Selama 2023, Indonesia menempatkan 951.327 pekerja migran ke 30 negara. Negara menyebut mereka sebagai “pahlawan devisa” karena mampu menghasilkan ratusan triliun rupiah dalam setahun.
Laporan ini menguak para buruh migran di Hungaria dan Slowakia. Sepanjang 2023, ada 1.284 pekerja migran di Hungaria dan 3.175 di Slowakia. Warga Indonesia tergiur bekerja ke luar negeri karena janji manis gaji belasan hingga puluhan juta rupiah dari perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (P3MI).
Namun, kemujuran yang diharapkan itu perlahan buntung.
PT Ficotama Bina Trampil, perusahaan yang menyalurkan pekerja migran di dua negara Eropa itu, punya rekam jejak culas menyalurkan buruh migran ilegal. Bosnya bahkan pernah jadi tersangka. Tapi perusahaan yang berlokasi di Kota Bekasi ini masih diberi izin beroperasi oleh Kementerian Ketenagakerjaan.
Sementara itu para pekerja migran yang direkrutnya saat ini hidup lintang pukang di negeri asing.
Remuk di Hungaria
Kehidupan Pardi di Hungaria penuh debar. Mimpi-mimpinya patah hanya dalam tiga bulan. Ia anak sulung dari tiga bersaudara. Adik-adiknya masih bersekolah, Pardi yang menanggung biayanya. Ibu dan bapaknya merupakan pensiunan buruh pabrik yang sekarang menjadi petani. Terakhir Pardi meneleponnya, bapaknya berkata sawah masih kekeringan dan belum bisa digarap. Makin tebal beban di pundak Pardi.
“Impianku minimal ingin menuntaskan sekolah adikku, bisa punya rumah, punya modal untuk buka usaha. Sementara prospek di sini enggak memungkinkan. Setahun kerja paling untuk bayar utang saja,” ujar Pardi asal Jawa Tengah berusia jelang 30-an.
Belakangan Pardi menyadari hawa musim dingin di Budapest tak lebih menusuk tulang ketimbang kenyataan. “Aku kapok ikut perusahaan yang begini. Enggak sesuai ekspektasi.”
Pardi bekerja di Hungaria dengan skema penempatan private to private melalui perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia PT Ficotama Bina Trampil. Skema swasta merupakan bentuk kerja sama bisnis antara agen tenaga kerja dan agensi lokal di negara penempatan. Agensi lokal bertugas mencarikan calon pekerja sesuai permintaan perusahaan pemberi kerja.
Semula Pardi akan dipekerjakan untuk sektor manufaktur di pabrik baterai dengan iming-iming gaji 700-1.200 euro per bulan (Rp12-20 juta/bulan). Namun, setiba di sana, Pardi malah dipekerjakan di perusahaan jagung, dengan bayaran lebih murah dan menggunakan mata uang forint Hungaria (HUF).
Ficotama beralasan pabrik baterai sudah tidak mau lagi menerima pekerja dari Indonesia. Pardi sempat menolak pekerjaan itu. Tetapi, dia tak punya pilihan karena harus segera memiliki pekerjaan agar secara legal bisa mendapatkan izin tinggal dari otoritas setempat.
“Sementara batas waktu sampai kami punya izin tinggal itu hanya lima hari di sini. Kalau tidak, harus keluar dari Hungaria. Maka kami terima-terima saja dilempar ke perusahaan jagung. Tapi saya minta komitmen PT Ficotama nanti pekerjakan kami sesuai job awal (pabrik baterai),” ujar Pardi.
Di perusahaan jagung, Pardi dan pekerja migran Indonesia ditempatkan ke dalam dua divisi, yakni ladang dan pabrik. Beban kerja keduanya berbeda tapi upahnya sama.
Pardi ditempatkan di pabrik karena tiba saat musim dingin. Tugasnya mengemas benih-benih jagung. Namun, tugas di ladang sangat berat; para pekerja harus memetik jagung di lahan perkebunan seluas puluhan hektare tanpa alat keselamatan kerja. Bahkan perusahaan tidak memberi sarung tangan dan seragam. Para buruh hanya mengandalkan kaus, topi, dan jin milik pribadi.
Mereka bekerja selama 8 jam sehari dan 4 hari sepekan. Perusahaan membayar per jam, sebesar 1.400 HUF atau sekitar Rp60 ribu. Upah ini belum dipotong pajak penghasilan 33%, biaya akomodasi, dan biaya jasa agensi lokal. Perusahaan tidak memberikan upah lembur meski para buruh bekerja 10-12 jam dan terkadang Sabtu tetap bekerja. Perusahaan juga semena-mena menghitung jam kerja.
“Pernah ada kasus, kami kerja 16 hari, berarti harusnya 128 jam. Tapi dihitung cuma 116 jam. Begitu gajian, jadi banyak yang keliru. Kami jengkel luar biasa,” ujar Pardi.
Berdasarkan salinan kontrak yang diterima dan disimpan Project Multatuli, pekerja migran Indonesia seperti Pardi seharusnya mendapatkan upah bersih minimum 232 ribu HUF per bulan (Rp10,4 juta/bulan). Mereka juga berhak mendapatkan tempat tinggal dan sarana transportasi gratis; jika tidak, perusahaan harus memberikan tunjangan. Mereka juga berhak mendapatkan jaminan kesehatan.
“Temanku sakit gigi dan dia harus bayar pengobatannya sendiri. Biayanya hampir 17 ribu forint,” ujar Pardi menyebut Rp760 ribu bila dikonversi ke rupiah.
Pardi dan buruh migran Indonesia sudah melapor ke agensi lokal yang menaunginya di sana, perusahaan agen penyalur kerja Indonesia, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Budapest, tapi tidak ada perubahan.
Merasa tertekan terus-menerus, 25 pekerja Indonesia memutuskan melarikan diri ke Polandia. Pelarian mereka sempat ditulis media massa lokal, Valasz Online, pada 28 November 2023. Dan menurut Pardi, sejak itu KBRI mulai memberi perhatian.
Pardi tidak kabur meski menginginkannya. Ia dan lima pekerja lain terikat surat pernyataan dengan Ficotama. Sementara yang kabur berasal dari P3MI berbeda.
Surat pernyataan itu berisi ancaman terhadap pekerja Indonesia agar menyelesaikan pekerjaan hingga masa visa berakhir (selama dua tahun) dan dilarang kabur. Sebagai jaminannya, Ficotama menyita dokumen pekerja berupa kartu keluarga, kartu tanda penduduk, ijazah, akta kelahiran, dan buku nikah (bagi yang sudah menikah).
Jika tetap kabur, pekerja Indonesia harus membayar uang denda ke Ficotama sebesar 5.000 euro (setara Rp86,6 juta).
“Awal perekrutan tidak ada pemberitahuan soal surat itu. Aku tahu pas sudah sampai di Bekasi (kantor Ficotama). Ternyata sebelum-sebelumnya juga begitu,” kata Pardi.
Ia menambahkan bukan cuma pekerja yang ditempatkan ke Hungaria, melainkan yang diberangkatkan ke Slowakia dan Polandia juga harus bayar denda ke Ficotama jika nekat melarikan diri.
‘Dilepas Begitu Saja’
Belakangan kondisi kerja di perusahaan jagung semakin memburuk. Perusahaan sekonyong-konyong memecat Pardi dan pekerja Indonesia lain. Alhasil, Pardi hanya bekerja selama sebulan dari tiga bulan masa percobaan yang tertera dalam kontrak. Perusahaan tidak memberikan penjelasan lugas dan hanya berdalih meliburkan pekerja sementara.
Dua bulan sesudah pemecatan, Pardi belum juga mendapatkan pekerjaan. Keuangannya mulai menipis. Setiap hari ia hanya makan telur, kubis, kentang, dan nasi yang menurutnya terjangkau dan dapat disimpan lama.
Kondisi yang luntang-lantung menyeret Pardi ke dalam jeratan utang. Setiap dua minggu sekali agensi lokal menawarkan dana utang 20 ribu HUF (setara Rp900 ribu) untuk pekerja Indonesia korban pemecatan.
“Kami ambil 20 ribu HUF. Untuk belanja sembako saja itu. Soalnya biaya hidup aku di sini habis 80 ribu HUF setiap bulan,” Pardi menyebut nominal Rp3,5 juta.
Pardi dan sesama pekerja Indonesia mengadu ke Ficotama. Menagih janji awal Ficotama yang menempatkan mereka di sektor manufaktur. Namun, Ficotama menawarkan mereka bekerja di kios penatu dengan gaji lebih kecil dari sebelumnya, hanya 1.100 HUF per jam (Rp50 ribu) belum termasuk potongan.
“Kami berdebat dengan Ficotama. Kami keras menolak. Masak kami sudah menganggur lama, sekalinya dapat kerja ternyata gajinya makin kecil?” Pardi mangkel.
Pardi berkata Ficotama cenderung pasif dengan kondisinya di Hungaria.
“Perusahaan memantau doang dari Indonesia. Kalau kami enggak telepon, ya enggak direspons. Kami dilepas saja di sini. Segalanya diserahkan ke agensi lokal.”
Pertolongan justru datang dari sesama pekerja Indonesia di Hungaria, yang sudah lebih dulu bekerja di pabrik baterai Samsung. Pardi mendapatkan informasi lowongan kerja. Setelah dibantu KBRI, ia akhirnya mendapatkan pekerjaan.
“Aku pikir kerja di luar negeri bisa kirim uang ke keluarga Rp10 juta setiap bulan. Ternyata enggak. Gaji kami bahkan enggak sampai 600 euro kalau dihitung dengan forint,” keluh Padi.
“Tiga bulan di Hungaria, aku hanya bisa kirim Rp8 juta ke rumah. Itu pun hasil kerja 30 hari dan dua bulan menganggur.”
Berebut Euro di Slowakia
Seperti kata Pardi, para pekerja Indonesia yang disalurkan PT Ficotama Bina Trampil menandatangani surat pernyataan, dokumennya disita, dan diancam denda jika kabur.
Tapi, bagi Umam asal Nusa Tenggara Barat, surat itu hanya kertas putih biasa. Ia tetap meninggalkan Slowakia dan mencari peruntungan ke Polandia. Agak nekat memang, tapi begitulah ia menjalankan hidup dengan realistis.
“Untuk apa bertahan di Slowakia? Gajinya saja enggak real. Saya cuma bisa kirim uang 150 euro, sekitar Rp2,5 juta UMR saya di Indonesia. Mau makan apa keluarga di kampung nanti?” Umam, berusia mid-20an, berbicara kepada saya via telepon.
Umam barangkali mengambil pilihan paling berisiko tanpa opsi lain yang menguntungkan. Ia melarikan diri ke Polandia tanpa mengantongi paspor. Paspornya ditahan agensi lokal. Umam berkata tidak paham bahwa praktik tahan paspor tidak dibenarkan. “Ya itu masalahnya. Kita gelap dan kita kaburan,” ujarnya.
Saat masih bekerja di Slowakia, ia hanya bertahan empat bulan. Dan itu cukup bikin dia mangkel. Ia tidak pernah mendapatkan pekerjaan yang benar-benar ia bayangkan: Dapat gaji besar, hidup tercukupi di negeri asing, bisa menabung, bisa mengirim banyak uang untuk keluarga di kampung. Bayangan itu muncul di benaknya sebab Ficotama menjanjikannya gaji Rp25 juta per bulan.
“Gaji segitu impian saya mau buat rumah, buat ruko, buat nikah, dan membahagiakan keluarga,” ujar Umam.
Di Slowakia, Umam bekerja di toserba sebagai penyortir barang. Ia tidak dibayar per jam apalagi per bulan, tapi upahnya dihitung dari seberapa banyak barang yang disortirnya. Satu barang dihargai 4o sen euro atau sekitar Rp6.000. Umam bekerja selama 11-12 jam sehari untuk menghasilkan sekitar 35 euro (setara Rp606 ribu).
“Kami kerja di sana berebutan barang dengan banyak orang, sudah kayak main game. Makin banyak barang yang kita dapat kumpulkan, semakin banyak uang yang kami dapat,” keluh Umam.
Umam hanya bertahan seminggu di toserba. Kemudian ia ditempatkan di pabrik mobil dengan upah bulanan 700 euro (setara Rp12 juta). Andaikata itu upah bersih, Umam sangat mensyukuri. Tapi gajinya dipotong agensi lokal sebesar 250 euro untuk biaya tempat tinggal dan 200 euro untuk biaya transportasi.
Sisanya yang dia pegang 250 euro (Rp4,3 juta). “Itu cuma untuk makan. Habis sudah. Tiap bulan gitu saja,” ujarnya.
Umam mengadu ke Ficotama. Ia meminta pekerjaan lebih layak. Namun, keluhannya berbalas petuah Andrew Pandu Sembiring, Direktur Utama PT Ficotama Bina Trampil.
“Saya protes soal gaji dan tempat tinggal yang katanya gratis itu. Tapi Pandu suruh saya bertawakal. Gitu saja kata dia.”
Alih-alih mengatasi masalah, Ficotama malah meminta Umam membuat video testimoni. Berisi pengalaman menyenangkan selama bekerja di Slowakia. Umam menolak. Ia sadar video itu akan dipakai sebagai alat promosi perusahaan. Dan ia tidak mau orang mengalami kemalangan serupa.
Sejak saat itu Umam makin berapi-api untuk melarikan diri ke Polandia.
Terjerat Utang
Untuk bekerja di Hungaria dan Slowakia tidak gratis. Pekerja migran Indonesia membayar biaya penempatan hingga puluhan juta ke perusahaan penyalur tenaga kerja. Bahkan mereka membayar lebih banyak daripada batas harga tertinggi yang ditetapkan pemerintah.
Semisal saja untuk bekerja ke Hungaria. Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) telah menetapkan besaran dan komponen pembiayaan dengan batas harga tertinggi melalui surat Keputusan Kepala BP2MI Nomor 27 Tahun 2023 tentang Biaya Penempatan PMI oleh P3MI kepada Pemberi Kerja Berbadan Hukum di Hungaria. Mekanisme pembiayaan dibebankan kepada PMI dan pemberi kerja di negara tujuan.
Buruh migran membayar berbagai komponen seperti biaya pemeriksaan kesehatan Rp670 ribu, pemeriksaan psikologi Rp550 ribu, paspor gratis, kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan Rp370 ribu, surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) Rp30 ribu, visa kerja 110 euro (Rp1,9 juta), transportasi dalam negeri Pulau Jawa Rp500 ribu dan luar Pulau Jawa Rp2 juta, serta tiket keberangkatan Rp10 juta.
Sedangkan pemberi kerja membayar jasa perusahaan 258.132 HUF (Rp11,2 juta). Jasa perusahaan yang dimaksud ialah biaya penempatan pekerja Indonesia ke negara tujuan yang dilakukan oleh perusahaan agen penyalur kerja.
Jika mengacu besaran pembiayaan itu, Pardi perlu mengeluarkan uang dengan batas tertinggi sekitar Rp14 juta. Namun, PT Ficotama Bina Trampil meminta Pardi membayar lima kali lipat.
“Biaya prosesnya per orang Rp65 juta. Itu untuk visa dan paspor. Tiket Rp3 juta sama asuransi. Hampir Rp70 juta biaya yang aku keluarkan, sekaligus untuk biaya ke sana sini (transportasi lokal). Dan itu harus lunas,” ujar Pardi.
Pardi tidak tahu pasti faktor yang membuat biaya penempatannya membengkak. Ficotama hanya memberikannya kuitansi.
“Permainan orang kaya,” umpat Pardi. “Kita enggak dikasih rincian habis berapa-berapa, detail biaya ini-itu tidak ada.”
Sedangkan biaya penempatan ke Slowakia, berdasarkan surat Keputusan Kepala BP2MI Nomor 127 Tahun 2023, sekitar Rp16 juta.
Biaya yang ditanggung buruh migran meliputi pemeriksaan kesehatan Rp670 ribu, pemeriksaan psikologi Rp550 ribu, paspor gratis, kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan Rp370 ribu, SKCK Rp30 ribu, visa kerja 60 euro (Rp1 juta), transportasi dalam pulau Jawa Rp500 ribu dan luar Pulau Jawa Rp2 juta, serta tiket keberangkatan Rp11 juta.
Dan pemberi kerja mesti membayar jasa perusahaan 4.200 euro (Rp70 juta).
Akan tetapi, Umam membayar jauh lebih tinggi dari batas tertinggi pembiayaan yang ditetapkan tersebut. Seperti Pardi, Umam tidak tahu-menahu soal rincian tersebut.
“Budget Rp75 juta, tapi saya sampai keluar sekitar Rp100 juta. Karena biaya sendiri dari bandara ke tempat PT Ficotama saja sudah Rp600 ribu sekali pulang-pergi. Saya sudah enam kali bolak-balik. Enggak ada jemputan, bayar taksi sendiri,” ujar Umam.
Praktik pembebanan biaya berlebih atau overcharging itu bukan hal baru.
Selama Desember 2022 sampai Desember 2023, BP2MI menerima 113 pengaduan terkait perusahaan agen penyalur kerja yang melakukan pembebanan biaya berlebih. Kepala BP3MI Benny Rhamdani meminta perusahaan-perusahaan itu mengembalikan uang buruh migran. Jika tidak, katanya, izin operasional mereka dapat dicabut.
Sekalipun begitu, menurut Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Juwarih, pemerintah seharusnya tak cuma menekan perusahaan mengembalikan sejumlah biaya berlebih kepada buruh migran. Agar perusahaan jera, menurutnya, pemerintah harus berani bersikap tegas memberikan sanksi penangguhan atau pencabutan izin operasional.
“Setelah selesai mediasi, perusahaan tidak kena sanksi. Ini yang bikin berulang. Akhirnya setiap perusahaan melakukan hal sama, ‘Ah, palingan cuma disuruh kembalikan (uang)’,” ujar Juwarih.
Biaya penempatan yang terlalu tinggi, memaksa buruh migran terjerat utang.
“Jujur saja, aku menggadaikan tanah orangtua (untuk bisa bekerja ke Hungaria). Itu juga masih kurang. Aku utang ke bank,” ujar Pardi.
Sementara Umam menggunakan uang tabungan pribadi untuk membayar setengah biaya penempatan tersebut. Sisanya ia berutang ke tetangga dan Ficotama.
“Biaya yang ditetapkan PT Ficotama itu Rp75 juta, utang saya di Ficotama sekarang Rp35 juta. Kalau boleh (utang) dibelah dua, kan job tidak sesuai. Gaji enggak sesuai juga,” pinta Umam.
Dan, Pardi dan Umam hanya segelintir contoh buruh migran yang terpaksa bekerja setahun hanya untuk membayar utang biaya penempatan.
Perusahaan Bermasalah
Berdasarkan penelusuran digital, kami mendapati PT Ficotama Bina Trampil memiliki sejumlah catatan hitam.
Pada 10 Maret 2015, seorang buruh migran Malaysia asal Nusa Tenggara Barat mengalami cacat permanen akibat menjadi korban percobaan pembunuhan. Sementara PT Ficotama diduga tidak mencairkan asuransinya.
PT Ficotama juga diduga terlibat dalam upaya pengiriman pekerja migran ilegal ke Malaysia pada 3 Maret 2022. Lalu, pada 24 November 2022, seorang calon pekerja migran asal Brebes diduga menjadi korban penipuan PT Ficotama. Ia sudah membayar puluhan juta untuk bekerja ke Polandia, tapi tak pernah diberangkatkan hingga selama dua tahun.
Bahkan pada 2009, Direktur Utama Ficotama, Andrew Pandu Sembiring, sempat menjadi tersangka karena diduga menyelundupkan belasan anak di bawah umur sebagai pekerja ilegal. Setahun kemudian, BP2TKI (sebelum menjadi BP2MI) memasukkan PT Ficotama Bina Trampil dalam daftar 47 perusahaan bermasalah.
Perusahaan beralamat di Kota Bekasi ini dimiliki Andrew Pandu Sembiring. Pandu merupakan tokoh masyarakat Kota Bekasi dan pernah menjabat sebagai Wakil Bendahara DPN Peradi kubu Otto Hasibuan pada 2007.
Meski sempat dicekal sebagai agen tenaga kerja bermasalah, tapi pada 31 Mei 2012, Kemenaker menerbitkan izin kembali. Setelahnya, PT Ficotama selalu memperoleh surat izin perekrutan pekerja migran Indonesia (SIP2MI).
Merujuk laporan BP2MI, izin PT Ficotama Bina Trampil kembali diperpanjang pada 30 November 2016 dan berakhir pada 30 November 2021, lalu diperpanjang lagi pada 12 November 2021.
Sampai sekarang PT Ficotama masih aktif mencari calon buruh migran.
Merujuk situs SISKOP2MI milik BP2MI per Maret 2024, Ficotama membuka 29 lowongan pekerjaan ke berbagai negara, antara lain ke Taiwan, Malaysia, Singapura, Hungaria, Hong Kong, Slowakia, Cekoslowakia, Makao, dan Polandia.
Project Multatuli sudah berupaya mewawancarai Direktur Utama PT Ficotama Bina Trampil Andrew Pandu Sembiring dan Direktur lainnya, Friscila Raskita Amynina Christina, setidaknya sudah tiga kali, tetapi hingga laporan ini dirilis, mereka belum merespons.
Kami bertanya kepada Sekjen SBMI Juwarih mengenai temuan-temuan kami. Mengenai kondisi buruh migran tidak sesuai penempatan kerja, Juwarih berkata setiap buruh migran yang sudah berangkat ke negara tujuan dan bermasalah, harus dipulangkan.
“Kalau mau berangkat harus dengan job order yang baru dan dokumen baru. Kalau buruh migran cari pekerjaan baru di sana, artinya tidak sesuai prosedur. Ini yang salah.”
Dalam kasus ini, PT Ficotama Bina Trampil, yang tidak mampu melindungi setiap buruh migran, dapat dikenakan sanksi penangguhan hingga pencabutan surat izin perekrutan pekerja migran Indonesia, tambah Juwarih.
“Buruh migran juga bisa menuntut secara hukum perusahaan penyalur yang abai. Dan perusahaan tersebut berkewajiban memenuhi hak-hak buruh migran yang tidak terpenuhi di negara penempatan.”
Hukum pelindungan pekerja migran mengatur perusahan penyalur harus berkoordinasi dengan BP2MI untuk bertanggung jawab menyelesaikan permasalahan kerja buruh migran (pasal 52 ayat 2 dan PP 59/2021). Aturan ini juga memastikan hak-hak buruh migran terpenuhi oleh perusahaan, dalam hal ini PT Ficotama, di negara penempatan.
“Perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (P3MI) itu punya deposit Rp1,5 miliar. Kalau ada masalah apa-apa, deposito itu bisa dicairkan,” sebut Juwarih. “Apalagi kalau penempatan buruh migran ini prosedural, itu memungkinkan dicairkan. Tetapi buruh migran pulang dulu baru deposito bisa dicairkan.”
Kami juga bertanya kepada Anis Hidayah, aktivis yang punya kompetensi mengadvokasi buruh migran yang sekarang komisioner Komnas HAM, mengenai penelantaran buruh migran di Hungaria dan Slowakia, ulah PT Ficotama.
“Apa yang terjadi pada buruh migran di dua negara ini,” ujar Anis, “merupakan bentuk pelanggaran beberapa hak mereka selama bekerja. termasuk biaya penempatan yg semestinya (pasal 29) zero cost.”
“Ada biaya-biaya yg tidak boleh dikenakan biaya buruh migran, kecuali urus paspor dan visa. Kalau biaya penempatan enggak boleh, apalagi kondisi mereka di tempat di mana mereka bekerja di negara itu, mereka tidak mendapatkan kondisi kerja yang layak. Salah satunya pengupahan yang adil.”
“Dan semestinya pemerintah, bisa melalui Kementerian Ketenagakerjaan atau BP2MI, melakukan evaluasi terhadap perusahaan itu. Kemudian bisa diberikan sanksi: apakah dicabut, diberhentikan sementara, dan sebagainya.”
“Dalam UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, penempatan pekerja migran yang tidak sesuai dengan kontrak, pelanggaran-pelanggaran administratif lainnya, bisa dikenakan pidana berdasarkan. Ini bisa didorong dan diterapkan agar memberikan efek jera kepada perusahaan penyalur buruh migran agar tak asal menempatkan dan mengambil keuntungan semata.”
Anis juga menambahkan “pemerintah harus evaluasi, mengumpulkan informasi secara mendalam, dan menjatuhkan sanksi.”
“Saya kira Kemnaker bisa memanggil perusahaan-perusahaan yang melakukan penempatan secara tidak baik dan tidak taat undang-undang. Juga BP2MI bisa mengusulkan satu rekomendasikan ke Kemnaker untuk menetapkan satu sanksi kepada perusahaan tersebut.”
Upaya konfirmasi kami ke BP2MI belum direspons. Sementara konfirmasi kepada Kementerian Ketenagakerjaan, melalui humas Chairul Fadly, semula dijanjikan wawancara tetapi tidak ditanggapi lagi sampai artikel ini dirilis.
Sulit Mengais Rupiah
Kebanyakan orang memilih menjadi pekerja migran lantaran kesulitan mendapatkan peluang kerja di dalam negeri.
Umam hanya punya sedikit pilihan pekerjaan di negeri sendiri: menjadi petani atau bekerja di pabrik. Ia merasa tak yakin dengan bertani sehingga menjajal peruntungan di pabrik. Entah sudah berapa kali ia melamar, tapi tidak satu pun yang diterima. Ia selalu gagal karena ia tamatan sekolah dasar.
“Masuk akal enggak saya lulusan SD terus masuk pabrik di Indonesia? Yang persyaratannya ini-itu. Bukan saya mau menjelekkan negara kita,” ujarnya.
Sehingga hal paling mungkin baginya ialah bekerja ke luar negeri. Umam lebih dulu menjadi pekerja konstruksi di Malaysia lalu akhirnya berangkat ke Slowakia. Lantaran merasa sudah menuai hasil di Malaysia, ia pun mencoba peruntungan lebih besar ke Eropa. Dan hasilnya ternyata mengecewakan.
“Ke Malaysia berangkatnya gratis. Enak. Saya lama di sana. Begitu ke Eropa. Kerja, kerja, kerja, malah enggak sesuai dengan janji. Gaji enggak real. Kalau bisa langsung ditutup saja perusahaannya biar kapok,” ujarnya.
Sedangkan Pardi awalnya tak pernah terpikir bekerja ke luar negeri. Meski banyak temannya yang sudah menjadi buruh migran sebagai pekerja rumah tangga atau awak kapal perikanan, tapi ia lebih memilih mengekor orangtua bekerja di pabrik.
Sejak lulus sekolah menengah kejuruan satu dekade silam, Pardi sudah merantau ke Bekasi. Ia sempat bekerja di banyak tempat: kontraktor jalan, restoran, pabrik garmen, dan terakhir pabrik plastik. Mulai dari gajinya Rp50 ribu per hari sampai terakhir Rp720 ribu per minggu.
Namun, tahun 2020 menjadi titik muram, Pardi dipecat di pabrik plastik. Perusahaan berdalih finansial merosot akibat pandemi COVID-19. Selain gaji terakhir, Pardi hanya dapat kompensasi Rp3,5 juta.
“Waktu itu mau pulang gimana, enggak pulang gimana. Aku bingung di kontrakan. Teman ajak aku kerja di steam (tempat pencucian) motor, supaya aku punya ongkos pulang. Karena uang Rp3,5 juta sudah aku transfer ke keluarga,” ujarnya.
Setelah kembali ke rumah, Pardi kerja serabutan, kadang kuli bangunan kadang bantu-bantu bapaknya di sawah. Ia bertemu teman-temannya yang menjadi buruh migran. Lalu mulai tertarik mencari tahu proses kerja di luar negeri.
“Aku sudah bingung banget waktu itu, apalagi umur sudah tua, kerjaan sulit. ‘Apa aku keluar negeri saja?’”
Namun, orangtua tidak merestuinya. Ibunya mengkhawatirkan keselamatan si sulung, alasannya kerap mendengar kisah tetangga yang menjadi pekerja di kapal asing mengalami kondisi kerja memprihatinkan.
Pardi memutuskan kembali mencari pekerjaan di dalam negeri. Ia melempar lamaran ke pabrik kabel dan pabrik baut tapi mental begitu saja.
“Terkendala usia. Mereka carinya yang fresh graduate. Aku menyerah dan memutuskan ke luar negeri sajalah,” ujarnya.
Pardi berupaya mengunduh restu orangtua. Ia terus memberikan alasan-alasan logis kenapa ia harus bekerja ke luar negeri. Sampai pada satu titik, mereka luluh.
“Aku bilang ke orangtua begini, ‘Bu, kalau aku terus begini bakal repot. Umurku sudah mau 30 tapi belum punya apa-apa. Aku anak pertama. Adik-adik masih kecil. Kalau aku nanti punya istri bagaimana? Rumah juga belum punya.’”
Saat mengingat momentum itu Pardi tertawa geli. Ia merasakan ironi dalam kehidupannya. Sampai setengah tahun di Eropa, Pardi berusaha memeram kemalangan nasibnya sendiri.
“Selama aku di Hungaria, aku baru menelepon orangtua tiga kali. Dan aku tidak pernah cerita ke mereka kondisi di sini. Sengaja aku rahasiakan, takut mereka kepikiran,” ujarnya.
“Biarlah saya bertahan di sini sampai masa visa selesai. Kalau pulang pun tidak mungkin, masih ada utang.”
Ketika kami menulis ceritanya, pada 17 Maret 2024, Pardi mengabarkan kepada kami sudah satu minggu di Polandia. Ia tidak melanjutkan pekerjaan di pabrik baterai karena upahnya dipotong dua agensi lokal.
Menurut Pardi, agensi lokal yang menampungnya tidak memiliki perjanjian bisnis dengan pabrik baterai, sehingga ia bekerja sama dengan agensi lokal lain yang sudah punya kontrak dengan pabrik baterai itu. Dari upah 1.900 HUF per jam (Rp86 ribu), ia hanya dapat 1.535 HUF per jam (Rp70 ribu).
“Agensi kami sudah tahu aku pergi. Mereka sempat kasih job lain tapi aku menolak. Aku pikir sudah tidak ada jalan keluar selain kabur ke Polandia,” ujar Pardi.
Sementara itu Umam di Polandia melanjutkan hidup dengan mengandalkan solidaritas sesama pekerja migran Indonesia. Melalui seorang kawan, Umam mendapatkan pekerjaan di pabrik sosis. Menurutnya, pengupahan di Polandia jelas; ia dibayar 4.000 zloty sebulan (setara Rp16,4 juta) dan kalau lembur bisa mencapai 5.000 zloty (sekitar Rp20,5 juta).
“Insyaallah saya kerja di Polandia bisa melunasi utang-utang. Bismillah saja,” ujar Umam kepada saya via telepon.
Laporan ini adalah serial terbaru kami mengenai #PekerjaMigranIndonesia. Khusus artikel ini kami bekerja sama dengan https://magyarnarancs.hu/ yang membantu kami berkomunikasi dengan buruh migran Indonesia di Hungaria.
Kami membuka pengaduan mengenai masalah-masalah pekerja migran Indonesia, silakan kontak alfianputra@projectmultatuli.org