COGA terlihat menarik tali apung yang mengikat rumput laut dekat tempat budidaya rumput laut. Lokasi itu merupakan tempat yang baru, jaraknya pun jauh dari rumahnya. Kira-kira butuh perjalanan 20 menit menggunakan sampan motor.
Pria paruh baya itu bilang, dulu lokasi budidaya rumput laut yang ia kelola hanya di pesisir sekitar rumahnya. Ia hanya perlu jalan kaki ke sana. Namun sekarang, ia sudah tidak menanam rumput laut lagi di sana. Penyebabnya adalah air laut di pesisir Desa Baliara, Kabaena Barat, tempatnya menetap, sudah semakin keruh, airnya berwarna merah kecoklatan. Padahal selain ikan, rumput laut merupakan komoditi menguntungkan bagi penduduk yang mayoritas orang suku Bajo.
Dengan luas sekitar 873 km persegi, Pulau Kabaena termasuk dalam kategori pulau-pulau kecil yang dilindungi oleh UU No 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km persegi. Sesuai undang-undang tersebut, aktivitas pertambangan tidak boleh dilakukan di Pulau Kabaena.
Namun, kenyataan berkata lain. Ruang hidup di Pulau Kabaena semakin terdampak oleh ekspansi pertambangan nikel. Saat ini ada 15 Izin Usaha Pertambangan (IUP) aktif yang tersebar di enam kecamatan di Pulau Kabaena. Sementara itu menurut riset dampak penambangan nikel di Kabaena yang dilakukan oleh Satya Bumi, sebuah lembaga yang fokus pada advokasi lingkungan hidup dan HAM, sebanyak 73 persen daerah di Kabaena sudah diterbitkan IUP.
Satya Bumi menemukan sepanjang 2001-2022, hutan seluas 3.374,77 ha (24,20 ha di antaranya merupakan hutan lindung) telah digunduli oleh 14 perusahaan tambang di Kabaena. Selain itu penambangan juga telah merusak ekosistem mangrove dan perairan pesisir. Limbah dan debu nikel memusnahkan budidaya rumput laut. Ikan pun sudah sulit ditemui di daerah tangkap pesisir laut yang terjangkau sampan. Nelayan Bajo terpaksa mencari ikan ke perairan lebih jauh dan dalam walau sampan mereka tidak memadai untuk itu.
Sebelumnya orang Bajo terbiasa hidup berpindah dari pesisir ke pesisir dan memiliki daya adaptasi tinggi untuk hidup terikat dengan lautan. Namun, dari tahun ke tahun mereka semakin dipaksa hidup menetap di darat. Kini, di darat pun mereka tersisih karena penambangan nikel telah merenggut ruang hidup dan mata pencaharian mereka untuk menangkap ikan dan membudidayakan rumput laut.
Jamaluddin (50), seorang warga Desa Batuawu Atas, prihatin atas nasib warga desanya. Ia berdiskusi dengan Muhali (55 tahun) tentang rencana mengajukan proposal kepada kepala desa agar pemerintah bisa memberi dana untuk membuat keramba. Muhali juga ingin membantu kemenakannya, Rita, yang sedang merintis pembuatan keramba setelah tiga kali gagal panen.
Sebelumnya, Jamaluddin pernah mengajukan permohonan bantuan kepada perusahaan tambang nikel untuk membelikan perahu ukuran 30 gross ton (GT) supaya nelayan bisa mencari ikan lebih jauh. Usulan Jamaluddin ditolak.
“Alasan perusahaan permohonan itu salah alamat. Seharusnya minta ke pemerintah,” ungkap Jamaluddin.
Menurut Muhali, orang Bajo sudah berupaya melakukan beragam siasat untuk mencari ikan. Ada yang memancing di tengah malam. Ada yang menyelam dengan bantuan alat pernapasan kompresor guna mencari ikan di dasar laut. Siasat inipun tak jarang menimbulkan konflik antar nelayan karena daerah yang sudah diselami ikannya jauh berkurang, sehingga pemancing di permukaan laut kesulitan mendapat hasil yang baik.
Muhali berupaya meningkatkan hasil tangkapan ikan dengan membuat keramba agar tidak jauh melaut. Pembuatan keramba membutuhkan biaya sekitar Rp15 juta. Kendalanya jaring mudah rusak karena disobek ikan buntal selain berhadapan dengan kondisi angin kencang dan air pasang. Ikan-ikan kecil untuk pakan ikan juga semakin sulit didapat.
“Sekarang semakin sulit mencari ikan-ikan kecil karena mangrovenya sudah rusak akibat debu nikel,” ujar Muhali. Mangrove merupakan rumah bagi beragam spesies laut yang menjadi sumber makanan dan mendukung mata pencaharian masyarakat pesisir. Ia terpaksa memakai bom ikan untuk mendapatkan pakan untuk ikan di kerambanya.
“Sekarang kita butuh delapan bulan untuk panen, dulu tiga bulan sudah bisa diambil. Sekarang, ditambah adanya perusahaan kita tambah repot,” kata Muhali.
Apa yang terjadi di desa Baliara juga dialami penduduk desa Batuawu. Mereka juga sudah tidak bisa lagi menanam rumput laut dan memancing ikan di rumah mereka setelah tambang mulai beroperasi pada tahun 2012.
“Dulu sebelum ada tambang, kalau mancing bawah kolong dapat ikan baronang, ikan ketan, ikan baura, ikan buntal, macam-macam ikan,” pungkas Pak Ilyas (65), orang tertua di Baliara.
Sarwani (34) duduk di dermaga depan rumahnya menunggu suami pulang dari laut membawa hasil tangkapan hari ini, setelah kemarin tidak bisa melaut karena hujan yang turun seharian.
Ia bercerita bahwa di masa lalu, usaha budidaya rumput laut mampu mensejahterakan keluarganya. Ibunya berhasil menyekolahkan kakak laki-lakinya kuliah di jurusan ilmu komputer di Kendari sampai lulus pada tahun 1987 berkat usaha budi daya rumput laut. Sarwani sempat mengikuti tes masuk universitas, tetapi tidak lolos, dan kemudian kembali ke Baliara untuk menikah pada usia 20 tahun.
Sama seperti perempuan desa Baliara lainnya, ia juga menjadi petani rumput laut dari tahun 2012 untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Tapi pekerjaan itu berhenti pada 2021 ketika air menjadi keruh. Sekarang, pekerjaannya membelah ikan hasil tangkapan suaminya untuk diolah menjadi ikan asin. Ia biasa menjualnya ke Pasar Sikeli. Terkadang juga ia langsung menawarkan ikan dari rumah ke rumah di kampung. Sekali keliling ia biasa membawa ikan seberat 20 kg dengan dijunjung di atas kepalanya.
Perubahan kerja para perempuan di Kabaena juga ditangkap oleh Ahmad Saleh, Ketua Badan Permusyawaratan Desa Baliara. Ia bilang, sudah tidak mungkin kali mengandalkan rumput laut untuk hidup.
“Kalau para ibu biasanya mendayung di sekitar sini saja, beberapa menit sampai. Sekarang tak bisa lagi, kecuali mereka di luar sana, jauh dari pulau, karena air sekitar sini sudah buram,” katanya.
Ia menandai keruhnya air laut di pesisir Desa Baliara terjadi sejak beroperasinya dua perusahaan tambang yaitu PT Timah Investasi Mineral dan PT Trias Jaya Agung. Pada 26 Maret 2024 banjir lumpur melanda desa tersebut.
Selain pencemaran air, pengangkutan ore juga mencemari udara. Debu tebal ore sudah mengganggu pernapasan warga. Menurut data Puskesmas di Desa Batuawu, Kabaena Selatan, sepanjang tahun 2021 – 2023, gangguan pernapasan atau ISPA menduduki peringkat satu dan dua dari 10 penyakit utama yang dilaporkan warga.
Debu itu juga mengganggu usaha keramba Muhali. Iajadi harus membersihkan jaring kerambanya minimal 2 hari sekali dari debu yang menempel pada jaring keramba.
Saat ini ia berharap keadaan bisa kembali seperti dulu. “Air tidak keruh, bisa mencari ikan tanpa harus keluar jauh dari pesisir, bisa bertani rumput laut lagi dan mudah mencari ikan kecil untuk pakan.”