Dulu hamparan kebun kentang, sekarang deretan penginapan juga ekspansi sumur panas bumi mengubah lanskap Dieng. Menghadapi cuaca yang semakin ekstrem, masa depan Dieng adalah rebutan pasokan air.
Dieng sudah berubah.
Kenyataan itu diterima oleh Slamet (57) dan Anies (54), pasangan petani kentang di desa Dieng Kulon. Dieng yang dulu terkenal asri dengan hamparan kebun kentang, carica, sayuran dan aneka buah-buahan, perlahan namun pasti berubah menjadi deretan penginapan untuk wisatawan.
Sebagai orang yang menghabiskan seumur hidupnya menggarap enam petak kebun kentang bersama keluarganya, ia tak pernah membayangkan perubahan itu kini ada di depan mata.
Tiap Senin-Jumat pagi ia pergi ke ladang bersama istrinya. Kegiatan utama mereka memupuk, mengairi, menebar benih, dan memangkas ilalang, dari pagi, siang, terkadang hingga petang. Semua itu mereka lakukan bertahun, sampai suatu hari menyadari kebun-kebun kentang milik tetangga sudah berubah menjadi bangunan untuk wisata. Sama seperti beberapa puncak bukit tak jauh kebunnya yang sudah jadi penginapan.
“Katanya mau dibuat semacam rumah kabin. Padahal, rumah model seperti itu juga sudah banyak di dekat-dekat sini,” kata Slamet.
Pembangunan yang masif ini merupakan konsekuensi atas perkembangan kawasan Dieng yang telah menyandang status Kawasan Strategis Pariwisata nasional (KSPN). Pemerintah pusat mengucurkan Rp82,2 miliar untuk menata dan membangun berbagai infrastruktur penunjang pariwisata di sana. Proyek pembangunan itu ditargetkan rampung pada pertengahan 2024.
Slamet cuma bisa menghela napas panjang. “Dieng yang sekarang ini sudah jauh berbeda. Lama-lama, orang yang mampir liburan ke sini jadi numpang tidur saja,” Slamet menyindir pembangunan ratusan penginapan demi menyambut Dieng yang lebih tertata.
Sialnya, pembangunan itu menggantikan kentang di puncak-puncak bukit. Di dukuh Karangsari, tak jauh dari rumah Slamet misalnya, sudah dibangun puluhan rumah kabin yang terlihat instagramable dari pinggir jalan. Sebagian rumah ini menghadap ke arah bukit dan Telaga Balai Kambang yang ada di seberangnya.
Menurut Slamet, desa-desa yang masuk di kawasan wisata Dieng sejatinya mempunyai peraturan khusus, yang melarang orang dari luar desa membangun penginapan dan fasilitas wisata agar jumlahnya tidak membludak dan warga tetap bisa bertahan dengan hasil taninya. Namun, rupanya tiada aturan tanpa cela. Mereka kemudian mengakalinya dengan menawarkan modal kepada para petani di sana, dan keuntungannya akan dibagi dengan sistem bagi hasil.
Slamet sendiri belum pernah ditawari hal serupa. Namun setidaknya ia sudah mengambil sikap jika tawaran itu datang. “Saya tetap tidak mau melepas kebun. Kalau kentang tidak laku di pasar masih bisa saya bawa pulang dan dimakan sendiri, tapi kalau penginapannya tidak laku keluarga saya nanti makan apa,” katanya.
Pikiran pria dua orang anak ini menerawang ke masa mudanya saat masih berusia belasan tahun. Ia sering membantu orang tuanya meladang sepulangnya dari sekolah. Di kebun yang sama, Slamet diajarkan untuk tetap bisa menghidupi diri sendiri dengan memanfaatkan bentang alam yang ada. Baginya, menjadi petani di Dieng sudah cukup memberi napas dan sedikit pundi rupiah untuk bekal menjalani kehidupan.
Ia sadar, penginapan ini pasti akan membutuhkan banyak suplai air. Jika seluruh air di tanah dan telaga akhirnya terpakai, ia bingung harus mencari ke mana lagi. “Sejak dulu, kami mengandalkan air dari Telaga Merdada yang disambungkan ke pipa. Panjangnya sekitar dua kilometer lebih. Waktu kemarau kemarin saja airnya lumayan susah, bagaimana ceritanya kalau nanti makin banyak penginapan. Semakin banyak juga yang rebutan,” keluhnya.
Di sisi lain, ancaman bencana alam turut menanti karena pembangunan yang tidak dibatasi dapat mengurangi fungsi konservasi lahan tersebut. Ketika bukit, pohon, dan kebun itu sudah tidak ada lagi, lapisan tanah pada bagian atas tak mampu lagi untuk menyerap air saat curah hujan semakin meninggi, hingga akhirnya berujung pada erosi dan banjir. Data dari ARUPA (Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam) mencatat sebanyak 7.758 hektare lahan di sekitar Kawasan Wisata Dieng telah dikategorikan sebagai lahan kritis, dan jumlah tersebut masih dapat bertambah jika tetap dibiarkan berlanjut tanpa pengawasan.
Perubahan Cuaca Ekstrem
Wahyu (40) kini sedang was-was dengan kondisi tanaman kentangnya yang sudah berumur 40 hari. Lokasi kebunnya berjarak tiga petak dari lahan milik Slamet. Jika tidak ada masalah, ia bisa panen dua bulan lagi. Ia beruntung, kebunnya tidak bernasib nahas seperti beberapa petak kebun lain di sebelahnya yang kering, mati jadi korban bun upas, embun dingin yang bikin tanaman membeku dan kering.
“Kalau yang itu punya tetangga. Tanamannya mati beku karena kena bun upas waktu kemarau kemarin,” katanya.
Cuaca ekstrem yang terjadi tahun lalu membuat banyak petani kentang mengalami gagal panen akibat tanamannya membeku. Apalagi, tanaman ini sangat bergantung dengan kondisi cuaca di satu musim. “Cuaca sekarang ini sudah nggak bisa dikira-kira lagi. Kadang harusnya sudah masuk musim hujan tapi ternyata masih panas dan ada bun upas. Pernah juga tiba-tiba hujan angin sekalian. Wajar kalau ada yang jadi nggak semangat.” Ujar Wahyu.
Desa Dieng Kulon termasuk salah satu wilayah yang paling banyak terdampak dengan total kebun mencapai 7 hektare. BMKG mencatat, fenomena ini muncul lebih banyak pada tahun ini jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya seiring dengan kemarau panjang yang terjadi di Indonesia. Ironisnya, momen ini lah yang belakangan disukai wisatawan. “Mereka senang karena Indonesia akhirnya bisa kelihatan seperti di Eropa, tapi petaninya pada nangis karena tanamannya mati,” ujar Wahyu getir.
Selepas memupuk, Wahyu mengajak saya bertemu Lenny (35), istrinya yang kini mengelola penginapan. Sebagai warga Dieng, Lenny akhirnya merasakan deru industri baru. Awalnya, ia membantu Wahyu mengurus kebun kentang milik orang tuanya, hingga mereka memutuskan untuk memugar rumahnya menjadi penginapan. Ladang kentangnya tetap dikelola, namun kini tak lagi menjadi andalan pemasukan.
Mereka beruntung, kentangnya tetap dapat bertumbuh di tengah susahnya pasokan air. “Sekarang nggak bisa cuma andalkan kentang dan sayur. Air di sini makin susah. Waktu kemarin air dari telaga saja habis cuma untuk kentang,” ujarnya sembari mengingat-ingat kejadian mengeringnya Telaga Merdada saat kemarau panjang tahun kemarin. Permukaan air di sana menurun hingga 2,5 meter, dan para petani akhirnya kewalahan untuk mencari suplai air untuk ladangnya.
Masifnya industri pariwisata yang ada di Dieng juga membuat Lenny akhirnya mengajak adik iparnya mencari peluang baru dengan menanam rimpang seperti purwaceng dan jahe di kebunnya, untuk kemudian dijadikan minuman serbuk. Mereka mengolah semua bahan di rumah, sebelum dikemas dan didistribusikan ke toko oleh-oleh. “Sekarang, makin banyak orang yang punya penginapan. Jadi kami juga harus tetap beradaptasi dan coba cari peluang lain,” sambungnya.
Walau bayang-bayang ancaman cuaca di Indonesia yang tidak stabil selalu menghantui dari tahun ke tahun, para petani masih tetap berjuang untuk membuat kondisi pertaniannya dapat membuahkan hasil. Namun, ada kalanya mereka juga harus mencari alternatif pekerjaan lainnya demi bisa menghidupi diri setiap hari, seperti yang keluarga Wahyu lakukan saat ini.
Kenyataan ini juga terlihat begitu memasuki Desa Sembungan, yang merupakan desa tertinggi di Pulau Jawa sekaligus pintu masuk menuju Bukit Sikunir. Belasan pengemudi ojek berseragam memacu motornya di jalan desa, berharap merayu wisatawan yang kelelahan setelah berjalan kaki dari puncak bukit. Tepat di titik awal pendakian Bukit Sikunir, beberapa warga orang bersiap menerima pundi rupiah dari lahan parkir.
Di tengah menjamurnya penginapan, Agung (19) mencoba mencari peruntungan dengan menjadi housekeeping di penginapan. Saat lulus SMA, setahun lalu, ia membantu orang tua meladang. Sebenarnya Agung ingin melanjutkan kuliah, namun karena keterbatasan ekonomi, ia harus menundanya.
Orang tuanya senang karena anaknya punya mimpi besar, namun ujian lain telah menunggunya di depan. Hasil panen kentang di kebun yang selalu naik-turun jelas mempengaruhi pendapatan keluarganya.
Sadar bahwa orang tuanya tidak dapat membantu banyak, ia memilih berimprovisasi dengan caranya sendiri. Berbekal ijazah SMK, Agung memberanikan diri untuk melamar di sebuah penginapan. Uang hasil kerjanya sebagian ia tabung untuk biaya kuliah nanti.
Ancaman Proyek PLTP
Persoalan yang ada di Dieng tidak hanya sebatas masifnya industri pariwisata yang belum berkelanjutan. Potensi panas bumi yang kini tengah dimaksimalkan melalui pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Unit 2 Dieng oleh PT Geo Dipa Energi sejak 2019 memunculkan dilema baru, terutama bagi warga yang tinggal di dekat proyek tersebut.
Dimulai sejak 2019, PLTP Unit 2 adalah pembangkit terbaru yang dibangun setelah unit pertama resmi dibangun pada 2002 untuk memaksimalkan potensi tenaga Listrik di Dieng, yang diyakini dapat mencapai 400 MW. Dusun Pawuhan menjadi salah satu daerah yang paling terdampak karena diapit oleh dua sumur milik PLTP. Salah satu sumur bahkan dibangun sangat dekat dengan permukiman. Batasnya hanyalah jalan kabupaten.
Saat ini, sudah tiga tahun sejak Nuryadi (58) memutuskan untuk berhenti meladang di kebunnya. Penyakit gangguan lambung membuatnya tidak dapat bekerja seharian penuh seperti dulu lagi. Segala urusan di ladang ia serahkan pada Ahmad Sofyan (18) anaknya yang kini telah lulus SMA. Terkadang, ia juga dibantu Suyit (35), adiknya yang tinggal persis di samping rumahnya.
Dari balik jendela rumahnya, ia samar-samar melihat jalanan yang sepi dan diselimuti kabut tebal. Padahal, saat itu masih pukul satu siang. Wajar jika warga memilih untuk menghangatkan diri di rumah. “Akhir-akhir ini hujan lebih sering turun, bahkan kadang bisa seharian penuh,” tuturnya.
Dari tempat yang sama pula, ia dapat menyaksikan dua buah cerobong yang mengepulkan asap setiap harinya jika cuaca cerah. Baunya terasa tajam bagi banyak orang, namun hidungnya seakan sudah akrab dengan aroma asap tersebut. Asap-asap itu tak hanya mencemari paru-paru warga yang tinggal di sana, namun juga meninggalkan jejak berupa kerak di atap dan jendela rumah mereka. “Kalau kaca dan seng saja sampai berkerak, apa kabar paru-paru kami,” tanyanya balik.
Ia khawatir, aktivitas pengeboran yang dilakukan terlalu dekat dengan permukiman bisa berujung maut sewaktu-waktu, terutama jika pipa gas mengalami kebocoran. Seorang pekerja di sana telah meregang nyawa pada pertengahan Maret 2022 akibat terlalu banyak menghirup gas yang bocor dari salah satu pipa. Sebanyak 15 korban lainnya harus dilarikan ke RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo.
Petaka ini bukan pertama kali terjadi. Delapan tahun lalu, tapak pengeboran 30 milik PLTP Dieng juga meledak dan merenggut satu korban jiwa. Material ledakan bahkan tersebar hingga ke areal pertanian. Warga telah berulang kali melayangkan protes sejak kejadian itu, namun pengeboran nyatanya tetap berlanjut hingga kini. “Kami takut karena ledakan atau gas beracunnya bisa saja sampai ke kampung, apalagi jaraknya cuma sekitar seratus meter dari sini,” ungkap Nuryadi.
Nuryadi pun terpaksa menutup sumur sedalam 12 meter di belakang rumah sejak pengeboran dilakukan di dekat tempat tinggalnya. Kualitas air di rumahnya menurun drastis. “Rasanya seperti ada campuran soda dan berbau belerang,” keluhnya. Sejak saat itu, Nuryadi harus memasang pipa sejauh 5 km untuk mengakses air bersih, dan juga membayar iuran yang disesuaikan dengan banyaknya pemakaian air di setiap bulan.
Ia masih sedikit beruntung, mesin pengebor tenaga panas bumi dan cerobong asapnya berada cukup jauh dari ladang kentangnya yang kini digarap Sofyan dan Suyit. Risiko gagal panen dapat dihindari. Namun, itu tidak berlaku bagi para petani kentang yang meladang di dekat titik pengeboran. Mereka harus lebih sering memetik daun-daun yang rentan layu karena tanaman tidak bertumbuh dengan sehat. Pada beberapa waktu, bibit yang telah mereka tanam juga susah bertumbuh.
Sebagai warga yang telah hidup di sana sejak kecil, Nuryadi paham tentang berbagai risiko yang ada di daerah yang ditinggalinya. Ia hanya berharap pengelola PLTP dan Pemerintah dapat mempertimbangkan aspirasi yang telah warga sampaikan berulang kali. “Jangan sampai menunggu ada ledakan lagi baru mereka mau turun dan mendengar,” tuturnya.