Membela Lingkungan Malah Dipenjara: Tambak Udang Mencemari Karimunjawa

Fahri Salam
19 menit
Sebuah kincir air beroperasi di salah satu petak tambak udang dengan usia benih 1-2 minggu di Desa Kemujan, Karimunjawa. (Project M/ Ayu Nurfaizah)
Ratusan petak tambak udang mencemari perairan Karimunjawa, yang ekonomi warganya mengandalkan kesehatan lingkungan sebagai nelayan, untuk budidaya rumput laut dan pariwisata. Seorang warga yang protes malah divonis penjara. Pencemaran ini sudah berlangsung selama setidaknya delapan tahun. 

LUMUT SUTRA tebal sudah menjadi penghuni baru Pantai Cemara beberapa tahun terakhir. Kondisinya semakin parah pada September 2022. Sepanjang mata memandang, permukaan air dan pantai tertutup limbah berwarna hijau kehitaman.

Berjarak sekitar 200 m dari jalan raya, bau busuknya mengganggu siapa pun yang melintasi jalan penghubung antara Desa Karimunjawa dan Desa Kemujan di Pulau Karimunjawa, Jepara, Jawa Tengah.

Pantai Cemara merupakan satu dari beberapa titik pantai berpasir putih di Pulau Karimunjawa. Kondisi air yang tenang menjadikan pantai ini satu dari sekian banyak babakan, istilah lokal untuk tempat nelayan menyandarkan perahu.

Namun, sejak dua titik pembuangan limbah tambak udang vaname mengalir ke area pantai ini, hanya sedikit perahu yang sudi parkir.

Nelayan juga enggan membersihkan lambung kapal di babakan Pantai Cemara. Mereka mengalami gatal-gatal hingga melepuh di area kulit pinggang ke bawah, bagian tubuh yang bersentuhan air laut tercemar limbah. Alhasil, para nelayan harus pergi jauh ke pulau-pulau kecil untuk menyikat kapal. 

Kondisi Pantai Cemara setelah dibersihkan dari limbah tambak udang pada November 2022. (Facebook Daniel Frits Maurits Tangkilisan)

Puluhan ikan seperti lobster dan kerapu yang dibudidayakan di keramba apung juga mati. Bambu dan kayu-kayu kerangkanya mengambang di atas laut, tidak terurus.

Dua titik pembuangan limbah ini mengarah ke mangrove dekat pantai, menurut temuan kelompok masyarakat lokal peduli lingkungan yang menyebut dirinya Lingkar Juang Karimunjawa.

Ditarik garis lurus, jarak antara pantai dan tambak udang terdekat hanya 230 m dan lebih dari 100 m merupakan area mangrove. Pipa-pipa ini menyalurkan limbah tambak udang tanpa diolah ke area mangrove dan menyebar ke perairan serta daratan di sekitarnya.

Cerita pipa-pipa pembuangan tambak udang di area mangrove bukan hal baru. Sejak kemunculan tambak udang di Karimunjawa pada 2016, mayoritas para pemilik tambak membangunnya berimpitan dengan mangrove.

Catatan Kawal Indonesia Lestari (Kawali) Jawa Tengah, hingga 2023, terdapat 33 titik tambak udang intensif dengan total 228 petak dan luas total sekitar 44 hektare. Petak-petak tambak dibangun berbagai ukuran antara 450 m² – 3.000 m², yang luasnya berbeda di setiap titik tambak antara 0,9 ha – 7 ha. 

Dari total titik tambak, hanya 2 titik berbatasan langsung dengan pantai, yang posisinya berjajar dan dapat kita temukan di Pantai Hadirin, Desa Kemujan. Padahal hampir sebagian besar Pulau Karimunjawa dikelilingi mangrove yang tersebar di Desa Karimunjawa dan Desa Kemujan. 

Jarak antara Pantai Cemara dan tambak udang vaname terdekat di Desa Kemujan. (Tangkapan Layar Google Earth) 3

Hutan mangrove termasuk area konservasi, dan di Karimunjawa, ia menjadi bagian dari Taman Nasional. Luasnya mencapai 1.646 ha, seperti termuat dalam Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Jepara No. 4 Tahun 2023. Selain itu, area konservasi ini mencakup wilayah pesisir dan 27 pulau-pulau kecil.

Tanpa Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang memadai, berton-ton limbah dari tambak udang vaname dibuang ke area mangrove. Dalam sekali siklus panen, budidaya udang memerlukan waktu 3-4 bulan. Air tambak kemudian diganti air bersih dari laut, juga limbah udang dibuang secara teratur ke laut.   

“Ini namanya pengendapan. Limbah udang diendapkan dulu supaya bagian padatnya tidak terbawa air ke laut,” ujar Ali, pemilik tambak di Kemujan, medio Februari 2024. 

Tambak udang vaname di sekitar pesisir Desa Karimunjawa. (Project M/ Ayu Nurfaizah)

Ia menunjukkan area 1 m x 6 m yang mengarah ke mangrove yang disekat plastik kedap. Di ujung saluran, tanah ditinggikan 0,5 m sebagai pembatas agar limbah padat dan cair tidak langsung terbuang ke mangrove.

“Ya kami endapkan dulu limbahnya supaya tidak mencemari air di laut. Kita juga mengambil air dari laut. Masak kita biarkan air yang dimakan udang tercemar?” sebut pemilik tambak yang mengelola empat petak tambak seluas sekitar 0,9 ha ini.

Limbah padat tambak udang terdiri dari residu pakan, feses, dan koloni bakteri. Sedangkan limbah cair terdiri dari amonia, urea, karbondioksida, fosfor, dan hidrogen sulfida. Jumlah limbah akan meningkat seiring rendahnya penyerapan pakan oleh udang. 

Proses pengendapan limbah tambak udang sebelum mengalir kembali ke laut di Desa Kemujan. (Project M/ Ayu Nurfaizah)

Studi Purnomo, Patria, Takarina, dan Karuniasa (2022) menunjukkan limbah tambak udang yang kaya bahan organik sekaligus polutan ini memengaruhi berkurangnya kadar oksigen di dalam air. Dampaknya, matinya biota air dan masifnya pertumbuhan fitoplankton di permukaan perairan. 

Berdasarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), benih yang ditebar pada udang vaname intensif yaitu 80-100 ekor/m². Panen yang dihasilkan bisa mencapai 10-15 ton/ha atau 10-15 kg/m². Dengan kepadatan 100 ekor/m², total limbah organik yang dihasilkan selama satu musim panen yaitu 6,5 ton/ha. Hitungan ini meliputi limbah yang dibuang saat budidaya, panen, dan pembersihan tambak pascapanen (Muqsith, 2014).

Jumlah sedimen sebanyak itu bisa muat dalam sekali angkut truk fuso dengan bak berukuran 5,5 m x 2,2 m x 2,2 m. Dalam sekali panen bersamaan, seluas 44 ha tambak udang di Karimunjawa bisa menghasilkan limbah sebanyak 286 ton. Butuh sekitar 36 truk fuso untuk mengangkat limbah-limbah ini dalam sekali panen. Padahal setiap tahun petambak bisa tiga kali panen. 

Limbah padat tambak udang di satu kolam penampungan di sekitar Pantai Hadirin, Desa Kemujan. (Project M/Ayu Nurfaizah)

Redupnya Komoditas Rumput Laut

“Benda asing yang terbuang di Pantai Karimunjawa tidak bisa langsung terbawa air laut lepas. Perairan di sini terdiri beberapa lapis, menjadikan airnya masih di situ-situ saja, tidak langsung terbawa,” ujar Opik, warga Desa Kemujan. 

Pantai, padang lamun, area sargassum, karang, dan laut lepas. Opik merunut lapisan perairan di Karimunjawa dari perbatasan daratan hingga laut dalam. 

“Batu karang itu sifatnya menahan ombak, jadi arus laut di dalamnya lebih tenang,” kata pegiat pariwisata ini.  

Perairannya yang cukup tenang, dengan pencahayaan matahari melimpah, menjadikan sisi barat dan utara perairan Karimunjawa sebagai tempat ideal untuk budidaya rumput laut. 

Warga Desa Kemujan sudah menanam rumput laut sejak dekade 1990-an. Rumput laut cottoni ditanam intensif pada awal tahun 2000 sebagai komoditas berkelanjutan karena budidayanya relatif mudah. Tidak perlu dipupuk atau dicangkul, rumput laut hanya butuh arus sedang dan pencahayaan matahari yang cukup. 

Cara membudidayakan tanaman air ini dengan menyediakan tali sepanjang 50-100 m yang dipasang memanjang dan diikat di antara pancang. Setiap pembudidaya bisa memiliki 10-20 tali. Puluhan tali-tali lebih pendek kemudian diikat di sepanjang tali utama dengan jarak sekitar 20 cm. Tali pendek inilah yang mengikat bibit rumput laut. 

Warga Desa Kemujan melakukan budidaya rumput laut dengan cara mengikat rumput laut di tali. (Project M/Ayu Nurfaizah)

“Dari bibit yang berukuran 1 ons bisa jadi 1 kg, panennya setiap 35 hari. Sekali panen bisa 2-3 kuintal rumput laut dan setiap hari orang-orang bisa panen rumput laut. Tempat penjemuran bisa mengantre sampai ditaruh di luar gudang,” sebut Opik, yang bersama ibu dan neneknya adalah pembudidaya rumput laut.

Beberapa tahun terakhir, produksi rumput laut jenis cottoni di Kemujan berkurang drastis. Muncul penyakit yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Sejenis lumut berwarna cokelat kehitaman menempel dan sulit dihilangkan. Lumut ini menghambat pertumbuhan rumput laut sehingga ukurannya tetap seperti benih saat seharusnya dipanen.

Selama ini warga Kemujan mengetahui beberapa jenis penyakit rumput laut, seperti lumut gada, penyakit ice-ice, atau dimakan hewan laut. “Munculnya penyakit di rumput laut kami sudah normal, ya cukup disikat, dibersihkan, atau dipotong agar tidak menyebar. Tapi lumut hitam yang belakangan muncul ini berbeda,” kata Opik.

Karena selalu gagal panen, para pembudidaya perlahan meninggalkan ekonomi rumput laut. Ratusan tali dan puluhan kapal terbengkalai. Mereka meninggalkan alat-alat produksi di laut dan berharap suatu hari kondisi perairan kembali seperti semula.

Tali, jaring, dan keranjang yang ditinggalkan para pembudidaya rumput laut yang mengalami gagal panen akibat serangan sejenis lumut berwarna cokelat kehitaman yang menempel dan sulit dihilangkan. (Project M/Ayu Nurfaizah)
Tali dan botol untuk menanam rumput laut di salah satu titik di Dusun Mrican, Desa Kemujan (Google Earth)

Sulit tidak menuduh meredupnya ekonomi budidaya rumput laut ini karena limbah tambak udang. Lokasi beberapa tambak udang di Kemujan cukup dekat area rumput laut.

“Saya bilang (ke warga) kegagalan rumput laut ini tidak biasa. Ketika ada tambak udang, rumput lautmu pasti gagal. Data statistiknya enggak ada, tapi sebagai orang sini yang hidup puluhan tahun, saya tahu. Sebelum ada tambak udang, enggak ada gagal panen seperti ini. Sejak ada tambak udang, air laut gatal dan bau busuk,” ujar Opik.

Upaya penolakan tambak udang di Karimunjawa sudah muncul sejak lama, tapi tak kunjung direspons memuaskan. Lingkar Juang Karimunjawa sudah berkali-kali minta pertemuan dengan Pemerintah Daerah Jepara, Taman Nasional Karimunjawa, hingga mengirim surat ke presiden. 

Tanpa Izin

“Semua tambak ini ilegal,” ujar Bambang Zakaria, aktivis Lingkar Juang Karimunjawa.

Keberadaan tambak udang tidak diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Jepara tahun 2011-2031 yang diperbarui dengan RTRW 2022–2042. Bahkan pada ketentuan zonasi pariwisata, permukiman, dan kawasan sempadan melarang budidaya perikanan tambak air laut dan payau. 

Selain itu, ada larangan kegiatan yang mengganggu bentang alam, merusak kualitas perairan, dan ekosistem pantai. 

Para pengusaha tambak mendirikan tambak udang vaname di tanah-tanah yang mereka sewa atau membelinya dari masyarakat lokal. Ekskavator didatangkan untuk mengeruk tambak yang kedalamannya mencapai 2 m. Dasar dan sekeliling petak ini kemudian dipasang plastik kedap, geomembrane, agar pasir tidak bercampur air tambak. 

Garis kuning penanda pipa inlet tambak udang di Desa Kemujan terlihat dari Google Earth. (Google Earth)

Pipa inlet dibangun memanjang ke arah laut. Tujuannya, mengambil air yang masih bersih. Panjangnya bahkan mencapai 1 km dengan diameter 4 inci, menyundul batu karang. Padahal pemasangan pipa-pipa ini perlu mengantongi izin, setidaknya dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah serta Direktorat Perencanaan Ruang Laut di bawah KKP. 

Peraturan Pemerintah (PP) No. 85 Tahun 2021 juga mengatur tarif pemasangan pipa air bersih dalam pemanfaatan ruang laut, yaitu Rp148,595 juta + Rp 2,5 juta/km di luar kawasan konservasi. Sementara itu, tarif pemasangan pipa di area konservasi Rp148,595 juta + Rp7,5 juta/km. 

Pipa yang mengarah ke laut ini juga melalui area konservasi mangrove dalam kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Pemanfaatan area ini harus melalui perizinan dari Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). 

Pipa inlet di Legon Nipah, Desa Kemujan, terbentang melewati hutan mangrove dengan panjang sekira 700 m dari laut menuju tambak udang. (Project M/ Praditya Wibby)

Pada 2-4 November 2023, Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum) KLHK menertibkan pipa inlet tambak udang di Karimunjawa. Hal ini dilakukan setelah ada pengaduan dari masyarakat terkait tambak udang ilegal. Bersama instansi seperti KKP, Balai Taman Nasional Karimunjawa, Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, Polda Jawa Tengah, hingga Pemda Kabupaten Jepara, mereka memotong pipa-pipa yang menyuplai air untuk tambak udang.

Berdasarkan penyelidikan KLHK, para pemilik tambak belum mengantongi izin lingkungan dan tidak memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Limbah-limbah itu langsung terbuang ke laut sehingga menyebabkan pencemaran. Selain itu, pemasangan pipa inlet yang melewati zona taman nasional telah merusak karang dan tidak memenuhi Persetujuan Kesesuain Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut.

Setelah pipa-pipa ini dipotong, operasional tambak udang di Karimunjawa berangsur mandek. Tidak ada air bersih yang menyuplai tambak. Di beberapa titik, petak-petak tambak itu kosong. Sebagian masih membiarkannya terbengkalai, sebagian lain sudah mengangkat plastik-plastik kedap dan meninggalkan lubang-lubang bekas tambak.

Pemotongan pipa inlet tambak udang di Karimunjawa oleh Gakkum KHLK pada awal November 2023. (Dokumentasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)

Sebanyak 23 pemilik tambak udang ditertibkan oleh Gakkum KLHK. Berdasarkan Laporan Kinerja Gakkum 2023, dari total 23 nama itu, hanya lima atas nama perusahaan, yaitu PT Indo Bahari Sejahtera, PT Karimun Real Estate, PT Putra Barokah Success, CV Pande Une Empat Enam, dan  CV Sukses Abadi Tambak Udang. Sisanya dimiliki individu dengan satu tambak tanpa kepemilikan jelas.  

PT Putra Barokah Success terdaftar sebagai salah satu perusahaan di Desa Raci, Kab. Pati, Jawa Tengah, dengan nomor bisnis 1225703. Perusahaan ini terdaftar sebagai perusahaan pengelolaan hasil perikanan khususnya udang. 

PT Indo Bahari Sejahtera teregistrasi di Karimunjawa pada 2020. PT ini terdaftar dengan No Tbn 040852 dan nomor SK AHU-0061241.AH.01.02.TAHUN 2020.

Sementara itu, minim sekali informasi terkait CV Pande Une Empat Enam, CV Sukses Abadi Tambak Udang, dan PT Karimun Real Estate. 

Di luar itu, empat pemilik tambak udang menolak penertiban pipa. Penyidik Gakkum kemudian menerbitkan surat perintah penyidikan dan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada keempat bos tambak udang itu pada November 2023.

Butuh sekitar empat bulan hingga Gakkum menetapkan keempat pemilik tambak menjadi tersangka. Pada 20 Maret 2024, Gakkum menjerat tersangka dengan Pasal 98 ayat (1) UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ancaman pidananya penjara minimal 3 tahun dan maksimal 10 tahun serta denda sedikitnya Rp3 miliar dan maksimal Rp10 miliar. Proses hukum petambak ini masih berjalan yang rencananya digelar di Pengadilan Negeri Jepara. 

Peta budidaya tambak udang vaname di Karimunjawa. (Balai Taman Nasional Karimunjawa)
Salah satu titik tambak udang vaname di Desa Karimunjawa. (Google Earth)
Salah satu titik tambak udang vaname di Pantai Legon Lele, Desa Karimunjawa. (Google Earth)

Beberapa bulan setelah operasional tambak udang diberhentikan, kondisi perairan yang tercemar berangsur pulih. Perairan di Pantai Cemara mulai kembali ke kondisi awal. Beberapa perahu nelayan bersandar di babakan dan pasir putih kembali hidup berdampingan tanaman pantai. Di beberapa titik masih dapat ditemui lumut limbah udang yang masih tersisa, tidak dapat diurai.

Beberapa petani rumput laut kembali panen. Kayu pancang, bambu, dan waring di sentra penjemuran rumput laut dekat Pantai Mrican, Kemujan, dipenuhi rumput laut kecokelatan yang mengering. Beberapa keranjang besar menampung rumput laut hijau yang baru diangkat dari laut, mengantre tempat untuk dijemur.

Mitos Kesejahteraan

Kalkulasi Dinas Perikanan Kabupaten Jepara, produksi udang vaname di Karimunjawa pada 2022 mencapai 1.648 ton dengan nilai Rp131,906 miliar. Jika dibagi 228 petak, per tahunnya setiap petak memproduksi udang senilai Rp578 juta. Setidaknya dalam sekali panen, dua petak tambak menghasilkan lima ton udang.  

“Upah pekerja yang jaga tambak 6% dari hasil penjualan. Untuk dua petak ini, modal saya sekitar Rp400 juta. Itu sudah termasuk bibit, pakan, dan tenaga (pekerja),” kata Ali, petambak udang di Kemujan.

Ketika tambak udangnya masih beroperasi, ia mempekerjakan empat orang, yang sehari-hari menjaga tambak udang mulai dari menebar benih, memberi makan, mengatur listrik untuk kincir air, mengatur pembuangan, dan lain-lain. 

Para pekerja dibayar pascapanen. Artinya, 6% dari hasil penjualan udang Ali diterima para pekerja setelah empat bulan bekerja. 

Ali juga mempekerjakan 10-15 orang saat panen. Buruh harian ini bertugas mengangkat udang, memilah, mengepak, hingga memasukkan ke dalam truk. 

“Waktu panen itu kita harus cepat, makanya butuh banyak orang,” kata Ali. 

Kondisi Pantai Cemara setelah 4 bulan usai penertiban tambak udang ilegal yang tidak memiliki izin lingkungan dan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). (Project M/ Ayu Nurfaizah)

Setelah panen, Ali mempekerjakan lima buruh harian untuk membersihkan tambak mulai dari menyikat plastik kedap hingga membuang limbah. Para buruh ini diupah Rp130 ribu–Rp140 ribu per hari.

Suwoto adalah salah satu buruh harian tambak udang di Kemujan. Pekerjaannya serabutan, mulai dari nelayan, kuli, dan pembudidaya rumput laut yang sudah lesu.

Dalam sehari menyikat plastik tambak pascapanen, ia mengantongi Rp125 ribu–Rp130 ribu. Pekerjaan ini ia dapatkan hanya dilakukan setelah panen yang hanya beberapa kali dalam setahun.

Suwoto juga menjadi buruh di tambak saat panen. Pekerjaan ini biasanya ia lakukan bersama belasan orang lain dalam sekali panen. 

“Satu truk untuk mengangkut hasil panen, upahnya Rp150 ribu per orang. Satu truk muat 3,5 ton udang. Jadi kalau ada 7 ton udang akan dimuat di dua truk, berarti dapatnya kami per hari Rp300 ribu,” tutur Suwoto.

Sama seperti buruh sikat tambak, pekerjaan memanen ini tidak dia dapatkan setiap hari melainkan beberapa bulan sekali. 

Sisa limbah tambak udang di Pantai Cemara yang tidak dapat diurai setelah beberapa bulan tambak udang berhenti beroperasi. (Project M/ Ayu Nurfaizah)

Catatan Kawal Indonesia Lestari (Kawali), sebanyak 33 titik tambak udang di Karimunjawa mempekerjakan 157 orang. Jika dirata-rata, terdapat 3-5 orang yang diupah rutin oleh para pemilik tambak. Jumlah pekerjanya bisa mencapai 10 orang pada tambak intensif yang memiliki lebih dari 10 petak. 

Berbeda dari itu, pemilik tambak menghitung setidaknya ada 330 orang di Karimunjawa yang menggantungkan hidup di tambak udang. Dari jumlah ini, rata-rata setiap titik tambak mempekerjakan 10 orang.

Kendati demikian, tidak keseluruhan pekerja merupakan orang asli Karimunjawa. 

“Di tambak-tambak yang besar, para pekerja didatangkan dari luar Karimun, mereka yang paham soal udang. Gimana pun pemilik tambak sudah mengeluarkan modal besar. Enggak mau rugi dong. Makanya yang ngurus ya orang yang paham udang,” cerita Ali, meskipun ia mengaku sepenuhnya mempekerjakan orang asli Karimunjawa.

Itu diamini Surokim, pembudidaya rumput laut yang rumahnya berdekatan titik tambak udang di dekat Jl. Soegijapranata, Desa Kemujan. “Dari sekitar 17 orang yang dipekerjakan di tambak itu, hanya dua orang asli sini,” ujarnya menyebut tambak udang 12 petak di Desa Kemujan.

Baik klaim 157 atau 330 penduduk yang bekerja di tambak, jumlah ini tidak mencapai 6% dari angkatan kerja di Karimunjawa. 

Data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Jepara tahun 2022, dari 10.484 total penduduk Pulau Karimunjawa, 2/3 merupakan penduduk usia produktif 20-59 tahun, yaitu sebanyak 6.044 orang. 

Sementara itu, statistik Desa Karimunjawa menunjukkan mayoritas pekerjaan masyarakat adalah nelayan dan wiraswasta khususnya di bidang pariwisata. Artinya, keberadaan tambak udang tidak lantas bisa dikaitkan kesejahteraan masyarakat, mengingat hanya sebagian kecil warga yang bekerja di sektor ini.

Selain itu, studi yang dilakukan Purnomo, Patria, Takarina, dan Karuniasa (2022) menunjukkan dampak ekonomi keberadaan tambak udang kepada masyarakat Karimunjawa hanya 9,36%. Angka ini tergolong sangat kecil dan mayoritas dinikmati pekerja tambak yang berasal dari luar Karimunjawa. 

Bekas petak-petak tambak udang yang dibiarkan terbengkalai di Desa Kemujan sesudah penertiban oleh Gakkum KLHK. (Project M/ Ayu Nurfaizah)

Kasus ‘Otak Udang’

Berbagai penolakan atas tambak udang dan dampaknya di Karimunjawa sudah dilakukan dalam berbagai bentuk. Mulai dari unjuk rasa, audiensi, bersurat kepada otoritas setempat dan nasional, hingga dalam berbagai bentuk kampanye di media sosial.

Daniel Frits Maurits Tangkilisan merupakan satu dari sekian banyak orang yang bersuara atas pencemaran tambak udang di Karimunjawa. Pada 12 November 2022, ia mengunggah video di akun Facebook pribadinya, menunjukkan Pantai Cemara yang tercemar. Unggahan itu kemudian dikomentari orang lain dan Daniel memberikan tanggapan atas komentar tersebut. 

Tangkapan layar unggahan Daniel pada November 2022 lalu. (Facebook Daniel Frits Maurits Tangkilisan)
Tangkapan layar komentar Daniel Frits Maurits Tangkilasan yang dilaporkan ke polisi pakai UU ITE. (Facebook Daniel Frits Maurits Tangkilisan)

Komentar inilah yang menjadi dasar warga Karimunjawa yang lain, Ridwan, melaporkan Daniel ke Polres Jepara dengan pasal “ujaran kebencian” pada 8 Februari 2023. Pada hari yang sama, polisi mengeluarkan surat perintah penyidikan dan surat pemberitahuan dimulai penyidikan.

Setelah beberapa kali pemeriksaan dan dua kali mediasi yang gagal, pada 6 Juni 2023, Daniel menerima surat penetapan tersangka. Sesudahnya, Daniel diwajibkan lapor ke Polres Jepara setiap dua minggu sekali, sehingga ia harus mondar-mandir antarpulau, menyeberangi Laut Jawa sejauh 86 km.

Hingga 7 Desember 2023, Polres Jepara mengeluarkan surat penangkapan Daniel. Hari itu juga dikeluarkan surat penahanan. Sehari kemudian, Kawali Jawa Tengah mengajukan permohonan penangguhan dan disetujui Polres Jepara. 

Sementara itu, Daniel ditahan Kejaksaan Negeri Jepara pada 23 Januari 2024. Sebanyak 14 surat permohonan penangguhan penahanan Daniel diajukan oleh berbagai organisasi masyarakat sipil, lembaga swadaya masyarakat, dan tokoh masyarakat. Namun, permohonan itu ditolak otoritas lantaran ada dua surat penolakan penangguhan penahanan Daniel.

Proses persidangan kemudian dilakukan maraton sejak 1 Februari 2024 di Pengadilan Negeri Jepara. Berbagai saksi dan ahli dihadirkan kedua belah pihak, baik dari Daniel dan Ridwan selama dua bulan masa persidangan.

Daniel Frits Maurits Tangkilisan tiba di Pengadilan Negeri Jepara untuk mendengarkan vonis hakim pada 4 April 2024. Ia turun dari mobil tahanan dengan tangan terborgol dan dikawal polisi. (Project M/ Falahi Mubarok)

Pada 4 April 2024, hakim ketua Parlin Mangatas Bona Tua serta hakim anggota Muhammad Yusuf Sembiring dan Joko Ciptanto memutus Daniel bersalah atas “ujaran kebencian”. Daniel dipidana selama 7 bulan dan denda Rp5 juta atau subsider 1 bulan.  

Vonis  itu mengecewakan banyak pihak. 

Daniel didakwa pasal 45A ayat (2) juncto pasal 28 ayat (2) Undang-Undang No. 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). 

Sepanjang pertimbangannya, hakim menyebut Daniel “secara sengaja melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kebencian dan permusuhan antar kelompok masyarakat.” Hakim juga mengutip pernyataan ahli bahasa dari Universitas Negeri Semarang, Muhammad Badrus Siroj, yang menyebut terdapat unsur sinis dan rasa kebencian pada pernyataan Daniel di kolom komentar. 

Berbeda pandangan, ahli bahasa dari Universitas Indonesia, Syahrial, menyatakan Daniel hanya mengungkapkan pendapatnya dan tidak mengacu pada objek tertentu. ‘Masyarakat otak udang’ yang disebut Daniel tidak jelas merujuk kepada siapa.

Sementara itu, saksi ahli UU ITE, Teguh Arifiadi, menyatakan bahwa muatan dalam kolom komentar tidak masuk dalam kategori penyebaran. 

Direktur Pengendalian Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika ini menjelaskan, kolom komentar memiliki ruang yang terbatas dan akan dengan mudah tenggelam ketika banyak yang berkomentar. Sehingga, tambahnya, pendistribusian informasi pada kolom komentar menjadi terbatas.

Pernyataan dari berbagai ahli itu sama sekali tidak muncul dalam pertimbangan hakim saat memutus Daniel. Hakim bahkan tidak menggunakan Anti-SLAPP atau Strategic Lawsuit Against Public Participation yang merupakan upaya pelindungan masyarakat memperjuangkan hak atas hidupnya. Bagi hakim, apa yang dilakukan Daniel merupakan “penyebaran kebencian” yang diekspresikan dengan cara bertentangan dengan hukum.

Kasus SLAPP

“Ini artinya masih ada yang harus dibongkar!” teriak Daniel Frits Maurits Tangkilisan, beberapa saat setelah hakim mengetuk palu dan menutup sidang di PN Jepara.

Tim Kuasa Hukum Daniel yang tergabung dalam Koalisi Advokat Pejuang Aktivis Lingkungan Hidup telah mengajukan banding di PN Jepara pada 5 April 2024, sehari setelah putusan hakim. 

Selain Daniel, tiga warga Karimunjawa penolak tambak udang, yaitu Datang, Hasanuddin, dan Sumarto, juga dilaporkan ke Kepolisian Daerah Jawa Tengah menggunakan UU ITE.

“Putusan hakim ini janggal, diputus dari proses sidang yang terburu-buru, hanya 2,5 bulan. Pendapat ahli UU ITE dan ahli bahasa juga tidak dipertimbangkan. Bahkan hakim tidak menggunakan Anti-SLAPP dalam memutus kasus Daniel,” ujar pengacara Daniel, Muhnur Satyahaprabu.

Daniel Frits Maurits Tangkilisan setelah sidang putusan vonis. (Dok. SAFEnet)

Kasus yang menimpa Daniel, juga dialami banyak pembela lingkungan yang lain. Selama 2014-2023, Auriga mencatat terdapat 133 kasus SLAPP pada pembela lingkungan hidup di Indonesia. 

Dari total kasus, ancaman paling banyak adalah kriminalisasi 82 kasus, diikuti kekerasan fisik (20), intimidasi (15), pembunuhan (12), sisanya deportasi dan perusakan properti.

Padahal, upaya pelindungan pejuang lingkungan hidup sudah diatur dalam Pedoman Jaksa No. 8 tahun 2022 dan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2023. Keduanya merupakan pedoman bagi jaksa dan panduan bagi hakim dalam memutus perkara terkait pembela lingkungan hidup. 

Namun, kenyataannya, upaya pelindungan pejuang lingkungan hidup di Indonesia masih jauh panggang dari api. Data yang sama dari Auriga menunjukkan tren kasus SLAPP yang meningkat dari 8 kasus pada 2018 menjadi 30 kasus pada 2023. 

“Banding itu bukan hanya untuk menyelamatkan Daniel, tapi menyelamatkan seluruh pejuang lingkungan di Indonesia,” tutur Muhnur.

Kasus Daniel belum berhenti. Dan proses hukumnya masih berjalan seiring juga proses hukum para pemilik tambak udang. Meski begitu, tanpa upaya signifikan dari berbagai pemangku kepentingan dalam melindungi masyarakat pembela lingkungan, kriminalisasi terhadap Daniel bisa terjadi kepada siapa saja dan di mana saja di masa depan.


Ayu Nurfaizah adalah peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Fahri Salam
19 menit