Nelayan Lokal Limbung Dihantam Aturan

Fahri Salam
18 menit
Dua pekerja di pangkalan pendaratan ikan Lappa sedang mengangkat tuna sirip kuning. (Project M/Iqbal Lubis)
Para nelayan lokal bakal menghadapi aturan baru menangkap ikan. Pemerintah berencana menerapkan aturan zona melaut dan kuota tangkapan ikan pada musim 2025. Aturan ini juga membuka perusahaan asing bisa masuk lewat kuota industri mengeksploitasi kekayaan laut kita yang sudah fully exploited dan over exploited. Kelompok masyarakat sipil menilai aturan itu akan membuka lebih luas privatisasi pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia.

DUDUK di bangku kayu kumal di pelataran pelabuhan pelelangan ikan Lappa, sambil mengawasi para pekerja mengangkat ikan tuna ke pikap, Haji Basri mengomel: “Kau lihat saja bagaimana keadaannya. Kotor.” 

“Kau perhatikan sendiri. Ikan basah. Ikan kering. Semua bercampur. Ada kue. Ada minyak dan BBM,” katanya sambil mengunyah pisang goreng. “Lantainya hitam. Tidak ditegel. Hanya semen. Sudah banyak lubang. Lumpur banyak. Penuh pasir.”

Pelabuhan pelelangan ikan itu berada di pinggir muara Sungai Tangka di Kabupaten Sinjai, berbatasan Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.

Pada satu hari yang sibuk, pelabuhan itu menjadi sentral berbagai jenis kapal berkumpul. Ada kapal yang menurunkan ikan layang, kembung, tembang, hingga cumi, sementara kapal lainnya menurunkan cakalang dan tuna. Dari pagi hingga siang, di lokasi pelelangan itu, banyak pedagang menawarkan jualan. Di tempat yang sama, sayur dan bumbu masak berdempetan saling berebut ruang. 

Troli besar dari besi, dengan roda modifikasi dari ban motor atau sepeda untuk mengangkut ikan-ikan berukuran besar, sudah biasa menabrak para pejalan. 

“Sebenarnya kalau orang lihat, tempat pelelangan ikan ini tidak memenuhi standar,” lanjut Haji Basri. “Tapi mau bagaimana lagi? Pengelola pelabuhan … pemerintah… Mereka hanya tahu ambil pajak 3% dari pelaku pengusaha ikan.” 

Proses bongkar muat tuna di pelabuhan TPI Lappa Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Ikan-ikan tuna setelah ditimbang dikirim via darat ke PT Bumi Menara Internusa di Kawasan Industri Makassar. Di perusahaan, tuna-tuna dipisahkan kepala, tulang, dan bagian dadanya dalam bentuk loin. (Project M/Iqbal Lubis)

Data Dinas Perikanan Sinjai, per 2020, ada 2.234 unit kapal dengan berbagai jenis ukuran, sementara ada 290 unit kapal di atas 10 tonase kotor (GT). Nilai produksi perikanan di TPI Lappa tahun 2017-2021 mencapai Rp236 miliar, termasuk Rp148 miliar dari cakalang dan Rp15 miliar dari tuna.

Khusus ikan tuna yang didaratkan di TPI Lappa dari Januari-September 2023 sebanyak 1.816 ton. “Ini yang masuk retribusi 3%, tapi data pastinya jauh lebih besar dari itu karena ada pengusaha yang langsung bawa ke perusahaan,” kata Kepala Dinas Perikanan Sinjai, Syamsul Alam.

Syamsul berkata pajak 3% ke pelaku pengusaha ikan di TPI Lappa itu menyumbang rata-rata penerimaan kabupaten antara Rp20-30 juta setiap bulan. Dan, tambahnya, “target tahun 2023 sebesar Rp800 juta.” 

Bagaimanapun, produksi ikan di Sinjai yang besar itu nyaris tak terungkap dengan baik. Wilayahnya yang masuk ke dalam kawasan Teluk Bone, sekitar 6 jam perjalanan darat dari ibu kota Makassar, memang tidak begitu dikenal. 

Berbeda dari Sinjai, infrastruktur Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) di Bitung, Sulawesi Utara, jauh lebih baik. Lantainya bersih dan semua penjual ikan memiliki meja. Tak boleh ada ikan tergeletak di lantai.

Pelabuhan ini berada di Jalan Perikani, Kecamatan Aertembaga Satu, berdampingan dengan pelabuhan terminal peti kemas.

Di PPS Bitung, ada dua tambatan kapal bersandar. Satu tempat untuk nelayan kecil dengan kapal di bawah 5 GT yang membawa ikan seperti cakalang, kembung, cumi, udang, dan ikan kecil lain, sementara di sisinya bersandar kapal-kapal berukuran besar di atas 30 GT membawa tuna. 

Setiap hari kapal-kapal pengangkut tuna bersandar. Para pekerja membongkar muatan dengan cepat. Bagi kapal tuna perusahaan langsung dibawa ke dermaga perusahaan untuk ditambatkan. Sementara kapal tuna milik orang per orang akan ditambatkan di dermaga pesisir kampung. 

Data PPS Bitung mencatat, sepanjang semester pertama tahun 2023, ada 21.000 ton ikan yang didominasi cakalang dan tuna sirip kuning didaratkan oleh 935 kapal. Sementara dalam laman resmi PPS Bitung, hingga Mei 2024, hasil tangkapan ikan mencapai 11.472 ton dari 917 unit kapal dengan nilai produksi Rp228 miliar.  

Sejumlah kapal armada penangkap tuna (ditandai dari keberadaan sejumlah pintu palka pendingin) bersandar di dermaga Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS), Bitung, Sulawesi Utara. (Project M/ Adwit Pramono)

PPS Bitung memiliki luas 5,7 hektare, tapi pemanfaatan wilayahnya baru 50%. Pada 2022, pelabuhan ini dijadikan pemerintah sebagai “percontohan tata kelola penanganan ikan yang baik” sejak ikan ditangkap dari kapal, didaratkan, kemudian dipasarkan. Selain itu, menurut pemerintah, pelabuhan ini bakal menerapkan aplikasi fishOn untuk “menciptakan kesejahteraan nelayan.” 

Namun, ketika saya menemui nelayan di pesisir Bitung, mereka tertawa dengan aplikasi fishOn itu. Bagi mereka, terlalu banyak aturan membuat mereka semakin pusing. 

Meski begitu, ramainya industri perikanan tangkap di Bitung ditunjukkan aktivitas pengangkutan kontainer khusus ikan di terminal peti kemas. Kapal-kapal dari perusahaan pelayaran yang bersandar di terminal itu biasanya berselang dua hari atau paling lama tujuh hari. Maka, setiap kapal yang datang, kontainer berisi ikan selalu diikutsertakan. 

Untuk rute pelayaran, kontainer ikan itu transit di Surabaya dan Jakarta untuk kemudian dikapalkan menuju negara tujuan. Pada 2023, ekspor perikanan Sulawesi Utara ke Jepang mencapai 113.231 kg. 

Pada Februari 2024, saya menyaksikan beberapa kontainer putih di terminal peti kemas menunggu pengapalan. Biasanya, setiap kapal mengangkut maksimal 15 kontainer ikan. Nama-nama perusahaan pelayaran itu seperti Meratus, Spil, Temas, dan Tanto. 

Aturan Zonasi dan Bagi Hasil

Di salah satu sudut dermaga, sebuah kapal milik PT Nutrindo Fresfood Internasional bernama PM 8 berukuran 46 GT tengah bongkar muat ikan tuna. 

Saat bongkar hasil tangkapan, para anak buah kapal telah bersiaga. Ada yang menarik ikan tuna seberat 70 kg; ada yang memiringkan ikan dan menyayat bagian perutnya. Insang dan bagian dalam organ perut tuna dikeluarkan. Lalu diangkut ke timbangan, selanjutnya dimasukkan ke dalam mobil boks menuju perusahaan. 

Ikan-ikan itu diberi tanda nama awak kapal yang menangkapnya yang terikat di bagian ekor. Seperti Maikel dengan tanda 02-02-2024. Berarti waktu penangkapan itu pada 2 Februari 2024.

Di setiap pembongkaran, petugas pelabuhan melakukan pencatatan jumlah ikan dan bobotnya. Setelahnya, kapal-kapal itu bergerak untuk ditambatkan ke dermaga perusahaan. 

Kapal PM8 memiliki izin wilayah penangkapan zona wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 716 dan 717. Kedua zona ini masing-masing meliputi Laut Sulawesi dan kawasan utara Pulau Halmahera serta perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik. Dalam peta perikanan laut, kedua WPP itu berada di zona 2.

Izin zonasi ini sangat penting. Suatu ketika, cerita seorang kapten kapal PT Nutrindo, kapal yang dinahkodainya melewati batas zonasi yang izinnya WPP 715 (zona 3), tapi malah mengikuti rombongan ikan tuna hingga WPP 716 (zona 2). 

Perusahaan akhirnya didenda Rp60 juta. “Kalau kapalnya milik perusahaan, perusahaan  punya uang,” kata si kapten kapal. “Tapi kalau kapalnya milik pribadi, bagaimana bisa bayar denda? Bagus kalau misalnya hasil tangkapannya banyak, tapi kalau kurang, bisa rugi. Matilah para nelayan di laut.”

Aturan zonasi WPP ini penting. Ia menjadi semacam garis batas imajiner bagi setiap nelayan lokal di lautan yang melakukan operasi penangkapan ikan. Bila ada nelayan yang menangkap ikan di luar zona izin, ia akan mendapatkan sanksi dari pemerintah, seperti izin berlayar dicabut. 

Pengawas perikanan melakukan penimbangan dan pencatatan saat proses bongkar muat tuna di Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung, Sulawesi Utara, untuk mendata jumlah hasil tangkapan. (Project M/ Adwit Pramono)

Haerul, seorang nelayan lokal di Sinjai, berkata para nelayan tuna biasa menggunakan pancing ulur. Sekali trip umumnya paling lama 25 hari. Saat mereka berlayar dari wilayah perairan di Sinjai, para nelayan mengarungi wilayah pengelolaan perikanan 713 (zona 6), meliputi perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali. Biasanya para nelayan mencari musim tuna di Sinjai pada November hingga Februari.

Sementara pada Maret hingga Oktober, nelayan tuna di Sinjai akan menuju Bali dan kemudian mengurus izin operasi mereka di zona WPP 537, yang meliputi Perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, Laut Timor bagian barat, dan laut lepas (Samudera Hindia).  

Di Sinjai, kapal ukuran 28 GT, dalam sekali trip dengan lama perjalanan 25 hari, akan memerlukan biaya operasional sekitar Rp20 juta-Rp30 juta. Secara umum, pemilik kapal di Sinjai bukanlah pemilik modal utama dalam operasi kapal. Mereka masih memerlukan agen alias tengkulak yang biasanya juga bertindak sebagai pembeli ikan. 

Haerul (30), pemilik kapal dan nelayan ikan tuna, mengharapkan aturan penangkapan ikan terukur tidak memberatkan para nelayan lokal seperti dirinya sebab mengatur ambang batas wilayah tangkap yang bisa berdampak pada penghasilan dan ekonomi keluarganya. (Project M/Iqbal Lubis)

Rantainya, agen mengucurkan modal awal termasuk biaya makan dan BBM. Modal tersebut sebagai utang, yang harus dikembalikan ke agen ketika kapal sudah berlabuh. Selain itu, agen akan mendapatkan jatah 10% dari hasil tangkapan ikan. Beberapa agen sudah memasukkan nilai 10% kepemilikannya untuk dipotong pajak  retribusi kabupaten sebesar 3%. Tapi, beberapa agen tidak melakukannya. 

Setelah pembagian itu bersih, maka nilai hasil tangkapan ikan itu dibagi pemilik kapal, juragan (nahkoda), dan awak kapal. 

Biasanya kontrak bagi hasilnya dihitung berbasis kelipatan. Katakanlah dalam satu trip ada 7 awak kapal. Pembagiannya misalnya pemilik kapal akan mendapatkan 6 kali kelipatan, nahkoda 3 kelipatan, dan awak kapal 1 kelipatan; total ada 16 kali kelipatan.  

Sebagai contoh, untuk pendapatan 1 ton ikan tuna dengan harga Rp40.000/kg, maka hasilnya Rp40 juta. Dari nilai itu, agen sudah mengantongi 10% yakni Rp4 juta. Sisanya, Rp36 juta dipotong lagi modal awal untuk agen sebesar Rp25 juta, sehingga tersisa Rp11 juta. 

Angka Rp11 juta itu barulah dihitung sebagai laba bersih untuk bagi hasil berdasarkan kelipatan: Rp11 juta dibagi 16 kepala yang hasilnya Rp687.500. Maka, untuk pemilik kapal, jumlah itu dikalikan 6 hasilnya Rp4,1 juta. Lalu untuk nahkoda dikalikan 3 menjadi Rp2 juta. Dan untuk awak kapal masing-masing Rp687.500. 

Bagaimana jika hasil tangkapan tuna seret? “Ya minus,” katanya.

Haerul mengisahkan pengalamannya menghadapi musim buruk dalam sebuah trip tahun 2023. Satu trip itu hanya mendapatkan 3 ekor tuna. Nilainya cuma Rp7 juta. Pembagiannya tetap untuk agen 10% yakni Rp700 ribu. Kemudian, biaya operasional trip sebesar Rp25 juta dengan sisa hasil hanya Rp6,3 juta menjadi minus Rp18,7 juta. Dari nilai kerugian itu, pemilik kapal tetap mendapatkan kelipatan 6, yang hasilnya menjadi Rp2,7 juta, yang terhitung sebagai utang. 

“Nah inilah yang jadi utang, juragan juga berutang dan awak kapal juga. Lalu kalau trip berikutnya tetap tidak mujur, maka utang ke agen/tengkulak yang sudah memberi modal awal akan menumpuk. Kalau pendapatannya naik, utang bisa tertutupi,” katanya. 

Namun, kesepakatan pembagian ini berbeda di setiap tempat. 

Jika kapal Haerul beroperasi di Bali, agen yang membiayai operasionalnya, tidak mendapatkan potongan pembagian. Biasanya kesepakatan dengan pemilik kapal adalah hasil tangkapan akan dijual kembali ke agen. Tuna akan dihargai Rp42 ribu/kg. Kemudian agen membawanya ke perusahaan, entah dengan nilai penjualan berapa. 

“Jadi agen di Bali itu dapat untungnya dari situ dan juga dari margin harga kebutuhan operasional kapal. Dan itu tidak ada pilihan lain,” katanya. 

Haerul berkata biaya operasional di Bali tergolong mahal. “Karena selama saya di sana, tidak pernah mendapatkan solar subsidi, selalu menggunakan solar industri yang harganya Rp14 ribu/liter.”

Itu berbeda di Sinjai. Solar subsidi bisa didapatkan di setiap SPBU dengan rekomendasi dari Dinas Perikanan, di mana satu kali trip dihitung dalam satu bulan sebanyak 1.500 liter dengan harga Rp6.800/liter. 

Kehadiran agen atau tengkulak bisa sangat memberatkan nelayan. Tapi, di sisi lain, bisa memberi kelonggaran. 

“Saya kira sedikit sekali pemilik kapal yang bisa membiayai sendiri operasional kapalnya, apalagi kapal pencari tuna. Kalau trip pertama rugi, mungkin masih bisa. Tapi jika sudah tiga kali trip merugi, pemilik kapal pasti akan gulung tikar,” kata Haerul. 

Di lapangan, tengkulak bahkan bisa memberikan modal pinjaman untuk pembuatan kapal. Untuk kapal dengan ukuran 28 GT biayanya bisa mencapai Rp550 juta. Para agen ini memberikan biaya cicilan sesuai kesepakatan yang agak tinggi. Tapi, mereka memahami praktik nelayan. Jika nelayan mengalami masa paceklik, para pemodal tidak akan memaksakan kehendak untuk pemilik kapal membayar cicilan. 

Hal itu berbeda jika nelayan meminjam ke bank yang tak mengerti musim di laut. Setiap bulan saat jatuh tempo, nelayan harus membayar cicilan meskipun nelayan sedang menghadapi kerugian. 

Sejumlah kapal nelayan tuna dengan rata-rata ukuran kapal 10-28 GT ditambatkan di perkampungan nelayan Tongke-Tongke, Kabupaten Sinjai. Rencana aturan penangkapan ikan terukur oleh pemerintah menjadi masalah baru buat nelayan kecil karena pembatasan wilayah tangkap sejauh 12 mil, sementara jarak wilayah tangkap mereka biasanya di atas 12 mil. Jika melewati batas, harus ada izin dan akan dikenakan retribusi 3%. Dalam aturan baru, nelayan kecil boleh berlayar di atas 12 mil asalkan membentuk koperasi. (Project M/Iqbal Lubis)

Aturan Berbasis Kuota

Belakangan ini para nelayan juga kebingungan dengan aturan baru pemerintah bernama Penangkapan Ikan Terukur. Diterbitkan pada Maret 2023, seharusnya aturan ini berlaku pada tahun 2024, tetapi ditunda lagi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, yang rencananya baru bisa diterapkan pada musim penangkapan ikan tahun 2025.

Aturan yang dikenal dengan akronim PIT ini akan mengubah banyak tata kelola penangkapan ikan. Selain mengatur zonasi, juga dikenal sebagai penangkapan ikan berdasarkan kuota.

Kuota ini akan diatur oleh kementerian dan dibagi atas kuota industri dan nelayan lokal serta untuk tujuan nonkomersial. Kuota industri akan diberikan kepada orang perseorangan dan badan usaha yang berlayar di atas 12 mil laut, dengan kapal di atas 30 GT, yang izinnya harus lewat kementerian (pusat). Sementara kapal dengan ukuran di atas 5 GT – 30 GT yang berlayar hingga 12 mil harus izin ke provinsi (daerah). Selain itu, nelayan kecil boleh mengakses kuota industri tetapi syaratnya harus membentuk koperasi. 

Aturan lain soal PIT adalah pemerintah membuka investasi asing untuk mengeksploitasi kekayaan laut Indonesia, dengan menggandeng perusahaan dalam negeri, yang rencananya bisa mengakses zona 1, 2, 3, dan 4. 

Di sisi lain, nelayan lokal yang kapalnya biasanya berukuran 5 GT hingga 30 GT hanya boleh mengakses zona penangkapan ikan hingga 12 mil. 

Aturan ini menyebut nelayan lokal adalah nelayan yang berdomisili pada provinsi di zona PIT sesuai dengan KTP atau surat keterangan domisili atau domisili usaha dan melakukan penangkapan ikan sampai 12 mil.

Sementara nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya bergantung pada sumber daya laut untuk kebutuhan subsisten.

Selain itu, pemerintah mengenakan pungutan perikanan (penerimaan negara bukan pajak) atau retribusi bagi kuota industri, kuota nelayan lokal, dan kuota nonkomersial, dikecualikan untuk nelayan kecil. Besarannya antara 5%-10%, tergantung jenis ukuran kapal, yang mekanismenya berubah dari PNBP praproduksi menjadi PNBP pascaproduksi dalam setiap kali trip begitu aturan PIT dijalankan di lapangan.

Artinya, pelaku usaha membayar retribusi berdasarkan kuota hasil tangkapan ikan saat didaratkan berdasarkan harga acuan ikan, bukan harga jual. Bagi yang tidak mematuhinya, akan dikenakan sanksi, dari tidak dapat persetujuan berlayar, denda administrasi, hingga pembekuan izin usaha perikanan.

Soal mekanisme PNBP pascaproduksi dan PIT, pemerintah mengklaim demi laut kita lestari dan keberlanjutan. Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono berkata PIT merupakan “kemerdekaan wilayah” lewat aturan zonasi. “”Jadi, [nantinya] terjadi distribusi ekonomi, tidak lagi tersentralisasi di Jawa. Contohnya, kalau nelayan menangkap ikan di zona 3, dia harus stay di situ. Berangkat dari pelabuhan di zona 3 dan mendarat juga di sana. Dengan begitu, uang dan aktivitas ekonomi berputar di situ karena ada kebutuhan tenaga kerja, rumah, makam, apa pun.” 

Infografik Pembagian Zona Penangkapan Ikan Terukur di 11 WPPNRI. (Project M/Zulfikar Arief)

Saat saya bertanya mengenai PIT kepada para nelayan lokal di Sinjai, mereka merasa gerak mereka di laut nantinya dibatasi. 

“Ini, kan, laut, ya. Kalau di tempat itu, ikan tidak makan, pasti kita akan mengikuti ikan bergerak. Apalagi kalau tuna. Jadi kalau kita keluar dari zona itu, kita ini nelayan dianggap mencuri ikan. Mencuri di negeri sendiri, ” kata seorang nelayan tuna. 

“Kalau tinggal di zona itu, kita mau dapat apa? Ini masih wilayah Indonesia. Kenapa nelayan harus dipersulit seperti ini,” kata nelayan lain.

“Zona ini kalau pengaturannya kaku, akan membunuh kami,” kata seorang nelayan bernama Karim. 

Karim bilang ikan di laut itu bergerak dan hidup. Tidak ada yang menjinakkannya. “Kalau ikan zona lain sedang banyak dan lahap makan, di zona tempat kita mencari sedang tidak ada, apakah kita hanya mau menonton saja, lalu pulang dengan bawa kerugian?”

Bagaimana jika perikanan terukur ini terlaksana? Nelayan di Sinjai terlihat gusar. Mereka menunjukkan padatnya pembeli di TPI Lappa dan beragam ikan untuk kebutuhan sehari-hari warga. 

Ikan seperti cakalang kecil, baby tuna, tongkol, cumi, diambil oleh para penjaja dan dinaikkan ke mobil untuk kemudian dijual kembali di berbagai daerah. “Kalau nanti ada aturan nelayan kecil mencari ikan di 12 mil laut saja, TPI ini isinya pasti kosong. Cumi-cumi itu jauh, ada di sekitar 30 mil,” kata salah seorang nelayan. 

Haerul, nelayan tuna sekaligus pemilik kapal, tersenyum saat mulai membicarakan PIT. “Mungkin niat pemerintah bagus. Tapi di laut dan lapangan, kan, berbeda keadaan,” katanya. 

Kegelisahan nelayan di Sinjai dan Bitung yang saya temui tak cuma satu-satunya. 

Dalam survei publik mengenai PIT yang dihelat Destructive Fishing Watch Indonesia (DFW-I) terhadap 202 responden di 14 provinsi, menjaring pelaku usaha perikanan, awak kapal, dan nelayan kecil, pada 11 Oktober – 4 November 2023, didapati mayoritas responden memahami PIT secara sepotong-sepotong. Selain itu, sosialisasi dari pemerintah tidak efektif.  Juga di lapangan belum siap secara sumber daya manusia, infrastruktur, dan fasilitas. Masalah berikutnya adalah potensi konflik antara nelayan lokal dan perusahaan asing.

Rekomendasinya, DFW-I menyarankan PIT harus mampu mengakomodasi keadilan mengenai pembagian kuota tangkapan, penyederhanaan proses  izin dan administrasi, serta perlindungan kepada nelayan skala kecil.

Sebuah makalah yang ditulis oleh Eli Nurlela, dosen Politeknik Ahli Usaha Perikanan, yang diterbitkan oleh BRIN (2023), mengenai PIT juga menyoroti problem yang rumit termasuk regulasi yang berubah-ubah, selain aplikasi pendukung kebijakan PIT bernama e-PIT masih susah dipahami nelayan dan sering error, padahal aplikasi ini diniatkan menjadi super platform termasuk untuk memudahkan perhitungan PNBP pascaproduksi.  

Ombudsman RI juga mewanti-wanti problem yang senada, di antaranya aturan PIT belum dipahami banyak nelayan, ada potensi maladministrasi jika penetapan kuota tidak transparan, dan kurangnya pengawasan dari KKP.

Sementara Koalisi NGO untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL) menyatakan kebijakan PIT adalah problematik sebab meski berdalih untuk mengamankan dan menjamin keberlanjutan stok ikan, aslinya kebijakan ini berorientasi ekspor dan eksploitatif. PIT bakal menerapkan sistem kontrak atas wilayah pengelolaan perikanan yang mayoritas sudah fully exploited dan over exploited, menurut KORAL.

Parahnya, sistem kontrak ini boleh dipakai oleh korporasi asing, yang nantinya kapal-kapal eks asing dan kapal ikan asing yang diberi izin termasuk dimigrasikan menjadi kapal ikan berbendera Indonesia yang menurut KORAL bakal “bebas berkeliaran dan mengeruk kekayaan laut kita.”

“Pemanfaatan kuota industri lewat sistem kontrak dan izin berusaha ini memicu perburuan rente politik karena sistem ini bisa diperjualbelikan,” tambahnya.

Singkatnya, PIT disebut KORAL sebagai upaya pemerintah meliberalisasi dan memprivatisasi pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia. 

Seorang nelayan kecil mengisi drum persediaan bahan bakar kapal jenis solar di TPI Lappa sebelum melaut. Di Sinjai, Produk Domestik Bruto untuk nelayan mencapai Rp25 triliun. Catatan lain dari Dinas Perikanan tahun 2023, terdapat 2.234 kapal untuk semua ukuran. Sementara untuk kapal dengan ukuran di atas 10 GT yang meminta rekomendasi BBM subsidi dari Dinas mencapai 290 unit. (Project M/Iqbal Lubis)

Data kementerian tahun 2022 merekam ikan pelagis kecil (seperti kembung, tongkol, tembang) dan ikan pelagis besar (seperti semua jenis tuna dan cakalang) nyaris sudah di atas ambang batas penangkapan di semua 11 wilayah pengelolaan perikanan. Fully exploited artinya penangkapan masih dibolehkan tapi harus dimonitor ketat, sementara over exploited adalah penangkapannya harus dikurangi.

Parid Ridwanuddin, manajer kampanye pesisir dan laut dari WALHI Nasional, yang tergabung dalam KORAL, berkata kebijakan PIT berpotensi melegalkan overfishing atau melegalkan kapal-kapal asing mengambil ikan kita. “Dengan kemiskinan wilayah pesisir menyumbang 68% dari total angka kemiskinan di Indonesia,” ujarnya, “seharusnya kebijakan pemerintah berorientasi pada pemulihan.” Pemerintah semestinya berfokus pada perlindungan nelayan kecil

Banyak Aturan

Pada satu hari November 2023, di pelabuhan pelelangan ikan Sinjai yang sibuk, para pekerja Haji Basri bekerja hingga jelang tengah malam mengisi mobil pikap ke-5 memuat tuna sirip kuning. Ikan-ikan itu dijejerkan dengan lapisan es balok yang sudah diserut, lalu ditumpuk kembali. Setiap mobil yang penuh tuna perkiraannya mencapai berat 1 ton. 

Mobil memuat tuna itu menuju Makassar melalui rute Maros dengan membelah kawasan karst dan berakhir di PT Bumi Menara Internusa di Kawasan Industri Makassar. Di perusahaan, tuna-tuna itu kelak dipisahkan kepala dan tulang dan bagian dadanya dalam bentuk potongan daging lion

Haji Basri meneguk air mineralnya. “Saya pernah didatangi orang pajak. Dia print semua bagaimana uang masuk di rekening. Miliaran,” katanya. 

“Terus dia bicara dan bilang kalau saya harus bayar pajak Rp400 juta.” 

“Saya emosi. Saya bilang, kalau liat uang itu memang banyak. Tapi uang itu keluar-masuk. Bukan uang saya semuanya. Gila mereka itu.” 

Para awak kapal yang kebanyakan anak-anak muda melakukan bongkar muat ikan tuna di Dermaga Pelabuhan Tongke-tongke Kabupaten Sinjai. Sebagian besar anak-anak dan pemuda di kampung nelayan tuna ini bekerja sebagai awak kapal dan buruh angkut dengan rata-rata penghasilan Rp3 juta-Rp8 juta dalam sekali pelayaran. Tuna dari kapal akan siap untuk dikirim ke PT Bumi Menara Internusa (BMI) di Kawasan Industri Makassar. Saat ini kabupaten mengambil retribusi dari nelayan sebesar 3%. (Project M/Iqbal Lubis)

Haerul, seorang nelayan lokal di Sinjai, pernah mengalami hal sama. Petugas pajak menyambangi rumahnya. Dan menunjukkan rekening koran miliknya. Nilainya mencapai Rp2 miliar. “Kalau itu uang saya,” kata Haerul, “jangankan Rp50 juta, pajak yang mereka minta, saya bayar Rp100 juta ke negara.” 

Fadil, nelayan pemilik kapal lain, mengisahkan pengalaman yang sama. “Orang pajak datang dan minta saya bayar Rp80 juta. Saya kaget betul. Saya bilang, ‘Kau lihat saja rumahku ini, masih tinggal di BTN. Kadang cicilan bulanan menunggak,’” katanya. 

“Uang yang mereka lihat di rekening itu uang modal yang terus berputar.” 

“Ini negara membuatkan kita banyak aturan. Dan dengan tegas harus dilaksanakan. Kalau negara memberi nelayan modal, lalu dikenakan pajak, mungkin itu bisa saja.”

Syamsul Alam, Kepala Dinas Perikanan Sinjai, juga membenarkan keluhan nelayan menghadapi aturan baru termasuk PNBP 5% yang pernah menuai polemik dan protes para nelayan di banyak daerah pesisir. “Saat ini kabupaten ambil retribusi dari nelayan sebesar 3%. Jadi kalau nanti ditambah aturan baru menarik Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) 5%, itu akan dua kali kena nelayan. Kan, kasihan,” katanya.


Baca laporan lain untuk seri ini: Sisi Gelap Pekerja Perikanan Tuna dan Cumi di Benoa

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Fahri Salam
18 menit