Di saat sebagian besar masyarakat sipil di Indonesia berfokus pada gerakan moral yang cenderung anti-politik elektoral, dan di setiap pemilu elemen progresif terus kecewa, Partai Buruh menjadi salah satu alternatif.
Catatan Inklusivitas Partai Buruh
Satu hal yang terlihat dalam kegiatan kampanye terakhir Partai Buruh adalah minimnya kehadiran perempuan sebagai petinggi partai. Hampir semua petinggi partai yang berdiri di panggung adalah laki-laki. Untuk menjadi partai masa depan, partai buruh harus berciri inklusif dan mendorong peran perempuan di beragam lini. Syarat keterwakilan 30% caleg perempuan telah memfasilitasi kader-kader serikat perempuan untuk menjadi bagian dari kerja partai buruh.
Organisasi pendukung Partai Buruh seperti Jaringan Kaum Miskin Kota (JRMK) juga mendorong kelompok marginal untuk menjadi caleg yang dikenal sebagai #calegpinggiran. Dalam hal ini, Partai Buruh telah memberi saluran elektoral baru bagi warga biasa, kelompok pinggiran untuk menjadi wakil rakyat. Hal ini sangat tidak mungkin dilakukan oleh partai besar dengan proses kaderisasi berjenjang. Penulis melakukan penelitian caleg perempuan di partai politik dan menunjukkan masa tunggu caleg perempuan yang lebih lama di partai senior, ketimbang partai baru, seperti Partai Buruh atau PSI.
Di X (Twitter), dukungan pada Partai Buruh juga hadir dari kelompok muda. Kemungkinan besar mereka adalah bagian dari generasi muda yang resah dengan partai elite dan mencari alternatif partai lain. Mereka adalah pendukung di luar lingkaran dan basis tradisional Partai Buruh di sektor industri pengolahan di wilayah industri. Mereka adalah para pekerja lepas yang makin sadar akan haknya sebagai pekerja. Dengan demikian, Pemilu 2024 telah memperluas basis pendukung Partai Buruh, dan menjadi modal bagi konsolidasi partai secara jangka panjang.
Namun, perluasan Partai Buruh juga memerlukan komitmen dalam mencegah dan melawan praktik kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja yang terus tinggi angkanya. Hanya dengan menjadi inklusif Partai Buruh akan menjadi partai modern dan menjadi rujukan Generasi Y dan Z.
Amalinda Savirani adalah dosen di Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.